LOGINPerasaan hampa semakin menghujam hati Mita, kala pikiran mengerikan jika suaminya selingkuh merayap masuk ke otaknya.
Pikiran itu membuat dada Mita semakin sesak, hingga memicu niatan untuk mengambil inisiatif memulai keintiman, menghangatkan ranjangnya seperti dulu.
"Ma, aku capek banget hari ini."
Pram menghindar, perlahan mendorong Mita yang menghujaninya dengan ciuman penuh gairah. Sebagai gantinya dia memberi sentuhan singkat di kening istrinya, ciuman yang biasa saja, hambar, tanpa kehangatan.
Mita yang tadinya membayangkan malam yang intim dan penuh kehangatan, langsung merasakan kehampaan. Kedua tangan yang masih melingkar di leher suaminya terasa kaku dan tanpa daya.
"Tapi, sudah lama kita tidak..." protes Mita lemah, mencoba menahan suaminya yang sudah bersiap beranjak.
Pram mendesah, mengusap wajahnya yang tampak letih. "Maaf ya. Hari ini sibuk banget. Dari pagi rapat dengan bagian marketing, terus harus jemput bola klien baru yang cukup merepotkan. Badan rasanya mau remuk."
"Lalu kapan ada waktu untukku?" batin Mita berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya justru sebaliknya.
"Iya, tidak apa-apa. Aku ngerti, Papa sudah bekerja keras untuk keluarga ini." Mita, memaksakan senyum manis untuk menutupi rasa kecewa yang mulai menggerogoti. "Sana, mandi dulu biar seger!"
Pram hanya mengangguk, memberikan senyum tipis yang sama lelahnya sebelum berbalik dan masuk ke dalam kamar mandi. Suara pintu tertutup, seolah memutus sisa harapan Mita untuk malam ini.
Suasana kamar menjadi sunyi, hanya terdengar gemericik air dari balik pintu kamar mandi.
Perlahan, Mita berjalan mendekati cermin panjang di sudut kamar. Di balik lampu temaram, bayangan seorang perempuan terpantul jelas. Lingerie merah yang membalut tubuhnya ternyata tidak mampu memercikkan kembali warna hubungan mereka yang mulai pudar karena kesibukan masing-masing.
"Apa aku sudah tidak cantik lagi di matamu, Pa?"
"Badanku mungkin tidak lagi sekencang dulu, setelah melahirkan Samudra..."
Jari-jari rampingnya menelusuri lekuk tubuhnya di balik kain. Mencari kekurangan pada dirinya yang membuat sang suami sudah lama enggan menyentuhnya lagi.
Kenangan manis masa lalu, kala Pram memandangnya dengan mata berbinar penuh kerinduan, justru terasa sangat menyakitkan.
Suara pintu kamar mandi terbuka menyadarkan Mita dari lamunan. Pram keluar dengan rambut masih basah, kaos santai sudah melekat di tubuhnya. Ia menunduk sebentar, lalu menempelkan kecupan singkat di kening Mita.
“Istirahat duluan, ya. Aku harus menyelesaikan proposal kerja sama. Besok pagi sudah ditunggu klien.” Tanpa menunggu jawaban, Pram berbalik dan melangkah keluar kamar, menuju ke arah ruang kerjanya.
Mita menghela napas, lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Ia sudah terbiasa dengan kebiasaan Pram yang suka meletakkan handuk dan pakaian sembarangan. Seperti biasa, handuk ia ambil dan jemur di tempat yang sudah tersedia.
Ketika hendak memungut pakaian kerja suaminya dan memasukkan ke keranjang pakaian, sesuatu terjatuh ke lantai.
Celana dalam Pram.
Mita menunduk, pandangannya terpaku pada noda samar di kain itu. Sisa keintiman yang tak asing lagi bagi seorang istri. Tubuhnya menegang karena itu jelas bukan berasal dari dirinya.
Tangan Mita bergetar saat mengangkat celana bahan warna hitam yang tadi dipakai Pram seharian. Di bagian dalamnya, bercak putih yang mengering, meninggalkan jejak yang tidak bisa dibantah.
Detik itu juga, dada Mita serasa dihantam palu.
Mita menggenggam erat kain itu, matanya basah. Senyum getirnya pecah menjadi desahan pedih.
“Ternyata capekmu bukan karena mencari nafkah untuk keluarga ini, tapi karena kau baru saja menuntaskan kesenanganmu sendiri.”
***
Di Tengah kesibukanya mengurus konveksi, sebisa mungkin Mita tetap mengurus keluarganya. Seperti pagi ini, aroma tumis buncis dan telur dadar memenuhi ruang makan. Mita sudah sibuk mengatur meja makan, dan menyiapkan makan pagi untuk suami dan Samudra, putra semata wayangnya.
Demi Samudra, Mita berusaha tetap kuat, seolah tidak terjadi apa-apa, meski dadanya masih bergemuruh mengingat apa yang ia temukan semalam.
Saat meja makan sudah siap, keduanya menunggu Pram turun seperti biasanya. Tapi suara langkah di tangga terdengar terburu-buru.
Pram muncul dengan setelan jas, dasi tergantung rapi di leher. Ia menuruni tangga cepat, lalu tanpa banyak bicara mencium kening Mita.
“Aku berangkat dulu, Ma. Sudah ditunggu klien. Doakan ya, semoga tender kali ini lancar.”
Mita menelan ludah. Senyum dipaksakan terbit di wajahnya, meski jantungnya berdebar sakit. “Iya, hati-hati, Pa.”
“Doakan Papa, Sam!” Dengan gerakan terburu-buru Pram menepuk punggung putranya.
Samudra hanya diam, pandangannya mengikuti punggung ayahnya yang terburu-buru. Kecewa kentara menyelimuti sorot matanya.
Mita menarik kursinya, mencoba mengalihkan suasana. “Ayo, Sam. Kita sarapan. Nanti kamu telat sekolah.”
Anak itu menunduk sebentar, lalu mengambil sendok. Suasana hening menyelimuti meja makan. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar.
Sampai akhirnya, Samudra berhenti mengunyah. Ia menatap mamanya lekat, sorot matanya tajam tapi juga penuh luka.
“Ma,” panggil Samudra dengan suara lirih penuh keraguan. “Kalau Papa melakukan kesalahan… kesalahan yang benar-benar fatal, apa Mama akan memaafkan Papa?”
Sendok di tangan Mita berhenti. Dadanya seolah ditikam. Pertanyaan itu terlalu mendadak, terlalu tepat menyentuh luka yang berusaha ia sembunyikan.
Mita menatap wajah putranya, memaksakan senyum terukir di bibirnya. “Bukankah Tuhan Maha Pemaaf, yang akan memaafkan dosa-dosa seluruh umatnya yang bertobat? Jadi jika Papa, bertobat dan mau memperbaiki diri, tentu mama akan memaafkan.”
“Tapi ada dosa yang tidak dimaafkan Tuhan, dosa umatnya yang memiliki sesembahan lain.”
Mita menarik napas panjang, menatap anaknya dengan penuh kasih. Ia berusaha untuk menerka arah pembicaraan putranya.
“Lalu… apakah Mama akan memaafkan Papa, jika Papa memiliki perempuan lain?”
Mita tersenyum, senyum yang kentara dipaksakan. “Nggak usah dipikirkan, kamu fokus belajar saja, biar bisa masuk tim OSN lagi.”
Mita tidak tahu, dia sedang menenangkan hati anaknya atau hatinya sendiri.
Gara berada di tengah keriuhan yang ia cintai, deru mesin motor gede yang menjadi bagian dari hobinya. Celoteh keras para pengendara, dan tawa berderai yang memantul di udara terbuka. Ia sedang beristirahat sejenak bersama klub motornya di sebuah rest area di pinggiran kota.Di depannya, Darren, temannya yang paling konyol, sedang bercerita tentang insiden lucu saat perjalanan tadi.“Untung saja, remku masih pakem! Kalau tidak anak-anak ayam tadi sudah kena genosida,” seru Darren dengan mimik wajah berlebihan, disambut tawa ngakak Gara.Gara, dengan jaket kulit hitamnya yang khas dan helm yang diletakkan di samping, tertawa renyah, menikmati momen tanpa beban. Masa muda yang ia genggam terasa nyata di tengah kawan-kawan sebaya. Ia menenggak minumannya, matanya sesekali menyapu jalanan raya di depan mereka.Tawa itu tiba-tiba terhenti.Di antara deretan mobil yang melintas, mata tajam Gara menangkap sebuah sedan berwarna gelap yang sangat ia kenali. Mobil itu melaju dengan kecepatan ya
Mita memutuskan kembali mengenakan topeng. Berperan menjadi istri yang selalu mendukung apapun langkah suaminya. Mita hanya ingin menjaga situasi tetap kondusif, setidaknya sampai ia menemukan celah untuk menyelamatkan asetnya.“Besok aku ada pekerjaan di luar kota beberapa hari, Ma,” ujar Pram saat menikmati sarapan bersama.“Keluar kota lagi?” tanya Mita sambil menatap penampilan Pram sudah rapi, seolah selalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki.“Iya, ada proyek lama yang butuh negosiasi ulang.” Pram tampak sedikit gelisah, biasanya istrinya hanya mengiyakan tanpan banyak bertanya.Mita terdiam sejenak, dalam benaknya timbul ide untuk mengikuti alur sandiwara sang suami.“Aku ikut ya, Pa.”Pram tersentak. “Ikut? Ngapain? Jauh.”“Aku bisa ambil cuti beberapa hari. Rasanya sudah lama kita tidak pergi berdua. Aku juga bisa melihat perkembangan market di sana, sekalian refreshing.” Mita menyodorkan ide itu dengan nada ceria seolah tidak terjadi apa-apa.Ekspresi Pram menegang, kepani
Gara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup me
Seolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.Mita menekan nomor Gara.“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian sema
Gara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.Panggilan pertama tidak dijawab.Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.Mita menggenggam pon
Malam mulai merangkak dan menebar sepi, kala semua karyawan sudah pulang. Namun, di ruang kerja Mita, lampu masih menyala terang.Mita duduk di balik meja, jemarinya lincah menggoreskan sketsa di atas kertas. Lembar-lembar desain berhamburan, kain sample bertumpuk di sudut meja. Matanya tampak lelah, tapi enggan berhenti.Seolah dengan bekerja, ia bisa mengusir rasa sesak yang sejak tadi malam mengerogoti kewarasannya.Dian, sahabat sekaligus asistennya, berdiri di dekat pintu dengan perutnya yang membuncit, sorot mata menyiratkan kekhawatiran.“Mit, sudah jam sembilan malam. Pulang yuk! Besok bisa dilanjutkan lagi, Sam pasti nungguin mamanya.”Mita berhenti sebentar, menekan pensil di atas kertas. Lalu ia menghela napas, menahan letih. “Aku sudah hubungi Sam kalau aku lembur. Besok desain ini sudah harus aku presentasikan, kalau sampai gagal, bisa hancur reputasi kita.”Dian melipat tangan di dada, menggeleng pelan. “Kerja keras boleh, tapi kamu juga manusia, Mit. Badan kamu bisa sa






![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
