LOGINGara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.
Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.
Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.
Panggilan pertama tidak dijawab.
Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.
Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.
Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.
Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.
“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.
Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.
Mita menggenggam ponselnya erat, buku-buku jarinya memutih. “Aku harus tahu kamar berapa! Aku harus tahu!”
Mita melangkah cepat menuju meja resepsionis, mengabaikan Gara dan tatapan mata dari tamu lain.
“Mbak, saya mau nomor kamar suami saya!” ucap Mita dengan suara tertahan, dia berusaha agar suaranya terdengar tegas.
Resepsionis di hadapannya mengerutkan dahi, bingung. “Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan informasi data tamu tanpa izin…”
“Suami saya baru saja naik! Pram… nama suami saya Pramudya Wijayanto! Cepat berikan saya nomornya! Saya ini istrinya!”
Suara Mita mulai meninggi, menarik perhatian. Sejumlah tamu mulai berbisik-bisik, melirik ke arahnya. Wajah Mita memerah karena marah, malu, dan kepedihan yang tak tertahankan.
Menyaksikan Mita yang tidak bisa mengendalikan diri, Gara segera menarik lengan Mita dengan hati-hati, menjauhkannya dari meja resepsionis.
“Tante Mita, hentikan! Jangan bikin malu diri Tante di sini!” Gara berbisik tajam di telinga Mita.
“Lepaskan!” Mita meronta, berusaha melepaskan diri dari cekalan Gara. “Kau tidak tahu apa yang aku rasakan. Dasar! Semua laki-laki, sama.”
“Mita!” Satu bentakan lembut, tapi penuh perintah, terlontar dari bibir Gara.
Namanya yang diucapkan tanpa embel-embel 'Tante' atau ‘Bu’ membuat Mita tersentak. Tatapan yang sebelumnya liar mendadak fokus pada mata Gara yang memancarkan ketegasan, sekaligus keprihatinan.
Detik itu juga, Mita menyadari betapa kacau dirinya. Ibu satu anak itu tersadar, lalu tangisnya pecah menjadi isakan pedih, membenamkan wajah di dada Gara.
Gara tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya merangkul bahu Mita, membimbingnya keluar dari lobi yang ramai itu, menuju ke mobil yang sudah siap di depan.
Setelah memastikan Mita duduk dengan nyaman, Gara menutup pintu mobil. Dengan langkah lebar pemuda itu memutari mobil, dan kini dia sudah duduk di belakang kemudi.
“Saya antar Tante, pulang.”
Tak ada jawaban, tapi Gara langsung menyalakan mesin mobil.
Dalam perjalanan sesekali Gara menoleh ke arah Mita yang sejak tadi menangis dalam diam. Gara menghembuskan napas kasar, tampak bingung menghadapi situasi ini.
Gara memarkir mobilnya di bahu jalan, agak jauh dari keramaian hotel. Keheningan di dalam mobil terasa memekakkan telinga, diselingi isakan tertahan Mita.
Gara meraih botol air minum dari tempat penyimpanan, membukanya, dan menyodorkannya pada Mita. “Minum dulu, Tante.”
Dengan tangan gemetar, Mita meraih botol itu. Ia tidak minum, hanya memegangnya erat, meremas, melampiaskan amarahnya.
Mita menoleh ke Gara, menyeka air mata dengan kasar. Ia berusaha tegar, berjuang agar sisa harga dirinya tidak hancur lebur di depan pemuda itu.
Mita menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kembali kepingan harga dirinya yang terasa diinjak oleh pengkhianatan. Ia ingin menunjukkan, Mita adalah perempuan profesional yang sukses, bukan istri barbar yang mengamuk di tempat umum.
Gara melepaskan jaket yang tadi dia bawa, untuk jaga-jaga jika kebetulan pulang larut malam. Diselimutkannya dengan lembut ke bahu Mita. Tanpa sadar, Mita menyatukan bagian leher dengan genggaman tangan, kehangatan jaket itu terasa asing, tapi menenangkan.
“Langsung balik atau ke tempat lain?” tanya Gara pelan, seolah berusaha menyelami ke dalam luka batin Mita.
“Pulang.” Mita kembali menyeka air mata. “Anakku sendiri di rumah.” Samudra adalah satu-satunya alasan Mita untuk tetap menjaga kewarasan.
“Tapi Tante Mita tidak boleh pulang dalam keadaan seperti ini.” Dengan ibu jarinya, Gara menyeka air mata yang seolah tidak ada habisnya. “Tante harus tetap cantik. Jangan sampai a…”
“Apa gunanya cantik kalau suami sendiri tak mau melirik.” Kalimat Gara tak juga menenangkan, justru seperti sembilu yang menyayat hatinya.
Tangis yang sempat mereda, kini menjadi lagi. Gara menghela napas dalam, sadar telah salah berucap.
Gara merengkuh bahu Mita, memberikan dadanya menjadi tempat bersandar.
“Apa kurangnya aku, Gar? Apa salahku sampai dia mengkhianatiku seperti ini?”
Gara tidak menjawab, selain karena tidak memiliki jawabannya, dia ingin memberi ruang kepada Mita untuk menumpahkan beban yang menyesakkan dadanya.
“Tante…” panggil Gara dengan sedikit ragu, setelah tangis Mita mereda. “Apa ada yang bisa aku bantu lagi?”
Mita menoleh lalu menggeleng samar. “Tidak, Gar. Terima kasih. Kamu sudah banyak membantu.” Mita berkata pelan, suaranya sudah lebih terkontrol, meskipun masih serak. “Antar aku pulang saja.”
Gara mengangguk, lalu menoleh lurus ke jalan dan mulai menyalakan mesin mobil.
“Kalau Tante butuh apa-apa, Tante bisa langsung hubungi saya.”
Mita menanggapi dengan senyum sumir, antara menertawakan dirinya sendiri dan meremehkan Gara yang masih muda.
Gara berada di tengah keriuhan yang ia cintai, deru mesin motor gede yang menjadi bagian dari hobinya. Celoteh keras para pengendara, dan tawa berderai yang memantul di udara terbuka. Ia sedang beristirahat sejenak bersama klub motornya di sebuah rest area di pinggiran kota.Di depannya, Darren, temannya yang paling konyol, sedang bercerita tentang insiden lucu saat perjalanan tadi.“Untung saja, remku masih pakem! Kalau tidak anak-anak ayam tadi sudah kena genosida,” seru Darren dengan mimik wajah berlebihan, disambut tawa ngakak Gara.Gara, dengan jaket kulit hitamnya yang khas dan helm yang diletakkan di samping, tertawa renyah, menikmati momen tanpa beban. Masa muda yang ia genggam terasa nyata di tengah kawan-kawan sebaya. Ia menenggak minumannya, matanya sesekali menyapu jalanan raya di depan mereka.Tawa itu tiba-tiba terhenti.Di antara deretan mobil yang melintas, mata tajam Gara menangkap sebuah sedan berwarna gelap yang sangat ia kenali. Mobil itu melaju dengan kecepatan ya
Mita memutuskan kembali mengenakan topeng. Berperan menjadi istri yang selalu mendukung apapun langkah suaminya. Mita hanya ingin menjaga situasi tetap kondusif, setidaknya sampai ia menemukan celah untuk menyelamatkan asetnya.“Besok aku ada pekerjaan di luar kota beberapa hari, Ma,” ujar Pram saat menikmati sarapan bersama.“Keluar kota lagi?” tanya Mita sambil menatap penampilan Pram sudah rapi, seolah selalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki.“Iya, ada proyek lama yang butuh negosiasi ulang.” Pram tampak sedikit gelisah, biasanya istrinya hanya mengiyakan tanpan banyak bertanya.Mita terdiam sejenak, dalam benaknya timbul ide untuk mengikuti alur sandiwara sang suami.“Aku ikut ya, Pa.”Pram tersentak. “Ikut? Ngapain? Jauh.”“Aku bisa ambil cuti beberapa hari. Rasanya sudah lama kita tidak pergi berdua. Aku juga bisa melihat perkembangan market di sana, sekalian refreshing.” Mita menyodorkan ide itu dengan nada ceria seolah tidak terjadi apa-apa.Ekspresi Pram menegang, kepani
Gara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup me
Seolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.Mita menekan nomor Gara.“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian sema
Gara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.Panggilan pertama tidak dijawab.Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.Mita menggenggam pon
Malam mulai merangkak dan menebar sepi, kala semua karyawan sudah pulang. Namun, di ruang kerja Mita, lampu masih menyala terang.Mita duduk di balik meja, jemarinya lincah menggoreskan sketsa di atas kertas. Lembar-lembar desain berhamburan, kain sample bertumpuk di sudut meja. Matanya tampak lelah, tapi enggan berhenti.Seolah dengan bekerja, ia bisa mengusir rasa sesak yang sejak tadi malam mengerogoti kewarasannya.Dian, sahabat sekaligus asistennya, berdiri di dekat pintu dengan perutnya yang membuncit, sorot mata menyiratkan kekhawatiran.“Mit, sudah jam sembilan malam. Pulang yuk! Besok bisa dilanjutkan lagi, Sam pasti nungguin mamanya.”Mita berhenti sebentar, menekan pensil di atas kertas. Lalu ia menghela napas, menahan letih. “Aku sudah hubungi Sam kalau aku lembur. Besok desain ini sudah harus aku presentasikan, kalau sampai gagal, bisa hancur reputasi kita.”Dian melipat tangan di dada, menggeleng pelan. “Kerja keras boleh, tapi kamu juga manusia, Mit. Badan kamu bisa sa







