Share

Meringis

Mona terbangun di saat matahari sudah menampakan sinarnya. Menyipitkan kedua manik matanya yang masih ngantuk berat itu.

Berusaha mengumpulkan ingatannya, mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Dia berada di sebuah kamar hotel yang mewah.

"Ya ampun ... apakah yang sudah terjadi padaku! kenapa aku tertidur di sini?" gumam Mona yang belum menyadari sepenuhnya.

Suasana begitu hening dan Mona hanya menggerakkan matanya melihat kanan dan kiri, depan belakang suasana sudah siang rupanya jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00.

Tiba-tiba Mona berteriak sekerasnya setelah melihat dirinya yang begitu polos hanya ditutupi dengan selimut putih saja.

"Ahhhhh!" Memegangi kedua telinganya. "Apa yang sudah terjadi padaku?" Kembali menutupi tubuhnya dengan selimut.

Mona berusaha keras untuk mengingat kejadian semalam dimana dan dengan siapa? Memorinya terus saja berputar.

Berulang-ulang mengingat dari awal dia datang ke salah satu kamar hotel dan menemukan Marfin bersama selingkuhannya. Sehingga bertemu dengan seorang laki-laki yang cukup berumur dan ternyata dia Papa nya Marfin.

"Ya ampun ... apa yang sudah aku lakukan dengan pria itu?" Mona terus menggeleng kasar.

Wajahnya sedikit meringis merasa tubuhnya berasa remuk redam, apalagi di bagian intinya terasa sangat sakit. Di saat tubuhnya menggeser terlihat berapa bercak darah di sprei, pandangan mata Mona semakin terbelalak saja.

Gelengan kepala yang kasar Mona seraya bergumam. "Tidak, ini tidak mungkin, tidak mungkin aku melakukannya dengan pria itu!"

Hening.

"Sesuatu yang selama ini aku jaga, Marfin pun tidak pernah menyentuhnya! sekalipun pacaran bertahun-tahun." Mona mengacak rambut frustasi.

Berkali-kali Mona menelan saliva membatu di tempat, rasa penyesalan pun mulai menyelimuti perasaannya dan air mata pun tak kuasa meleleh begitu saja, sebagai ungkapan rasa penyesalan.

Juga rasa sakit hati yang sudah dikhianati, hingga ujung-ujungnya terjerat dengan situasi ini.

"Aduh, sakit!" Gumam Mona seraya sedikit meringis.

Dengan hati yang berat, Mona bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Air hangat menyentuh kulitnya yang terasa kotor dan lelah. Mona membiarkan air mengalir menenangkan pikirannya yang kacau.

Tak ayal rasa sakit dan perih mendominasi daerah inti nya dan sekujur tubuh.

Sambil membasuh tubuhnya, Mona teringat kembali pada kejadian semalam yang seakan memutar film dan berulang-ulang ia tonton. Air mata kembali mengalir begitu saja.

"Kenapa itu harus terjadi?"

Dia merasa hancur dan takut, bagaimana kalau dia hamil? akibat percintaan semalam, namun Mona berusaha menguatkan diri, mencoba untuk tidak terus terpuruk dalam kesedihannya.

"Kemana pria itu? kenapa meninggalkan ku, apakah dia akan lepas tanggung jawab setelah meniduri ku?" Mona bergumam merasa heran dengan keberadaan pria itu.

Setelah membersihkan diri, Mona mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaian yang sebelumnya ia kenakan.

Dia melihat dirinya di cermin, mencoba mencari kekuatan di dalam dirinya untuk melanjutkan hidup.

"Bisa-bisanya aku menyerahkan diriku pada orang asing!" Mona menyentuh bibirnya.

Mona tahu bahwa dia harus bangkit dari kesedihannya dan mencari cara untuk bisa menikah dengan pria tampan yang seharusnya menjadi mertua. kalau saja menikah dengan Marfin.

Sekarang, Mona menyusun rencana, apa yang bisa dia lakukan selanjutnya untuk mengatasi situasi ini? Kedua manik mata Mona menemukan selembar kertas dan juga kartu nama di atas nakas.

(Saya minta maaf atas kejadian semalam!)

Mona melamun memegangi kertas tersebut.

(Saya akan bertanggung jawab, temui saya!)

Bibir Mona yang bergerak membacanya. Lantas meneliti kartu nama yang bernama Leo. Ada rasa sedih sekaligus ada senyum di bibirnya Mona. Dia kembali berpikir kalau dia harus bisa balas dendam dan membuat Marfin sakit hati juga menyesali apa sudah dia lakukan padanya.

Lantas Mona mengayunkan langkahnya, berjalan menyusuri koridor hotel dan dia berniat mau langsung ke hotel tempatnya bekerja saja. Dia belum siap pulang untuk bertemu ayahnya.

.

.

Di sisi ruang kerja, pria berumur yang masih tampak sangat gagah, tampan dan berwibawa itu termenung, mengingat percintaan nya semalam dengan seorang gadis yang baru saja ia temui.

Senyuman puas tersungging dari bibir Leo dan bagaimana mungkin dia bisa melupakan situasi yang menyenangkan tersebut.

"Mona, namanya Monalisa!" Gumam Leo dengan bibir terus menyungging.

Gadis itu benar-benar mampu membuat Leo merasakan candu dan ingin mengulang lagi. Leo menggigit bibirnya, merasai hatinya yang berbunga-bunga. Yang sekian lama kering kini segar kembali bermekaran.

Tidak terasa waktu sudah masuk jam makan siang sehingga Leo pun bangkit dari duduknya. Pas mau membuka pintu.

Sudah berdiri putranya yang bernama Marfin yang langsung nyelonong masuk ke dalam ruangan. Dengan menyoren tas punggung di bahunya. Sepertinya Dia baru saja pulang dari kampus.

"Saya tidak mengerti kenapa Papa bisa berhubungan dengan gadis itu?" Marfin langsung mengajukan pertanyaan pada papanya.

Leo hanya menatap tajam pada Marfin. Putranya yang lebih banyak bicara ketimbang dirinya yang dingin.

"Dia itu terlalu muda buat Papa. Tidak pantas ... bagaimana mungkin, Papa! dekat dengan dia? Apalagi sampai menikahinya," suara Marfin kembali.

Sang ayah masih terdiam dengan tatapan tajam ke arahnya.

"Pah, bagaimana pantas dia menjadi ibu sambung ku?" Marfin merepet dengan kata-kata sebagai protes. Namun. Diibaratkan bicara dengan patung yang tak merespon.

Leo mengernyitkan keningnya. Mengarahkan pandangan pada putra satu-satunya itu.

"Jangan pernah melarang!" Tiga kata yang sangat jelas.

"Tapi, Pah!" balas Marfin yang mendapat angkat tangan dari papa nya. Menandakan kalau Marfin tidak perlu bicara lagi.

Pria itu paling tidak suka kalau terus-terusan dibantah. Dan sesungguhnya dia sosok orang yang ingin selalu dituruti.

Walaupun selama ini dia terus berusaha untuk mengikuti dan memberikan kasih sayang penuh kepada Marfin, kini sudah waktunya dia mencari kebahagiaannya sendiri.

"Pergilah, jangan ikut campur!" ucap Leo seraya menggerakan tangan agar Marfin keluar dari ruangannya.

Selama belasan tahun Leo mengurus dan menjaga Marfin dengan segenap kasih sayangnya. Tanpa bantuan dari Alexa sebagai mamanya Marfin.

Ketika usia Marfin sekitar 7 tahun, Alexa mengkhianati Leo dengan seseorang yang menjadi kepercayaan Leo. Leo murka sehingga dengan cepat menceraikan istrinya itu.

Meskipun cintanya sangatlah besar kepada Alexa, tetapi dia sangat tidak bisa menerima dengan namanya penghianatan. Tanpa ampun dan tanpa ada kesempatan Alexa di Depak dari rumah mewahnya.

"Baiklah, aku pergi tapi Papa harus ingat kalau aku tidak pernah mengizinkan, Papa! menikah dengan gadis itu." Biarpun tidak didengar sama sekali oleh Papanya, dia tetap protes.

Marfin sosok orang yang keras kepala juga, memang menuruni sifat dari Papanya yang keras kepala dan paling gak suka ditentang ataupun dibantah.

Kalau sudah ada maunya harus dituruti. Tapi sekeras kepala nya Marfin, tidak dapat menandingi benteng papanya.

"Hem. Terlalu muda! Justru ini yang menjadi candu buatku!" batin Leo.

Leo menyunggingkan bibirnya. Dia sangat merasa puas karena percintaannya semalam! bagaikan air hujan sehari yang mampu membasahi tanah akibat kemarau yang panjang.

Yang pada akhirnya menjadi candu dan terus berharap bila air hujan itu pun turun membasahi. Menjadi penyejuk juga asupan vitamin buat semua tumbuhan.

Leo sedang menikmati makan siangnya sendirian. Tangannya mengaduk-aduk makanan, pikirannya bercampur aduk mengingat percintaan itu dengan gadis manis bernama Mona.

"Mona?" Gumam Leo sembari tersenyum.

Bayangan itu terus menari-nari di benaknya dan mengganggu pikirannya, sehingga makan pun merasa tidak berselera lagi. Dia langsung beranjak setelah membayar bill makan siangnya tersebut.

.

.

Marfin berjalan memasuki lobby sebuah hotel tempat Mona bekerja, dia sengaja ke sana untuk menemui sang kekasih. Yang bertugas sebagai housekeeping. Yang tugasnya di bagian kebersihan hotel.

Dengan langkah yang cepat. Marfin menghampiri Mona yang sedang berjalan membawa peralatan pel. "Mona tunggu? Mona!"

Mona menoleh ke arah sumber suara, dia langsung melengos dan hendak pergi meninggalkannya. Mona merasa malas untuk bertemu pria yang selama ini menjadi kekasihnya.

"Aish ... Mau apa sih dia datang?" gumam Mona dengan kesal.

Mona terus berjalan ingin menghindar dari Marfin yang terus menyusulnya.

Geph.

Marfin menangkap tangan Mona. "Mona dengarkan aku! Kita harus bicara, kamu tidak bisa mendiamkan aku seperti ini!"

Mona menghempaskan tangannya dari genggaman Marfin. "Lepaskan aku! Kamu tidak perlu lagi mendatangi aku. Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi."

"Mona, Mona dengar aku--"

"Aku menyesal selama ini menjadi kekasihmu, aku kira kau sangat mencintaiku. Rupanya semua palsu!" suara Mona yang memekik tetapi tertahan.

"Kamu harus dengar penjelasan ku dulu--"

"Cukup! kamu mendekati ibuku dan kamu tahu kalau aku paling gak suka dengan pengkhianatan! Satu lagi. Kau tahu kalau ibuku itu bersuami!" Bentak Mona pada Marfin, detik kemudian Mona pergi.

Marfin hanya bisa mengepalkan tangan dan menatap tajam ke arah Mona yang meninggalkannya begitu saja.

Bagaimanapun hatinya masih mencintai Mona dan situasi ini hanya karena dia tergoda oleh ibunya Mona, Laksmi. Ditambah ... ternyata Mona dekat dengan papanya yang entah sejak kapan? membuat kepala Marfin pusing tujuh keliling ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bang Amsir
Marfin, Mona itu segera jadi Mama Tirimu. Jangan ganggu dia. Benih Papamu udah menyatu dengan sel telur Mona. Sebentar lagi lu punya adik dari mantan pacarmu..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status