Sementara itu, di dalam kamar, Rendy masih setia dengan posisi yang tadi, menatap hampa pada pintu yang masih terbuka karena tidak ditutup oleh William. Ia mendesah, seolah mengetahui apa yang terjadi pada William. Pria itu, terlalu sibuk dengan dunianya hingga tidak bisa fokus dengan kehidupan pribadinya.“Bisa-bisanya dia meminta orang-orangnya untuk melampiaskan kemarahannya padaku,” decaknya merasakan seluruh tubuhnya remuk.“Lagipula, bagaimana bisa dia membawa Rose ikut dengannya, tetapi mengabaikan keberadaan istrinya,” timpalnya lagi.Mengingat belum menjenguk Diana di ruangan sebelah. Rendy menyingkap selimut dan turun dengan hati-hati membawa cairan bening di tangan sebelahnya.Di depan pintu ruangan Diana, ia kembali merasa menyesal telah melibatkan wanita itu dalam masalahnya. Andai saja, ia tidak meminta Diana datang, sudah pasti hal ini tidak akan terjadi padanya.Perlahan ia mendorong pintu dan terkejut dengan keberadaan Diana yang masih terjaga. “Kau belum tidur?” “Be
Masih dengan ketegangan antara suami dan istri di rumah tamu. William mengusap wajahnya kasar, tidak hanya lelah, tetapi sekarang kepalanya terasa berdenyut nyeri. “Aku sudah minta maaf padamu. Maafkanlah!” serunya dengan suara memohon. Sungguh dia benar-benar lelah saat ini.Rose yang sejak tadi menyilangkan tangan di dada menoleh cepat. “Jika aku mengatakan sudah memaafkanmu, bisakah kau meninggalkan rumah ini?”William mengepalkan tangan. “Rose … kenapa kau begitu keras?” Dengan malas Rose menjawab, “Lalu, aku harus bagaimana?” katanya dengan suara mulai bergetar, “haruskan aku melupakan yang terjadi? Kau tidak tahu bagaimana sakitnya aku saat ditinggal olehmu di hotel? Kau kembali pagi hari sementara malamnya aku menunggu seperti orang bodoh.”Tidak ingin dilihat meneteskan air mata, Rose membuang muka. William merasa tertampar, ia ingin memeluk istrinya yang sudah menangis, tetapi Rose sudah menjaga jarak dengan tangan mengarah padanya ajar jangan mendekat.“Aku minta maaf,”
Setelah mendengar berita tentang Rendy yang dilarikan ke rumah sakit. Malam itu, Rose langsung bergegas ke rumah sakit setelah memastikan bahwa tidak ada yang mencurigakan dari dirinya. Namun sebelum itu, ia meminta semua pelayan yang Matilda kirimkan untuk menjaga Anantha dengan sebaik mungkin. Ia sudah berjanji akan kembali sebelum jam sepuluh malam. Di perjalanan, ia berharap agar tidak bertemu dengan orang yang mengenalinya. Dia tahu, meski William tidak ada di kota, tetapi suaminya pasti telah meminta seseorang untuk mencari keberadaannya. Apalagi, William bukan orang yang mudah untuk dihindari. “Apa yang terjadi?” Rose masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah. Rose menatap Rendy yang terbaring lemah dengan Satria di sebelahnya. Satria yang bahagia langsung berlari memeluk Rose dengan mata yang sudah bengkak. “Bibi.” Rasa khawatir terlihat jelas dari sorot matanya, Rose berjongkok dan memeluk Satria yang tidak bisa menahan tangisnya. “Katakan, apa yang terjadi?” D
Para pelayan yang hendak meninggalkan dapur setelah semua pekerjaan selesai dikejutkan dengan suara seseorang terdengar begitu panik. Mereka yang khawatir ada sesuatu terjadi segera berlari keluar.“Rose … di mana anak dan istriku?” tanya William dengan wajah gelisah menatap ke lantai atas.Para pelayan serta penjaga yang berada di belakang William mengerutkan kening, sebab mereka semua tahu kedua majikan mereka meninggalkan rumah bersama-sama.“Pak, bukakankah bu Rose pergi dengan Anda?” tanya salah satu dari mereka dengan takut.William mengangguk cepat. “Ya, dia pergi bersamaku, tetapi kembali lebih awal kemarin,” jelasnya menahan segala kemungkinan buruk.William masih menahan degupan jantungnya yang kian tak beraturan, “Apa dia di atas?”“Tapi, Pak,” ucapnya ragu,” Bu Rose tidak kembali ke rumah ini.” Termangu, “Tidak ada?” ulangnya mulai panik, “kalian jangan main-main denganku.”“Maafkan kami, Pak. Tapi, bu Rose dan nona Anantha memang tidak ada di rumah.”William semakin pan
“Fera …,” ujar William dengan tubuh mematung di depan pintu kamar mandi. Ia melihat ke arah pintu yang tertutup dan mengingat bahwa tadi, dia lupa menguncinya.“Eh, Pak William.” Fera yang tengah berbaring di atas ranjang lantas terbangun dengan lemah.William melangkah dengan tatapan tajam ke arah Fera yang tiba-tiba sudah berbaring di kamarnya. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”Fera menelan ludah kasar, ia mencoba untuk menjelaskan, tetapi tatapan William mengunci lidahnya. Ketika ia hendak berdiri, tubuhnya linglung dan hampir terjatuh andai William tidak segera menangkap.Bersamaan dengan itu, pintu kamar terbuka dengan Ronald yang terpaku di depan pintu kamar.“Pak, apa yang kalian lakukan?” Ronald sampai tak bisa berkata-kata lagi dengan posisi Fera dan William di atas ranjang.Terperanjat, William melepaskan tubuh Fera dan menjauh dari ranjang. Ia sampai memalingkan wajah karena pakaian Fera yang tersingkap sedikit.Tidak mengatakan apa pun lagi, Ronald langsung berbalik dan m
Pagi harinya, William hanya berdiri di depan kamar, ia tetap berdiri dengan penampilan yang berantakan. Sementara itu, wanita yang menjadi penyebab dari masalah ini berdiri tidak jauh dari Ronald.“Anantha, ayo!” ajak Rose semakin marah dengan kehadiran Fera yang diyakini ingin membuatnya semakin cemburu.Anak gadis itu berlari kecil ke arah ibunya. Ia sempat melirik ayahnya yang tak bergeming di depan pintu.“Ibu, kita kembali?” tanya Anantha melihat dua koper di sebelah Ronald.“Hum, kak Satria ulang tahun, kita harus menyiapkan semuanya, kan,” kata Rose dengan lembut, tidak pernah ia hilangkan senyumnya pada sang putri.“Hore,” teriak Anantha senang, ia kemudian melirik ayahnya, “apa Ayah tidak ikut?”Rose mengulurkan tangan. “Kita hanya pulang berdua.”Bibir kecil itu mengerucut. Ia menghela napas pelan. “Aku kita kita kembali dengan Ayah.”William tersenyum lega, ia mendekat, tetapi ketika mendengar suara Rose yang menolaknya, hatinya kembali seperti diremas.“Tidak Sayang. Hanya