Rose mengerjap beberapa kali. Ia menelan ludah kasar ketika William menatap dirinya begitu dalam.
“Pak, bisakah Anda lepaskan saya?” katanya mencoba tidak terdengar gugup. Tubuhnya sudah tertahan di dinding dengan kedua tangan berada di atas kepala. “Ulangi apa yang kau katakan tadi?” Suara William terdengar parau, terlihat begitu menggoda dengan hidung mancungnya. “Pak, saya harus ke rumah Nicholas, ibunya–” “Ingin bertemu ibunya atau kekasihmu itu?” Rose menelan ludah lagi, ia gugup bukan karena merasa bersalah, tetapi karena aroma parfum William yang begitu lembut. “Saya sudah katakan, dia bukan kekasih saya lagi,” jelasnya, “tolong beri saya waktu beberapa jam untuk melihatnya.” William melepas cekalan tangannya pada lengan wanita yang baru saja dinikahi. Mundur beberapa langkah dan mengangguk. “Pergilah! Kau bisa meminta supir untuk menemanimu.” Rose melebarkan senyumnya, ia mengusap tangannya yang dicekal William. “Saya akan kembali sebelum tengah malam.” "Pergilah sebelum aku berubah pikiran." Tak ingin hal itu terjadi, Rose melewati William dengan langkah terburu. Wanita yang baru saja mengucap janji padanya seolah tak memedulikan status mereka. William memijat pangkal hidung dan berbalik. “Gadis itu, berapa sebenarnya usianya.” Ia berdecak, berjalan ke arah kursi kerjanya, kemudian menelpon Ethan untuk pekerjaan selanjutnya. Namun, ketika mengingat jika Rose keluar dari rumah bersama supir, ia kembali meminta Ethan untuk mengikuti secara diam-diam. ______ Di kediaman Nicholas, Diana bersedekap dengan wajah masam. Kegiatan mereka tertunda karena ibu Nicholas harus berdrama seperti biasa. “Ibu, makanlah satu sendok saja,” bujuk Nicholas mulai terlihat menyerah. “Bawa Rose ke hadapanku. Aku hanya ingin makan dari tangannya,” katanya menolak suapan dari sang putra. Nicholas berdiri, ia mengusap wajah kasar sembari mengumpat Rose diam-diam. Gadis kecil itu sudah mempengaruhi ibunya terlalu jauh. “Sayang,” rengek Diana seperti berbisik. “Tenang dulu, aku akan menelpon wanita kecil itu lagi,” katanya sudah merogoh ponsel, tetapi ketika pintu kamar terbuka, ia membuang napas lega. Diana berdecak, ia sungguh tidak menyukai kehadiran Rose di sekitarnya. Sementara itu, ibu Nicholas—Margaret begitu sumringah dengan kedua tangan menyambut kehadiran anak perempuannya. “Oh Sayang, aku sungguh merindukanmu,” katanya seperti ingin menangis. Rose melirik ke arah Nicholas dan Diana, keduanya seolah malas melihat kehadirannya. “Ibu, tolong maafkan aku,” kata Rose mengabaikan tatapan kesal Nicholas, “Ibu sudah makan?” Margaret menggeleng pelan. “Aku hanya ingin makan dari tanganmu, Nak. Lihatlah, bagaimana mereka memaksaku makan tetapi dengan tatapan mengerikan.” Rose melirik ke arah Nicholas dan Diana lagi. Keduanya bahkan dengan berani memamerkan kemesraan mereka di depan Margaret. Rose melirik meja, di sana sudah ada semangkuk sup dan nasi, hanya saja seketika Rose menyentuh permukaan mangkuk, ia bisa mengetahui jika sup tersebut sudah dingin. “Ibu, supnya sudah dingin. Bisakah Ibu menunggu beberapa menit sementara aku hangatkan?” Margaret mengangguk terharu. “Kau memang wanita yang baik, Rose. Sayang sekali, Nicholas tidak melihat itu darimu.” Rose tersenyum getir, ia begitu mencintai Nicholas, tetapi yang telah pria itu lakukan padanya, bukanlah hal yang harus dimaafkan. “Tunggu sebentar, ya Bu.” Rose meraih nampan yang berisi makanan dingin, kemudian Melawati Nicholas dan Diana begitu saja. Ia akan buktikan jika dirinya baik-baik saja setelah mereka berdua sakiti. Sampai di dapur, istri William itu langsung mengerjakan pekerjaannya. Ia tidak bisa membuang waktu lama, terlebih supir William masih menunggu di luar. “Aw!” Rose mengasih ketika tubuhnya terjatuh dan punggungnya membentur ujung kursi. Ia mendongak dan mendapati Diana menatap dirinya dengan tangan bersedekap di dada. “Apa kau sengaja datang untuk merebut hati Nicholas?” sinis Diana melangkah maju, ia menunduk dan mengapit dagu Rose dengan kuat. “Lepaskan tanganmu!” sentak Rose keras. “Kau!” tukas Diana kesal, “aku adukan pada Nicholas agar dia mengusirmu.” Rose berdiri dengan bantuan kursi di sebelahnya, kemudian membuang napas tak acuh. “Kau yang mendorongku, kenapa bersikap aku adalah penjahatnya.” Diana kembali membalik paksa punggung Rose yang membelakanginya. “Setelah tugasmu selesai, keluar dari rumah ini, kau tidak dibutuhkan lagi.” “Apa kau berguna?” balas Rose datar. Suara langkah seseorang menghentikan tangan Diana yang hendak menyentuh tubuh Rose lah, wanita itu berjalan mendekat ke arah Nicholas dengan memasang wajah yang masam. “Sayang, dia mengatakan aku tak terguna,” adunya pada Nicholas, “aku begitu sedih karena dia–” “Kau percaya jika aku mengatakan itu, Nich?” Nicholas dan Diana semakin maju. Sejak tadi, ia begitu penasaran dengan cincin di jari manis mantan kekasihnya. Berkilau dan juga elegan. “Cincin siapa yang kau pakai?” Nicholas meraih tangan Rose dan memperhatikan detail perhiasan yang ditaksir seharga jutaan dolar. “Menurutmu, apakah gadis yatim piatu sepertinya bisa mendapatkan barang semewah itu?” tanya Diana pada Nicholas, tatapannya tertuju pada cincin berlian yang bergitu berkilau. “Tentu saja tidak, kecuali dia mencurinya.” Rose menarik tangannya, kemudian menatap malas pada kedua pasangan yang semakin memuakkan. “Aku tidak seburuk itu.” Diana terkekeh, “Lalu, dari mana kau dapatkan?” “Bukan urusanmu!” Rose kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Ia abaikan Nicholas dan Diana yang seolah mengejek dirinya di belakang. “Sayang, apakah kau yakin jika dia wanita baik-baik? Saat bersamamu dia terlihat sangat buruk, tetapi ketika kau putuskan dia memakai cincin dijarinya.” Rose membuang napas pelan, ia tidak mungkin mengatakan pada Nicholas jika dia telah menikah. “Atau jangan-jangan dia menjual dirinya setelah kau putuskan?” Rose memejamkan mata, setelah makanan Margaret hangat, ia segera membawa ke dalam kamar. Mengabaikan ejekan Nicholas dan Diana yang tak ada hentinya. Setibanya di kamar, Margaret kembali menyambutnya dengan hangat. Rose duduk di hadapannya dan mulai menyendokkan sup. “Ibu, ayo buka mulutmu.” Margaret membuka mulut, ia tersenyum bahagia karena akhirnya bisa melihat Rose lagi. “Apakah kalian bertengkar?” tanyanya, “tolong jangan tinggalkan putraku, wanita itu tidak baik untuknya,” bisiknya melirik pada Diana yang memasuki kamar bersama Nicholas. “Ibu, kami baik-baik saja. Ayo habiskan makananmu dan minum obat, ya.” “Berjanjilah pada Ibu, Rose. Kau dan Nicholas harus menikah sebelum–” “Ibu, aku tidak bisa menikahinya. Aku mencintai Diana.” “Jangan membantah Nicholas. Ibu tidak menyukai wanita lain selain Rose menjadi istrimu,” tukas Margaret dengan tatapan marah. “Tapi, Ibu, aku tidak–”“Aku mendengar jika Ayah ingin menjodohkanmu, ya?” tanyanya dengan suara dipelankan.“Hum, dengan putra tuan Baskoro,” jawab Anantha tanpa minat.Clara memicingkan mata, “Lalu bagaimana? Jangan bilang jika Kakak menerimanya.”Annatha merebahkan tubuhnya pada sandaran sofa, meraih buku di sebelahnya dan membuka halaman yang belum dibaca. “Ya, aku harus menerima demi nama baik ayah.”Clara frustasi, ia memegang tangan kakaknya dengan erat. “Kenapa tidak menolak? Jangan bilang bibi meninggalkan rumah mengomel karena ini?”Anantha mengangguk kecil. “Tidak bisa menolak. Aku sudah berjanji pada nenek sebelum meninggalkan kita. Bahwa aku akan selalu menjaga nama baik keluarga.”“Tapi, bukan seperti ini. Kamu salah paham, Kak. Jika nenek masih ada, dia pasti akan memintamu menolaknya.”Anantha menutup buku, menatap adiknya dengan serius. “Ini hanya soal waktu. Kami berdua hanya butuh membicarakan ini dengan kepala dingin. Jika setelahnya tidak cocok kami bisa membatalkan.”Clara semakin frusta
Tiga belas tahun berlalu.Tangan kekar kekar memeluk pinggang yang masih tetap ramping seperti tiga belas tahun lalu, wanita cantik itu, tetap terlihat awet muda meski usia tidak lagi seperti dulu.“Bagaimana pekerjaanmu?” tanyanya lembut di telinga istrinya.Bibir itu tersenyum indah, ia mengusap tangan kekar yang berada di perutnya dengan lembut. Tatapannya lurus pada pemandangan di depan mereka. Pada gadis dengan dres putih dengan sebuah buku di tangannya.“Semua berjalan baik,” jawabnya.“Putri kita sudah semakin besar dan semakin mirip denganmu,” ujr William dengan tatapan bangga, “tuan Baskoro–”“Dia masih muda, sayang jika usianya tidak digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.”Menghela napas pelan, William semakin mengeratkan pelukannya. “Hanya perjodohan, jika mereka tidak cocok–”“Aku tetap tidak setuju, Willie. Anantha masih sangat muda,” tolak Rose lembut, “kukira setelah kau melewati sembilan puluh sembilan kali kencan muda di masa muda, kau sadar jika perjodohan itu ti
Nicholas masih termangu di bawah, melihat bagaimana William memperlakukan Rose dengan sangat baik. Pria itu memberikan apa yang seharusnya wanita inginkan dan dia tidak bisa.Diam-diam, Nicholas meneteskan air mata dengan senyum getir, ada sakit yang tak bisa dijelaskan dengan benar. Putri mereka—Anantha adalah gadis paling beruntung selain mantan kekasihnya.“Tuan, kita kembali?” Megan yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari William mencoba untuk mendekati.Nicholas memalingkan wajah, menghapus air mata yang sempat terjatuh. “Hum, kita harus kembali, tapi ada baiknya berpamitan ada yang punya acara.”Megan melihat ke atas, perhatian yang William berikan memang membuat iri siapa saja. Kini, Megan tahu, jika Nichola masih belum bisa merelakan Rose meski wanita itu telah memiliki istana sendiri.“Kalau begitu ayo,” kata Megan, “saya khawatir terlalu lama, Ibu semakin lelah menunggu.”Nicholas melangkah ragu, tatapannya penuh dengan banyak penyesalan dan perandaian, bertemu dengan Diana
“Nyonya Diana semakin cantik, benar, kan Ibu?” bisik Megan pada Margaret. Setelah berpisah di lobi tadi, Nicholas terlihat lebih tidak bersemangat, entah apakah itu seperti dia menyesal datang atau menyesal karena tidak bisa menjadi suami yang baik dahulu.“Diana memang selalu cantik, dia pandai merawat diri, tetapi—” Margaret melirik pada putranya yang terlihat frustasi.Megan kembali meminta Margaret untuk fokus ke arah Diana, pemandangan yang semakin terlihat dramatis, “Bu, itu Bu Rose, dia ternyata lebih cantik,” puji Megan tidak bisa berhenti menatap kecantikan Rose.Nicholas yang mendengar nama Rose melihat ke arah pandang ibunya dan Megan. Ia menelan ludah kasar, kecantikan itu begitu alami, senyum yang tulus dan Nicholas merasakan jantungnya berdegup kencang.‘Sialan, kenapa aku masih berdebar ketika bertemu dengannya,’ batin Nicholas.Ia menghabiskan minumannya dan meninggalkan meja miliknya. Ia berjalan keluar untuk sekedar menenangkan diri sebelum acar benar-benar dimulai.
aDi hari yang telah dinantikan, di gedung pencakar langit itu, berdiri para kolega besar dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan. Mereka terkagum dengan foto keluarga yang dipasang begitu besar di lobi utama.“Wah, ternyata benar kata orang-orang yang pernah melihat. Putri pak William memang sagat cantik, perpaduan ayah dan ibu yang imbang,” bisik para tamu yang tak henti memuji kecantikan Anantha.“Ya, aku tidak akan berbohong, jika putri mereka memang sangat cantik dan pasti sangat beruntung,” balas yang lain.“Benar, apalagi dia adalah keturunan terakhir, kekayaan yang nyonya besar miliki akan turun padanya. Oh, si cantik itu hanya perlu bernapas.”“Anda benar, Tuhan terlalu baik pada keluarga mereka. Hingga hanya menyisakan sedikit saja pada kami.”Mereka semakin masuk ke dalam, semakin menemukan keindahan yang tak terduga, dekorasi yang indah dan sempurna, makanan yang lezat serta minuman-minuman mahal tersedia di setiap meja.Dengan ini mereka yakin jika Matilda benar-be
Tiba di halaman belakang, Diana berjalan dengan wajah tenang, ia harus menerima nasibnya, keluarga ini memang tidak bisa menerima sebaik apa pun dia.Margaret menoleh tatkala mendengar langkah kaki seseorang mendekat. Ia tersenyum le,but dan berdiri menyambut mantan menantunya. Dibandingkan Nicholas, dia jauh lebih banyak salah pada Anantha.“Diana, kemarilah!” panggil Margaret penuh rasa bersalah.“Ibu, bagaimana kabarmu?” Diana memeluk Margaret cukup lama, menahan rasa sesak di dada karena akhirnya bisa memeluk mantan mertuanya.“Ibu, baik-baik saja,” ujar Margaret merasakan hal yang sama, tetapi ia mencoba tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Senang karena akhirnya bisa melihatmu lagi,” ucap Margaret setelah pelukan mereka terlepas, “kamu tinggal di mana, Nicholas—”“Aku memang pindah Ibu,” potong Diana.Mengangguk pelan, Margaret meminta Diana duduk dan menjelaskan dengan pelan tujuan, ia bisa melihat bahwa hidup mantan menantunya baik-baik saja setelah berpisah.“Ibu dengar,