Share

Bab 02 Keresahan Alea

Setelah mulai menenangkan diri, Alea bangkit dan menatap cermin di depannya. Wajah yang merah dan mata bengkak langsung memenuhi pandangan Alea. Ia tertawa sinis saat melihat wajahnya.

“Aku kayak nggak kenal sama diri aku sendiri,” gumam Alea. “Kemana diriku yang dulu. Sekarang aku hanyalah perempuan yang memalukan dan nggak ada gunanya.”

Alea menunduk dan menghela napas. “Udahlah ... Menyesal juga nggak ada artinya, yang penting aku harus siap lewatin semuanya dan berusaha buat kasih yang terbaik untuk ke depannya. Ya ... aku harus semangat apapun yang terjadi.”

Alea berusaha menyemangati dirinya sendiri, moodnya pun sudah membaik. Alea memilih keluar dari kamar mandi.

"Kamu masih di sini?" tanya Alea saat melihat Bram masih duduk di sofa. Hanya dehaman yang terdengar sama Alea.

"Sebenarnya apa sih yang kamu khawatirkan? Saya udah kasih semuanya buat kamu dan kamu tinggal duduk manis aja di hidup saya. Tapi kenapa belakangan terakhir kamu malahan mulai berontak? Kamu udah nggak suka sama saya? Kamu butuh uang lebih banyak. Bukannya kamu juga ada dia? Laki-laki lain yang sering kamu temuin selain saya."

Langkah Alea terhenti, dia nggak tahu kalau Bram mengetahui ini semua. Dia menoleh kepada Bram dan jadi panik sendiri. Ia bingung mau menjelaskan dari mana.

"Kenapa panik? Dari awal saya udah bilang jangan pernah main-main sama saya. Untung saja saya tahu kamu cuma bekerja kayak gini demi mendapatkan uang, jadi saya nggak marah."

Bram mendekati Alea dan jari telunjuknya mengangkat wajah Alea, menatap dirinya itu.

"Tapi ... akhir-akhir ini saya merasa kalau kamu sudah tida seperti itu? Saya udah kasih kamu uang jauh lebih banyak juga, tapi apa? Saya malah mendengar kalau kamu mau mengakhiri hubungan ini? Atas dasar apa? Apa karena kamu mau memiliki hubungan resmi sama dia? Atau karena kamu yang mulai bosan sama saya, dan mau cari laki-laki lain?" ujar Bram dengan geram, ia berusaha tetap menjaga intonasi suaranya agar tidak kelepasan seperti kemarin.

Alea menggeleng.

"Selain itu, saya jauh lebih banyak uang dibandingkan laki-laki itu. Jadi tinggalkan dia dan saya juga akan tinggalkan istri saya. Kita bisa menikah bersama. Bukankah itu ide yang bagus?"

Alea mendekati Bram dan menggenggam tangan laki-laki itu saat berkata, "Mas ... bukan itu masalahnya. Di sini aku cuma mau merubah semuanya. Aku nggak mau jadi duri di pernikahan kamu. Aku nggak mau ada perempuan lain yang tersakiti karena aku.”

“Hmm ... berubah? Mendadak kayak gini?” Bram menggeleng. “Terlalu aneh buat saya dan juga kamu tahu siapa saya kan? Saya punya banyak koneksi. Saya dikenal banyak orang jadi kalau kamu main-main sama saya. Jangan kaget kalau saya hancurin hidup keluarga kamu atau bahkan laki-laki itu?”

“JANGAN!” teriak Alea.

Alis Bram terangkat.

"Aku tahu, aku udah salah dari awal. Aku yang memulai semuanya dan sekarang aku mau semuanya berhenti. Aku yang gini bukan karena laki-laki itu. Aku mau berhenti. Kamu harusnya paham dan mengerti sama keputusan aku,” lanjut Alea, ia berusaha menjelaskan alasannya meninggalkan Bram dengan lembut, dan berharap Bram bisa menerimanya.

Alea terdiam saat Bram mendekat dan memeluk tubuhnya.

"Nggak bisa sayang. Saya udah menyukai kamu luar dalam dan sekarang kamu malah minta mas pergi? Nggak bisa ... semua tentang kamu sudah menjadi candu bagi mas, apalagi tubuh kamu. Saya nggak bisa ninggalin kamu,” ujar Bram sambil mengelus-ngelus lengan Alea.

Alea menyentak tubuh Bram yang mulai merambat kemana-mana dan melepas pelukan. Ia menatap wajah Bram dengan tatapan penuh harap lalu menggeleng, "mas ... salah satu alasan aku mau pergi ya begini. Aku nggak bisa terus sama kamu. Karena apa? Karena yang kamu butuhin juga tubuh aku doang, bukan perasaan aku."

Bram terdiam. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan perempuan di depannya. Perempuan ini hanyalah wanita simpanannya, jadi seharusnya Alea sadar kalau ia hanya mau tubuhnya dan tidak banyak menuntut seperti ini.

"Jujur mas ... kamu nggak secinta itu kan sama aku?! Aku cuma jadi pelampiasan kamu doang. Kamu ngomong mau pisah sama istri kamu dari dulu, tapi sampai sekarang apa yang terjadi? Nggak ada tuh ... kamu gak ada niatan buat pisah sama dia,” ujar Alea sambil berbalik, perasaannya benar-benar hancur sehingga ia pun tak bisa menjelaskan apapun.

"Aku ini sama aja kayak hewan di mata kamu. Aku cuma kamu temuin pas istri kamu itu pergi. Kamu nggak pernah tuh mau tinggal di sini sama aku selama satu minggu full,” ucap Alea sambil menangis.

"Sayang ... bukan begitu. Saya mau kok pisah sama istri mas. Tapi semua itu butuh waktu, dan nggak instan sama sekali, jadi sabar ya," ujar Bram berusaha menenangkan Alea dengan janji palsunya.

Sampai kapan Alea harus sabar? Bahkan selama ini dia cuma bisa memendam rasa sakit sendirian. Ia nggak punya teman cerita sama sekali. Semuanya memandang jijik dirinya.

Ia benar-benar tertekan selama ini dan puncaknya adalah pembicaraan istri Bram dengan Bram. Alea benar-benar ketakutan. Dia mau pergi dan memulai hidup barunya, tapi kenapa malah begini?

"Aku yang menderita sendirian di sini. Tapi kamu nggak paham. Sekarang aku cuma mau kita pisah dan kamu malah nolak? Mau kamu apa?!" teriak Alea. Ia benar -benar sudah tidak peduli dan ingin pergi dari Bram. Ia tidak ingin lagi menjadi perempuan hina.

Bram naik pitam sendiri, menarik tubuh Alea sehingga perempuan itu menghadap ke arah dirinya lagi.

"Kalau kamu tersiksa, kenapa Chris-Chris itu juga jadi pelanggan kamu?!" bentak Bram dengan nada suara meninggi.

"Aku bukan perempuan malam, mas!" pekik Alea dengan napas memburu. "Dia itu cuma teman aku. Dia cuma cerita masalah dia doang, kita nggak sejauh yang kamu pikirin. Dia juga nggak kayak kamu yang cuma butuh tubuh aku doang. Kalian beda—

PLAK! Suara tamparan memekak dikesunyian apartemen itu, Alea menatap tidak percaya pada Bram. "Apa-apaan kamu?!" seru Alea sambil memegang pipinya yang mulai berwarna merah.

"Kamu yang apa-apaan?! Banding-bandingin aku sama laki-laki lain. Udah di kasih berapa kamu sama dia?!" Bram mendekat dan mencengkram kuat lengan Alea.

“Nggak usah sok suci! Kamu cuma perempuan nggak bener yang cari uang dengan tubuh kamu itu! Nggak usah sok nyesel juga kalau kamu sendiri yang udah mulai semuanya!" lanjut bram sambil mengecangkan pegangannya pada Alea.

"KAMU JUGA NGGAK USAH SOK SUCI. KAMU MAU KAN TUBUH AKU! KAMU JUGA NGGAK BISA NINGGALIN AKU. KITA SAMA-SAMA SALAH JADI JANGAN SALAHIN AKU DOANG!" teriak Alea dengan membabi buta, ia benar-benar tidak peduli meski suaranya akan terdengar oleh tetangganya.

"Tapi saya nggak pernah minta buat pisah kan? Saya mau kamu terus di sisi saya," balas Bram sambil berusaha membuat Alea tenang.

"Mas siap nggak nikahin aku?!" tanya Alea sambil melihat nyalang ke arah Bram. Alea hanya bisa tertawa saat Bram cuma bisa diam aja. Laki-laki itu tidak membalas sama sekali. Dia sudah tahu kalau pada akhirnya bakalan begini.

Bram selalu aja memakai kata pisah dengan istrinya untuk membuat Alea yakin dan dengan bodohnya Alea akan terus percaya. Walau alurnya tetap sama, semuanya berakhir bohongan. Dia sama sekali nggak pernah melihat Bram mengurus perceraiannya sama sekali.

Ah, betapa bodoh dirinya.

Di tengah keheningan, suara bel apartemen membuat Alea menoleh. Siapa yang datang? Ia sama sekali nggak pernah membuat janji sama siapa-siapa.

Dengan bingung, Alea melangkah ke arah luar dan membuka pintu apartemen miliknya.

Jantungnya langsung di buat berdegup kencang. Sesaat melihat laki-laki yang ada di sana. Ia menelan Saliva dan sedikit menoleh ke arah dalam apartemennya.

"Chris?" ujar Alea dengan gugup.

"Alea ... kemana aja kamu? Abang khawatir banget tahu nggak sih! Dari semalam kamu nggak bisa di hubungin sama sekali." Suara Chris berhenti dan menatap laki-laki yang berdiri di belakang Alea.

"Siapa dia?" lanjut Chris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status