Setelah mulai menenangkan diri, Alea bangkit dan menatap cermin di depannya. Wajah yang merah dan mata bengkak langsung memenuhi pandangan Alea. Ia tertawa sinis saat melihat wajahnya.
“Aku kayak nggak kenal sama diri aku sendiri,” gumam Alea. “Kemana diriku yang dulu. Sekarang aku hanyalah perempuan yang memalukan dan nggak ada gunanya.”
Alea menunduk dan menghela napas. “Udahlah ... Menyesal juga nggak ada artinya, yang penting aku harus siap lewatin semuanya dan berusaha buat kasih yang terbaik untuk ke depannya. Ya ... aku harus semangat apapun yang terjadi.”
Alea berusaha menyemangati dirinya sendiri, moodnya pun sudah membaik. Alea memilih keluar dari kamar mandi.
"Kamu masih di sini?" tanya Alea saat melihat Bram masih duduk di sofa. Hanya dehaman yang terdengar sama Alea.
"Sebenarnya apa sih yang kamu khawatirkan? Saya udah kasih semuanya buat kamu dan kamu tinggal duduk manis aja di hidup saya. Tapi kenapa belakangan terakhir kamu malahan mulai berontak? Kamu udah nggak suka sama saya? Kamu butuh uang lebih banyak. Bukannya kamu juga ada dia? Laki-laki lain yang sering kamu temuin selain saya."
Langkah Alea terhenti, dia nggak tahu kalau Bram mengetahui ini semua. Dia menoleh kepada Bram dan jadi panik sendiri. Ia bingung mau menjelaskan dari mana.
"Kenapa panik? Dari awal saya udah bilang jangan pernah main-main sama saya. Untung saja saya tahu kamu cuma bekerja kayak gini demi mendapatkan uang, jadi saya nggak marah."
Bram mendekati Alea dan jari telunjuknya mengangkat wajah Alea, menatap dirinya itu.
"Tapi ... akhir-akhir ini saya merasa kalau kamu sudah tida seperti itu? Saya udah kasih kamu uang jauh lebih banyak juga, tapi apa? Saya malah mendengar kalau kamu mau mengakhiri hubungan ini? Atas dasar apa? Apa karena kamu mau memiliki hubungan resmi sama dia? Atau karena kamu yang mulai bosan sama saya, dan mau cari laki-laki lain?" ujar Bram dengan geram, ia berusaha tetap menjaga intonasi suaranya agar tidak kelepasan seperti kemarin.
Alea menggeleng.
"Selain itu, saya jauh lebih banyak uang dibandingkan laki-laki itu. Jadi tinggalkan dia dan saya juga akan tinggalkan istri saya. Kita bisa menikah bersama. Bukankah itu ide yang bagus?"
Alea mendekati Bram dan menggenggam tangan laki-laki itu saat berkata, "Mas ... bukan itu masalahnya. Di sini aku cuma mau merubah semuanya. Aku nggak mau jadi duri di pernikahan kamu. Aku nggak mau ada perempuan lain yang tersakiti karena aku.”
“Hmm ... berubah? Mendadak kayak gini?” Bram menggeleng. “Terlalu aneh buat saya dan juga kamu tahu siapa saya kan? Saya punya banyak koneksi. Saya dikenal banyak orang jadi kalau kamu main-main sama saya. Jangan kaget kalau saya hancurin hidup keluarga kamu atau bahkan laki-laki itu?”
“JANGAN!” teriak Alea.
Alis Bram terangkat.
"Aku tahu, aku udah salah dari awal. Aku yang memulai semuanya dan sekarang aku mau semuanya berhenti. Aku yang gini bukan karena laki-laki itu. Aku mau berhenti. Kamu harusnya paham dan mengerti sama keputusan aku,” lanjut Alea, ia berusaha menjelaskan alasannya meninggalkan Bram dengan lembut, dan berharap Bram bisa menerimanya.
Alea terdiam saat Bram mendekat dan memeluk tubuhnya.
"Nggak bisa sayang. Saya udah menyukai kamu luar dalam dan sekarang kamu malah minta mas pergi? Nggak bisa ... semua tentang kamu sudah menjadi candu bagi mas, apalagi tubuh kamu. Saya nggak bisa ninggalin kamu,” ujar Bram sambil mengelus-ngelus lengan Alea.
Alea menyentak tubuh Bram yang mulai merambat kemana-mana dan melepas pelukan. Ia menatap wajah Bram dengan tatapan penuh harap lalu menggeleng, "mas ... salah satu alasan aku mau pergi ya begini. Aku nggak bisa terus sama kamu. Karena apa? Karena yang kamu butuhin juga tubuh aku doang, bukan perasaan aku."
Bram terdiam. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan perempuan di depannya. Perempuan ini hanyalah wanita simpanannya, jadi seharusnya Alea sadar kalau ia hanya mau tubuhnya dan tidak banyak menuntut seperti ini.
"Jujur mas ... kamu nggak secinta itu kan sama aku?! Aku cuma jadi pelampiasan kamu doang. Kamu ngomong mau pisah sama istri kamu dari dulu, tapi sampai sekarang apa yang terjadi? Nggak ada tuh ... kamu gak ada niatan buat pisah sama dia,” ujar Alea sambil berbalik, perasaannya benar-benar hancur sehingga ia pun tak bisa menjelaskan apapun.
"Aku ini sama aja kayak hewan di mata kamu. Aku cuma kamu temuin pas istri kamu itu pergi. Kamu nggak pernah tuh mau tinggal di sini sama aku selama satu minggu full,” ucap Alea sambil menangis.
"Sayang ... bukan begitu. Saya mau kok pisah sama istri mas. Tapi semua itu butuh waktu, dan nggak instan sama sekali, jadi sabar ya," ujar Bram berusaha menenangkan Alea dengan janji palsunya.
Sampai kapan Alea harus sabar? Bahkan selama ini dia cuma bisa memendam rasa sakit sendirian. Ia nggak punya teman cerita sama sekali. Semuanya memandang jijik dirinya.
Ia benar-benar tertekan selama ini dan puncaknya adalah pembicaraan istri Bram dengan Bram. Alea benar-benar ketakutan. Dia mau pergi dan memulai hidup barunya, tapi kenapa malah begini?
"Aku yang menderita sendirian di sini. Tapi kamu nggak paham. Sekarang aku cuma mau kita pisah dan kamu malah nolak? Mau kamu apa?!" teriak Alea. Ia benar -benar sudah tidak peduli dan ingin pergi dari Bram. Ia tidak ingin lagi menjadi perempuan hina.
Bram naik pitam sendiri, menarik tubuh Alea sehingga perempuan itu menghadap ke arah dirinya lagi.
"Kalau kamu tersiksa, kenapa Chris-Chris itu juga jadi pelanggan kamu?!" bentak Bram dengan nada suara meninggi.
"Aku bukan perempuan malam, mas!" pekik Alea dengan napas memburu. "Dia itu cuma teman aku. Dia cuma cerita masalah dia doang, kita nggak sejauh yang kamu pikirin. Dia juga nggak kayak kamu yang cuma butuh tubuh aku doang. Kalian beda—
PLAK! Suara tamparan memekak dikesunyian apartemen itu, Alea menatap tidak percaya pada Bram. "Apa-apaan kamu?!" seru Alea sambil memegang pipinya yang mulai berwarna merah.
"Kamu yang apa-apaan?! Banding-bandingin aku sama laki-laki lain. Udah di kasih berapa kamu sama dia?!" Bram mendekat dan mencengkram kuat lengan Alea.
“Nggak usah sok suci! Kamu cuma perempuan nggak bener yang cari uang dengan tubuh kamu itu! Nggak usah sok nyesel juga kalau kamu sendiri yang udah mulai semuanya!" lanjut bram sambil mengecangkan pegangannya pada Alea.
"KAMU JUGA NGGAK USAH SOK SUCI. KAMU MAU KAN TUBUH AKU! KAMU JUGA NGGAK BISA NINGGALIN AKU. KITA SAMA-SAMA SALAH JADI JANGAN SALAHIN AKU DOANG!" teriak Alea dengan membabi buta, ia benar-benar tidak peduli meski suaranya akan terdengar oleh tetangganya.
"Tapi saya nggak pernah minta buat pisah kan? Saya mau kamu terus di sisi saya," balas Bram sambil berusaha membuat Alea tenang.
"Mas siap nggak nikahin aku?!" tanya Alea sambil melihat nyalang ke arah Bram. Alea hanya bisa tertawa saat Bram cuma bisa diam aja. Laki-laki itu tidak membalas sama sekali. Dia sudah tahu kalau pada akhirnya bakalan begini.
Bram selalu aja memakai kata pisah dengan istrinya untuk membuat Alea yakin dan dengan bodohnya Alea akan terus percaya. Walau alurnya tetap sama, semuanya berakhir bohongan. Dia sama sekali nggak pernah melihat Bram mengurus perceraiannya sama sekali.
Ah, betapa bodoh dirinya.
Di tengah keheningan, suara bel apartemen membuat Alea menoleh. Siapa yang datang? Ia sama sekali nggak pernah membuat janji sama siapa-siapa.
Dengan bingung, Alea melangkah ke arah luar dan membuka pintu apartemen miliknya.
Jantungnya langsung di buat berdegup kencang. Sesaat melihat laki-laki yang ada di sana. Ia menelan Saliva dan sedikit menoleh ke arah dalam apartemennya.
"Chris?" ujar Alea dengan gugup.
"Alea ... kemana aja kamu? Abang khawatir banget tahu nggak sih! Dari semalam kamu nggak bisa di hubungin sama sekali." Suara Chris berhenti dan menatap laki-laki yang berdiri di belakang Alea.
"Siapa dia?" lanjut Chris.
Alea nggak tahu kalau akhirnya akan begini. Dua laki-laki yang singgah di hidupnya akan bertemu satu sama lain. Berdiri saling berhadapan dan menatap dengan penuh tanda tanya serta pandangan yang berbeda. Bram yang marah dan Chris yang ingin tahu siapa laki-laki itu.Tidak ingin membuat suasana kacau, Alea langsung menarik keduanya masuk ke dalam apartemen dan menutup pintu dari dalam."Alea ... bisakah kamu jelasin siapa dia? Dan kenapa bisa ada di dalam apartemen kamu?" tanya Chris dengan tegas. “Bukannya kamu benci ada orang asing di apartemenmu?” lanjut Chris tanpa basa-basi.“Asing?” seru Bram dengan kesal. “Apa orang yang membelikan apartemen ini untuk Alea masih termasuk orang asing?”Alea menatap bingung. Lidahnya kelu, nggak tahu harus menjelaskan apa sama Chris tentang Bram. Ia nggak mungkin jujur gitu aja. Ia takut ... mengecewakan salah satu dari mereka."Kenalkan ... saya adalah pacar Alea," jelas Bram dengan tegas sambil menjabat tangan Chris. "Saya yang selama ini mengh
Bram dan Chris.Dua laki-laki yang membuat Alea selalu pusing. Tingkah yang berbeda membuat Alea terkadang merasa hidupnya jadi terkekang. Karena mereka juga gerak hidupnya terbatas bahkan ia nggak bisa bergerak bebas karena ulah mereka dan kini?Dua orang itu malahan ada di depannya. Saling memendam perasaan emosi satu sama lain. Menyisakan Alea yang bingung harus berbuat apa sama mereka. Karena nggak ada yang berniat meninggalkan apartemennya sama sekali.“Aku nggak tahu lagi harus jelasin apa sama kalian, dari tadi kalian cuma diam aja dan nggak ada yang mau dengerin aku sama sekali. Kalian juga nggak ada niatan mau ngomong apapun.”Alea mengangkat dua tangannya.“Sekarang terserah kalian deh, aku nggak bakalan ngurus lagi. Mau mas Bram dan abang Chris pulang juga silahkan. Atau kalian berdua mau berantem juga nggak masalah.”Ia menepuk dadanya dan menarik napas dalam. “Sekarang yang aku butuhin cuma ketenangan. Jadi, harusnya kalian ngerti.” Alea beranjak dan masuk ke dalam kamarn
Alea rasa, baru beberapa waktu yang lalu dia merasakan kebahagiaan. Dia yang memiliki segalanya. Entah itu pangkat kerjaan, uang, kebahagiaan, teman yang banyak seperti Chris dan Bram dan masih banyak lagi.Baru beberapa saat yang lalu dia ada di atas langit. Kini semuanya kembali ke kenyataan. Alea nggak tahu. Tapi semua ini beneran membuat dia benci sama hidupnya sendiri. Ia mau mencari ketenangan dan pergi dari dua laki-laki itu.“Tapi, bisa apa aku? Aku Cuma orang yang terkekang dan nggak bisa apa-apa sama sekali. Aku Cuma bisa diam doang dan ikutin perintah mereka.”Alea menatap dirinya yang udah memakai baju formal.Hari ini dia harus kembali ke rutinitas. Ia harus bekerja dan kembali bertemu sama Bram. Orang yang sebenarnya mau dia hindarin dari lama.“Argh ... bisa nggak sih aku pergi ke dua tahun yang bakalan datang? Aku ogah ah ada di masa ini. Capek aku.”Dengan menggerutu Alea melangkah ke luar kamar apartemennya dan turun ke bawah. Sampai ia malah melihat Bram sedang meny
Selama perjalanan, keheningan hanya menyapa Alea sama Bram. Kedua orang itu sama sekali nggak ada yang memulai bicara sama sekali. Karena mereka paham, pada akhirnya mereka hanya akan bertengkar satu sama lain setiap mau mulai membuka pembicaraan.Sampai mobil Bram berhenti di sebuah pusat perbelanjaan.“Kamu beli apa pun yang ada di sana. Bakalan mas bayar. Sekarang nggak ada batasan sama sekali. Kamu bisa bebas mau ambil apa aja. Asal kamu nggak ada lagi marah sama mas.”Alea masih aja diam.“Kenapa diam aja kayak gini? Harusnya kamu seneng dong karena saya bebasin kamu. Di saat biasanya mas selalu batesin uang belanja kamu. Apalagi baru beberapa waktu lalu mas kirim uang bulanan buat kamu. Jadi, nggak usah lah cemberut kayak gini. Mas mau liat senyuman kamu. Bukan sifat kamu yang gini.”“Karena bukan ini yang aku mau!”“Pisah? Yang kamu mau kamu pergi kan dari hidup saya? Tapi maaf saja ... karena kemauan saya bukan apa yang kamu mau. Jadi lebih baik diam dan dengarkan apapun perin
“Di mana kamu?”Belum selesai satu masalah. Alea sekarang malah di serbu sama pesan yang dikirim sama Chris. Semua pesannya berisi kata yang sama yaitu menanyakan posisi dirinya. Pesan yang terus dikirim sampai udah puluhan pesan yang masuk ke ponselnya.Alea tidak mengerti kenapa, tapi ini benar-benar berisik membuat dia terpaksa balas semua itu./Berhenti bang ... aku bilang stop tanya aku ini itu. Omongan abang yang kemarin udah buat aku yakin kalau abang nggak mau kenal sama aku lagi. Aku tau kalau abang udah kecewa sama aku. Maka dari itu, udah ya. Berhenti chat aku kayak gini./Dan setelah pesan dikirim, Alea malah mendapat panggilan dari Chris membuat ia menghela napas dalam. Dengan cepat Alea mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum beranjak dari tempatnya kini.“Aku nggak mengerti sama sekali, kenapa bisa terjebak oleh dua orang yang benar-benar posesif. Aku nggak tahu kalau mereka bakalan sampai sejauh ini.”Alea mengacak rambutnya dan menghela napas. Ia nggak p
“Harus cari di mana uang sebanyak lima puluh juta?” Alea memeluk kakinya dan menarik napas dalam. “Lima puluh juta cuma untuk yang satu ini. Aku harus juga nyiapin sepuluh juta buat bayar hutang sama bunganya. Belum masing-masing lima juta buat uang jajan ibu sama bapak tiap bulannya.”“Dapet dari mana uang sebanyak itu?”Alea kembali menangis. Meratapi kisah hidupnya yang nggak pernah selesai.“Kapan aku bisa jadi orang kaya? Biar hal kayak gini nggak buat aku pusing lagi. Biar aku tahu harus nyelesain seperti apa kalau udah sejauh ini. Biar aku tau kalau aku juga berguna bagi orang tua aku.”Alea memandang langit yang sangat cerah.Teringat jelas masalah yang membuat dia ingin pergi dari hidup Bram.“Kalau kayak gini, aku bisa apa? Aku cuma bisa berakhir minta maaf sama mas Bram atas sikap aku. Biar aku bisa minta apa pun yang aku butuh. Biar mas Bram juga nggak ungkit semua masalah ini lagi.”Alea menarik napas dalam. Tangannya terulur meninju udara kosong. Ia benar-benar marah sam
“Alea ... apa kamu nggak mau mikir lebih dulu?”Hati Alea semakin ragu. Bayangan akan semua kebaikan Chris terus menghantui dirinya. Alea memang jatuh cinta sama Bram tapi dia juga nggak bisa memungkiri kalau bersama Chris dia jauh merasa aman. Seperti sosok kakak yang benar-benar menjaga adiknya dengan sangat hati-hati.Tapi bayangan tentang semua hutang orang tua membuat dia langsung menggeleng.“Maaf bang ... Abang bisa cari perempuan lain yang juga cinta sama abang. Pasti nggak susah kok. Apalagi abang tuh baik banget. Jadi, aku tuh yakin banget kalau abang bakalan dapat yang terbaik. Aku beneran seyakin itu ...”Chris melepas genggaman tangannya sambil melangkah mundur.“Berhenti jatuh cinta sama aku ya, bang.” Alea benar-benar memohon.Chris tertawa lirih dan menggeleng. “Mungkin gampang kamu ngomong kayak gitu. Kamu gak pernah merasakan apa yang abang rasakan selama ini. Kamu boleh suruh abang pergi tapi nyuruh abang biar nggak jatuh cinta sama kamu tuh egois banget. Nggak bisa
“TAHU DARI MANA KAMU!” seru Alea saat mereka udah di dalam lift, hanya berdua.“Udah bukan rahasia umum lagi sih. Lagian kamu memang ada tampang pelakor sih. Yaa namanya juga dari kampung. Pastinya kamu milih berbagai cara untuk mendapat apapun yang kamu mau. Tapi ya kalau sampai sejauh ini sih ... benar-benar memalukan.”Alea menatap bengis.“Nggak usah sok tahu, kamu! Maksudnya nggak usah ikut campur sama perempuan lain.”“YA ... memang nggak ada niatan ikut campur sih. Cuma geregetan aja sama kamu. Bisa-bisanya kamu lakuin hal jahat itu sama nona yang super baik itu. Atau ... memang kamu tuh nggak bakalan peduli sih sama hal kayak gini. Memang nggak punya hati nurani sama wanita lain. Dasar ...”Alea terdiam membuat perempuan itu semakin menggebu.“Dengar ya Alea ... kita semua di sini tuh udah pada tahu apa yang terjadi antara kamu sama tuan Bram. Tapi kita memang nggak mau ikut campur. Karena kita jelas tahu, orang yang punya banyak uang akan berakhir menang di banding kami. Aku