Bram dan Chris.
Dua laki-laki yang membuat Alea selalu pusing. Tingkah yang berbeda membuat Alea terkadang merasa hidupnya jadi terkekang. Karena mereka juga gerak hidupnya terbatas bahkan ia nggak bisa bergerak bebas karena ulah mereka dan kini?
Dua orang itu malahan ada di depannya. Saling memendam perasaan emosi satu sama lain. Menyisakan Alea yang bingung harus berbuat apa sama mereka. Karena nggak ada yang berniat meninggalkan apartemennya sama sekali.
“Aku nggak tahu lagi harus jelasin apa sama kalian, dari tadi kalian cuma diam aja dan nggak ada yang mau dengerin aku sama sekali. Kalian juga nggak ada niatan mau ngomong apapun.”
Alea mengangkat dua tangannya.
“Sekarang terserah kalian deh, aku nggak bakalan ngurus lagi. Mau mas Bram dan abang Chris pulang juga silahkan. Atau kalian berdua mau berantem juga nggak masalah.”
Ia menepuk dadanya dan menarik napas dalam. “Sekarang yang aku butuhin cuma ketenangan. Jadi, harusnya kalian ngerti.” Alea beranjak dan masuk ke dalam kamarnya.
Eforia masuk kamar membuat pertahanan Alea runtuh. Jiwa sok kuatnya hilang entah kemana dan kini ia tengkurap di tempat tidurnya. Kembali menangis.
“Kenapa akhir-akhir ini semua masalah datang ke hidup aku? Apa Tuhan sudah muak sama apa yang aku lakuin. Apa selama ini aku udah berlebihan banget ya?”
Satu detik kemudian Alea menggeleng dan tertawa miris.
“Ngapain aku tanya lagi? Aku udah buat banyak orang terluka. Ya berarti aku itu udah sejauh itu dan berlebihan banget dalam lakuin hal ini. Yaa ... mungkin bisa di bilang udah diambang batas hidup aku dan sekarang semuanya udah terbalas juga kan?”
“Tapi ... kenapa semuanya berbarengan kayak gini?” ucapnya dengan gemetar. Ia kembali menangis lirih.
Padahal dulu,
Alea menganal Bram jauh lebih lama ketimbang Chris. Chris dulunya hanya tamu di club tempat yang sering ia datangi dan ia mengenal dirinya karena secara nggak langsung terlibat perbincangan dan ternyata mereka punya kesukaan yang sama. Membuat keduanya jauh semakin dekat.
Sayangnya, kedekatan ini mulai di salah artikan sama Chris. Laki-laki itu menganggap spesial dan tanpa hubungan sama sekali, Chris malah bersikap posesif. Tapi ini masih bisa di atur sama Alea. Toh perempuan itu juga merasa dia butuh laki-laki yang menjaganya dan juga Chris masih bisa di bodohi kok. Untuk menghasilkan uang bagi dirinya.
Sayangnya,
Kedekatan ini juga sering di salah artikan semua orang. Karena kenyataannya Alea nggak pernah pergi sejauh itu sama Chris. Dia nggak pernah melakukan hal yang aneh sama Chris. Dia hanya seorang perempuan yang butuh teman cerita. Dan Chris menawarkan tempat itu pada dirinya.
Mereka saling memberikan manfaat.
Berbeda sana Bram,
Mereka udah melangkah sejauh itu. Mereka udah ngelakuin hal yang benar-benar jahat bagi semua orang. Bahkan siapa pun yang tahu apa yang udah di lakuin mereka. Pasti mereka bakalan mengutuk Alea sama Bram.
Sifat Bram sama Chris sangat bertolak belakang. Meskipun begitu. Mereka sama-sama mengekang Alea. Perempuan itu nyaris nggak bisa bebas karena mereka. Entah Bram yang memasang CCTV di rumah ini atau Chris yang menaruh GPS di ponselnya.
Gerak Alea sangat terbatas dan kini ia baru sadar kalau harus lepas dari mereka. Kalau dirinya mau bahagia.
“Tapi ... gimana hidup aku ke depannya? Tanpa mereka pasti nggak bakalan ada uang yang ngalir ke aku,” ucap Alea dengan sangat pelan. Ia menarik napas dalam dan menggeleng kecil. “Aku nggak tahu harus apa. Seakan semuanya buntu dan aku nggak mau melepas salah satu di antara mereka.”
Alea menunduk. “Aku tahu, aku salah. Tapi sulit rasanya lepas dari semuanya.”
“Alea?” suara Bram terdengar lalu di susul ketukan pada pintu.
Alea spontan mengusap wajahnya dengan kasar. Menghapus air mata yang turun di sana. Ia nggak mau kelihatan habis menangis di depan mereka dan buat Bram sama Chris merasa dirinya lemah. Kalau begitu yang ada mereka bakalan semakin menindas dirinya.
“Alea cepat buka, ada yang mau saya bicarakan.”
Suara kenop pintu yang dibuka membuat Alea kini melihat wajah Bram di depannya. “Ada apa?”
“Saya ada urusan dulu, kamu nggak apa-apa kan saya tinggal?” seru Bram sambil menatap khawatir. “Ini bukan karena saya nggak peduli sama kamu. Tapi saya beneran ada urusan yang nggak bisa di tinggalin.”
“Ya udah ... memang apa yang salah? Biasanya juga kamu main pergi aja kan?” seru Alea tanpa takut sama sekali. “Biasanya kamu nggak pernah izin dan langsung hilang aja dari pandangan aku. Jadi untuk apa izin kayak gini?”
“Bukannya gitu,” seru Bram yang semakin kencang ngomongnya sambil melirik Chris. “Saya nggak percaya sama laki-laki yang ada di sini. Kalau kamu sendirian juga mas nggak bisa apa-apa. Toh kamu lagi marah. Tapi ini ada dia,” sindir Bram membuat Chris menoleh.
“Anda kenapa? Marah sama saya? Nyindir ... tadi saya udah ngajak anda untuk bicara berdua. Dari mata ke mata. Tapi andanya aja yang nggak gantle sama sekali. Anda sendiri malahan nggak mau dan mangkir terus.”
“Buat apa bicara sama orang yang kayak anda? Nggak ada gunanya sama sekali.”
“ITU NAMANYA ANDA YANG NGGAK GANTLE!”
“BERHENTI!” seru Alea sambil menarik Bram. Dia nggak mau sampai ada keributan di apartemennya.
“Kamu bela dia?” marah Bram.
“Bukan mas ... aku nggak mau kalian menyelesaikan masalah dengan amarah. Aku nggak mau sampai buat masalah lagi dan aku nggak mau orang-orang datang Cuma karena ini.”
Alea menatap dua laki-laki di depannya.
“Sekarang kalian keluar dari apartemen aku! Aku lagi nggak mau ditemuin sama siapa-siapa. Jadi kalian pergi aja, nggak usah diam di sini dulu. Karena aku nggak bakalan samperin kalian sampai kapanpun!” ucap Alea. “Setidaknya untuk sekarang,” lanjut Alea dengan pelan.
Chris memandang nggak suka.
“Masih ada yang abang mau bicarain sama kamu,” jelas Chris dengan memohon. “Kamu belum ceritain semuanya kan? Abang yakin kalau kamu nggak seperti yang kamu bilang tadi. Pasti ada yang paksa kamu kan? Abang tahu kalau Alea yang abang kenal nggak mungkin lakuin itu tanpa ada suatu hal. Atau paksaan dari orang lain.”
Alea menggeleng dan tersenyum miris.
“Nggak bang ... aku memang perempuan nakal kalau abang harus tahu. Semua omongan yang tadi abang dengar memang benar adanya. Abang nggak salah dengar sama sekali.”
“Alea ...”
“Sudah-sudah, nggak usah sok paling sedih. Memang kenyataannya kalau Alea kayak gitu. Dia itu milik saya! Nggak usah perpanjang lagi.”
Bram sama Chris malah terlibat adu mulut lagi membuat Alea hanya bisa menggelengkan kepala dan menutup kupingnya yang sakit karena suara mereka.
“BERHENTI,” pekik Alea membuat dua pria itu langsung meneh ke arah dirinya
Tanpa ampun Alea langsung mendorong mereka. Entah kekuatan dari mana, tapi kedua pria itu terdorong hingga keluar pintu apartemennya.
“Kalian pergi saja!” pekik Alea yang sudah tidak tahan. “Kalau mau berantem ya di depan aja. Nggak usah di sini. Aku muak sama kalian. Aku benci!”
Keduanya hanya terdiam di depan pintu sambil menatap terkejut ke Alea.
“Cukup. Jangan buat aku semakin pusing karena kalian. Aku nggak mau menambah beban pikiran aku lagi,” seru Alea lalu menangis. “Aku mohon.”
“Alea ...
Belum sempat mendengar, Alea langsung menutup pintu dengan kencang dan menggeleng.
“Aku muak.”
Sekarang udah jam setengah satu malam tapi orang yang berjanji akan datang belum menampakkan diri sama sekali. Sementara itu, Alea memeluk dirinya sendiri dan menarik napas dalam. Dia sungguh nggak paham kenapa mau aja datang kesini. Dengan keadaan dirinya seorang diri, perempuan dan ada di tempat yang cukup sepi.Alea mengaduk kopi hangat yang ia pesan dan mengusap tubuhnya itu.“Huh ... kemana lagi, dia yang bikin janji. Tapi aku yang harus nunggu.” Perempuan itu hanya bisa diam dan memangku wajahnya dengan salah satu lengannya yang kosong. “Di sini tuh sebenarnya aku penasaran banget deh ... dari kecil kenapa aku selalu nggak di hargain kayak gini sih? Kayak ... setiap orang nggak bisa gitu ngehargain apa yang aku—Teng ...Suara lonceng yang beradu dengan pintu membuat Alea mengalihkan pandangan dan ia langsung tersenyum lega saat melihat Bram yang masuk ke dalam. Laki-laki itu langsung melambaikan tangan ke arah dirinya dan mesan makanan sebelum duduk di hadapannya.“Ada apa?”Ke
Semakin hari, hidup Alea hanya terus mikirin omongan Tiara saja. Pada awalnya Alea memilih untuk nggak cerita sama Bram karena dia rasa, dirinya bisa melewati ini sendirian. Tapi semakin di pikirin sendiri, yang Alea dapatkan hanyalah kepusingan sendiri aja. Dan kini dia nggak tahu harus melakukan apa lagi.Ia menyerah ...Alea mengeluarkan ponselnya dan memilih menghubungi Bram. Dia butuh Bram di saat seperti ini. Tapi akhir-akhir ini Bram sulit sekali untuk di hubungi. Bahkan laki-laki itu nggak sempat untuk sekedar datang ke apartemen.“Ck ... kemana sih?”Alea terus menggerutu. Beberapa panggilan yang masuk. Nggak ada yang di angkat sama sekali. Ia menoleh dan melihat jam nunjuk pukul tujuh malam dan seharusnya Bram itu udah ada di rumahnya.“Kalau memang dia udah fokus sama istrinya itu dan nggak butuh aku. Aku bisa pergi. Walaupun aku belum siap kehilangan kebahagiaan ini. Tetap aja kalau Mas Bram sendiri yang minta. Aku beneran bakalan pergi karena jarang sekali mas Bram yang b
Alea speechless. Bahkan ia nggak tahu harus menjawab apa. Semuanya terlalu tiba-tiba dan satu pertanyaan yang hinggap di benak dia. Kenapa di antara banyaknya perempuan harus dia? Diantara banyaknya orang yang ada di sekeliling Bram, terus harus dia yang di pinta seperti ini?Kenapa ...“Alea?” panggil Tiara sambil mengguncang tubuh Alea hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Kamu melamun? Kamu nggak dengar cerita saya dari tadi?”Alea langsung menggeleng.“Saya turut sedih sama apa yang di alamin sama nona,” ucap Alea yang kembali formal merasa perbincangan mereka cukup serius. “Saya nggak mengira kalau tuan yang segitu bucinnya sama nona ternyata bisa selingkuh. Tapi di sini saya masih nggak paham kenapa nona meminta bantuan saya di saat saya itu pegawai tuan yang berarti saya fokusnya sama pekerjaan bukannya sama tingkah laku tuan Bram.”“Kamu kan sekretarisnya.”“Lalu?”Tiara menghela napas dalam dan menatap serius ke arah Alea.“Gini deh ... di antara seluruh pegawai mas
Makan malam berjalan lancar. Mungkin itu bagi Tiara sama Bram. Karena tanpa mereka sadari ada yang menahan rasa sakit hatinya sejak tadi karena ucapan Tiara yang terus tak terkontrol dan entah kenapa karena semua itu. Alea makin yakin kalau Tiara tau sesuatu dan sengaja mengundang dirinya hanya untuk membuat dia jadi sakit hati saja.“Ini udah jam sembilan malam, kamu masih mau Alea di sini atau suruh supir siap-siap biar antar dia pulang?”“Kayaknya ... aku mau Alea nginap di sini aja deh, mas!” seru Tiara dengan cepat sambil meluk lengan suaminya. “Boleh ya mas ... aku beneran seneng banget, akhirnya ada teman di sini. Setelah yang kamu tau aku ini selalu cari teman selama ini. Tapi pada akhirnya aku bisa ada di titik ini. Boleh ya .. aku beneran nyaman banget sama bawahan kamu ini.”Alea terdiam hanya bisa menatap mereka tanpa mengatakan apa-apa. Ia hanya ingin pulang tapi apa daya kalau Tiara malah mengatakan seperti itu? Membuat dirinya semakin susah pergi dari sini dan terjebak
Alea mendongak dan di depannya sudah ada rumah yang benar-benar besar. Mungkin bukan rumah? Tapi lebih ke mansion. Tapi apa pun itu, Alea dibuat minder saat dirinya mulai melangkah masuk dan disapa oleh beberapa pelayan yang berdiri di depan pintu rumah.Ia meneguk saliva dan tersenyum canggung menyapa mereka semua, lalu dia digiring masuk sampai seruan yang sangat ia kenal membuat Alea mendongak.“Alea! Akhirnya kamu datang. Ya ampun ... aku kira kamu nggak mau datang. Udah pesimis banget nih. Eh ternyata kamu datang juga. Seneng banget.”“Aku-kamu?”Tiara mengangguk dan mereka cium pipi kanan dan kiri sebelum Tiara tertawa kecil.“Aku tuh nggak punya teman yang dekat gitu. Kalaupun ada, biasanya cuman karena harta doang. Duh, kesel deh sama orang yang kayak gitu. Tapi setelah aku perhatiin. Kamu tuh salah satu orang yang nggak peduli sama keuangan gitu ya? Lihat aja ... kamu pasti banyak gitu penghasilan. Tapi aku nggak pernah lihat kamu bawa barang atau pakai baju yang branded. Jad
“Kamu dapat dari mana?”Anak kecil itu menutup mulutnya dengan polos dan menggeleng. “Nggak boleh ... aku nggak di bolehin buat bilang ke kakak. Aku cuman dipinta buat kasih ini aja ke kakak dan kasih tau ke kakak, kalau kakak nggak usah sedih. Karena bakalan banyak orang yang sedih lihat kakak itu sedih kayak gini.”Alea tertawa renyah dan memeluk anak itu lagi. Keduanya terlibat perbincangan yang seru sampai seorang laki-laki yang sejak tadi melihat mereka dari balik pohon.Laki-laki itu tersenyum tipis.“Nah ... lebih cantik tersenyum kayak gitu di banding nangis kan?”***Alea sudah kembali dari kegiatan larinya. Dia memasuki unit apartemen dan langsung saja bersih-bersih tanpa pikir panjang. Kemudian dia memilih beristirahat karena hari ini dirinya benar-benar bebas dari semua orang.“Nggak akan ada lagi yang mengganggu hari ini, karena beberapa hari terakhir nona Tiara selalu ada di rumah membuat mas Bram jadi nggak bisa kesini.”Perempuan itu terkikik sambil memotong timun yang