Merantau memang bukanlah hal yang mudah. Tapi mengadu nasib di negara orang sudah menjadi impian bagi Clara. Gadis cantik dari daerah pinggiran yang selalu bermimpi menjadi salah satu gadis ibukota dengan gaya mentereng. Clara selalu bermimpi untuk keluar dari tempurung kecilnya dan hidup penuh petualangan di dunia yang lebih luas. Jadi ketika ia mendapatkan kesempatan itu, Clara tidak akan menolaknya sama sekali.
Ibunya turut membantu Clara mengemasi pakaiannya ke dalam koper besar yang akan ia bawa ke Singapura. Clara baru saja ditawari untuk ikut bekerja bersama saudara ibunya yang sedang merantau di Singapura. Kebetulan restoran tempat saudara Ibunya bekerja sedang membutuhkan pelayan. Dan ketika Clara ditawari untuk mengisi posisi itu, Clara langsung setuju tanpa berpikir dua kali."Kamu sudah membawa seluruh perlengkapanmu?" Tanya Ibunya seraya membantu Clara menyusun dokumen penting milik anaknya ke dalam map."Sudah, Ma. Semuanya sudah Clara siapkan sejak semalam. Sekarang Clara tinggal menunggu kapal untuk berangkat ke Singapura." Jawab Clara mantap.Ibunya menatap anak gadis satu-satunya. Sejak dulu, puterinya ini memang selalu memiliki impian yang besar. Dan ia selalu berusaha keras untuk mewujudkannya meskipun itu tidak mudah. Clara pernah mencoba mendaftar beasiswa yang bisa membawanya berkuliah di negara lain namun ternyata semuanya gagal. Clara menyerah karena mungkin otaknya tidak sepintar itu. Lalu ia mencoba berkali-kali melamar pekerjaan kecil hingga menengah di negara lain. Namun setelah berkali-kali melewati proses interview, lamarannya tidak ada satu pun yang menghasilkan kabar baik. Hingga akhirnya tawaran bagus itu datang dari adik ibunya sendiri."Kamu hati-hati ya di negara orang. Jaga dirimu baik-baik." Pesan ibunya kepada ClaraClara mengangguk mantap."Tenang saja, Bu. Aku pasti bisa menjaga diri dengan baik. Ibu tidak perlu khawatir."***Kapal yang akan membawa Clara hijrah ke Singapura sudah merapat. Sauhnya sudah diturunkan dan aba-aba untuk para penumpang menaikki kapal sudah berbunyi. Clara mendongakkan kepalanya ke atas. Matanya memicing karena sinar matahari yang silau menembus kedua bola matanya. Mesin uap raksasa itu tampak begitu gagah dan perkasa.Dengan mantap Clara melangkahkan kakinya memasukki kapal penumpang itu. Ratusan orang ikut masuk bersamanya. Sebagian di antaranya pergi ke negara singa itu untuk sekedar berlibur. Namun tidak sedikit yang mencoba untuk mengadu nasib seperti Clara. Para perantau nekad yang mencoba berjuang di salah satu negara dengan biaya hidup termahal.Setelah kurang lebih satu jam membelah lautan dengan kapal besar itu, Clara akhirnya menjejakkan kakinya di Singapura. Negara tempat ia akan memulai mimpi dan cita-citanya. Sepanjang perjalanan dari kota Batam ke Singapura membuat Sarah sadar bahwa merantau bukanlah hal yang mudah. Tapi sudah pasti merantau akan menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan.Setibanya di pelabuhan Harbour Front Centre, Clara sudah disambut oleh adik dari ibunya. Wanita paruh baya yang sering ia panggil sebagai Tante Ana itu tersenyum sumringah sembari melambaikan tangannya yang gemuk. Bahkan dari kejauhan saja Clara bisa mengenali bibinya yang berwajah sangat mirip dengan ibunya."Tante!" Seru Clara sambil berlari menghampiri Tante Ana.Tante Ana membuka kedua lengannya dan memeluk Clara dengan erat. Sudah lima tahun ia tidak melihat keponakannya dan sekarang gadis itu sudah tumbuh besar menjadi gadis yang amat cantik."Apa kabar, Clara? Kamu semakin cantik saja sekarang ya." Puji Tante Ana sambil mencium kedua pipi keponakannya.Clara tersenyum manis. Ia juga rindu sekali pada Tante Ana. Dulu ketika ia kecil, Tante Ana lah yang selalu mengasuhnya. Namun ketika Tante Ana memutuskan menjadi TKI di Singapura, Clara sudah sangat jarang berkomunikasi dengannya. Dan untunglah tampaknya kasih sayang Tante Clara masih sama besarnya seperti dulu."Baik, Tante. Tante bagaimana kabarnya? Baik juga kan?" Tanya Clara kepada Tante Ana.Wanita gempal itu mengangguk dan langsung menggandeng Clara untuk mengikutinya."Ayo kita langsung pulang. Tante sudah memasak banyak makanan kesukaanmu. Kamu masih suka makan fuyunghai kan?" Ujar Tante Ana sembari berjalan menuju mobilnya.Clara mengangguk semangat. Sejak dulu, Tante Ana memang selalu pandai memasak. Makanan buatannya selalu lezat dan bahkan tidak jarang bernilai jual yang lumayan. Karena kemampuannya itu pula, Tante Ana bisa mendapatkan pekerjaan sebagai kepala koki di restoran tempatnya bekerja sekarang. Dan Clara juga akan memulai tangga pertama kariernya dari sana.***"Hai, Kak Clara!" Sambut seorang gadis yang usianya sebaya dengan Clara.Gadis itu, Stefany, adalah anak satu-satunya Tante Ana dari suami pertamanya. Sebelum menikah dengan suaminya yang sekarang, Tante Ana pernah menikah dengan pria Indonesia yang lalu meninggalkannya demi rekan wanitanya. Dan setelah mengalami pengkhianatan itu, Tante Ana memutuskan untuk pindah bersama anaknya. Memulai lembaran hidup mereka yang baru.Clara sendiri tidak begitu kenal dengan suami kedua Tante Ana. Apakah ia adalah pria yang baik atau tidak? Tapi menurut Clara mungkin suami barunya adalah pria yang baik karena Tante Ana terlihat lebih bahagia sekarang. Apapun itu, Clara turut bahagia atas hidup Tante Ana."Hai, Stef! Kamu sudah pulang sekolah?" Tanya Clara kepada sepupunya.Stefany menggeleng."Lalu kenapa kamu ada disini?" Tambah Clara bingung."Dia izin untuk tidak masuk sekolah hanya demi menemuimu, Clara. Sejak pagi Stefany mati-matian bilang ingin menyambutmu dan mengajakmu berjalan-jalan keliling Singapura." Jelas Tante Ana sembari berkutat di dapur."Astaga, Stef! Kamu tidak perlu repot-repot seperti itu! Jalan-jalan itu bisa lain kali saja kan? Saat akhir pekan misalnya!" Ucap Clara merasa tidak enak.Stefani tertawa lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapih."Tidak apa-apa, Kak! Tentu saja berkeliling Singapura harus dilakukan di hari pertamamu! Karena kalau kamu sudah mulai bekerja, akan sangat sulit mengajakmu bepergian!" Balas Stefany.Stefany lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Clara seperti hendak berbisik."Selain itu, aku sedang malas ke sekolah. Aku baru saja putus dengan kekasihku dan pergi ke sekolah hanya akan membuat suasana terasa canggung."Clara berkata oh dalam suara yang kecil. Seolah ia mengerti apa yang terjadi. Stefany lalu menggandeng Clara ke kamar milik Stefany. Mulai hari ini, ia akan berbagi kamar dengan sepupunya itu dan Stefany sama sekali tidak keberatan. Lagipula sejak kecil, ia dan Clara selalu bersama-sama sehingga praktis mereka berdua seperti anak kembar."Ini kamarmu, Stef?" Ucap Clara takjub.Stefany mengangguk senang. Ia dengan bangga menunjukkan kamarnya yang dipenuhi koleksi album grup laki-laki Korea favoritnya."Bagaimana? Apakah keren?" Ujar Stefany antusias."Tentu saja! Kamu memang selalu setia menjadi pengikut oppa-oppamu itu ya!" Balas Clara takjub.Stefany hanya membalas kata-kata Clara dengan cengiran khasnya. Tak lama kemudian terdengar suara Tante Ana yang memanggil mereka berdua untuk keluar dan makan bersama. Stefany menyahuti panggilan ibunya dan segera keluar dari kamarnya. Clara lalu mengekor di belakang sepupunya itu dan melangkah ke ruang makan."Jo, ini Clara, keponakanku yang kuceritakan waktu itu." Ujar Tante Ana mengenalkan Clara pada seorang pria.Clara mengangkat wajahnya dan melihat pria yang dipanggil Jo itu. Pria itu adalah suami kedua Tante Ana dan ini adalah pertama kalinya Clara bertemu dengannya. Clara tak pernah menyangka bahwa Jo adalah pria berwajah sangar dan tampak kaku. Clara menjadi gugup karena Jo yang melihatnya dengan tatapan menilai."Oh, baiklah. Ayo duduk, Clara. Kita makan bersama-sama." Ajak Jo dingin.Tanpa membantah, Clara langsung mengambil kursi dan duduk di samping Stefany. Sungguh, aura pria itu terasa sangat dingin sehingga Clara tidak berani berada di dekatnya."Pa, aku boleh kan pergi bersama Kak Clara sehabis makan malam?" Ujar Stefany meminta izin saat makan malam.Jo menatap Stefany dengan tatapan bingung."Kalian mau pergi kemana?" Tanya Jo."Aku ingin memperlihatkan Singapura pada Kak Clara." Jawab Stefany antusias.Jo tampak acuh tak acuh dengan perkataan Stefany."Biarkan Clara beristirahat hari ini. Untuk apa kamu repot-repot melakukan itu semua? Menghabiskan uang saja." Ucap Jo datar tanpa mengangkat wajahnya sedikitpun dari piringnya.Jo lalu menatap Clara dengan tatapan serius."Lagipula Clara bisa pergi berkeliling sendiri. Benar kan Clara?" Tanya Jo serius.Clara tersenyum tidak enak."Iya, tenang saja Stef. Aku akan pergi sendiri jika aku ingin. Kamu tidak perlu repot mengantarku." Ucap Clara pelan.Stefany seolah tidak terima dengan penolakan Clara namun Clara hanya mengisyaratkan pada Stefany untuk menurutinya. Clara memandang Jo lagi dan melihat pria itu tampak cuek dengan apa yang baru saja ia katakan. Clara menghela nafas pelan. Ia yakin hidup bersama keluarga Tante Ana tidak akan mudah.Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny