Empat tahun sudah berlalu. Semenjak kepergian Naina, menjadi pukulan terberat untuk keluarga Hartanto. Terutama Heni, selalu saja menangis, mengingat Naina yang pergi tanpa berpamitan langsung dengannya.
"Pa! Ke mana kita harus mencarinya. Sampai sekarang ... Bahkan Mama tidak bisa tenang, Pa. Mama sangat merindukan Naina."
Hari itu di rumahnya tengah mengadakan pesta. Brilian telah dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tuanya. Karena terlibat kerjasama yang cukup baik, Hartanto menjodohkan Brillian dengan anak gadis rekan kerjanya.
"Kita sudah berupaya semaksimal mungkin, Ma. Tapi kita tidak menemukan jejak Naina. Entah di mana keberadaan gadis itu. Di saat kakaknya hendak menikah, dia bahkan tidak ada di sini. Papa juga sangat berharap dia pulang, Ma."
Kedua paruh baya itu tidak bisa merasakan kebahagiaan, walaupun di rumahnya tengah mengadakan pesta. Sebelum pesta itu dilaksanakan, mereka juga sempat berdebat dengan Brilian, karena Brilian menolak untuk dijodohkan.
Brilian sendiri tidak diam. Selama empat tahun lamanya, dia juga tidak pernah berhenti mencari jejak Naina. Dia juga menceritakan apa yang sudah dialaminya dengan Naina, hingga membuat Naina pergi dari rumah.
"Ini semua gara-gara Brilian. Kenapa dia tega melakukan semua ini pada Naina. Dia benar-benar jahat. Apa dia tidak mikir, bagaimana perasaan Naina!" Tatapannya sedih, mengharap anak gadisnya kembali kepelukannya.
Heni benar-benar sangat kecewa pada anak laki-lakinya. Tidak menyangka, Brillian menyimpan sikap buruk, dibelakang niat baiknya terhadap Naina.
"Sudahlah, ma. Ini semua sudah berlalu. Papa juga sudah menghukum Brilian. Makanya Papa nekat untuk menjodohkan Brilian dengan Tarisa, agar Brilian berhenti untuk tidak mengejar Naina."
Wajah Hartanto sendiri juga sedih. Harusnya di acara keluarga, semua anak-anaknya berkumpul dan merasakan kebahagiaan. Tapi semuanya hancur gara-gara ulah anak laki-lakinya.
"Sebenarnya Papa sudah tahu kalau Brilian itu memang suka dengan Naina dari dulu. Dia sempat meminta restu sama Papa untuk menikahi Naina. Papa nggak kasih restu, Ma. Papa pikir ... Naina sudah kita adopsi. Mana mungkin kita jodohkannya dengan Brillian. Hanya orang tidak waras saja yang melakukan semua itu."
Seandainya saja Naina tidak diadopsinya, dia tidak masalah kalau Brillian menikahinya. Tapi ia sudah menjadikan Naina sebagai anak bungsunya. Bahkan terdaftar di kartu keluarga, Naina sebagai anak bungsunya. Tidak mungkin ia melepaskan Brillian untuk menikahi adiknya sendiri.
"Jadi Papa sudah tahu dari dulu? Kenapa Papa diam saja. Kenapa Papa nggak mau cerita sama Mama."
Heni menatap kecewa, karena suaminya menyembunyikan kebenarannya. Bahwa Brillian sempat meminta restu pada suaminya.
"Papa memang tidak pernah menceritakan pada Mama. Papa nggak ingin Mama syok. Mama juga habis sakit. Papa nggak ingin Mama terlalu banyak pikiran. Papa benar-benar menyesal atas kejadian itu. Papa tidak menyangka, Brillian tega melakukan itu pada adiknya. Benar-benar kurang ajar itu anak!"
Penyesalan selalu datang di belakang. Mereka benar-benar menyesali apa yang sudah dilakukan oleh anak laki-lakinya itu, terhadap anak angkatnya yang sudah dirawatnya sejak kecil.
"Mama benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih, pa. Mama cuma kepikiran Naina. Bagaimana nasib Naina di luar sana. Apakah dia bahagia dengan kesendiriannya? Atau mungkin hidupnya akan menderita, karena dia tidak memiliki siapa-siapa di luar sana. Anak yang malang. Bahkan anakku sendiri telah tega menghancurkan masa depannya."
"Sudahlah, ma. Nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak bisa mengembalikan semuanya. Keluarga kita sudah berantakan kayak gini. Kita doakan, semoga Naina baik-baik saja berada di luar.
***
Brillian memasang wajah datar tanpa ekspresi. Walaupun banyak orang yang datang memberikan selamat padanya, ia tidak menunjukkan kebahagiaannya.
Ia sangat terpaksa bertunangan dengan Tarisa. Dalam hatinya, dia hanya menginginkan Naina.
'Naina ... Di mana kau berada. Empat tahun aku menunggumu. Empat tahun juga aku mencarimu. Tidakkah kau terbesit ada rindu buat keluargamu di sini. Kalau kau tidak merindukanku ... Setidaknya jenguklah, Mama dan Papa. Mereka sangat merindukanmu. Wajahnya muram, sangat sedih. Ia berharap, Naina kembali datang ke rumahnya.
Melihat Brillian yang hanya diam, Tarisa pun menegurnya. "Kenapa sih, dari tadi kau hanya diam saja. Ini hari bahagia kita loh. Jangan tunjukkan wajah jutekmu itu pada semua orang. Kau jangan buat malu keluargaku!" Tarisa malu, karena calon suaminya menunjukkan ketidakbahagiaannya, saat bersanding dengannya.
Seketika Brillian memelototinya. Ia benar-benar muak dengan sandiwara pertunangannya itu.
"Dengar ya, Tarisa! Kau pikir aku suka dijodohkan seperti ini. Aku tidak bahagia dengan perjodohan ini. Aku terpaksa menerima perjodohan ini, karena desakan orang tuaku. Jadi aku minta diamlah! Jangan pernah mengatur-aturku. Aku mau berbuat apapun ... Kau tidak berhak untuk mengatur-ngaturku," tegas Brillian.
Tidak terima dengan perkataan Brillian, ia pun menjawabnya. "Tapi kan aku ini tunanganmu. Sebentar lagi kita akan menjadi pasangan suami istri. Kau harus peduli padaku. Aku tahu kita hanya dijodohkan. Dan aku tahu kalau kau tidak mencintaiku. Tapi belajarlah untuk bisa menghargai perasaanku!"
Brillian tersenyum getir menatap Tarisa. Terlalu banyak bicara perempuan itu, hingga membuatnya jengkel. "Apa kau bilang! Aku harus menghargai perasaanmu? Lantas Bagaimana dengan perasaanku sendiri. Aku punya pilihan lain. Aku juga tidak yakin akan menikahimu!"
Kata-kata Brillian angat menohok hatinya. Tarisa sudah terlanjur jatuh cinta padanya. Bahkan sejak pertama dipertemukan dengan Brillian, ia sudah menaruh harapan padanya.
***
"Kok ada rame-rame di rumah. Ini ada acara apaan, sih?" Di keramaian penuh dengan tamu undangan, seorang wanita muda dengan menggendong anak kecil masuk ke dalam halaman rumah Hartanto.
Hampir semua orang menatapnya, karena tidak mengenali wanita itu. Ia berjalan dengan melempar senyuman ketika ditatap oleh banyaknya orang di halaman rumahnya.
"Papa ...! Bukannya itu, Naina." Heni, orang yang pertama mengetahui kedatangan Naina dengan membawa anak kecil berjenis perempuan. Ia tercengang, melihat kedatangan putrinya yang secara tiba-tiba tanpa memberinya kabar terlebih dulu.
"Hah! Mana ma ...?" Hartanto juga langsung menoleh ke arah perempuan itu. Ia tersenyum mendapati anak perempuannya kembali.
"Naina ...! Iya ma, ini anak kita datang."
Heni menangis, dan langsung bergegas menemuinya. Ia sangat bahagia, anak yang dirindukannya kini telah kembali.
"Naina ... Kau pulang, sayang!"
Ia langsung menghambur memeluk Naina. Begitupun juga dengan Hartanto. Ia juga meninggalkan tamu-tamunya, dan bergegas untuk menemui Naina.
Mendapati kedua orang tua angkatnya, Naina langsung menangis.
"Mama ... Mama aku pulang." Naina terisak-isak dengan menggendong putrinya. Ia langsung menyalami kedua orang tuanya, penuh haru.
"Ya ... Ampun nak, selama ini kamu ke mana saja?" Hartanto menepuk punggung Naina dengan tatapannya bahagia.
"Aku ada di luar kota, Pa," jawab Naina menoleh pada Papanya sembari tersenyum tipis.
"Kau sudah membuat mamamu ini gila, Naina. Tega sekali kau meninggalkan kami," omel Heni menangis dengan menangkup pipi Naina.
"Maafkan aku sudah membuat kalian sedih. Aku sudah salah." Naina langsung menangis menyandarkan kepalanya di dada bidang Hartanto.
"Apa kau tahu, Na! Selama ini papa mencarimu. Semua anak buah papa, Papa kerahkan untuk mencari keberadaanmu. Tapi kau seperti ditelan bumi. Seluruh wilayah sudah kami jelajahi. Tapi kau tidak bisa ditemukan."
Hartanto menceritakan perjuangannya untuk melakukan pencarian terhadap Naina.
Selama empat tahun lamanya, ia tidak berhenti untuk melakukan pencarian terhadap putrinya. Kini ia sangat bahagia mendapati Naina pulang dalam keadaan sehat.
Tatapan Heni dan Hartanto beralih pada balita yang digendong oleh Naina. Bayi yang menggemaskan, dengan pipi gembulnya yang berkulit putih.
"Ini siapa?" tanya Heni memegang tangan mungil balita itu.
"Ini cucu Mama," jawab Naina dengan senyuman getir.
Seketika Heni membelakakkan bola matanya. "Hah! Cu ... Cucu?" Antara sedih dan senang, mendapati Naina pulang. Yang membuatnya sedih, Naina pulang-pulang membawa anak, tanpa tahu kapan dia menikah.
Naina mengangguk dengan mengusap air matanya. "Iya ma. Ini anakku."
"Jadi ini cucunya Mama? Kapan kamu menikah, Na? Di mana suamimu sekarang? Apa kau datang bersama suamimu?"
Banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh Heni. Ia masih syok melihat kenyataan, Naina pulang dengan seorang anak kecil yang diakui sebagai anaknya.
"Aku hanya datang berdua saja, ma," jawab Naina.
"Hanya berdua saja? Lantas ... Di mana suamimu?"
Heni hanya mendapati Naina hanya berdua dengan anaknya. Tapi ia berfikir, Naina diantar oleh suaminya.
Naina menggeleng, dengan menatapnya sedih, "Aku tidak bersuami, ma."
Mendapatkan banyak perhatian dari tamu undangan, membuat Hartanto agak risih. Tidak ingin semua orang mempertanyakan tentang Naina. Ia pun meminta Naina, untuk masuk ke dalam rumah."Naina ... Lebih baik kamu istirahat di dalam, ya? Mama sama Papa akan menemui tamu-tamu dulu. Kasihan juga anakmu kecapean," tutur Hartanto pekan.Naina mengangguk, ia juga sudah lelah terlalu lama di perjalanan. "Baik, pa. Kalau begitu aku tunggu di dalam."Naina bergegas masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamarnya. Ia berharap, tidak bertemu dengan Brillian. Ia juga berencana untuk cepat pergi dari rumah orang tuanya. Setelah melepas kerinduan pada orang tuanya."Maafkan mommy ya, nak. Mommy sudah membawamu ke sini. Sebenarnya mommy tidak ingin kamu bertemu dengan Ayah kandungmu. Tapi mommy juga tidak ingin menjadi kacang lupa kulitnya. Mommy dibesarkan di rumah ini. Mommy diberikan banyak kasihsayang oleh mereka.''Tapi mommy janji. Setelah ini ... Kita pergi dari sini. Dan kita cari kehidupan ki
Malam mulai larut. Semua orang telah meninggalkan kediaman Hartanto. Brillian juga memasuki rumahnya setelah mengantarkan Tarisa yang kini menjadi tunangannya.Ia frustasi dengan keadaan. Ia stress, berharap bisa bertemu dengan Naina kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah, menikahi Naina dan hidup bersamanya."Kalau bukan karena Papa, aku ogah bertunangan dengan Tarisa. Perempuan macam itu dibilang baik. Baik apanya," dengan menggerutu ia berjalan menuju kamarnya, namun setibanya di depan kamar Naina, ia terhenti saat mendengar suara tangis anak kecil.Dia mendekatkan telinganya di kenop pintu. Terdengar sangat jelas suara anak kecil perempuan sedang menangis."Siapa yang menangis di sini. Bukankah semua orang sudah meninggalkan rumah ini. Tapi siapa yang ada di dalam sana. Kok ada suaranya anak kecil menangis di sini."Bulu kuduknya mulai merinding. Bahkan ia tidak pernah takut pada siapapun, termasuk hantu sekalipun. Ia selalu menyibukkan diri dan pulang larut malam tidak pern
"Tidak sayang, om hanya capek, jadinya marah sama kita. Kamu nggak usah takut ya?"Semalaman Syakilla tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar takut Brillian akan mencelakainya.Pagi-pagi sekali Hani sudah menyiapkan sarapan keluarganya ia ingin makan bersama dengan Naina dan juga cucunya. Ini hari pertama mereka terkumpul Setelah sekian lama tidak pernah makan bersama dengan Naina."Naina, ayo keluar nak. Kita sarapan bersama," celetuk Heni mengetuk pintu kamar Naina."Ma ... Aku masih belum lapar. Mama tinggal aja dulu, nanti kalau aku lapar aku akan keluar," jawab Naina dari dalam."Loh! Kok gitu nggak lapar bagaimana? Memangnya kamu sudah makan? Nggak ada alasan! Ayo kita makan bersama."Heni keukeh meminta Naina untuk keluar dari dalam kamarnya cepat ataupun lambat Brilian juga akan segera mengetahui datangnya. Mereka belum tahu kalau Brilian dan Naina sudah bertemu malam itu."Oke baiklah. Tunggu saja aku di ruang makan."Naina beranjak dari sofa dan mengajak anaknya untuk keluar
Mendapati Naina keluar dari rumah, Brillian buru-buru mengemudikan mobilnya keluar dari garasi. Ia sengaja berlama-lama menunggunya di dalam mobil di garasi rumahnya.Ia tidak mau membuat kegaduhan dengan Naina. Ia ingin tahu banyak apa saja alasan Naina pergi dari rumah dan mengatakan bahwa anak yang bersamanya itu bukanlah anak hasil percintaannya empat tahun yang lalu.Tin tin ... Suara klakson mobil membuat Naina terkejut. Ia sampai mengumpat, karena anak yang bersamanya takut akan kegaduhan."Sialan! Siapa sih, yang membunyikan klakson seperti ini. Perasaan aku sudah ada di pinggiran jalan, apa masih kurang minggir lagi. Dasar orang tidak tahu diri."Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobil BMW X5 berjalan pelan. Ia tidak tahu siapa pemilik mobil itu, karena kacanya terlalu tebal dan tidak bisa tembus pandang.Tiba-tiba saja mobil itu berhenti di sebelahnya, kacanya terbuka dan terlihatlah seorang pemuda dengan memakai kacamata hitam berpakaian formal yang tak lain adalah Brili
"Brillian." Dengan cepat Brillian menjawabnya.Dari situ Brillian kembali curiga kalau anak yang dimiliki oleh Naina itu adalah darah dagingnya sendiri. Naina tidak bisa memberinya keterangan pada petugas rumah sakit.Naina sendiri tampak kebingungan saat ditanya tentang orang tua dari anaknya. Ingin sekali Brillian memaki-makinya karena sudah berbohong padanya.Setelah selesai mendaftar Brillian mengajak ke lantai tiga tempat para dokter spesialis berkumpul. Mereka mengantri di depan ruang dokter. Sama-sama diam, bergeming dengan pemikirannya masing-masing."Mom, pulang," rengek Syakilla yang merasa kedinginan di ruang AC."Sayang, tunggu sebentar ya? Killa diperiksa dulu, biar cepat sembuh," tutur Naina lembut."Tapi dingin," rengek Syakilla.Naina sudah memakaikan selimut tebal, tapi tetap saja Syakilla masih juga kedinginan. Sedangkan badannya tengah demam tinggi.Brillian langsung melepas jas kerjanya dan menyelimutinya. Walaupun hatinya marah, tapi melihat Syakhilla ia tidak te
"Sudah-sudah hentikan! Ayo kita pulang!" Naina menatap kesal pada Brillian yang datang-datang langsung marah. Entah setan apa yang sudah merasukinya, tiba-tiba saja ia dibentak cukup keras di muka umum. Bahkan ada Damian bersamanya. Ia sangat malu dengan sikap kasar Brillian."Siapa sih! Dia ini. Ikut campur urusan orang saja," kesal Brillian, karena laki-laki yang bersama Naina telah membelanya."Dia temanku, nggak usah melotot," jawab Naina sengit, karena Brillian memelototi Damian."Kamu itu ngapain juga sama dia. Kan aku sudah menyuruhmu untuk menungguku di sini, tapi bukan berarti kamu enak ngobrol sama laki-laki lain. Bisakah kau menghargaiku?"Semua orang yang tengah mengantri obat di tempat itu menatapnya, dan itu membuat Naina sangat malu."Kakak! Aku di sini tidak sengaja bertemu dengan Kak Damian. Kita dulu berteman di sekolah, Apa aku harus diam saja, bertemu dengan teman sekolahku. Apakah aku salah, aku bertegur sapa dengan teman sekolahku? Jangan egois kamu!""Siapa juga
"Tidak! Jangan lakukan, karena aku tidak mengizinkanmu untuk melakukan tes DNA dengan anakku," jawab Naina.Brilian memicingkan bola matanya menatap aneh gadis yang dicintainya itu tiba-tiba seperti ketakutan."Kenapa aku tidak boleh melakukan tes DNA dengan anakmu. Kurasa nggak ada masalah kalau kita melakukan tes DNA. Ya biar tahu aja dia itu sebenarnya anaknya siapa," jawab Brillian."Sekali enggak, tetap enggak!Jangan pernah coba untuk melakukan tes DNA dengan anakku. Jangan punya pikiran kalau ini adalah anakmu, kau bukan siapa-siapanya. Kalau kau memang sayang sama dia, anggap saja dia sebagai keponakanmu, jangan berlebihan!"Semakin aneh sikap Naina yang membuat Brilian bertambah curiga. Iya sangat yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naina. Padahal ia hanya ingin tahu saja kebenarannya, tapi Naina selalu menolak untuk diajaknya melakukan tes DNA."Kenapa sih, Kau egois banget. Aku hanya ingin tahu saja kebenarannya. Apa aku salah jika aku ..."Dengan cepat Naina memotong
Di kantor, seharian Brillian nampak marah-marah. Ia marah pada orang tuanya dan juga pada Naina.Orang tuanya terlalu terburu-buru untuk menjodohkannya dengan Tarisa, gadis yang tidak disukainya. Sedangkan Naina, gadis yang dicintainya sangat keras kepala, dan tidak mau mengerti apa yang dirasakannya."Semua menyebalkan! Menyebalkan ... !!"Ia melemparkan berkas-berkas penting yang ada di meja kerjanya. Di satu sisi ia senang Naina sudah kembali padanya. Di sisi lain ia juga kesal, karena Naina mengacuhkannya. Bertambah pusing kepalanya memikirkan dua wanita yang mengacaukan hidupnya.Irma, sekretaris dari Brilian terkejut mendapati Brilian yang tiba-tiba mengamuk. Ia juga lupa tidak mengetuk pintunya dan langsung masuk begitu saja karena ada hal penting yang ingin disampaikannya."Permisi Pak. Bapak baik-baik saja?" tanya Irma mendadak menciut ketakutan saat melihat kilatan mata merah Brilian diselimuti oleh emosi yang tinggi."Ada apa?! Kau punya sopan santun kan? Kalau masuk ke tem