Share

3. Aku Akan Pergi Dari Sini

Pagi itu, Naina berkumpul bersama keluarganya menikmati sarapan bersama. Walaupun hatinya hancur, ia tetap bersikap baik-baik saja di depan keluarganya. Termasuk di depan kedua orang tua angkatnya.

Untuk menutupi masalahnya, ia terpaksa berpura-pura baik, seakan-akan tidak ada masalah, agar kedua orang tua angkatnya tidak curiga dengan apa yang sudah terjadi padanya.

"Na! Kenapa nasinya cuma diaduk-aduk doang? Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Heni, Mama angkatnya.

Naina menggeleng dan meletakkan sendok yang ada ditangannya. Lidahnya kelu, sangat sulit untuk bisa menerima makanan. Bahkan untuk meminum seteguk air saja, rasanya susah.

"Enggak kok, ma. Aku nggak papa. Aku baik-baik saja," jawab Naina dengan tersenyum.

Tidak ingin orang tuanya mengetahui masalahnya. Ia sangat yakin, jika mereka sampai mengetahuinya, pasti sangat syok.

"Bohong! Nggak mungkin, kalau nggak ada apa-apa, kamu diem aja kayak gini. Kalau kamu memiliki masalah, kamu cerita saja, sama Mama. Jangan suka memendam masalah sendirian."

"Jikalau kamu sakit, cepatlah makan, dan minum obat. Setelah itu kamu istirahat. Kalau nggak enak badan, sebaiknya kamu nggak usah pergi ke kampus, biar kakak kamu saja, nanti yang minta izin."

Begitu perhatiannya Heni padanya. Dan itu membuatnya tidak bisa menyakiti wanita paruh baya yang selama ini begitu menyayanginya.

'Maafkan aku, ma. Aku tidak bisa bercerita sama Mama. Sebenarnya aku ingin sekali berbagi cerita sama Mama. Tapi aku yakin, Mama akan syok mendengarnya.'

Naina mencoba untuk menahan agar tidak menangis. Tapi ia benar-benar tidak sanggup untuk menahan kepedihannya.

Sebutir air matanya jatuh mendarat di pipi.

Ia langsung mengusapnya dengan kasar. Tidak ingin diketahui oleh Mama angkatnya.

"Em ... Hari ini aku ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan, Ma. Jadi aku harus tetap datang ke kampus," jawab Naina.

Tidak ingin ia tetap berada di dalam rumah. Selalu teringat kejadian malam itu, dan rasanya membuatnya semakin gila.

"Loh! Kamu mau pergi ke kampus, Na? Lihatlah. Wajahmu pucat sekali. Kalau sampai kamu pingsan di kampus, bagaimana? Nggak usah mikirin tugas. Kesehatan jauh lebih penting," tegur Heni.

Heni khawatir, Naina yang rentan sakit, tidak memberinya izin keluar rumah.

"Apa yang dikatakan oleh Mamamu itu benar, Na. Hari ini kamu istirahat di rumah saja. Mukamu pucat. Papa nggak ingin kamu kenapa-napa di luar. Biar kakakmu yang urus."

Hartanto juga menyarankan agar dirinya tidak pergi ke kampus. Ia begitu mengkhawatirkan kondisinya.

Semenjak kehadiran Naina di hidupnya, usahanya semakin besar. Ia mengklaim Naina sebagai pembawa keberkahan. Karena itu, ia sangat mempedulikan Naina, dibandingkan dengan anak laki-lakinya yang suka membuat masalah.

"Tapi pa ..."

"Kali ini menurutlah, sama Papa. Jangan banyak membantah. Sekarang lebih baik habiskan makananmu. Setelah itu, minum obat dan istirahat. Jangan ke mana-mana," peringat Hartanto dengan beranjak dari tempat duduknya.

Tidak menjawab. Naina hanya menunduk dengan mengaduk-aduk makanan yang ada dipiringnya.

"Hari ini Papa ada meeting pagi. Papa akan berangkat duluan. Kamu urus adikmu. Buatkan dia surat izin ke kampusnya. Biarkan dia istirahat di rumah."

Sebelum berangkat kerja, Hartanto mengingatkan anak laki-lakinya untuk membuatkan surat izin buat Naina.

"Papa tenang saja. Biar aku yang mengurusnya," jawab Brillian yang nampak tenang sembari menikmati makanannya.

Setelah kepergian Hartanto, Naina juga bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung menuju kamar dengan berjalan tertatih-tatih. Rasa ngilu di area sensitifnya, membuatnya kesulitan untuk berjalan.

Heni mengerutkan keningnya. Menatap anak perempuannya yang tidak baik-baik saja.

"Lian! Kamu tahu apa yang sudah terjadi pada adikmu?" tanya Heni.

Brillian pun mengangkat kedua bahunya. "Enggak tahu Ma. Dia kan emang gitu. Kalau ada masalah, selalu diam."

Brillian menatap sekilas kepergian Naina dengan menikmati makanannya.

Sebenarnya, ia ingin mengakui kalau dirinya lah yang sudah membuat Naina seperti itu, tapi Naina sendiri yang bilang, kejadian malam itu hanya rahasia berdua.

"Aneh banget! Apa dia lagi sakit ya? Lihatlah kalau berjalan. Sepertinya dia lagi kesakitan."

Uhuk ... Uhuk ...

Seketika Brilian tersedak air minum. Heni pun menegurnya. "Hati-hati kalau minum. Bisa-bisanya sampai tersedak!"

"Enggak tau ma!" Brillian telah menyelesaikan makannya, dan ia memutuskan untuk menemui Naina, sebelum pergi ke kantor.

"Yaudah. Kalau gitu aku temui dia dulu, Ma!" Brillian beranjak dari tempat duduknya. Ia menuju ke kamar Naina.

Tanpa permisi, ia langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Naina, dan mendapati Naina yang tengkurap di ranjang.

Ekhem ...

Deheman Brillian, sontak membuat Naina terkejut. Ia pun langsung bergegas duduk. Tidak ingin kejadian malam itu terulang lagi.

"Mau apa lagi kau! Belum puas menghancurkanku!"Naina melotot menatapnya penuh dengan kebencian.

"Kenapa, Na! Kau tidak suka aku menemuimu?" tanya Brillian menatapnya kecewa.

Ia tahu Naina begitu marah padanya. Tapi ia sendiri juga tidak sengaja melakukannya.

"Aku sudah bilang padamu kalau aku tidak sengaja melakukannya. Aku bahkan tidak menyadarinya, kalau semalaman itu kita sudah melakukan hubungan suami istri. Kamu nggak usah sedih. Aku akan bertanggung jawab untuk menikahimu!"

Brilian tidak mempermasalahkan jika harus bertanggung jawab untuk menikahi Naina. Karena pada dasarnya dia sudah mencintai gadis itu.

"Tapi aku tidak mau menikah denganmu! Aku tidak mencintaimu!" jawab Naina dengan menangis. Hatinya benar-benar terluka.

Brillian kesal. Berkali-kali Naina menolak niat baiknya, ingin bertanggungjawab untuk menikahinya.

"Jangan bodoh! Bahkan semua perempuan sudah tergila-gila padaku. Tapi kenapa kau malah menolakku. Kurang apa aku ini. Apakah aku masih kurang tampan, untukmu!"

"Tampan, kalau tidak punya harga diri, buat apa!" Naina membantahnya dengan ucapan kasar.

Kejadian semalam benar-benar membuatnya ilfeel pada kakak angkatnya itu.

"Hari gini masih juga bilang tentang harga diri. Kau yakin masih mempertahankan harga dirimu, setelah semalaman kita sudah melakukannya bersama!"

Berasa mendidih otak Naina. Ia benar-benar dibuat gila oleh sikap Brillian.

"Aku minta ... Kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kau bisa mencari perempuan lain, tapi bukan Aku."

Brillian menghela nafasnya. Percuma ia ngotot berusaha keras untuk meluluhkan hatinya. Wanita itu memang sangat keras kepala.

Tidak ingin mengajaknya berdebat, ia pun lebih memilih untuk mengalah. "Oke, baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Jagalah dirimu dengan baik. Istirahatlah. Aku akan pergi ke kampusmu untuk minta izin. Jangan ke mana-mana!" Brillian langsung bergegas keluar dan menutup pintunya.

Naina membuang muka dan tidak peduli. Jika saja ia punya nyali, ingin sekali ia menghabisi kakak angkatnya itu.

'Aku tidak boleh berdiam diri di sini saja. Kalau aku tetap ada di sini ... Dia pasti akan mengulanginya lagi. Aku harus pergi!'

Setelah Brillian pergi, Naina pun bergegas untuk berkemas-kemas. Ia mengambil sebagian pakaiannya dan memasukkannya kedalam koper.

Ia tidak mungkin lagi tinggal satu atap bersama dengan Brillian. Lebih baik ia pergi untuk mencari kehidupannya sendiri.

Naina mengambil secarik kertas dan menuliskan kata-kata.

Setidaknya, ia berpamitan pada orang tua angkatnya, walaupun caranya tidak sopan.

'Maafkan aku, Mama ... Papa ... Aku harus pergi. Terimakasih banyak atas kasihsayang yang kalian berikan. Maafkan aku karena belum bisa menjadi anak yang baik buat kalian. Aku tidak bisa membalas budi kebaikan kalian. Tapi aku minta ... Jangan kalian tangisi kepergianku ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Kalian jangan terlalu mengkhawatirkanku, ya?'

'Kalian berdua jaga diri kalian baik-baik. Mama jangan sampai sakit lagi. Aku akan sangat sedih, jika Mama sakit. Aku sangat menyayangi kalian.'

Setelah menulis surat tersebut, ia menyelipkan di bawah bantal. Wajahnya terlihat begitu berat dan penuh rasa sedih. Dadanya sesak dengan apa yang dirasakannya.

Ditelisik isi kamarnya yang nantinya akan ia rindu, tatapannya jatuh pada sebuah foto keluarga miliknya di atas meja belajar.

"Maafkan aku ma ... Aku terpaksa pergi dari sini. Aku tidak mungkin tinggal bersama kalian. Kak Lian sudah tega melecehkanku. Jangan pernah mengharapkan aku kembali atau tidak suatu saat nanti."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titi Apiani
Kalau hamil kudu tanggung jawab, walaupun kakak, kan kakak angkat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status