Pagi itu, Naina berkumpul bersama keluarganya menikmati sarapan bersama. Walaupun hatinya hancur, ia tetap bersikap baik-baik saja di depan keluarganya. Termasuk di depan kedua orang tua angkatnya.
Untuk menutupi masalahnya, ia terpaksa berpura-pura baik, seakan-akan tidak ada masalah, agar kedua orang tua angkatnya tidak curiga dengan apa yang sudah terjadi padanya.
"Na! Kenapa nasinya cuma diaduk-aduk doang? Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Heni, Mama angkatnya.
Naina menggeleng dan meletakkan sendok yang ada ditangannya. Lidahnya kelu, sangat sulit untuk bisa menerima makanan. Bahkan untuk meminum seteguk air saja, rasanya susah.
"Enggak kok, ma. Aku nggak papa. Aku baik-baik saja," jawab Naina dengan tersenyum.
Tidak ingin orang tuanya mengetahui masalahnya. Ia sangat yakin, jika mereka sampai mengetahuinya, pasti sangat syok.
"Bohong! Nggak mungkin, kalau nggak ada apa-apa, kamu diem aja kayak gini. Kalau kamu memiliki masalah, kamu cerita saja, sama Mama. Jangan suka memendam masalah sendirian."
"Jikalau kamu sakit, cepatlah makan, dan minum obat. Setelah itu kamu istirahat. Kalau nggak enak badan, sebaiknya kamu nggak usah pergi ke kampus, biar kakak kamu saja, nanti yang minta izin."
Begitu perhatiannya Heni padanya. Dan itu membuatnya tidak bisa menyakiti wanita paruh baya yang selama ini begitu menyayanginya.
'Maafkan aku, ma. Aku tidak bisa bercerita sama Mama. Sebenarnya aku ingin sekali berbagi cerita sama Mama. Tapi aku yakin, Mama akan syok mendengarnya.'
Naina mencoba untuk menahan agar tidak menangis. Tapi ia benar-benar tidak sanggup untuk menahan kepedihannya.
Sebutir air matanya jatuh mendarat di pipi.
Ia langsung mengusapnya dengan kasar. Tidak ingin diketahui oleh Mama angkatnya.
"Em ... Hari ini aku ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan, Ma. Jadi aku harus tetap datang ke kampus," jawab Naina.
Tidak ingin ia tetap berada di dalam rumah. Selalu teringat kejadian malam itu, dan rasanya membuatnya semakin gila.
"Loh! Kamu mau pergi ke kampus, Na? Lihatlah. Wajahmu pucat sekali. Kalau sampai kamu pingsan di kampus, bagaimana? Nggak usah mikirin tugas. Kesehatan jauh lebih penting," tegur Heni.
Heni khawatir, Naina yang rentan sakit, tidak memberinya izin keluar rumah.
"Apa yang dikatakan oleh Mamamu itu benar, Na. Hari ini kamu istirahat di rumah saja. Mukamu pucat. Papa nggak ingin kamu kenapa-napa di luar. Biar kakakmu yang urus."
Hartanto juga menyarankan agar dirinya tidak pergi ke kampus. Ia begitu mengkhawatirkan kondisinya.
Semenjak kehadiran Naina di hidupnya, usahanya semakin besar. Ia mengklaim Naina sebagai pembawa keberkahan. Karena itu, ia sangat mempedulikan Naina, dibandingkan dengan anak laki-lakinya yang suka membuat masalah.
"Tapi pa ..."
"Kali ini menurutlah, sama Papa. Jangan banyak membantah. Sekarang lebih baik habiskan makananmu. Setelah itu, minum obat dan istirahat. Jangan ke mana-mana," peringat Hartanto dengan beranjak dari tempat duduknya.
Tidak menjawab. Naina hanya menunduk dengan mengaduk-aduk makanan yang ada dipiringnya.
"Hari ini Papa ada meeting pagi. Papa akan berangkat duluan. Kamu urus adikmu. Buatkan dia surat izin ke kampusnya. Biarkan dia istirahat di rumah."
Sebelum berangkat kerja, Hartanto mengingatkan anak laki-lakinya untuk membuatkan surat izin buat Naina.
"Papa tenang saja. Biar aku yang mengurusnya," jawab Brillian yang nampak tenang sembari menikmati makanannya.
Setelah kepergian Hartanto, Naina juga bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung menuju kamar dengan berjalan tertatih-tatih. Rasa ngilu di area sensitifnya, membuatnya kesulitan untuk berjalan.
Heni mengerutkan keningnya. Menatap anak perempuannya yang tidak baik-baik saja.
"Lian! Kamu tahu apa yang sudah terjadi pada adikmu?" tanya Heni.
Brillian pun mengangkat kedua bahunya. "Enggak tahu Ma. Dia kan emang gitu. Kalau ada masalah, selalu diam."
Brillian menatap sekilas kepergian Naina dengan menikmati makanannya.
Sebenarnya, ia ingin mengakui kalau dirinya lah yang sudah membuat Naina seperti itu, tapi Naina sendiri yang bilang, kejadian malam itu hanya rahasia berdua.
"Aneh banget! Apa dia lagi sakit ya? Lihatlah kalau berjalan. Sepertinya dia lagi kesakitan."
Uhuk ... Uhuk ...
Seketika Brilian tersedak air minum. Heni pun menegurnya. "Hati-hati kalau minum. Bisa-bisanya sampai tersedak!"
"Enggak tau ma!" Brillian telah menyelesaikan makannya, dan ia memutuskan untuk menemui Naina, sebelum pergi ke kantor.
"Yaudah. Kalau gitu aku temui dia dulu, Ma!" Brillian beranjak dari tempat duduknya. Ia menuju ke kamar Naina.
Tanpa permisi, ia langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Naina, dan mendapati Naina yang tengkurap di ranjang.
Ekhem ...
Deheman Brillian, sontak membuat Naina terkejut. Ia pun langsung bergegas duduk. Tidak ingin kejadian malam itu terulang lagi.
"Mau apa lagi kau! Belum puas menghancurkanku!"Naina melotot menatapnya penuh dengan kebencian.
"Kenapa, Na! Kau tidak suka aku menemuimu?" tanya Brillian menatapnya kecewa.
Ia tahu Naina begitu marah padanya. Tapi ia sendiri juga tidak sengaja melakukannya.
"Aku sudah bilang padamu kalau aku tidak sengaja melakukannya. Aku bahkan tidak menyadarinya, kalau semalaman itu kita sudah melakukan hubungan suami istri. Kamu nggak usah sedih. Aku akan bertanggung jawab untuk menikahimu!"
Brilian tidak mempermasalahkan jika harus bertanggung jawab untuk menikahi Naina. Karena pada dasarnya dia sudah mencintai gadis itu.
"Tapi aku tidak mau menikah denganmu! Aku tidak mencintaimu!" jawab Naina dengan menangis. Hatinya benar-benar terluka.
Brillian kesal. Berkali-kali Naina menolak niat baiknya, ingin bertanggungjawab untuk menikahinya.
"Jangan bodoh! Bahkan semua perempuan sudah tergila-gila padaku. Tapi kenapa kau malah menolakku. Kurang apa aku ini. Apakah aku masih kurang tampan, untukmu!"
"Tampan, kalau tidak punya harga diri, buat apa!" Naina membantahnya dengan ucapan kasar.
Kejadian semalam benar-benar membuatnya ilfeel pada kakak angkatnya itu.
"Hari gini masih juga bilang tentang harga diri. Kau yakin masih mempertahankan harga dirimu, setelah semalaman kita sudah melakukannya bersama!"
Berasa mendidih otak Naina. Ia benar-benar dibuat gila oleh sikap Brillian.
"Aku minta ... Kau pergi dari sini. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Kau bisa mencari perempuan lain, tapi bukan Aku."
Brillian menghela nafasnya. Percuma ia ngotot berusaha keras untuk meluluhkan hatinya. Wanita itu memang sangat keras kepala.
Tidak ingin mengajaknya berdebat, ia pun lebih memilih untuk mengalah. "Oke, baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Jagalah dirimu dengan baik. Istirahatlah. Aku akan pergi ke kampusmu untuk minta izin. Jangan ke mana-mana!" Brillian langsung bergegas keluar dan menutup pintunya.
Naina membuang muka dan tidak peduli. Jika saja ia punya nyali, ingin sekali ia menghabisi kakak angkatnya itu.
'Aku tidak boleh berdiam diri di sini saja. Kalau aku tetap ada di sini ... Dia pasti akan mengulanginya lagi. Aku harus pergi!'
Setelah Brillian pergi, Naina pun bergegas untuk berkemas-kemas. Ia mengambil sebagian pakaiannya dan memasukkannya kedalam koper.
Ia tidak mungkin lagi tinggal satu atap bersama dengan Brillian. Lebih baik ia pergi untuk mencari kehidupannya sendiri.
Naina mengambil secarik kertas dan menuliskan kata-kata.
Setidaknya, ia berpamitan pada orang tua angkatnya, walaupun caranya tidak sopan.
'Maafkan aku, Mama ... Papa ... Aku harus pergi. Terimakasih banyak atas kasihsayang yang kalian berikan. Maafkan aku karena belum bisa menjadi anak yang baik buat kalian. Aku tidak bisa membalas budi kebaikan kalian. Tapi aku minta ... Jangan kalian tangisi kepergianku ini. Aku hanya ingin menenangkan diri. Kalian jangan terlalu mengkhawatirkanku, ya?'
'Kalian berdua jaga diri kalian baik-baik. Mama jangan sampai sakit lagi. Aku akan sangat sedih, jika Mama sakit. Aku sangat menyayangi kalian.'
Setelah menulis surat tersebut, ia menyelipkan di bawah bantal. Wajahnya terlihat begitu berat dan penuh rasa sedih. Dadanya sesak dengan apa yang dirasakannya.
Ditelisik isi kamarnya yang nantinya akan ia rindu, tatapannya jatuh pada sebuah foto keluarga miliknya di atas meja belajar.
"Maafkan aku ma ... Aku terpaksa pergi dari sini. Aku tidak mungkin tinggal bersama kalian. Kak Lian sudah tega melecehkanku. Jangan pernah mengharapkan aku kembali atau tidak suatu saat nanti."
Acara ulang tahun nampak begitu meriah. Hari ini adalah hari ulang tahun Syakilla yang ke lima. Semua keluarga berkumpul bersama di rumah Brilian.Aminah dan juga Bryan datang, mereka membawa kue ulang tahun khusus buat Syakilla."Syakilla, wah ...., cantiknya cucu nenek."Melihat penampilan cucunya yang nampak cantik alami, membuat Halimah menitikkan air matanya.'Ya ampun ..., cucuku cantik sekali. Mungkin Naina dulu waktu kecil seperti ini. Aku sudah terlambat datang, aku sudah gagal menjadi orang tua yang baik untuk anakku.'"Nenek ..., nenek udah datang? Nenek itu bawa apaan?" tanya Syakilla menoleh pada Bryan yang tengah membawa sesuatu di tangannya.Dia sangat penasaran, sampai-sampai dia berjinjit hendak melihatnya."Syakilla, lihatlah. Ini kue khusus buat kamu. Nenek sengaja bikin sendiri, dan rasanya enak sekali , pasti kamu akan menyukainya."Halimah yang semula ada di luar pintu kamar Naina, ia langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam ditemani oleh Bryan."Ayo tebak n
"Mom! Ambilkan kue buatanku. Aku akan tunjukkan pada Daddy sama Om Bryan. Mereka nggak percaya aku bisa bikin kue."Syakilla mengadu pada Naina yang masih sibuk di dapur."Tunggu sebentar, Mommy potong-potong dulu ya, biar mudah untuk dimakan," jawab Naina."Loh! Nggak usah dipotong. Biar gitu aja," bantah Syakilla.Naina mengerutkan keningnya. "Kau itu mau bagi kue sama Daddy, atau tunjukin doang?" tanya Naina."Tunjukkan saja. Kuenya nggak boleh dimakan."Halimah dan Warti terkekeh mendengar celotehan Syakila. Baru pertama kalinya ada orang berceloteh di rumahnya."Kau itu Killa, buat apa kuenya nggak dimakan, kan bisa mubazir. Lebih baik dimakan, biar tahu rasanya, bukan cuma dibuat pajangan," tegur Halimah."Tapi kan nenek, nanti kalau dimakan kuenya habis, aku kan juga harus kasih Oma sama Opa juga," bantah Syakilla dengan menggembungkan pipinya.Naina mengambilnya kue berukuran sedang itu dan meletakkan di mangkok plastik."Biar mommy yang bawa, entar kalau kamu yang bawa bisa j
"Dad! Aku tadi bantuin nenek bikinin kue buat Daddy. Daddy akan makan kue buatanku, kan?"Syakilla berbisik di telinga Brilian yang tengah bermain catur dengan Bryan di teras depan rumahnya.Brilian menoleh dengan menautkan kedua alisnya. "Memangnya kamu bisa bikin kue?" tanya Brillian, tak yakin Syakila bisa membuat kue. Gadis kecil berusia empat tahun itu begitu aktif dan pintar, namun ia masih meragukan anak kecil seusia itu bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa diduganya.Syakilla menyunggingkan bibirnya. "Apakah Daddy tengah meremehkanku? Aku akan buktikan kalau aku bisa bikin kue sendiri tanpa dibantu sama Nenek ataupun Mommy. Aku pintar dad, nanti kalau aku udah besar, aku pasti akan buat kue sendiri jika aku tengah berulang tahun, atau nanti pas ulang tahunku Daddy harus siapkan bahannya biar aku bikin dengan tanganku sendiri."Bryan terkekeh meledeknya. "Heh! Killa! Omonganmu itu kayak orang lagi mabuk, ngelantur. Mana mungkin anak kecil bisa bikin makanan, bikin kue itu s
"Nenek, aku mau bantuin nenek bikin kue."Syakilla mengambil loyang di rak buat mengadoni kue buatan Halimah.Halimah selama ini memang suka membuat kue. Banyak orang yang suka memesan kue padanya."Serius kamu mau bantuin nenek membuat kue? Memangnya Killa bisa membuat kue?" tanya Halimah.Syakilla menaruh adonan itu ke atas meja pantry dengan meraih kursi plastik untuk dipijaknya."Ya bisa dong!!"Nampak begitu Arogan anak Brilian. Ia menunjukkan kepandaiannya saat membantu omanya membuat kue di rumahnya."Nenek jangan suka meledekku, aku sangat suka membuat kue. Di Rumahku, aku sering buat kue dengan Oma. Oma juga buat kue suka gosong."Dengan selorohnya yang lucu mampu membuat Halimah melepas tawanya. "Kau itu, Killa! Bikin kue gosong aja dibanggain. Coba kalau bikin kue itu disertai dengan doa, biar jadinya bagus, nggak gosong," ledek Halimah.Warti tersenyum dengan geleng-geleng kepala. Andai saja di rumah masih banyak itu ada anak kecil setiap hari pasti akan sangat seru, ada
"Apa kau pikir anakku itu jelmaan setan?! Kau itu orang tua tak berakhlak ya! Bisa-bisanya ngata-ngatain anakku seperti boneka Annabelle. Kau tau kan? Boneka Annabelle itu boneka setan. Aku nggak terima, ya? Enak saja ngata-ngatain anakku kayak gitu. Kau belum punya anak sih, jadi nggak pernah tau rasanya saat anaknya dikata-katain kayak gitu, menyebalkan."Bryan terbengong saat diomeli Brillian. Sedangkan Syakilla menjulurkan lidahnya meledek Bryan, karena dia berhasil mengadu pada orang tuanya."Rasain om, om dimarahin kan? Sama Daddy," ledek Syakilla dengan terkekeh."Oh! Jadi kamu ngadu sama dia!" Bryan menunjuk pada Brillian dengan cengiran kuda.Syakilla mengangguk. Iya Memangnya kenapa kalau aku mengadu, kan dia Daddy-ku," jawab Syakilla."Ck! Dasar kalian berdua!"Halimah langsung menghentikan perdebatan mereka berdua. "Sudah-sudah, nggak usah berisik! Ini juga masih pagi. Kalian ini sudah menjadi orang tua, seharusnya bersikaplah baik untuk menjadi contoh yang baik buat anak
"Daddy! Mommy! Om Bryan nakal. Masa aku dibilang kayak boneka Annabelle. Apakah aku sangat jelek seperti boneka Annabelle, sampai Om Bryan mengatakan itu padaku!"Syakilla berlari menuruni anak tangga dan langsung mengadu pada kedua orang tuanya, jika ia habis diledek seperti boneka Annabelle oleh Bryan.Mendengar pengaduan dari putrinya, Brillian langsung melotot. "Apa dia bilang? Kamu dikatain seperti boneka Annabelle? Kau tau Anabelle itu apa Killa?" tanya Brillian dengan menaikkan satu alisnya menatap wajah cantik putri kecilnya.Syakilla langsung menggeleng. "Belum tau, memangnya boneka Annabelle itu seperti apa sih, Dad?" Ia memang masih belum mengetahui Anabelle itu jenis boneka seperti apa. Selama hidupnya, ia belum pernah mendapati boneka Annabelle."Boneka Annabelle itu boneka hantu, boneka setan. Kamu udah dikatain om kamu mirip setan. Kurang ajar banget jadi orang tua, tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia ngatain anakku seperti boneka setan! Awas aja dia. Aku tidak akan me
Seperti yang dikatakan oleh Halimah, Syakilla diminta untuk membangunkan Bryan yang masih belum keluar dari dalam kamarnya.Bryan sangat jarang bangun pagi di kala ia lagi weekend, kadang sampai seharian dia tidak mau keluar kamarnya, dan itu membuat Halimah gemas dengan sikapnya yang masih suka seperti anak kecil."Om ...! Bangun Om! Ini sudah siang!"Syakilla menggedor-gedor pintunya dengan tangan mungilnya yang tidak terlalu bertenaga, tidak terlalu menimbulkan suara, dan membuat Bryan tidak bisa mendengarnya dengan jelas."Om! Kenapa Om tidak menjawabku, apa Om masih hidup?"Tidak mendapatkan jawaban sama sekali, membuat Syakilla berpikir kalau Bryan sudah meninggal di dalam kamarnya."Kenapa Om tidak menjawabku, apa jangan-jangan Om sudah meninggal, ya? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus bilang sama nenek."Tidak mendapati sahutan dari dalam, Syakilla mengira kalau Bryan sudah meregang nyawa.Syakilla memutuskan untuk memberitahu neneknya, ia berlari menuruni anak tangga dan me
"Alhamdulillah, akhirnya kita tiba di sini juga. Oh ya ampun, aku sampai lupa tidak membawakan baju ganti buat Syakilla. Aku tadi buru-buru dan lupa nggak bawa baju ganti," gumam Naina dengan menepuk jidatnya."Ck! Kok bisa sih yang! Udah tiba di sini ada juga yang ketinggalan. Entar apalagi yang ketinggalan, jangan bilang kalau kamu juga nggak pakai celana dalam ledek Brillian.Naina langsung melayangkan tangannya memukul pundak Brillian. "Ngaco aja kalau ngomong! Ya mana mungkin aku nggak pakai celana dalam, kalau aku nggak pakai celana Kamu pastinya juga nggak mau jauh-jauh dari aku," seru Naina.Seketika Brilian melepaskan tawanya. "Ya jelas aku nggak mau jauh-jauh dari kamu. Menjauhkan diri dari sesuatu yang nikmat untuk disantap rasanya mustahil banget. Banyak manusia di dunia ini yang mengharapkan sesuatu itu. Bahkan sebagian besar manusia sampai berebut dan nyawa yang dipertaruhkannya hanya demi segumpal daging yang bentuknya saja sangat unik."Naina memutar bola matanya. Ia
Liburan telah tiba, Syakilla minta diantarkan ke rumah neneknya. Brillian sendiri sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah mertuanya, namun dia mewanti-wanti agar Naina tidak menginap di rumah orang tuanya sendiri."Yee ... Pada akhirnya aku akan menginap di rumah Nenek."Syakilla nampak senang dan berharap bisa menginap di rumah neneknya."Menginap apaan, enggak ya! Nggak ada yang boleh menginap, kita berkunjung aja," sahut Brillian langsung memberikan teguran pada putrinya."Loh! Daddy ini gimana sih. Katanya boleh menginap?" tanya Syakilla nampak kecewa. "Siapa yang bilang! Daddy nggak bilang kalian boleh menginap. Daddy cuma bilang Syakilla boleh main ke rumah nenek, asal nggak menginap," balas Brillian.Syakilla memanyunkan bibirnya, dia sangat kecewa berat, ucapan Brillian tak sesuai dengan kenyataan."Katanya tadi malem boleh menginap, sekarang udah beda lagi. Gimana sih dad! Nggak jelas banget, bikin orang kecewa aja," bantahnya dengan bibir mengerucut, menggemaskan.Nain