Mendapatkan banyak perhatian dari tamu undangan, membuat Hartanto agak risih. Tidak ingin semua orang mempertanyakan tentang Naina. Ia pun meminta Naina, untuk masuk ke dalam rumah.
"Naina ... Lebih baik kamu istirahat di dalam, ya? Mama sama Papa akan menemui tamu-tamu dulu. Kasihan juga anakmu kecapean," tutur Hartanto pekan.
Naina mengangguk, ia juga sudah lelah terlalu lama di perjalanan. "Baik, pa. Kalau begitu aku tunggu di dalam."
Naina bergegas masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamarnya. Ia berharap, tidak bertemu dengan Brillian. Ia juga berencana untuk cepat pergi dari rumah orang tuanya. Setelah melepas kerinduan pada orang tuanya.
"Maafkan mommy ya, nak. Mommy sudah membawamu ke sini. Sebenarnya mommy tidak ingin kamu bertemu dengan Ayah kandungmu. Tapi mommy juga tidak ingin menjadi kacang lupa kulitnya. Mommy dibesarkan di rumah ini. Mommy diberikan banyak kasihsayang oleh mereka.'
'Tapi mommy janji. Setelah ini ... Kita pergi dari sini. Dan kita cari kehidupan kita sendiri."
Naina meletakkan anaknya di ranjang, dan mengambil boneka miliknya yang dulu disimpan dalam lemari.
"Killa! Ini boneka mommy, sayang. Kamu mainan boneka ini aja, ya? Nanti kalau kita udah punya rumah sendiri, mommy janji, bakalan beliin banyak mainan untukmu."
Syakilla, gadis kecil yang pendiam dan penurut, tidak membuat Naina kewalahan mengurusnya.
Dia tidak begitu aktif seperti anak kecil yang lain. Dia juga sulit diajak berbaur dengan orang lain.
***
Setelah acara tunangan selesai. Tamu-tamu berpamitan. Seketika rumah itu kembali sepi.
Hartanto maupun Heni tidak memberi tahu Brillian tentang kedatangan Naina. Jika Brillian tahu Naina datang, sudah pasti ia akan berulah dan menggagalkan acara pertunangannya dengan Tarisa.
Heni mengambil makanan di nampan dan membawanya ke kamar Naina. Ia berfikir, Naina tidak mungkin makan. Pasti dia mengurung diri di dalam kamar.
"Naina ... Ini Mama. Bisakah kau membuka pintunya, sayang."
Heni mengetuk pintunya. Ia sudah tidak sabar ingin menemui Naina. Ia ingin tahu banyak cerita anak perempuannya yang sudah empat tahun meninggalkan rumahnya.
"Iya Ma. Tunggulah sebentar."
Mendengar Mamanya memanggil, Naina langsung bergegas untuk membukakan pintu kamarnya, dan memang benar, Mamanya datang dengan membawakan makanan.
"Mama bawa apaan, ma?" tanya Naina menatap pada nampan yang berisi makanan.
"Mama bawa makanan untukmu, dan juga cucu Mama," jawab Heni masuk ke dalam kamar dan meletakkan nampan berisi makanan ke atas meja.
Setelah itu, Heni menuju ranjang dan bergabung bersama dengan cucunya yang tengah bermain boneka.
"Cucu Oma. Kenapa kamu nggak pernah pulang nak. Kenapa kamu lahir tanpa ditemani Oma?" Tarisa menatap gemas cucunya. Ia mencemol pipi chubby-nya.
Syakila, gadis kecil itu langsung menangis ketika dipegang oleh Heni. Dia masih belum pernah mengenali Heni. Dia takut, Heni berbuat jahat padanya.
Naina langsung mengunci pintunya dan bergegas ke ranjang, untuk menggendong anaknya yang menangis ketakutan.
"Sayang! Ini Oma. Oma kamu. Oma nggak jahat. Kamu nggak usah takut, ya?" Naina langsung menggendongnya, menenangkan anaknya yang menangis menyembunyikan wajahnya di ceruk leher.
"Sayang! Ini Oma, nak. Kenapa kamu takut sama Oma." Heni menatap sedih cucunya yang tidak mau digendong olehnya.
Killa memang seperti ini, ma. Dia tidak suka berbaur dengan orang lain. Aku tidak pernah mengajaknya keluar. Dia tidak suka dengan keramaian," celetuk Naina bercerita.
"Oh! Ya ampun ... Jadi dia penakut, Na? Tapi ngomong-ngomong ... Siapa namanya? Mama sampai nggak tau sama cucu sendiri."
Lebih menyedihkan lagi, saat Naina melahirkan, ia tidak ada bersamanya. Pasti Naina berjuang sendirian tanpa ada keluarga yang menemaninya.
"Namanya Syakilla, ma. Panggilannya Killa. Umurnya sudah tiga tahun lebih dua bulan. Sebentar lagi udah mulai masuk sekolah paud," jawab Naina.
Heni terdiam. 'Empat tahun Naina meninggalkan rumah. Anaknya kini sudah berumur tiga tahun lebih. Dan Naina bilang tidak memiliki suami. Itu berarti'
Heni kembali mengingat kejadian di mana Naina pergi dari rumah, dan pengakuan Brillian setelah melecehkan Naina.
"Na! Mama ingin bertanya padamu. Tadi kamu bilang ... Kamu nggak punya suami. Maksudnya apa, ya? Kalau nggak punya suami. Kenapa kamu punya anak?"
Naina terdiam. Jawaban apa yang harus ia berikan pada Mamanya. Sedangkan ia memang benar tidak pernah memiliki suami.
"Na! Kenapa kamu diam? Ayo jawab Mama!"
Naina menggigit bibirnya dengan perasaan cemas. Tapi ia harus tetap menjawabnya.
"Em ... Sebenarnya aku sudah menikah, ma. Tapi gagal. Kami berpisah," jawab Naina berbohong. Sebenarnya ia tidak tega membohongi orang yang sangat menyayanginya. Tapi dia juga tidak ingin menceritakan kebenarannya, jika Brillian lah, Ayah kandung dari anaknya.
"Kamu sudah bercerai dari suamimu? Terus selama ini kamu tinggal di mana? Kenapa saat kamu menikah, kamu tidak mengabari kami. Apakah kamu sudah tidak peduli lagi sama kami? Kami punya salah apa sama kamu, nak! Sampai kamu tega meninggalkan Mama sama Papa di sini."
Naina langsung menangis. "Maafkan Aku, ma. Aku terpaksa meninggalkan kalian semua. Aku tidak ingin membuat kalian kecewa. Aku sudah ..."
"Mama sudah tahu semuanya. Kamu sudah dilecehkan oleh kakakmu sendiri, kan!"
Deg. Naina menatap nanar wajah mamanya. Ia tidak menyangka, ternyata orang tuanya tahu kebenarannya. Pasti Brillian telah mengatakannya."Maksud Mama ... Mama sudah tahu kalau aku ..."
Heni mengangguk, menatapnya sembari menangis. "Iya. Brilian sudah mengatakan semuanya. Brilian sudah merusak harga dirimu. Dan kamu diam saja. Kamu bukannya bercerita sama kami, tapi kamu malah kabur dari rumah."
"Kenapa kamu harus kabur! Kenapa kamu nggak mau cerita sama kami."
Naina menggeleng dengan tangisnya terisak. Tidak ingin ia mengecewakan orang tuanya. Ia memilih kabur, agar aib keluarganya tidak tercemar.
"Maafkan aku yang tidak pernah bercerita pada Mama. Aku tidak sanggup untuk menceritakannya. Aku takut kalian kecewa. Aku sudah membuat aib keluarga. Aku tidak pantas untuk tetap tinggal di sini."
"Dan aib keluarga itu disebabkan oleh anak kandung Mama sendiri. Jika boleh memilih ... Mama lebih baik mengusir Brilian, daripada kamu yang pergi dari sini. Brilian lah yang sudah mengacaukan semuanya. Bukannya melindungimu, dia malah menghancurkan hidupku. Mama benar-benar sangat kecewa padanya. Makanya Papa memutuskan untuk menjodohkan dia dengan perempuan lain."
Deg. "Apa! Brillian dijodohkan. Berarti pesta di depan tadi ..."
Sebenarnya ia tidak peduli, walaupun Brillian menikah dengan siapapun. Tapi yang ia pikirkan kini, bagaimana nasib anaknya. Syakilla tumbuh besar tanpa status. Ia tidak memiliki Ayah sebagai pelengkap identitasnya.
Mendapati Naina yang terbengong, Heni pun menegurnya. "Kamu kenapa diam, Na! Ada sesuatu yang kau pikirkan?"
"Ah ...! Tidak! Tidak ada kok ma," jawab Naina gugup.
Naina mengalihkan pandangannya dengan mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes.
"Jangan bohong, Na! Mama tahu kamu tengah memikirkan sesuatu. Katakan saja pada Mama. Apa yang tengah kau pikirkan. Atau ... Kau tengah memikirkan Brillian?"
Malam mulai larut. Semua orang telah meninggalkan kediaman Hartanto. Brillian juga memasuki rumahnya setelah mengantarkan Tarisa yang kini menjadi tunangannya.Ia frustasi dengan keadaan. Ia stress, berharap bisa bertemu dengan Naina kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah, menikahi Naina dan hidup bersamanya."Kalau bukan karena Papa, aku ogah bertunangan dengan Tarisa. Perempuan macam itu dibilang baik. Baik apanya," dengan menggerutu ia berjalan menuju kamarnya, namun setibanya di depan kamar Naina, ia terhenti saat mendengar suara tangis anak kecil.Dia mendekatkan telinganya di kenop pintu. Terdengar sangat jelas suara anak kecil perempuan sedang menangis."Siapa yang menangis di sini. Bukankah semua orang sudah meninggalkan rumah ini. Tapi siapa yang ada di dalam sana. Kok ada suaranya anak kecil menangis di sini."Bulu kuduknya mulai merinding. Bahkan ia tidak pernah takut pada siapapun, termasuk hantu sekalipun. Ia selalu menyibukkan diri dan pulang larut malam tidak pern
"Tidak sayang, om hanya capek, jadinya marah sama kita. Kamu nggak usah takut ya?"Semalaman Syakilla tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar takut Brillian akan mencelakainya.Pagi-pagi sekali Hani sudah menyiapkan sarapan keluarganya ia ingin makan bersama dengan Naina dan juga cucunya. Ini hari pertama mereka terkumpul Setelah sekian lama tidak pernah makan bersama dengan Naina."Naina, ayo keluar nak. Kita sarapan bersama," celetuk Heni mengetuk pintu kamar Naina."Ma ... Aku masih belum lapar. Mama tinggal aja dulu, nanti kalau aku lapar aku akan keluar," jawab Naina dari dalam."Loh! Kok gitu nggak lapar bagaimana? Memangnya kamu sudah makan? Nggak ada alasan! Ayo kita makan bersama."Heni keukeh meminta Naina untuk keluar dari dalam kamarnya cepat ataupun lambat Brilian juga akan segera mengetahui datangnya. Mereka belum tahu kalau Brilian dan Naina sudah bertemu malam itu."Oke baiklah. Tunggu saja aku di ruang makan."Naina beranjak dari sofa dan mengajak anaknya untuk keluar
Mendapati Naina keluar dari rumah, Brillian buru-buru mengemudikan mobilnya keluar dari garasi. Ia sengaja berlama-lama menunggunya di dalam mobil di garasi rumahnya.Ia tidak mau membuat kegaduhan dengan Naina. Ia ingin tahu banyak apa saja alasan Naina pergi dari rumah dan mengatakan bahwa anak yang bersamanya itu bukanlah anak hasil percintaannya empat tahun yang lalu.Tin tin ... Suara klakson mobil membuat Naina terkejut. Ia sampai mengumpat, karena anak yang bersamanya takut akan kegaduhan."Sialan! Siapa sih, yang membunyikan klakson seperti ini. Perasaan aku sudah ada di pinggiran jalan, apa masih kurang minggir lagi. Dasar orang tidak tahu diri."Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobil BMW X5 berjalan pelan. Ia tidak tahu siapa pemilik mobil itu, karena kacanya terlalu tebal dan tidak bisa tembus pandang.Tiba-tiba saja mobil itu berhenti di sebelahnya, kacanya terbuka dan terlihatlah seorang pemuda dengan memakai kacamata hitam berpakaian formal yang tak lain adalah Brili
"Brillian." Dengan cepat Brillian menjawabnya.Dari situ Brillian kembali curiga kalau anak yang dimiliki oleh Naina itu adalah darah dagingnya sendiri. Naina tidak bisa memberinya keterangan pada petugas rumah sakit.Naina sendiri tampak kebingungan saat ditanya tentang orang tua dari anaknya. Ingin sekali Brillian memaki-makinya karena sudah berbohong padanya.Setelah selesai mendaftar Brillian mengajak ke lantai tiga tempat para dokter spesialis berkumpul. Mereka mengantri di depan ruang dokter. Sama-sama diam, bergeming dengan pemikirannya masing-masing."Mom, pulang," rengek Syakilla yang merasa kedinginan di ruang AC."Sayang, tunggu sebentar ya? Killa diperiksa dulu, biar cepat sembuh," tutur Naina lembut."Tapi dingin," rengek Syakilla.Naina sudah memakaikan selimut tebal, tapi tetap saja Syakilla masih juga kedinginan. Sedangkan badannya tengah demam tinggi.Brillian langsung melepas jas kerjanya dan menyelimutinya. Walaupun hatinya marah, tapi melihat Syakhilla ia tidak te
"Sudah-sudah hentikan! Ayo kita pulang!" Naina menatap kesal pada Brillian yang datang-datang langsung marah. Entah setan apa yang sudah merasukinya, tiba-tiba saja ia dibentak cukup keras di muka umum. Bahkan ada Damian bersamanya. Ia sangat malu dengan sikap kasar Brillian."Siapa sih! Dia ini. Ikut campur urusan orang saja," kesal Brillian, karena laki-laki yang bersama Naina telah membelanya."Dia temanku, nggak usah melotot," jawab Naina sengit, karena Brillian memelototi Damian."Kamu itu ngapain juga sama dia. Kan aku sudah menyuruhmu untuk menungguku di sini, tapi bukan berarti kamu enak ngobrol sama laki-laki lain. Bisakah kau menghargaiku?"Semua orang yang tengah mengantri obat di tempat itu menatapnya, dan itu membuat Naina sangat malu."Kakak! Aku di sini tidak sengaja bertemu dengan Kak Damian. Kita dulu berteman di sekolah, Apa aku harus diam saja, bertemu dengan teman sekolahku. Apakah aku salah, aku bertegur sapa dengan teman sekolahku? Jangan egois kamu!""Siapa juga
"Tidak! Jangan lakukan, karena aku tidak mengizinkanmu untuk melakukan tes DNA dengan anakku," jawab Naina.Brilian memicingkan bola matanya menatap aneh gadis yang dicintainya itu tiba-tiba seperti ketakutan."Kenapa aku tidak boleh melakukan tes DNA dengan anakmu. Kurasa nggak ada masalah kalau kita melakukan tes DNA. Ya biar tahu aja dia itu sebenarnya anaknya siapa," jawab Brillian."Sekali enggak, tetap enggak!Jangan pernah coba untuk melakukan tes DNA dengan anakku. Jangan punya pikiran kalau ini adalah anakmu, kau bukan siapa-siapanya. Kalau kau memang sayang sama dia, anggap saja dia sebagai keponakanmu, jangan berlebihan!"Semakin aneh sikap Naina yang membuat Brilian bertambah curiga. Iya sangat yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naina. Padahal ia hanya ingin tahu saja kebenarannya, tapi Naina selalu menolak untuk diajaknya melakukan tes DNA."Kenapa sih, Kau egois banget. Aku hanya ingin tahu saja kebenarannya. Apa aku salah jika aku ..."Dengan cepat Naina memotong
Di kantor, seharian Brillian nampak marah-marah. Ia marah pada orang tuanya dan juga pada Naina.Orang tuanya terlalu terburu-buru untuk menjodohkannya dengan Tarisa, gadis yang tidak disukainya. Sedangkan Naina, gadis yang dicintainya sangat keras kepala, dan tidak mau mengerti apa yang dirasakannya."Semua menyebalkan! Menyebalkan ... !!"Ia melemparkan berkas-berkas penting yang ada di meja kerjanya. Di satu sisi ia senang Naina sudah kembali padanya. Di sisi lain ia juga kesal, karena Naina mengacuhkannya. Bertambah pusing kepalanya memikirkan dua wanita yang mengacaukan hidupnya.Irma, sekretaris dari Brilian terkejut mendapati Brilian yang tiba-tiba mengamuk. Ia juga lupa tidak mengetuk pintunya dan langsung masuk begitu saja karena ada hal penting yang ingin disampaikannya."Permisi Pak. Bapak baik-baik saja?" tanya Irma mendadak menciut ketakutan saat melihat kilatan mata merah Brilian diselimuti oleh emosi yang tinggi."Ada apa?! Kau punya sopan santun kan? Kalau masuk ke tem
Malam telah tiba. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Naina tampak diam dengan menyiapkan makan malamnya hari itu ia membantu bibi memasak di dapur Heni sangat senang karena Ini pertama kalinya ia menikmati makanan buatan Naina."Papa coba lihat Pa, anak kita ternyata pulang-pulang bisa masak. Nggak nyangka Mama. Siapa yang sudah mengajari Naina masak di luar. Bahkan dulu dia sangat malas kalau disuruh bantuin di dapur. Tapi setelah empat tahun pergi, pulang-pulang dia sudah bisa memasak. Ini semua masakan buatan Naina loh, pa."Heni sangat antusias melihat Naina begitu cekatan memasak di dapur. Bahkan Bibi saja sampai kalah menyiapkan bahan-bahan makanannya.Naina juga sangat pandai membuat makanan yang belum pernah dimasak di rumahnya. Mungkin Naina di luar belajar memasak pada chef terkenal, atau ada orang yang memang bisa mengajarinya memasak."Wah! Sekarang kita bisa merasakan makanan buatan anak kita sendiri dong, Ma. Papa benar-benar bangga punya anak perempuan yan