***
"Ish, Davion ke mana sih? Enggak biasanya deh dia ngilang seharian gini. Bikin khawatir aja."Duduk di tepi kasur, rutukan tersebut akhirnya dilontarkan Senja setelah Davion sang kekasih tak bisa dia hubungi baik itu lewat telepon mau pun chat yang bahkan sampai sekarang belum dibalas.Entah ke mana pria itu, Senja sendiri tak tahu. Namun, yang jelas dia dilanda rasa khawatir karena semenjak berpacaran dengannya, Davion tak pernah menghilang seharian penuh seperti sekarang."Kenapa sih? Mas dengar-dengar kayanya daritadi kamu ngerutuk terus."Sejak tadi fokus pada layar ponsel, selanjutnya Senja mengangkat pandangan setelah pertanyaan tersebut didapatkannya dari Juan yang kini duduk di depan meja belajar, dan alih-alih menjawab pertanyaan dari pria itu, Senja justru sedikit menunduk untuk memandang sebuah cincin yang kini tersemat di jari manis miliknya.Tak mau hubungan dia juga Davion terbongkar, minggu lalu Senja memang menerima tawaran dari Juan sehingga hari ini—tepatnya hari Sabtu, dia resmi dipinang sang kakak ipar di kediaman kedua orang tuanya.Tak ada pesta meriah, pernikahan hanya meliputi akad nikah yang dihadiri orang terdekat, karena tentunya sampai beberapa waktu ke depan Senja masih ingin merahasiakan hubungannya dengan Juan dari Davion.Juan tak keberatan jika setelah menikah, Senja masih berhubungan dengan sang kekasih. Hal itu perlahan membuat rasa kesal di hatinya pada sang kakak ipar pun hilang, karena sejauh ini Juan mulai memihak dirinya.
"Kok diem?" tanya Juan setelah Senja mengabaikan pertanyaannya. "Mas nanya lho.""Davion, Mas," ucap Senja pada akhirnya. "Semalam kan aku bilang ke dia kalau hari ini aku ada acara dan kalau bisa jangan hubungi aku setidaknya sampai sore.""Terus?""Ya dia bablas sampai sekarang enggak hubungin aku," ucap Senja sambil mendesah. "Dichat enggak balas dan ditelepon juga enggak jawab. Padahal, aku khawatir.""Tapi nomornya aktif?""Nomor biasa sih aktif, cuman ya gitu. Enggak diangkat.""Tidur mungkin," kata Juan yang membuat atensi Senja beralih pada jam dinding di kamar mereka."Mana ada," kata Senja. "Davi tuh tidur minimal jam sepuluh karena kadang setiap malam kita teleponan. Jadi seharusnya dia belum tidur.""Nongkrong sama teman-teman mungkin?" tanya Juan, coba menebak yang selanjutnya disanggah kembali oleh Senja."Enggak," kata Senja. "Davi kalau nongkrong pasti bilang dulu ke aku—""Dan bisa aja dia lupa buat kabarin kamu hari ini," kata Juan, memotong ucapan Senja dengan sengaja. "Karena nyangka kamu masih ada acara keluarga, Davi nongkrong tanpa izin ke kamu dan karena enggak mau keganggu, dia matiin data.""Masuk akal sih," ucap Senja dengan raut wajah yang masih terlihat merengut."Lagian ada suami, ngapain cari pacar?" tanya Juan yang kembali membuat Senja memberikan tatapan padanya. "Suami lebih bebas lho mau diajak ngapain juga.""Maksud Mas?" tanya Senja yang entah kenapa tersipu. Namun, juga terganggu setelah Juan melontarkan lanjutan dari ucapannya."Ya menurut kamu apa?" tanya Juan. "Ini malam pertama kita, Senja, dan—""Enggak ya, Mas," potong Senja dengan segera sebelum Juan bicara lebih dalam. "Aku nikah sama Mas itu karena terpaksa. Jadi tolong jangan berharap apa pun di malam pertama kita karena aku belum siap dan enggak tahu juga kapan bakalan siap karena sampai sekarang cinta aku masih buat Davi."
"Secinta itu kamu sama Davi?""Iya," kata Senja. "Lagian Mas harusnya enggak move on secepat ini dari Kak Mentari, karena dia baru pergi tiga bulan lalu dan pernikahan kalian juga enggak sebentar. Dengan bersikap manis ke aku kaya sekarang, Mas malah bikin aku ragu kalau cinta Mas ke Kak Mentari selama ini besar dan itu juga bikin aku ragu kalau Mas bisa cinta sama aku seperti yang Mas janjikan karena—""Kesedihan itu enggak melulu harus ditunjukan, Senja, dan Mas adalah salah satu orang yang enggak suka ngumbar rasa sedih Mas di depan orang lain," ucap Juan.
"Lagipula Mas bersikap kaya gini juga buat kabulin amanat Kakak kamu karena sebelum meninggal, dia minta Mas belajar sayang sama kamu seperti Mas sayang sama Mentari, tapi kalau sikap Mas bikin kamu enggak nyaman, Mas minta maaf."
"Mas," panggil Senja yang seketika dilanda rasa bersalah setelah mendengar ucapan Juan yang kini bahkan terlihat mendung. "Aku enggak bermaksud ngatain Mas, aku cum—""Enggak apa-apa," potong Juan. "Kamu berhak kok ragu. Mas enggak masalah. Sekarang karena udah malam, Mas tidur duluan ya. Capek. Kamu juga tidurnya jangan malam-malam biar besok pagi bangun segar."
"Mas mau tidur di mana?""Di sofa mungkin?" tanya Juan. "Kamu pasti enggak nyaman kalau Mas tidur di kasur kamu. Jadi mas di sofa aja.""Enggak apa-apa?" tanya Senja yang semakin dilanda rasa kasihan."Enggak apa-apa."Tak diam, selanjutnya Juan beranjak kemudian berpindah pada sofa kamar yang terletak tak jauh dari kasur. Membaringkan tubuh di sana, selanjutunya Juan memejamkan mata dan apa yang dia lakukan tentunya tak luput dari pengawasan Senja yang entah kenapa semakin dilanda rasa bersalah.Memandangi Juan yang sepertinya terlelap, Senja dilanda rasa dilema. Selain rasa bersalah pada Juan, dia juga merasakan hal yang sama terhadap Davion karena status mereka yang masih berpacaran, tapi Senja justru menikah dengan pria lain yang notabenenya kakak ipar dia sendiri."Ya Tuhan, aku harus apa?" tanya Senja dengan suara pelan. "Lihat Mas Juan tidur di sofa gitu aku kasihan, tapi kalau aku suruh di kasur, aku berarti khianatin Davion lagi dan ah! Aku harus apa coba? Mas Juan suami aku, tapi Davi juga pacar aku."Tenggelam dalam rasa bingung, pada akhirnya Senja beranjak sambil membawa selimut untuk kemudian menutupi tubuh jangkung Juan dan di momen itu, pandangannya sempat terkunci sehingga untuk beberapa saat, atensi Senja terarah pada wajah tampan sang suami."Enggak munafik setiap dengar cerita Kak Mentari, aku kagum sama sosok Mas Juan dan aku memimpikan suami seperti dia, tapi kenapa ketika aku sama Mas Juan nikah, aku justru enggak senang ya?" tanya Senja. "Perasaan aku campur aduk karena menikah dengan Mas Juan bikin aku berkhianat dari Davi. Padahal, aku udah janji buat selalu ada di samping dia.""Ah, Senja! Kenapa jalan hidup kamu mendadak kaya gini sih?"Beberapa menit mengoceh di dekat Juan, Senja akhirnya kembali ke kasur dan tak lagi memikirkan Davion, dia memutuskan untuk terlelap dan setelah tidur panjang selama beberapa jam Senja terbangun pukul lima pagi.Beringsut secara perlahan, Senja mengambil ponselnya dari atas meja untuk mengecek notifikasi yang mungkin masuk dan benar saja karena kini beberapa pesan didapatinya, sehingga dengan segera dia membuka pesan tersebut dan voila!Bukan pesan dari Davion, Senja justru menerima pesan dari nomor asing dan bukan teks, yang dia terima pagi ini adalah beberapa foto yang membuatnya dilanda rasa shock."D-Davion," panggil Senja tergagap. "Dia tidur sama siapa? Kok enggak pake baju?"***"Ah, akhirnya acara aqiqah Tian berjalan dengan lancar ya, Mas. Rasanya baru kemarin deh dia lahir, tapi ternyata udah dua minggu yang lalu."Tersenyum sambil memandang para tamu yang kini pergi meninggalkan rumahnya, ucapan tersebut lantas Senja lontarkan pada Juan. Tak berada di dalam, saat ini dia dan sang suami masih berada di teras karena memang setelah acara selesai, keduanya mengantar para tamu seraya mengucapkan terima kasih.Dua minggu pasca melahirkan, Senja dan keluarga sepakat untuk mengadakan acara aqiqah baby Tian. Tak digelar di gedung, Senja dan Juan sepakat mengadakan acara di rumah.Mengundang para tetangga komplek, acara berlangsung dengan lancar dan tak sedikit, tamu yang diundang pun cukup banyak karena dari banyaknya tetangga yang diberitahu, hampir semua datang sore ini ke rumah Juan."Iya, akhirnya acara berjalan dengan lancar," kata Juan. Menoleh kemudian memandang Senja, dia kemudian berkata, "Semoga Tian seh
***"Welcome home, Mama Senja!"Membulatkan mata dengan raut wajah kaget, itulah Senja setelah sambutan tersebut didapatkannya dari orang-orang yang siang ini menyambut di ruang tengah.Dua hari menetap, Senja dan sang bayi memang diizinkan pulang hari ini untuk menjalani pemulihan di rumah. Tak dijemput siapa pun, Senja pulang berdua saja dengan Juan dan jujur dirinya sedih, karena dia pikir orang-orang rumah akan menjemputnya, mengingat kepulangan dia bukan di hari kerja melainkan hari libur.Tak menunjukan kesedihan, Senja terus berusaha tersenyum selema di jalan hingga ketika tiba di rumah, kehadiran dua mobil yang tak asing untuknya membuat dia bertanya-tanya.Bukan mobil Juan ataupun Gian, yang dilihat Senja adalah mobil Davion juga kedua orang tuanya sehingga dengan rasa penasaran yang tiba-tiba melanda, Senja bertanya.Namun, alih-alih memberikan jawaban, Juan justru meminta dia untuk masuk sehingga sambil menggendong san
***"Ayo, Bu, coba dorong."Bersandar pada bed, yang sejak tadi dia tempati, Senja menoleh ke arah Juan sebelum kemudian mengambil ancang-ancang. Menutup rapat mulutnya seperti yang disarankan, Senja mulai mengejan sekuat tenaga sambil berpegangan pada sang suami.Bukaan lengkap setelah menunggu selama beberapa jam, persalinan Senja memang segera dilakukan. Aman untuk melahirkan secara normal, Senja membiarkan tubuhnya kesakitan karena gelombang cinta yang beberapa waktu lalu datang, dan sekarang perempuan itu kembali berjuang.Bayi yang dikandung tak langsung keluar dalam sekali ejanan, Senja menjatuhkan punggungnya di bed dengan napas terengah. Beristirahat sejenak, itulah yang dia lakukan sekarang sementara dokter sibuk memeriksa sesuatu."Kuat ya, kamu pasti bisa," ucap Juan yang terus berada di samping Senja. "Doain ya, Mas," pinta Senja yang dijawab senyuman oleh sang suami."Pasti."Waktu istirahat seles
***"Gi, anak kita lucu."Berdiri persis di samping inkubator, ucapan tersebut Diandra lontarkan dengan perasaan yang terasa begitu hari. Melahirkan beberapa jam lalu, sore menjelang malam Diandra meminta untuk dibawa ke ruang Nicu. Dioperasi menggunakan metode yang cukup bagus, perempuan itu sudah mampu berdiri bahkan duduk sehingga setelah meminta izin pada Dokter, Gian membawa istrinya itu menemui sang putra.Lahir dengan tubuh yang sangat mungil, putra pertama Gian dan Diandra terlihat persis seperti sang ayah, Gian. Memiliki hidung mancung, dua alis yang tak terlalu tebal kemudian rambut hitam, bayi mungil tersebut nampak begitu baik sehingga meskipun harus menetap di inkubator hingga kondisi dan berat badan stabil, Gian mau pun Diandra lega karena sejauh ini, tak ada kelainan yang ditunjukan Pradikta atau yang lebih akrab disapa baby Dikta."Mirip banget sama aku enggak sih?" tanya Gian yang setia di samping Diandra, guna berjaga-j
***"Gimana, Dok? Apa istri saya harus lahiran sekarang karena ketubannya udah pecah?"Melihat dokter selesai memeriksa Diandra, pertanyaan tersebut lekas Gian lontarkan dengan raut wajah yang cukup tegang.Mendapat kabar tentang Diandra yang tiba-tiba mengalami pecah ketuban, Gian memang sigap membawa istrinya itu ke rumah sakit terdekat. Meskipun Diandra tak merqsa kesakitan, Gian membawa perempuan itu ke IGD sehingga tanpa perlu menunggu lama, penanganan pun dilakukan dengan cepat."Betul sekali, Pak," kata sang dokter, memberi jawaban. "Karena air ketuban yang tersisa hanya tinggal sedikit, istri Bapak harus segera melahirkan bayinya dan demi mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, kami akan melakukan tindak operasi secepatnya. Apa bapak setuju? Jika iya, nanti berkas-berkasnya disiapkan pun dengan ruang operasi.""Kalau itu yang terbaik, saya setuju, Dokter," ucap Gian. "Tapi usia kandungan istri saya baru dua puluh sembila
***"Silakan dinikmati basonya ya, Mbak, Kak, Dek, semoga bakso buatan Mamang cocok di lidah kalian."Sambil menyimpan satu persatu mangkuk bakso di atas meja makan, ucapan tersebut lantas Juan lontarkan untuk istri dan kedua anaknya yang sejak beberapa menit lalu menunggu di sana.Tak bisa menolak ngidam Senja yang katanya ingin bakso buatan dia sendiri, Juan mendadak cosplay menjadi mang bakso komplek. Membuat adonan bakso kemudian mengolahnya menjadi bulatan kecil dan sedang, semua dia lakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun.Tak hanya membuat bakso, Juan juga berpakaian seperti tukang bakso demi mengabulkan keinginan Senja. Kaos abu pendek, celana pendek juga topi bulat dan handuk, semuanya dia pakai dan hal tersebut membuat Senja bahagia, sehingga meskipun harus menunggu satu jam lebih bakso yang diinginkannya jadi, perempuan itu tak bosan sama sekali."Waw," ucap Kirania takjub. "Udah cocok kayanya Papa jadi tukang bakso. Persis bua