Natasha menelan air liurnya sulit, bagaimana tidak takut jika ancamannya sudah menyangkut malaikat maut. Natasha berdehem sebentar dan dengan mengumpulkan keberanian gadis itu mengangguk pelan pertanda dia setuju dengan perjanjian mereka.
“Paling tidak aku bisa lumayan hidup layak,” monolog Natasha sambil terus melihat pria itu yang mangangguk tanpa ekspresi.
“Tuan, apa boleh aku tahu namamu?”
Pria itu diam sesaat, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi bahkan bisa gadis itu lihat dingin dan kaku terlihat jelas dari wajah pria yang menyaderanya saat ini, benar-benar sangat kaku dan tanpa mimik wajah.
“Jasper.”
“Hah?”
“Namaku Jasper, Jasper Bravinson.”
Natasha melihat Jasper dengan wajah datar namun otaknya sedang bergerak produktif seperti mengingat sesuatu tapi otaknya seperti berhenti bergerak dan dia seperti tahu nama pria yang ada di hadapannya saat ini tapi dia lupa.
“Tuan Bravinson, bisa minta tolong?”
“Jasper, panggil saja aku Jasper.”
“Baiklah, panggil aku Natasha atau semua memanggilku Nat.”
Jasper hanya mengangguk pelan. “Kau mau minta tolong apa?”
“Bisakah kau lepaskan aku? Kita sudah jadi rekan bisakah kau tidak memperlakukan aku seperti ini?”
“Kalau kau kabur, teriak atau-”
“Iya … iya … kau boleh kubur aku di lantai rumah ini, aku tidak akan mengkhianatimu kalau resikonya aku kehilangan nyawa dan kehilangan kenyamanan hidup gratis. Jadi, percaya padaku karena kita adalah rekan—kita partner.”
“Terkadang partner atau rekan juga bisa menusuk kita dari belakang.”
“Apa?”
Natasha mendengar ucapan Jasper tapi dia dia tidak paham maksud pria itu apa, tapi bisa Natasha lihat mata Jasper yang tadinya dingin dan tajam berubah menjadi lebih redup dan penuh kesakitan seperti seseorang yang awalnya sangat percaya pada seseorang, bahkan mungkin dia memberikan segala hal namun orang itu mengkhianatinya sehingga rasanya sakit sekali.
“Aku akan melepaskanmu dan sekali lagi aku percaya padamu.”
Entahlah apa Natasha gila atau tidak waras atau mungkin otaknya sedang terbuang kemana, bisa-bisanya dia percaya bahkan bekerja sama dengan seorang pembunuh.
Jasper membuka ikatan Natasha dan sekarang gadis itu sudah bebas dan bisa melakukan apa pun.
“Kau bisa melakukan apa pun tapi dalam pengawasanku.”
“Iya, aku tahu. Oh iya, aku lapar mau membuat sesuatu untuk dimakan kau mau?”
“Hmmm … tapi aku harus melihat kau memasak.”
“Aku tidak punya racun atau obat tidur jangan khawatir,” ucap Natasha pasrah sambil menggerakkan tubuhnya yang kaku-kaku dan berjalan ke arah dapur diikuti Jasper.
Natasha melirik sekilas Jasper yang duduk di kursi makan sambil melihat Natasha yang bergerak mempersiapkan bahan-bahan mentah yang akan dia olah menjadi makanan. Apakah Natasha santai dan tenang? Maka jawabannya adalah tidak sama sekali karena rasanya dia seperti memasak diawasi oleh psikopat—memang psikopat bukan seperti lagi.
“Aku bukan ikut lomba Master Chef ngomong-ngomong, kau mengerikan Jasper.”
“Terima kasih.”
Natasha mendengus pelan dengan jawaban Jasper tapi rasa takutnya masih ada walaupun dia berusaha setenang dan sesantai mungkin tapi dalam hati dia berdoa semoga Jasper tidak menembak atau menusuknya dari belakang.
“Aku mau masak omurice, kau mau?”
“Boleh.”
Natasha hanya menggeleng singkat dengan jawaban Jasper karena bisa-bisanya pria itu hanya menampilkan mimik wajah datar, dingin, kaku dengan sorot mata tajam dan kata-kata singkat yang kontras dengan sikapnya yang bagaikan robot. Natasha mulai bergerak memasak makanan untuk mereka berdua dengan tetap diawasi Jasper yang duduk diam dan tenang dengan mata yang terus melihat setiap gerak Natasha, seperti berjaga-jaga kalau gadis itu menambahkan sesuatu yang tidak wajar.
Tidak sampai setengah jam makanan sudah siap di piring dan sudah tersaji di meja makan.
“Selamat makan, jangan khawatir tidak ada racun atau obat-obat yang berbahaya aku masih sayang nyawa.”
“Baguslah.”
Natasha merotasi bola matanya, lama-lama jengah juga dengan sikap Jasper yang bagaikan es balok atau mungkin lebih tepatnya kulkas dua pintu.
“Kau membunuh siapa?” tanya Natasha sambil menyuap makanannya.
“Manusia.”
“Ck … kalau kau membunuh tikus atau nyamuk aku tidak akan takut padamu dan mungkin sekarang aku tidak hanya melapor ke polisi tapi lebih ke rumah sakit jiwa.”
Natasha melihat Jasper lagi dan tidak ada tanggapan apapun dari pria itu selain hanya deru napas yang berubah berat dan rahang yang mengeras tapi anehnya dia masih bisa makan dengan lahap.
“Dasar psikopat,” bisik Natasha yang ternyata masih bisa didengar oleh Jasper.
“Kalau kau berpikir aku psikopat kenapa mau bekerja sama denganku? Kau tidak takut kalau aku tertangkap kau juga akan ikut tertangkap, kau tidka takut masuk penjara?”
Gadis itu terdiam sesaat ada pemikiran seperti itu tapi jujur dia lebih takut mati atau kembali ke rumah megah itu lagi. Natasha menunduk dan tidak lama dia tertawa kecil dengan pemikirannya sendiri, sedangkan Jasper melihat Natasha dengan tatapan datar tapi otaknya berpikir mungkin gadis cantik di depannya ini agak gila.
“Penjara? Aku sudah merasakannya sejak kecil. Aku sudah merasakan yang namanya penjara dan penjajahan sejak aku bayi jadi kalau kau bertanya seperti itu maka jawabanku adalah aku lebih baik masuk penjara dari pada harus mati, kau tahu kenapa? Karena aku belum bisa membuktikan pada ayahku kalau aku bisa dan aku mampu lebih tepanya aku bukan produk gagal.”
Jasper melihat Natasha dengan sorot mata berubah entah mengapa melihat Natasha dia seperti melihat seorang gadis yang dari depan ceria, berani dan kuat tapi ada kerapuhan, tidak berdaya, dan rasa sedih yang dia sembunyikan di balik topeng yang namanya ketegaran.
“Berapa umurmu?”
“Dua puluh dua tahun, kau?”
“Aku lebih tua darimu enam tahun.”
“Aaahhh … dua puluh delapan tahun berarti.”
“Kau masih belum jawab pertanyaanku Tuan Jasper, kau membunuh siapa?”
“Tunanganku.”
Uhukkk … uhukkk ….
Natasha meminum air dinginnya cepat-cepat rasanya nasi yang dia telan tersangkut di tenggorokan dan itu membuatnya berasa panas dan perih. Natasha tidak percaya Jasper akan berbicara seperti itu dengan wajah datar dan tanpa ekspresi apapun seperti dia baru saja membunuh seekor lalat kecil.
“Ke-kenapa kau bunuh tu-tunangamu? Dia selingkuh? Atau apa?”
Jasper tidak langsung menjawab namun pria itu melihat Natasha dengan sorot mata elangnya dan jujur itu membuat Natasha merutuki kaingin tahuannya yang besar.
“Kalau tidak mau jawab tidak apa-apa jangan jawab.”
“Aku membunuhnya karena ingin.”
“Apa? Maaf aku tidak jelas.”
“Kau bertanya kenapa aku membunuh tunanganku’kan? Maka jawabannya adalah aku membunuhnya karena ingin.”
“Kau tidak waras ya?” pekik Natasha kaget.
“Mungkin,” jawab Jasper sambil meminum minumannya dengan ekspresi sangat tenang.
“Aku tidak percaya ada manusia sepertimu di dunia nyata ini, aku pikir manusia sepertimu hanya ada di film atau novel yang aku baca, tapi sekarang ada di hadapanku.”
“Kau tenang saja iblis di dalam diriku masih belum muncul sekarang.”
Ucapan Jasper membuat Natasha bergidik ngeri dan menyesal bisa-bisanya dia bekerja sama dengan iblis seperti Jasper ini.
“Aku seperti bekerja sama dengan Abaddon.”
“Boleh dibilang begitu dan perjanjian kita tidak bisa dibatalkan, kau tahu bukan iblis tidak akan melepaskan targetnya apalagi yang sudah setuju untuk bersekutu dengannya, sama dengan dirimu dan diriku.”
Natasha melihat ngeri pada Jasper sedangkan pria itu hanya membalas tatapan santai si iblis yang sayangnya dianggap tampan oleh Natasha.
"Nat itu bukannya mobil kakak mu?" ucap Rose saat melihat mobil Nara yang berlawanan arah dengan mobil mereka.“Kelihatannya dia menuju rumah, Nat.”Natasha hanya bisa diam dengan ucapan beruntun Rose. Gadis itu hanya bisa menghela napas berat dan pasrah pada jalan hidupnya nanti setelah ini.“Kelihatannya aku tidak akan mati di tangan penjahat tapi mati di tangan kakakku.”“Kau akan baik-baik saja Nat, aku janji.”Natasha menatap Jasper yang sudah memalingkan wajahnya bersiap melawan musuh yang tiba-tiba saja muncul lagi entah dari mana.“Aku harap begitu,” gumam gadis itu ambigu.Di lain tempat mobil mewah berwarna hitam berhenti di dekat rumah Natasha. Seorang pria muda membuka jendela kaca mobil sambil melihat ke arah kerumunan orang dan beberapa polisi yang memenuhi rumah Natasha yang lumayan rusak bekas tembakan.Seorang pria berjas rapi muncul dari kegelapan dan menghampiri mobil itu.“Mereka sudah pergi, Tuan.”“Apakah gadis yang tinggal di rumah itu dibawa juga oleh Jasper?”
“Nat, kamu harus jelaskan semuanya.”“Iya-iya tenang saja nanti aku jelaskan, sekarang kita pergi dulu.” Natasha menyeret Clarie masuk ke dalam mobil.“Charlie, Hactor siapkan senjata kalian kita harus lumpuhkan mereka.”“Siap Tuan.”“Charlie jaga Clarie, Rose kau di depan bersama Hactor, ayo Nat kau bersamaku.” Tanpa basa-basi Jasper langsung menyeret Natasha masuk dan menempatkannya di tengah-tengah bersama Clarie.“Aku belum buka tuas—”Dor … dor ….Jasper menembaki tuas itu hingga rusak dan pintu garasi terbuka lebar.“Aku benahi nanti. Hactor, jalan!”Sedangkan Natasha dan Rose hanya bisa terdiam tapi dalam hati berharap Jasper benar-benar akan menggantinya.Hactor langsung melajukan mobilnya keluar garasi dengan kecepatan tinggi. Dia tidak perduli dengan kondisi mobil yang sudah tua karena yang ada di otaknya hanya pergi dari sana secepat mungkin dan menghindari hujaman peluru dari lawan.Jasper dan Charlie pindah ke belakang bersiap dengan senjata mereka.“Ladies, kalian harus
“Kalau aku tidak mengizinkan kau pergi?”“Hmmm? Maksudmu? Kau menyuruh kami tinggal di sini?”Natasha tidak menjawab tapi Jasper bisa lihat dari sorot mata gadis itu bahwa apa yang dia tebak itu benar adanya.“Bisa beri aku alasan kenapa kami harus di sini?”Natasha melirik sekilas pada kedua sahabatnya lalu pada kedua anak buah Jasper. Otaknya sedang berkerja—berpikir alasan apa yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan Jasper.‘Bodohnya dirimu, Nat, kalau begini kamu kelihatan sekali tertariknya pada Jasper.’“Kau kan janji akan membiayai kehidupanku.”‘Bagus-bagus, Nat untung dirimu cerdas,’ monolog Natasha sambil menahan senyum kemenangan.“Iya, aku janji akan membiayai dan memenuhi kebutuhan hidupmu. Dari jauh akan aku transfer semua kebutuhan dirimu termasuk biaya rumah ini, tapi aku tidak bisa tinggal di sini.”“Bagaimana kalau kau ingkar janji,” celetuk Natasha agak keras.“Nat, kau kenapa? Bisa-bisanya melarang—”“Jasper setuju akan membiayai hidupku, Rose. Kalau dia jauh dar
Natasha menatap kedua temannya dengan ekspresi kaget. Sambil meletakkan tangannya di dada gadis itu mendengus kesal karena tiba-tiba saja teman-temannya muncul tanpa suara.“Kalian kalau mau datang bilang-bilang dulu minimal bersuara jangan bikin aku jantungan.”“Kami sudah memanggilmu ya, tapi kau saja yang melamun seperti orang kerasukan.”Natasha menggerutu pelan dengan jawaban Clarie padanya.“Apa-apa? Kau menggerutu apa? Mau aku buang tulisanmu?”“Haisss … kau selalu mengancamku dengan itu—apa tidak ada ancaman lain? Minimal kreatiflah sendikit dalam mengancam seseorang.”“Kau ini—”“Sudah-sudah jangan bertengkar. Sekarang yang harus kita pikirkan kita ini harus melakukan apa? Terutama pada—” Rose melirik sekilas pada tiga pria yang sedang berbicara penting di ruang tamu.“Tidak ada,” jawab Natasha dan Clarie bersamaan.“Kau mau dihabisi? Sebelum kita lapor dan lain-lain tubuhnya sudah ada di dalam liang lahat. Tapi jujur, mereka baik dan tidak menyakiti kita—hanya kita butuh dia
“Kau tahu apa soal membunuh? Bahkan aku yakin kau tidak pernah membunuh seekor lalat dan kau juga takut dengan darah, jadi aku yakin kau tidak pernah membunuh.”“Membunuh tidak butuh darah atau alat tajam, tapi dengan tangan yang terulur juga bisa membunuh.”Jasper menatap Natasha dengan tatapan datar tapi di lubuk hatinya yang paling dalam ada rasa penasaran dan ingin tahu dengan maksud ucapan gadis yang ada di hadapannya sekarang.Natasha duduk di samping Jasper dan mereka diam sesaat sampai Natasha mengeluarkan kata-kata yang membuat Jasper semakin penasaran.“Banyak orang berpikir membunuh orang harus ada darah di tangan kita, harus ada senjata api atau senjata tajam tapi mereka tidak tahu dengan tangan kosong dan tangan kecil saja bisa membuat seseorang kehilangan nyawanya. Hanya dengan tangan kecil dan dengan candaan saja napas seseorang bisa hilang.”Jasper mengerutkan dahinya bingung dengan ucapan Natasha. Dia merasa gadis polos dan kekanakan seperti Natasha tidak mungkin tanp
"Ada apa Char? Ada sesuatu?" Jasper menatap anak buahnya itu dengan wajah menegang bahkan suara mafia itu dalam dan berat menandakan dia harus tahu dan anak buahnya harus memberi tahu.Charlie hanya mengangguk tapi tetap diam membuat semua orang yang ada di sana terutama para gadis-gadis menjadi ikut penasaran."Ada apa?" tanya Natasha yang mendekat pada Charlie penuh penasaran."Ada sesuatu Tuan," ucap Charlie dengan wajah seriusnya."Ihhhh, ada apa? Kalau bicara jangan setengah-setengah kau membuat kami semua penasaran.” Tiba-tiba saja Clarie mendekati Charlie dengan penuh penasaran bahkan dia melupakan rasa takutnya.Natasha yang melihat Clarie tidak sabaran hanya menghela napas lelah. Gadis itu menggeleng pelan dengan kelakuan sahabatnya yang selalu ingin tahu dan tidak sabaran.Natasha menarik sahabatnya itu duduk di sampingnya. "Diam atau aku akan membuangmu ke sumur belakang rumah Nenek Naima.”Mendengar hal itu jelas Clarie takut setengah mati karena sumur Nenek Naima terkenal