Natasha Calsine penulis novel yang tidak terlalu terkenal suatu hari rumahnya dimasuki oleh pria bernama Jasper Bravinson seorang mafia kelas atas yang harus rela melepas semuanya dan melarikan diri karena dituduh membunuh kekasihnya. Jasper terpaksa menyandera Natasha supaya persembunyiannya tidak diketahui oleh lawan-lawannya sekaligus melindungi Natasha yang bisa saja menjadi korban kebringasan para musuh Jasper. Seiring berjalannya waktu mereka semakin dekat dan terbuka. Natasha yang tahu Jasper tidak bersalah mau membantu pria itu untuk menangkap pelaku sebenarnya. Karena sering bersama mereka saling jatuh cinta, tetapi kebersamaan mereka membuka misteri-misteri kehidupan masa lalu Natasha dan Jasper yang tersembunyi rapat dibalik kematian orang-orang terdekat mereka.
View More“Nat, kamu itu kapan mau pulang? Jangan buat kami khawatir.”
Gadis itu hanya menghela napas pelan mendengar protesan sang kakak dari seberang telepon sana. Dia menggaruk kepalanya kesal dengan omelan sang kakak yang menjadi alarmnya setiap malam sebelum tidur atau saat dia harus begadang menyelesaikan pekerjaanya.
“Kakak tenang saja aku baik-baik di sini, kakak bisa lihat kehidupanku semuanya baik dan aku bisa hidup dengan layak,” jawab Natasha mencoba santai tapi dalam hati sudah ada doa supaya sang kakak bisa percaya.
“Layak? Apanya yang layak, hmmm? Kamu makan saja harus irit-irit bahkan kamu pikir kakak tidak tahu kamu selalu membeli makanan-makanan yang hampir kadaluarsa di supermarket Paman Kris.”
Gadis muda itu hanya meringis dengan ucapan sang kakak, dalam hati dia menyumpahi pria tua mantan pekerja sang ayah yang sekarang membuka supermarket kecil di dekat rumahnya itu.
‘Benar-benar tidak bisa jaga mulut. Dari dulu sampai sekarang selalu jadi ember bocor.’
“Nat, kamu dengar kakak tidak? Jangan diam saja.”
“Iya aku dengar, Kak. Kakak tenang saja semua baik-baik saja.”
“Kam-”
“Natasha Calsine.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat mendengar suara wanita paruh baya yang sangat-sangat dia sayangi, ya, siapa lagi kalau bukan sang ibu, Veronica Calsine.
“Natasha Calsine, ibu tahu kau mendengar suara ibu, jangan pura-pura tidak dengar.”
“Ibu … jangan sama dengan kakak, aku baik-baik saja.”
“Nat, kamu itu putri keluarga Calsine kau putri bungsu Abraham Calsine dan bisa-bisanya kau tinggal di tempat yang bahkan lebih buruk dari kandang kuda milik ayahmu. Kau makan makanan yang hampir kadaluarsa bukan? Kau ini selalu membuat ibumu ini stress, paling tidak terima bahan-bahan makanan yang ibu kirim jangan dikembalikan, kau tidak sayang ibumu ini lagi, hah?”
Natasha hanya menghela napas pelan mendengar suara ibunya yang frustasi karena dirinya membuat hatinya sakit. Dia juga tidak mau begini, dia juga tidak mau tinggal jauh dari keluarganya tapi ini demi cita-citanya dan impiannya yang jujur selalu disepelekan oleh sang ayah, bahkan ayahnya menganggap dia bisa dibilang sebagai ‘Produk Gagal’.”
Ya, dia sadar dia memang produk gagal dari keluarga Calsine—konglomerat yang turun temurun menjalankan bisnis dunia kesehatan sebagai dokter dan pemilik rumah sakit. Dia bahkan otaknya saja tidak cocok belajar ilmu pengetahuan alam karena otaknya lebih mengarah pada dunia kepenulisan. Terkadang dia berpikir apa mungkin dia bukan anak kandung, atau mungkin dia anak pungut yang diambil dari selokan atau dari tempat sampah dan karena kasihan maka diangkat anak seperti di novel-novel kerajaan yang dia baca selama ini—mulai lagi otak imajinasinya tidak terkontrol.
“Nata, kau masih mendengar ibu, tidak?!”
Natasha tersentak kembali dari dunia imajinasiya ke dunia nyata dimana sang ‘Nyonya Besar Calsine’ sedang besabda. “Iya, Nat masih dengar.”
“Kapan kamu pulang? Minimal jangan tolak bantuan ibu dan kakakmu, kalau kau tidak mau terima bantuan ayahmu ya sudah lah tidak apa, tapi masa bantuan ibu dan kakakmu juga kau tolak begitu saja.”
“Iya ….”
“Jangan iya-iya saja, ibu ini lama-lama tua stress memikirkan dirimu.”
“Kan memang ibu sudah tua.”
“Hei!! Sembarangan kalau bicara. Ibu ini masih muda bahkan ibumu ini masih kuat melayani ayahmu beronde-ronde.”
“Ibu!! Jangan keluar dari konteks pembicaraan Natasha yang disuruh pulang!!”
Natasha menahan tawa mendengar suara sang kakak dari belakang sana yang protes dengan pembicaraannya dan sang ibu.
“Iya … iya … kau ini. Nat, pulang!! Kau ini masa mau makan makanan yang hampir kadaluarsa terus, masa mau mengais sampah buat ambil barang-barang perabot dalam rumahmu, kau pikir ibu tidak tahu bahkan tempat tidurmu saja busanya sudah hampir habis.”
Natasha menoleh sekilas pada tempat tidur yang letaknya tidak jauh di belakang dirinya saat ini duduk, dia meringis singkat dengan tempat tidur bekas yang dia pungut dari pembuangan terakhir, memang masih layak tapi memang busa-busanya saja yang sudah banyak yang hilang hingga pir-pirnya sedikit menonjol.
“Kalau tidak mau pulang jangan dipaksa, dia sudah dewasa bukan anak kecil lagi.”
Natasha menegang dengan suara bass dan berat dari arah belakang telepon lalu terdengarlah protesan sang ibu dan suara berat itu menanggapinya dengan santai tapi pemilihan katanya sangat menusuk hati. Ayahnya, Abraham Calsine dokter bedah ternama sekaligus kepala rumah sakit Royal Hospital, orang yang membuatnya memutuskan keluar dari rumah dan hidup sedrhana walaupun sejak kecil hidup bagaikan putri. Pria paruh baya yang selalu menghina pekerjaannya dan memandang pekerjaannya itu hanya buang-buang waktu saja.
“Tutup teleponnya, ayo waktunya makan.”
Natasha menutup ponselnya duluan sebelum sang ibu, dia tidak sanggup lagi menahan air matanya tapi dia tahu harus kuat karena ini keputusannya. Natasha melempar sedikit ponselnya ke sebelah laptopnya yang masih menyala, gadis itu menelungkupkan kepalanya sambil menahan sesak, sakit dan kesal yang menjadi satu hingga rasanya hatinya lelah sendiri.
Natasha sadar dia berbeda—tidak pintar, tidak cantik dan yang pasti dia tidak cerdas seperti keluarganya. Ayahnya seperti tadi sudah dijelaskan dokter bedah ternama dan kepala rumah sakit, ibunya dokter bedah plastik langganan artis bahkan politisi, kakak pertamanya, Nara Calsine adalah dokter jantung yang banyak mengurusi keluarga konglomerat sampai keluarga presiden, sedangkan mendiang kakak keduanya, Naomi Calsine memang meninggal saat masih menjalani magang di rumah sakit namun sudah terlihat kepitarannya.
“Huufffttsss … tidak boleh manja Natasha ini keputusanmu dan ini hidupmu jadi bertanggung jawablah, kau ini sudah besar jangan manja. Harus semangat jangan sedih jangan manja, ayo Natasha, semangat!! Tapi aku mengantuk, tidur dulu sebentar tidak apa mungkin.”
Natasha menyimpan tulisannya dan menelungkupkan kepalanya mencoba tidur sebentar dan mungkin entahlah dia lelah atau benar-benar mengantuk dia masuk kea lam mimpi dengan cepatnya.
Saat dia tidur nyenyak tanpa disadari seorang pria muda dengan kemeja yang sudah tidak rapi lagi melompat masuk ke dalam rumah yang jujur dia tidak tahu milik siapa tapi dia berharap bisa bersembunyi sementara di rumah ini.
“Benar-benar teledor, sudah tahu hidup sendiri tapi tidak berjaga-jaga, tidak mengunci pintu dan jendela. Hufftt … aku tidak menyangka akan berakhir tinggal di rumah seperti kandang sapi.”
Pria itu berkeliling tanpa suara melihat keadaan supaya persembunyiaanya tidak diketahui siapa-siapa. Pria itu melihat satu persatu ruangan yang menurutnya bahkan lebih besar dari kamar pelayannya. “Ini bukan rumah tapi gudang.”
Pria itu melihat sebuah ruangan gelap dan pengap yang di dalamnya banyak sekali barang-barang tak terpakai. “Hmmm ... mungkin aku bisa bersembunyi di gudang ini. Gudang ini sangat kotor berarti dia jarang masuk ke sini, beruntung masih ada cela untukku bersembunyi."
Natasha menelan air liurnya sulit, bagaimana tidak takut jika ancamannya sudah menyangkut malaikat maut. Natasha berdehem sebentar dan dengan mengumpulkan keberanian gadis itu mengangguk pelan pertanda dia setuju dengan perjanjian mereka.“Paling tidak aku bisa lumayan hidup layak,” monolog Natasha sambil terus melihat pria itu yang mangangguk tanpa ekspresi.“Tuan, apa boleh aku tahu namamu?”Pria itu diam sesaat, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi bahkan bisa gadis itu lihat dingin dan kaku terlihat jelas dari wajah pria yang menyaderanya saat ini, benar-benar sangat kaku dan tanpa mimik wajah.“Jasper.”“Hah?”“Namaku Jasper, Jasper Bravinson.”Natasha melihat Jasper dengan wajah datar namun otaknya sedang bergerak produktif seperti mengingat sesuatu tapi otaknya seperti berhenti bergerak dan dia seperti tahu nama pria yang ada di hadapannya saat ini tapi dia lupa.“Tuan Bravinson, bisa minta tolong?”“Jasper, panggil saja aku Jasper.”“Baiklah, panggil aku Natasha atau semua meman
“Ka-kau … pembunuh?”“Boleh dibilang begitu.”“Maksudnya?”“Banyak bicara kamu.”Natasha menelan ludahnya sulit apalagi saat melihat tatapan pria itu yang sangat menusuk dan mengerikan bagi dirinya. Tatapan tajam bagaikan pisau yang bisa kapan saja menghunus dirinya sekarang juga membuat Natasha ingin mengurungkan niatnya bertanya lebih lanjut, tapi bukan namanya ‘Natasha sih banyak tanya’ jika dia tidak menemukan jawaban yang melegakan untuk dirinya.“Kau membunuh siapa?”Pria itu menghela napas berat dengan pertanyaan Natasha. Dia ingin tenang, dia butuh kedamaian tapi yang ada malah masuk ke dalam rumah burung kakak tua.“Hei … aku bertanya dari tadi tidak dijawab, kau membunuh siapa?”“Kau.”“Hah??”“Aku akan membunuhmu jika mulutmu tidak bisa diam, atau paling tidak akan aku hilangkan pita suaramu sekarang juga jika kau banyak tanya.”Wajah Natasha memucat, jantungnya seperti akan lepas bahkan tidak terasa tangannya berkeringat pertanda dia takut. Natasha berusaha bernapas pelan
“Akkkhhh … tolong … tolong … to ….”Brukkk ….Pria itu menghela napas kasar melihat Natasha tergeletak pingsan di lantai setelah tengkuk gadis itu dipukul olehnya. Pria itu tidak mau melakukan itu, dia tidak mau menyakiti si pemilik rumah namun ini semua terpaksa dia lakukan apalagi melihat Natasha berlari dan akan membuka pintu jendela untuk meminta tolong.“Maafkan aku—ini terpaksa.” Pria itu mengangkat tubuh Natasha yang terkulai tidak sadarkan diri dan dia dudukkan di kursi makan. Pria itu mengambil tali dan mengikat tubuh Natasha supaya tidak bisa kabur, juga menutup mulut gadis itu dengan lakban yang dia ambil dari laci dapur gadis itu.Pria itu mengusap wajahnya dan rambutnya kasar melihat gadis muda yang dia yakini pasti umurnya masih dua puluhan itu tertunduk pingsan akibat ulahnya. Terpaksa? Iya, lebih tepatnya dia memang menyusup ke rumah orang asing tapi dia tidak pernah ada maksud menyakiti bahkan tidak ada maksud bertemu dengan pemilik rumah. Ini? Ini bukan maunya tapi i
“Ayah … tolong jangan lakukan ini.”“Kau mempermalukan kami Nao!!”“Ayah, Nao minta maaf.”“Tidak!! Tidak ada ampun ….”“Tidak Ayah, Nao mohon … Ayah … Ayah … jangan ….”“Jangan … tidak … tidak!!”Natasha tersentak bangun dari mimpi buruknya, mimpi yang dia alami sejak sang kakak kedua tiada. Naomi Calsine, kakak kedua Natasha yang sangat-sangat menyayanginya bahkan bagi Natasha sang kakak adalah orang yang mengajarinya banyak hal. Bukan tanpa sebab Natasha lebih dekat dengan Naomi walaupun umur mereka terpaut lumayan jauh tapi bagi Nat sang kakak bisa mengimbanginya dengan menjadi kakak sekaligus sahabat bagi dirinya.Naomi memang terkenal sangat lembut dan mengayomi, berbeda dengan Nara yang cenderung keras dan disiplin terkadang tidak cocok untuk Natasha yang tidak suka dikekang sehingga sejak kecil Natasha lebih suka mengobrol atau belajar dengan Naomi dari pada Nara.Natasha mengusap wajahnya kasar menghilangkan bayangan-bayangan mimpi buruk dan menyakitkan yang membuat dirinya k
“Nat, kamu itu kapan mau pulang? Jangan buat kami khawatir.”Gadis itu hanya menghela napas pelan mendengar protesan sang kakak dari seberang telepon sana. Dia menggaruk kepalanya kesal dengan omelan sang kakak yang menjadi alarmnya setiap malam sebelum tidur atau saat dia harus begadang menyelesaikan pekerjaanya.“Kakak tenang saja aku baik-baik di sini, kakak bisa lihat kehidupanku semuanya baik dan aku bisa hidup dengan layak,” jawab Natasha mencoba santai tapi dalam hati sudah ada doa supaya sang kakak bisa percaya. “Layak? Apanya yang layak, hmmm? Kamu makan saja harus irit-irit bahkan kamu pikir kakak tidak tahu kamu selalu membeli makanan-makanan yang hampir kadaluarsa di supermarket Paman Kris.”Gadis muda itu hanya meringis dengan ucapan sang kakak, dalam hati dia menyumpahi pria tua mantan pekerja sang ayah yang sekarang membuka supermarket kecil di dekat rumahnya itu.‘Benar-benar tidak bisa jaga mulut. Dari dulu sampai sekarang selalu jadi ember bocor.’“Nat, kamu dengar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments