Share

Ganteng Saja Tidak Cukup

Seharian ini, Naima mendampingi Rangga mengurus semester pendek, semester pendek biasanya diadakan khusus bagi mahasiswa yang memiliki banyak perbaikan nilai, fasilitas khusus ini ada setiap tahun dan ditujukan untuk mahasiswa yang sudah lewat dari semester delapan.

Naima heran, apa saja yang di lakukan duplikat Aamir khan waktu muda itu di kampus, dia sama sekali tidak tau kalau semester pendek itu ada. Atau malah dia memang tak berniat untuk belajar.

Rangga dari tadi cemberut, rambut gondrong ala model kenamaan itu sudah kusut. Naima tak menghiraukan kalimat mengeluh yang selalu keluar dari mulut Rangga.

"Bu, ini sudah jam enam sore, saya capek."

"Capek atau mati," jawab Naima ketus, seharusnya dialah yang mengatakan capek.

Kampus sudah sepi, hanya ada beberapa mahasiswa dan petugas kebersihan yang berada di sana.

Mereka sekarang masih berada di ruangan Naima, melanjutkan proposal yang bab satunya sudah di ACC oleh pembimbing dua.

Pembimbing dua Rangga bertanya heran, "Apa Albert einsten mendatangimu tadi malam?"

Rangga kesal dengan sindiran itu, tapi tak masalah, tinggal sedikit lagi, dia maju ke-bab berikutnya.

Naima masih asik menandai bahan referensi untuk landasan teoritis bab dua, Rangga lebih banyak menjadi penonton dan tukang kawal Naima kemana-mana, bahkan beberapa hari ini dia menjadi bahan ejekan karena di mana ada Naima, maka di situ ada Rangga.

Tiba-tiba hujan lebat turun di luar sana, memang dari tadi siang langit gelap dan angin bertiup kencang.

Naima bangkit, menutup gorden dan menyalakan lampu.

"Bu, kita tidak tidur di sini, kan?"

Naima memandang lelah, "Kalau pekerjaanmu tidak selesai, kita tidur di sini malam ini," tegas Naima.

"Kita? Maksud ibu, saya dengan ibu tidur berdua di sini?" Rangga menyilangkan tangannya menutup dada.

Naima tambah kesal.

"Kau ini, kenapa seolah-olah mengira aku tertarik padamu."

"Saya ini ganteng, Bu, semua orang juga mengakui."

"Kecuali aku, ganteng saja tidak cukup."

Naima melanjutkan menandai buku.

Rangga mengerucutkan bibirnya, benar-benar tidak bisa diajak bercanda wanita yang satu ini.

"Bu, coba ibu tersenyum! pasti kelihatan cantik."

"Aku tak butuh menjadi cantik di depanmu."

"Bu, sekali-sekali cobalah lebih santai, jangan terlalu serius."

"Rangga." Naima menutup buku, dia membuka kaca matanya sambil menatap Rangga kesal.

"Satu hal yang harus kau ketahui dariku, aku tidak tertarik untuk merubah diriku, aku nyaman dengan semua ini, lalu kau mau apa?"

Wajah mungil itu berubah marah.

"Saya tidak bermaksud mengajari ibu, kalau ibu tersinggung saya mohon maaf, deh."

"Lain kali jangan campuri urusanku, hubungan kita tak lebih dari dosen dan mahasiswa, apa kau mengerti?"

Rangga hanya mengangguk pasrah. Wanita itu tidak terpesona sedikit pun kepadanya. Itu bagus.

Hujan di luar sana semakin lebat, petir bersahut-sahutan serentak dengan suara azan. Rangga tidak suka dengan suasana kaku begini, tapi dia takut jika salah salah bicara lagi.

"Kita sholat dulu, kalau hujan nanti reda, kita akan pulang dan melanjutkan di rumah, kau bisa menjadi imam, kan?"

"Jangan remehkan saya, Bu, saya pernah menang MTQ waktu remaja dan...."

"Kamar mandi ada di sebelah sana."

Naima langsung memotong karena tidak tertarik dengan curhatan Rangga.

Rangga akhirnya menutup mulutnya , di depan istri pura-puranya dia selalu saja salah. Andaikan saja dia tidak butuh dosen galak itu, dari awal dia akan menjauhinya. Dia seperti patung es, cantik tapi sangat dingin, pantas saja setua itu dia tidak juga menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status