Baru saja pintu apartemen dibuka, Naima berlari ke kamar mandi, baju basah kuyup ini harus segera di singkirkan. Rangga pun sama, apartemen ini memiliki dua kamar mandi, satu di kamar Naima dan satu lagi di dekat dapur.
Air hangat terasa begitu nikmat sehingga Rangga betah berlama lama membersihkan dirinya, ternyata menjadi orang kaya itu memang menyenangkan, untuk mandi saja dia tidak perlu menyalakan kompor untuk memanaskan air.Naima selesai lebih dulu, perutnya keroncongan karena terakir di isi jam satu siang. Untung saja sebelum ke kampus dia sudah memasak terlebih dahulu, jadi dia tidak perlu repot repot memikirkan apa yang akan dimakan malam ini.Naima mengalihkan perhatiannya ke pintu kamar mandi, saat pintu itu terbuka pelan, menampilkan Rangga yang hanya memakai selembar handuk.Naima langsung mengalihkan pandangannya, tak ingin menikmati pemandangan itu lebih jauh. Tapi sebagai wanita dewasa dia bisa menilai, Rangga memiliki tubuh sempurna, perut kotak-kotaknya lebih liat daripada yang Naima pikirkan."Aku tunggu di meja makan."Naima fokus menata piring dan sendok. Bayangan rambut basah berantakan Rangga tersimpan jelas di pikirannya.Rangga menjawab singkat kemudian berlalu dari hadapan Naima, dia terlihat biasa saja, tidak ada rasa canggung sedikit pun.Hujan masih turun dengan deras, tak ada tanda-tanda akan berhenti. Beberapa menit kemudian Rangga muncul dengan kaos oblong bewarna hitam dan celan jins selututnya, dia terlihat lebih muda dengan penampilannya itu."Ibu hobi masak, ya? Ini enak."Rangga berkomentar, padahal baru sesuap nasi yang ditelannya."Ya begitulah, aku terbiasa di dapur sejak di bangku SMP, kau, kan, tau, ibuku sangat galak.""Beruntung, ya, suami Ibu nanti."Naima mengangkat wajahnya, menyelidiki maksud dari kalimat Rangga barusan."Maksudmu?""Ya, suami Ibu, tapi bukan saya, suami beneran Ibu nanti."Jawaban itu terlalu jujur, tapi tidak enak didengar."Mudah-mudahan," jawab Naima lesu, selera makannya langsung hilang."Andai saja pacar saya bisa memasak, dia hanya pintar berdandan dan menghabiskan uang." Suara itu terdengar sedih."Kenapa kau mau dengan gadis seperti itu?""Namanya aja cinta, gimana lagi.""Cinta yang nggak masuk akal." Naima merasa pernyataan itu lebih cocok untuk dirinya sendiri."Ibu pernah jatuh cinta gak?"Naima menerawang, pernah, jatuh cinta yang sangat parah, yang mematahkan hati dan semangatnya, sehingga dia menjadi wanita yang meyedihkan."Menurutmu?" jawab Naima"Kayaknya belum.""Anggap saja begitu." Naima menyuap nasinya, tak tertarik melanjutkan percakapan itu."Ibuk lebih cantik kalau gak pake hijab." Rangga mengutarakan isi hatinya."Benarkah?" Naima menatap Rangga sekilas."Iya, kayak anak SMA... apalagi dengan piyama hello kitty itu."Naima diam saja."Bu,""Hmmm.""Boleh gak, saya jumpa pacar saya?""Kalau bab dua-mu sudah di ACC baru boleh.""Kasihani saya, saya udah rindu banget, udah seminggu gak jumpa dia." Wajah Rangga memelas."Itu urusanmu, semakin cepat kuliahmu selesai, semakin cepat pernikahan ini berakhir." Suara Naima semakin ketus, moodnya sedang tidak baik."Bu,""Apa lagi, sih?" Naima meletakkan sendoknya, sambil menjawab bosan."Sebenarnya kita berdosa lo buk mempermainkan pernikahan.""Aku tau, tapi ini sangat terpaksa, demi ayah ibuku, dan demi ayahmu juga," jawab Naima."Kenapa ini terjadi pada kita ya?" Rangga semakin banyak bertanya, nasi di piringnya sudah tandas."Aku tidak tau, mungkin takdir,"jawab Naima asal."Saya sekarang masih gak percaya, sudah memiliki istri, walauoun pura- pura."Naima diam saja dan melanjutkan menyuap nasi kemulutnya."Padahal hayalan saya dulu, menikah dengan orang yang saya cintai, resepsi sederhana, dan bulan madu ke suatu tempat.""Kau bisa lakukan itu dengan pacarmu, setelah kita berpisah.""Mudah-mudahan saja kesampaian, acar saya orang yang sangat sulit, dari sekarang aja dia sudah merancang bulan madu ke luar negri, duit dari mana." Wajah Rangga berubah putus asa."Cari aja wanita lain, susah amat."Naima tidak tertarik membahas pacar Rangga."Ibu aja gimana?""Heh?" Naima melotot."Saya bercanda." Wajah Rangga tanpak puas setelah mengerjai Naima.Naima termenung, dia pikir tawaran itu benar-benar serius. Seharusnya dia selalu ingat bahwa Rangga adalah pemuda konyol, sebegitu menyedihkan dirinya, terlalu membawa perasaan momen kehujanan berdua, sehingga dia menjadi lemah, padahal momen itu tak ada artinya bagi Rangga.Naima menarik nafas, beranjak dari duduknya, mencuci piringnya sendiri. Dia tidak boleh jatuh cinta, cukup sekali dia menjadi orang bodoh, Rangga dari awal bukan untuknya, dia akan melepaskan pria itu kapan saja.Tak semestinya dia membuka diri pada laki-laki itu, mulai saat ini Naima bertekad, akan komitmen dengan kesepakatan mereka, Rangga wisuda dan mereka akan bercerai.Alangkah miris nasibnya nanti, menjadi janda yang baru menikah beberapa bulan, dalam keadaan masih perawan. Mungkin setelah ini, dia akan menghabiskan waktu sendiri sampai tua.Rangga belum bisa tidur, sudah lima hari dia menjalani pernikahan sah tapi palsu ini, selama lima hari juga dia fokus untuk menyelesaikan ini dan itu di kampusnya. Rangga mengakui, semenjak Naima menjadi penasehat akademiknya, semua menjadi lebih mudah, tidak ada urusan yang tidak selesai bagi wanita itu.Sekarang skripsinya sudah bab dua, dosen pembimbing tidak bertanya lebih lanjut ketika Rangga menyampaikan bahwa dia sudah konsul dengan Naima. Membawa Naima saja disetiap urusan, maka urusan langsung beres.Begitu mengagumkan memiliki kecerdasan di atas rata-rata, nama Naima dikenal di kampus karena dosen muda yang cerdas. Naima adalah Dosen berprestasi kebanggaan Universitas, dia terlibat dalam penelitian-penelitan besar yang didanai pemerintah. Dia juga memiliki jabatan penting yang tidak bisa diremehkan.Rangga sangat kenal dengan nama Naima, tapi tidak tahu bahwa dosen terkenal itu masih muda, hanya beberapa tahun di atasnya. Kebetulan dia tak pernah diajar oleh Naima selama ini
Rangga mengumpat pelan, kemana pun dia berjalan dia menjadi bahan ejekan karena setia mengekori Naima kemana pergi. Naima bersikap tak peduli, tapi Rangga semakin salah tingkah setiap menangkap bisik-bisik miring para juniornya itu.Sekarang Naima menyuruhnya menunggu, ada buku yang harus diambilnya terlebih dahulu."Hai, Bro."Tepukan halus di bahunya membuat Rangga menoleh. Alex, dua tahun di bawahnya, tapi pria itu tak menghormatinya sedikit pun."Kau jadi artis di kampus kita, jadi trending topik.""Kenapa?" Rangga menangkap ada yang mau dikatakan Alex, Alex sangat suka ikut campur."Habisnya kau menghinggapinya seperti lalat." "Apa ngak ada perumpamaan yang lebih baik dari itu? kau tidak sopan." Rangga mendecakkan lidahnya, dia tidak suka dengan orang yang tidak sopan."Aku heran, apa keuntungan yang di dapat dari dosen cantik itu?" Alex semakin penasaran."Aku cepat lulus, itu saja.""Itu keuntungan biasa, selain itu?""Keuntungan apa lagi?" Rangga tidak paham ke mana arah pemb
Rangga mengetatkan rahangnya, andaikan yang di depannya ini adalah laki-laki, dia akan menghajarnya, hatinya sangat sakit, mendengar pengakuan Nayla yang menjijikkan.Gadis cantik itu masih terisak, aib yang selama ini disimpan rapi akhirnya terbongkar juga. Dia sudah menduga semua ini akan terjadi. Tapi tidak menyangka akan secepat ini."Kenapa kau lakukan itu?"Rangga menatap dingin, ternyata semua yang di sangka bualan Alex adalah sebuah kenyataan. Jika biasanya dia memuja wanita di depannya, sekarang dia begitu jijik, semua bagian yang ada pada tubuh wanita bodoh itu sudah tidak suci lagi.Dia mengaku sudah melakukannya selama dua bulan terakhir bersama Alex, dan Rangga tidak tau? Betapa bodohnya dia selama ini. Pantas saja Alex terang terangan mengejeknya."Maafkan aku!""Kenapa? Apa yang kurang dariku selama ini?"Rangga meremas rambutnya, hatinya benar-benar hancur."Aku juga ingin seperti orang lain, berpelukan, berciuman....""Dan berzina? Itu yang kau inginkan?" Rangga geram
Bulan Desember diidentik dengan musim hujan, benar saja, hujan sudah turun dari jam lima sore dan sampai jam sepuluh malam belum juga berhenti.Naima termenung, dia melipat kakinya di atas kursi, memeluk lututnya sendiri, teh hijau mengepulkan asap karena masih sangat panas.Suasana hatinya belum membaik, setelah penghinaan Alex dan ciuman sepihak Rangga, dia semakin kesal, apa alasan di balik itu, bahkan itu adalah ciuman pertamanya.Naima masih ingat, aroma mint yang bercampur rasa karat karena bibir Rangga yang berdarah. Sudah tiga jam Naima berfikir, namun belum juga dia menemukan alasan yang paling tepat atas perbuatan Rangga.Baru saja dia berniat menyesap tehnya, bunyi bel apartement menghentikannya, Naima meletakkan kembali cangkirnya, berjalan berlahan menuju pintu.Rangga berdiri di sana dengan penampilan kacau, rambut dan tubuhnya basah kuyup, wajah lebam dan bibirnya pecah.Jika biasanya senyum konyol keluar dari bibir itu, sekarang hanya ada wajah datar dan dingin. Tak ad
Rangga mengamati wajah mungil yang sedang sibuk mengoleskan anti septik ke pipi kirinya, Naima yang dingin, Naima yang datar, perhatiannya fokus ke bagian wajah Rangga yang terluka.Rangga bersumpah, saat ini dia tidak menganggap Naima adalah dosennya, pelayanan kali ini sebagai sebuah wujud bahwa wanita itu memang adalah istrinya yang sah.Jari halusnya mengobati luka Rangga dengan telaten, meniup sedikit bagian luka ketika Rangga mendesis merasakan sakit. Hujan semakin deras, udara semakin dingin, tak ada percakapan apapun, hanya suara hujan yang disertai suara guntur yang menemani mereka.Rangga tetap saja merebahkan kepalanya di sisi sofa dengan Naima di sampingnya. Baru satu luka yang diobati Naima, ada luka yang lebih parah dari itu, berada di tempat yang mereka perdebatkan tadi.Naima mengalihkan pandangannya, terpaku pada bibir yang sudah berbuat suka hati kepada dirinya siang tadi, Naima menjauhkan tangannya, dia gugup... terlebih lagi mata tajam Rangga menembus bola matanya
Hari hari Naima kembali sepi, tak ada lagi celotehan Rangga di rumahnya, tak ada lagi yang mengekorinya ketika di kampus. Semuanya terasa janggal dan aneh, karena dia sudah terbiasa.Naima tidak menyangka Rangga akan setersinggung itu, dia tidak berniat mengusirnya, dia cuma takut mereka bertindak lebih jauh. Hasrat yang baru mereka kenali akan membakar mereka tanpa sisa dan membuahkan penyesalan di kemudian hari.Tiga hari, tiga hari Rangga tidak menampakkan batang hidungnya di depan Naima, Naima tidak tau keberadaannya, tidak tau nomor telponnya, jika Rangga begini maka tujuan mereka tidak akan tercapai.Naima cukup pusing, Rangga adalah tanggung jawabnya, jika saja dia gagal membina laki-laki itu maka kualitasnya akan dianggap menurun, dia tidak mau itu terjadi, bertahun- tahun dia tertatih untuk mencapai karir setinggi ini, menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar di Universitas.Naima tidak boleh kehilangan semangat, anggap saja semua ini bukan untuk Rangga, tapi untuk dir
Naima mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kenapa tuhan menciptakan manusia secara tidak adil, laki-laki di depannya memiliki ketampanan yang kelewatan, apalagi tanpa senyuman bodoh di wajahnya, cukup! Naima menghentikan pikirannya yang mulai melantur.Rambut Rangga berantakan ditiup angin sore, sebagian menutup separuh wajahnya, kaos tanpa lengan dan celana robek, ciri khas yang tidak pernah lepas dari pria itu. Rambut gondrongnya diikat asal, menyisakan anak rambut yang menjuntai di bagian lehernya."Ini tempat persembunyianmu?" Naima mendongak melihat rumah pohon dengan mata berbinar."Begitulah." Rangga sedikit heran, kemaren dia ditampar oleh Naima, sekarang Naima malah tersenyum dan berbinar. Dia terlihat bahagia, bahkan Rangga masih merajuk karena ulah wanita itu."Kau tidak sopan." Naima melipat tangannya."Bu, saya tidak...." Rangga masih penasaran kenapa wanita itu sampai di sini. Tapi ucapannya langsung disela olehnya."Aku ingin naik ke atas." Naima tid
Naima memandang ke luar, hujan sudah turun sejak dua jam yang lalu, bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, langit semakin kelam.Naima melirik jam tangannya, jam enam lewat sepuluh, hampir malam.Untung saja, rumah pohon ini dibuat dengan tingkat keamanan yang tinggi, hanya saja udara basah terus saja menerjang masuk sehingga suhu teramat dingin.Naima melihat mobilnya yang sudah berkubang lumpur, air hujan menggenang di sekelilingnya dengan ketinggian dua puluh senti meter.Rangga betah dengan kesunyiannya, Naima pikir, laki-laki itu tipe pendendam, bahkan dia sudah memancingnya bicara berulang kali, dan ditanggapi Rangga dengan acuh tak acuh.Naima tidak lagi memaksa Rangga, patah hatinya cukup mempengaruhi mood-nya, dia tak seperti biasanya. Laki-laki itu tak menanggapi apapun yang dikatakannya, dia sibuk menghisap rokok di tangannya, bahkan puntung rokok itu sudah memenuhi asbak."Ini sudah hampir magrib, bagaimana caranya aku pulang, ya?" Naima terdengar seperti tengah berta