Diego Martin duduk dengan tenang di sebuah kafe kecil di Madrid, di tangannya, dia memegang sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas berwarna emas.
Senyumnya mengembang saat dia menatap kotak itu, kotak berisikan cincin yang dia beli dengan hasil jerih payahnya selama bekerja. Cincin yang akan menjadi simbol dari cinta dan komitmennya kepada Valentina—kekasihnya.
Pria berparas tampan itu berniat melamar Valentina. Wanita cantik yang telah menjalin hubungan dengannya selama satu tahun terakhir, tanpa memedulikan statusnya sebagai tukang bersih-bersih.
Menurut Diego, Valentina adalah wanita langka—wanita cantik yang memiliki senyuman yang begitu indah dan hati yang luas.
Suasana di kafe itu ramai, suara tawa dan percakapan mengisi udara. Namun, pikiran Diego sepenuhnya terfokus pada momen yang akan datang. Pintu kafe terbuka, dan hatinya berdegup kencang saat melihat sosok yang dinantikannya.
Valentina muncul di ambang pintu, dengan senyum ceria di wajahnya, memancarkan cahaya yang membuat hati Diego hangat.
“Diego!” panggil Valentina, suaranya lembut dengan raut wajah berbinar-binar menyapanya, bahkan senyuman itu semakin lebar ketika matanya bertemu dengan mata Diego.
Dengan langkah pelan, dia menghampiri Diego, setiap gerakannya seolah dipenuhi dengan keanggunan.
Diego segera berdiri, menarik kursi kosong di depannya, mempersilakan Valentina untuk duduk. “Silakan, sayang,” suaranya bergetar sedikit grogi.
Valentina tersenyum lembut, mengucapkan terima kasih sebelum duduk. Mata Diego tidak bisa lepas dari wajahnya, begitu cantik dan anggun, dia adalah segalanya bagi Diego.
Setelah Valentina duduk, Diego mengambil napas dalam-dalam, memanggil pelayan dan kembali ke tempatnya.
“Kami akan memesan makanan,” katanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski jantungnya saat ini berdebar cepat saat pelayan tiba.
Pelayan yang datang segera mencatat pesanan mereka. Diego memilih hidangan sederhana, tidak ingin membebani dirinya dengan hal-hal mewah. Dia tahu bahwa Valentina akan menghargai kesederhanaan itu. Sementara pelayan itu pergi, Diego kembali menatap Valentina.
“Bagaimana harimu, sayang?” tanya Diego, senyumnya tak pernah pudar.
“Baik, aku baru saja menyelesaikan proyek di kantor. Bagaimana denganmu?” jawab Valentina dengan suara ceria, matanya berbinar.
“Aku sangat baik. Sebenarnya, aku ada sesuatu untukmu, sayang,” ucapnya, lalu memberikan kotak kecil di tangan Valentina.
“Wow...” gumam Valentina bahagia saat membuka kotak kecil itu, sebuah cincin yang indah dengan perhiasan kecil di tengahnya, matanya membulat dalam kekaguman yang seketika berubah menjadi keraguan. Valentina seketika menyadari sesuatu.
Sedangkan Diego tersenyum puas, melihat raut wajah bahagia dari Valentina dan ya, itu hanya sesaat. Senyumannya meredup melihat perubahan pada wajah Valentina.
Di depannya, Valentina menarik napas kasar, mengatur ulang emosi yang melanda dirinya. Tatapan wanita cantik itu, yang semula hangat kini berubah dingin.
“Ada apa, sayang?” tanya Diego, suaranya lembut, “Apa dia tidak suka dengan cincinnya?” tebak Diego dalam hati.
Valentina melipat kedua tangannya, bersandar di kursi dengan ekspresi yang tidak bersahabat. Dia tampak jauh dari sosok ceria yang biasanya menghiasi harinya.
“Diego, sepertinya kamu salah paham,” katanya pelan, tetapi dengan nada yang menekankan ketegasan.
“Maksudnya?” Diego bingung, tidak bisa mencerna makna di balik kata-kata Valentina.
Valentina menatapnya dengan tatapan yang tajam. “Aku bersamamu karena aku hanya tertarik dengan ketampananmu. Aku tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan serius denganmu bahkan sampai ke jenjang pernikahan,” jelasnya dengan nada datar.
Diego tertegun, hatinya seolah terjatuh ke dasar jurang. Tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh kekasihnya. Berpikir jika Valentina sedang bercanda.
Tangannya sedikit gemetar dengan senyum canggung saat dia kembali mengonfirmasi ucapan Valentina, “Sayang, k-kamu bercanda, kan?”
Bukannya menjawab, Valentina hanya menatapnya tanpa ekspresi. Tiba-tiba, wanita itu bangkit dari duduknya, sembari meraih tas kecilnya yang terletak di meja. “Nanti kita akan bicarakan lagi, karena aku harus ke toilet dulu,” ucap Valentina, suaranya datar.
“I-Iya,” jawab Diego, suasana mendadak canggung.
Begitu Diego menjawab, Valentina pun wanita itu melangkah dengan cepat menuju bagian belakang kafe, meninggalkan Diego yang masih tertegun. Diego terus memperhatikan Valentina sampai sosoknya berbelok ke arah toilet, dia menggelengkan kepalanya cepat, berusaha mengusir bayangan raut wajah Valentina tadi, yang berubah cepat setelah ia mengutarakan niatnya mempersunting sang kekasih.
Tanpa sadar, Diego meraih cincin yang tergeletak di atas meja, menatapnya dengan senyuman yang kini terasa hampa.
Sudah lebih dari sepuluh menit sejak Valentina pergi ke toilet, hingga Diego yang tadinya duduk sambil menyantap hidangan yang sudah dipesan pesan, kini tak tersentuh lagi.
Sesekali, matanya melirik ke arah pintu toilet, menanti Valentina kembali. Namun, wanita itu tetap tak terlihat
"Kenapa Valentina belum kembali juga? Apa dia sakit?" pikir Valentina sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja.
Merasa khawatir terjadi sesuatu kepada Valentina, Diego pun bergegas ke arah toilet wanita. Di depan pintu, ia berhenti sejenak, menyadari jika ia tidak bisa sembarangan masuk ke dalam.
Ketika seorang petugas kebersihan kafe melintas, Diego pun menghentikannya.
"Maaf, kekasihku tadi masuk ke toilet, tapi belum kembali. Bisakah tolong bantu aku mengecek ke dalam? Dia mengenakan dress berwarna merah marun, aku khawatir terjadi sesuatu padanya," pinta Diego.
Petugas itu mengangguk dan segera masuk ke toilet. Diego berdiri di luar dengan gelisah, menggigiti bibir bawahnya, mencoba menekan perasaan takut dan khawatirnya
Ting!
Tiba-tiba, bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponselnya. Ia meraih ponselnya, dan seketika terkejut melihat pesan yang dikirim oleh nomor yang amat dia kenal. Sebuah pesan yang seakan membuat dunianya runtuh detik itu juga.
[Diego, maaf, aku pergi duluan. Aku jijik melihat cincin murahan pemberianmu. Kamu itu hanya tukang bersih-bersih, dan tak masa depan, Diego. Jangan pernah bermimpi lebih dengan pekerjaan rendahanmu itu. Lagipula, bulan depan, aku akan menikah dengan Javier Torres. Dibanding kamu, pria itu lebih bisa menjamin masa depanku.]
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.