Terima kasih sudah membaca. ✌😊 Instagram @vilnocte
Matahari pagi mulai menembus celah tirai, menarik garis tipis di permukaan ranjang. Udara kamar terasa hangat, bercampur aroma lembut yang tertinggal dari malam sebelumnya.Selimut sedikit tergeser, memperlihatkan kulit Ariana yang masih menyimpan sisa hangat sentuhan.Ia membuka mata perlahan. Kelopak matanya berat, senyum samar muncul begitu sadar sepasang mata kini tengah menatap dirinya. Diego sudah terjaga lebih dulu, bersandar di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip.Ariana menghela napas pelan, menarik selimut hingga menutupi bahu sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia lalu meraih gaun yang semalam tergeletak di kursi, lalu mengenakannya kembali dengan gerakan ringan.Diego menunduk sedikit, tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh sang kekasih.“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan.Ariana menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Cukup. Meskipun ranjang ini... sempit,” balasnya.Diego tertawa pendek. “Kalau tidak hati-hati, aku bisa jatuh tadi malam.”Ariana tertawa pelan, menu
Diego masih berada di atas tubuh Ariana. Napas mereka beradu, lambat dan hangat. Kamar sunyi, tapi atmosfernya pekat oleh rasa yang tak lagi bisa disembunyikan.Jari Diego menyentuh garis rahang Ariana, lembut, lalu turun menyusuri leher dan bahu yang kini terbuka penuh di hadapannya.Ia menunduk, mengecup bibir Ariana sekali lagi. Tangannya meluncur perlahan ke bawah. Menyusuri sisi perut Ariana, lalu ke paha bagian dalam, menyapu dengan gerakan ringan yang membuat tubuh Ariana sedikit gemetar.Diego menggeser tubuhnya sedikit, lalu membimbing bagian paling pribadi dari dirinya ke tempat paling pribadi Ariana.Tubuh Ariana menegang sesaat. Nafasnya tertahan. Matanya terbuka, tapi tak fokus.“Diego…” bisiknya, antara gugup dan yakin.Diego menatap langsung ke dalam matanya. “Aku di sini,” jawabnya, tenang.Dengan hati-hati, Diego mendorong dirinya masuk. Perlahan, sangat perlahan, seolah memastikan tubuh
Suara napas masih memenuhi kamar itu. Lembut, beradu. Hangat.Ariana belum membuka mata. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam detik-detik setelah ciuman panjang mereka berhenti.“Diego…” bisiknya. Pelan.Diego diam. Tapi matanya tetap pada Ariana. Ia menyentuh pipi Ariana, lalu dengan satu gerakan lembut, ia menyelipkan helaian rambut Ariana ke belakang telinga. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu terlepas lagi.“Maaf,” gumam Ariana tiba-tiba.Diego mengernyit pelan. “Untuk apa?”Ariana menunduk. “Aku… tidak tahu harus merespon bagaimana.”Diego mengangguk sekali. Tidak memaksa. Tidak mendekat. Ia hanya membiarkan Ariana punya ruangnya sendiri.Lalu, Ariana bergerak. Pelan. Ia mendekat, dahi mereka bersentuhan. Satu tangan Ariana menyentuh dada Diego, merasakan denyut jantung pria itu.“Bolehkah aku… hanya menikmati ini dulu? Tanpa berpikir?”Diego mengusap tengkuk Ariana. “Apa pun yang kamu mau.”Detik berikutnya, bibir Diego menyentuh kening Ariana. Lalu turun ke pelipis. Arian
Ariana masih menunduk. Tangannya di pangkuan, saling menggenggam, dan pipinya merah nyaris sepenuhnya. Tapi perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan Diego… lalu berpaling lagi secepat itu.Namun ada yang berubah. Di balik rasa malu, ada keberanian kecil yang muncul.Pelan-pelan, tangannya terangkat. Ia menunjuk pipi kanannya sendiri. Gerakannya ragu, tapi jelas. Tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk, lalu menatap Diego dengan pandangan yang nyaris seperti... permintaan.Diego mengerjap pelan. Mengerti.Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia maju sedikit, lalu mengecup pipi kanan Ariana dengan lembut. Hanya satu sentuhan ringan. Tapi cukup untuk membuat Ariana memejam sekejap, dan napasnya tertahan setengah detik.Belum sempat Diego menarik diri jauh, Ariana menunjuk pipi satunya lagi, lebih cepat kali ini. Bahkan ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya, malu-malu, seperti anak kecil yang bermain diam-diam.Diego tertawa p
Diego memutar kenop pintu dengan perlahan. Suara klik yang nyaris tak terdengar membuka akses ke dalam ruang yang temaram. Lampu tidak terlalu terang, hanya cahaya hangat dari sudut kamar yang menyala, membuat suasana terasa redup dan tenang.Ariana duduk di tepi ranjang. Punggungnya membelakangi pintu. Rambutnya tergerai kusut, sebagian menjuntai menutupi pipinya. Gaunnya sedikit kusut, tangan di pangkuan, menggenggam erat ujung selimut.Tapi yang langsung menyentak hati Diego bukan penampilan Ariana, melainkan sorot mata itu. Saat perempuan itu perlahan menoleh dan pandangan mereka bertemu.Matanya merah. Sembab. Tapi masih menahan isak yang belum tuntas. Sorot yang Diego lihat adalah sorot seseorang yang tengah rapuh... dan malu.Adele duduk di sisi tempat tidur. Ketika Diego masuk, ia langsung berdiri. Wanita itu berjalan pelan, mendekat ke Diego tanpa suara. Tangannya menyentuh lengan Diego sebentar, tepukan ringan yang hangat namun tegas.Tidak ada kata, tapi seluruh gerak tubuhn
Udara pagi yang semula terasa menenangkan berubah ganjil saat Diego dan Cole melangkah melewati gerbang utama. Langkah mereka melambat, kaus basah, napas berat, dan peluh yang menetes dari rahang ke leher.Tapi yang membuat langkah Diego melambat bukan kelelahan... melainkan kerumunan.Beberapa pekerja berdiri di depan rumah Ariana. Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya berdiri dalam formasi tidak biasa, sebagian dengan tangan saling bersilang di dada, sebagian lain menunduk dalam diam.Diego menyipitkan mata, mengatur napas. Cole, yang melihat lebih dulu, menghentikan langkahnya satu meter di depan Diego. Napasnya tersendat pelan.“Sepertinya terjadi sesuatu…” gumamnya, lebih kepada diri sendiri, tapi cukup jelas untuk membuat Diego menoleh cepat.Tanpa menjawab, Diego mengangguk singkat. Langkahnya langsung berubah lebih panjang. Cole menyusul tanpa kata.Begitu tiba di pelataran, Diego langsung mengenali Hector, salah satu tukang taman yang biasa membantunya. Wajah Hector ta