Suasana duka menyelimuti kediaman mewah Sergio Ortiz, seolah-olah awan kelabu telah menutupi kemewahan yang selama ini tercermin dari setiap sudut bangunan. Semua pekerja berduka, mata mereka merah karena menangisi kepergian yang begitu tiba-tiba dari orang yang mereka hormati dan cintai, Sergio Ortiz.
Di tengah kesedihan yang mendalam, dua figur terlihat paling terpukul oleh berita duka ini, Diego dan Ariana. Diego, yang semalam masih berbagi tawa dengan Sergio, duduk terpaku, matanya memandang kosong ke depan, seolah-olah berusaha mencerna kenyataan pahit yang menimpa.
Sementara itu, Ariana, yang masih terbungkus dalam kesedihan, terus menangis tanpa henti. Andrew, dengan setia, menemani dan mengawal wanita cantik itu. Gaun hitam yang dikenakan Ariana semakin menambah kesan duka yang mendalam, warna yang merepresentasikan kehilangan yang tak tergantikan.
Suara sirene mobil ambulans memecah kesunyian, tanda bahwa saatnya telah tiba untuk melepas kepergian Sergio Ortiz. Jenazahnya dengan hormat dibawa keluar, disambut oleh barisan karyawan yang terguncang. Mereka, dengan kepala tunduk dan mata basah, memberikan penghormatan terakhir mereka. Suasana hening, hanya deru mobil ambulans dan isak tangis yang memecah keheningan.
Diego, dengan mata yang masih basah, menatap Ariana yang duduk di dalam mobil sedan mewah, dikawal ketat oleh Andrew. Mobil itu, yang akan membawa Ariana menuju kediaman adik laki-laki Sergio, tempat para kerabat akan melayat, memberikan penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan.
Diego terdiam, ia tidak bisa bergerak, hanya mampu menatap mobil yang perlahan-lahan menjauh, membawa pergi sisa harapan dan kenangan indah bersama Sergio Ortiz.
Satu jam kemudian, Diego duduk terpaku di depan televisi, matanya terikat pada layar televisi yang menampilkan siaran langsung dari kediaman mewah Miguel Ortiz, adik laki-laki Sergio.
"TRAGEDI KELUARGA ORTIZ: SERGIO ORTIZ (61) MENINGGAL DUNIA AKIBAT PENYAKIT JANTUNG, DUNIA BISNIS DAN SOSIALITA BERDUKA"
Teman-temannya yang juga bekerja di kediaman Sergio Ortiz duduk di sekelilingnya, semua terlihat terguncang oleh berita duka yang masih terasa seperti mimpi buruk. Siaran langsung tersebut menampilkan kerumunan para pelayat dari berbagai kalangan, pebisnis, selebriti, dan politisi, semua berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sosok yang sangat dihormati.Kamera TV bergeser, menampilkan prosesi pemakaman yang dimulai. Diego dan teman-temannya menatap, mata mereka menggenang saat peti mati itu mulai diturunkan ke dalam tanah.
Diego tidak bisa menahan lagi, air matanya mengalir deras, jatuh ke tangannya yang terlipat. Teman-temannya pun tidak kalah terharu, semua terisak dalam kesedihan, mengucapkan selamat jalan kepada sosok yang telah meninggalkan bekas yang dalam dalam hidup mereka.
"Selamat jalan, Tuan Sergio," bisik Diego, suaranya hampir tidak terdengar.
**
Dua minggu telah berlalu sejak pemakaman Sergio Ortiz, dan aktivitas di kediaman mewah itu telah kembali seperti biasanya. Namun, ada dua orang yang belum kembali ke rutinitas mereka di tempat ini, Andrew dan Ariana, sang majikan.
Selama dua minggu terakhir, dunia maya dipenuhi dengan berita tentang Grup Ortiz yang ditinggalkan oleh Sergio. Spekulasi tentang siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan grup itu menjadi topik hangat. Namun, di antara berita-berita tersebut, ada juga yang menyakitkan hati Diego.
"Ariana Ortiz: Dari Istri Muda hingga Pewaris Harta, Benarkah Cinta atau Sekadar Ambisi?"
Diego merasa sangat kesal, bahkan sampai mengumpat. "Media tolol... Mereka tidak tahu apa-apa tentang Nyonya Ariana."
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, Diego baru selesai mengurus taman di halaman depan. Ia duduk di kursi taman, tersenyum lembut ketika membayangkan sosok Sergio yang pernah mengajaknya berbincang santai di area yang sama. Kenangan itu masih terasa hangat, seolah sang tuan besar masih ada.
Tiba-tiba, bunyi kendaraan membuyarkan Diego dari lamunannya. Ia menoleh ke arah gerbang besar dan melihat mobil sedan mewah berwarna hitam yang baru saja melewati pintu masuk. Mobil itu terlihat familiar, itu adalah mobil yang sama yang membawa Ariana pergi dua minggu yang lalu.
Diego segera beranjak dari duduknya, mempercepat langkah menuju area dekat pintu masuk kediaman. Ia bersiap menyambut kepulangan sang majikan, dengan senyum yang sudah terpasang di wajahnya.
Mobil berhenti tak begitu jauh dari tempatnya berdiri, dan Andrew keluar dari kursi penumpang depan. Ia berjalan ke belakang, lalu membuka pintu mobil bagian belakang.
Ariana, sang majikan, melangkah turun dari mobil. Diego tersenyum, namun dengan cepat berubah terkejut. Sang majikan terus berjalan, tidak menoleh, raut wajahnya terlihat letih, matanya sembab, kesedihan begitu terpancar jelas.
Diego yang hendak menyapa mengurungkan niatnya, hanya bisa menatap Ariana melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata.
Ketika Ariana masuk ke dalam rumah, Diego baru berbicara, menyapa Andrew dengan suara yang lebih pelan dari biasanya.
“Tuan Andrew, Nyonya Ariana....”
Andrew menoleh, menghela napas pelan. “Nyonya masih sangat terpukul, Diego. Oh iya, sebentar temui aku di ruanganku, ada yang perlu aku bicarakan denganmu,” ucapnya, sebelum berbalik dan mengikuti Ariana ke dalam rumah, meninggalkan Diego dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terucap.
Apa yang ingin dibicarakan Tuan Andrew?
Jangan lupa follow Ig @Vilnocte ya.
Dua minggu telah berlalu sejak Diego terakhir kali terbaring lemah di rumah sakit.Waktu berjalan perlahan, namun dalam keheningan itu, banyak hal yang tumbuh dan menguat—terutama rasa percaya Ariana terhadap dirinya sendiri, dan kekaguman Diego terhadap perempuan yang nyaris tak pernah menyerah dalam menghadapi segalanya.Selama masa pemulihan, Ariana nyaris tak pernah beranjak jauh dari sisi Diego.Ia merawat pria itu dengan penuh kelembutan, memperhatikan jadwal minum obat, memastikan pola makan, hingga hal-hal kecil seperti mengingatkan agar Diego tak menggerakkan tubuhnya terlalu cepat.Tak sekalipun ia mengeluh, bahkan saat matanya memerah karena kurang tidur, ia tetap tersenyum setiap kali Diego membuka mata dan mencarinya.Jorge juga memainkan perannya dengan baik.Ia menjadi orang yang selalu hadir, mengimbangi kecanggungan Diego dan meredakan ketegangan Ariana dengan gurauan-gurauan kecilnya.“Kalau Diego terlalu banyak diam, itu artinya dia menyusun kalimat agar terdengar pu
Dua Hari Kemudian...Pagi hari itu, sinar matahari menyusup pelan melalui kisi tirai jendela ruang rawat, mengambang lembut di antara aroma disinfektan dan udara pendingin yang stabil. Di sudut ruangan, Ariana berdiri di dekat jendela, merapikan map kecil berisi dokumen medis dan resep yang telah ia ambil dari bagian farmasi sejak pagi. Sesekali matanya melirik ke arah Diego yang masih berbaring, napasnya tenang, matanya mengamati langit-langit seolah menghitung waktu yang bergerak lambat.Pintu diketuk singkat, lalu terbuka. Seorang dokter pria berusia pertengahan tiga puluhan, mengenakan jas putih bersih dan kacamata persegi tipis, melangkah masuk bersama dua perawat wanita yang masing-masing membawa alat pemeriksaan.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, hangat namun profesional. “Kami akan melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menentukan apakah pasien sudah bisa dipulangkan.”Diego yang sudah bisa duduk bersandar menyambut dengan anggukan kecil. Wajahnya memang belum sepenuhnya pulih—m
Di ruang kerjanya, Juan berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke selatan, memperhatikan siluet Giralda di kejauhan. Tangannya diselipkan di saku celana, postur tegapnya tampak tenang, tapi alisnya menyiratkan ketidaksabaran.Pintu terbuka tanpa ketukan. Seorang wanita muda, ramping, mengenakan setelan hitam dengan detail merah darah pada kerahnya, melangkah masuk. Rambut cokelatnya disanggul rapi, dan raut wajahnya netral, nyaris tanpa ekspresi."Lucia," kata Juan tanpa menoleh. "Ada kabar dari orang-orangmu?"Lucia menutup pintu, berjalan perlahan hingga berdiri dua meter di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi. Polisi belum menemukan apa pun yang bisa mengaitkan Anda dengan insiden itu. Tapi…”“Tapi?”“Salah satu penyelidik bertanya langsung kepada Ariana hari ini. Artinya, mereka bergerak, meski tanpa arah yang jelas.”Juan menarik napas panjang. “Lalu bagaimana reaksi Ariana?”
Cahaya pagi menyelinap malu-malu dari celah tirai jendela rumah sakit. Aroma antiseptik masih menyelimuti udara, berpadu dengan samar harum kopi yang dibawa suster beberapa menit lalu.Di kursi samping tempat tidur, Ariana sebelumnya duduk sambil melipatkan baju bersih yang baru diambil dari koper. Tapi kini ia sedang keluar—katanya hendak membeli sesuatu di apotek lantai dasar.Kesunyian itu yang kemudian dipecah oleh ketukan pelan pada pintu.“Masuk,” ujar Diego, suaranya serak karena belum banyak bicara pagi ini.Pintu terbuka. Andrew melangkah masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya terlihat rapi seperti biasanya. Wajahnya tampak serius, namun tidak menunjukkan kecemasan berlebihan.“Selamat pagi,” ucap Andrew sembari menutup pintu perlahan di belakangnya.Diego mengangguk lemah. “Pagi, Tuan Andrew. Sendirian?”“Ya. Kurasa lebih baik bicara berdua dulu,” sahut Andrew sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membuka map
Pagi hari – pukul 10.00Ariana duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengenakan atasan lengan panjang warna krim dan celana santai abu lembut. Di pangkuannya, sebuah talenan kecil dan pisau mungil. Tangannya lincah memotong sebuah apel menjadi potongan kecil, lalu menaruhnya di mangkuk kaca bening. Ia menyodorkan sepotong ke arah Diego, yang menyender pelan di ranjang dengan beberapa bantal menopang punggungnya."Aku tahu kamu tidak lapar," ucap Ariana, nadanya setengah memaksa namun tetap lembut. "Tapi ini manis dan segar. Coba satu potong saja."Diego membuka mulutnya dengan pasrah. “Aku tidak punya banyak pilihan, kan?” “Yup, pasien tidak punya pilihan,” balas Ariana, menyuap potongan lainnya.Suasana itu terhenti seketika saat pintu kamar diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter pria paruh baya masuk, diikuti oleh dua perawat wanita berseragam biru muda. Aroma antiseptik mengambang di udara.“Selamat pagi,” sapa dokter itu, dengan suara hangat dan tenang. “Maaf mengganggu. Kami a
Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai, menebar cahaya lembut ke seluruh sudut ruangan. Udara terasa tenang, dan aroma khas rumah sakit samar tercium, bercampur dengan wangi bunga segar dari vas kecil di sudut ruangan.Diego perlahan membuka mata. Kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lelah, tapi kesadarannya mulai pulih. Pandangannya sempat buram, namun perlahan fokus—dan yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ariana, tertidur di sisi ranjangnya.Kepala Ariana bersandar tepat di atas tempat tidurnya, tangannya masih menggenggam tangan Diego yang terbaring. Wajahnya terlihat tenang meski masih menyisakan guratan lelah, dan beberapa helai rambutnya jatuh ke pipi.Diego tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih lemah, ia mencoba mengangkatnya sedikit, lalu dengan hati-hati mengelus kepala Ariana. Jarinya menyibak pelan rambut dari wajah sang kekasih, menyentuhnya dengan lembut, takut membuat sang kekasih yang tengah tidur terbangun.
Cahaya temaram dari lampu gantung menyinari meja kerja luas berlapis kaca hitam. Ruangan itu senyap, hanya terdengar denting es batu dari gelas bourbon yang diletakkan Juan di sebelah laptopnya. Ia duduk bersandar dalam kursi kulit, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, dasi terlepas, tampak lelah dan terlihat gelisah.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melihat nama pengirim pesan—nomor yang disimpan dengan label : “Berto.”Pesan masuk:“Target sudah diberi pelajaran.”Juan membacanya perlahan. Matanya menyipit, lalu mengerjapkan kelopak, seolah ingin memastikan tak salah baca. Ia meletakkan ponsel, lalu mengambil sebatang cerutu dari laci, menyalakannya dengan tenang.Setelah dua isapan panjang, ia bersandar lagi. Sebuah senyum kecil menyeringai di sudut bibirnya.Lalu ia mengangkat ponsel dan menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.“Esteban?” Suaranya datar.&ldqu
Lampu ruangan rawat inap berpendar tenang, melemparkan cahaya kekuningan ke sudut-sudut ruangan. Aroma antiseptik menusuk hidung, menciptakan atmosfer khas rumah sakit yang senyap namun tak pernah sepenuhnya damai. Jam dinding berdetak pelan, menyeret malam lebih dalam ke dalam kesunyian.Di atas tempat tidur rumah sakit, tubuh Diego terbaring diam. Kepala yang diperban, wajah pucat yang masih menampakkan bekas luka memar, serta napas yang naik turun pelan dari selimut putih bersih—semuanya seolah menyatu dalam lukisan suram bernama “ketakberdayaan.”Ariana duduk di kursi kecil di sisi tempat tidur, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menggenggam tangan Diego yang tak bergerak. Ia tak peduli betapa pegal punggungnya, atau betapa lelah matanya karena tidak tidur sejak malam sebelumnya.Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disodorkan Andrew beberapa jam lalu. Matanya hanya tertuju pada satu hal: wajah pria yang dicintainya.&ldqu
Dua jam telah berlalu, pintu Unit Gawat Darurat akhirnya terbuka kembali.Ariana dan Andrew, yang sedari tadi duduk dalam kecemasan, langsung menoleh. Dua perawat wanita tampak mendorong tempat tidur rumah sakit ke luar ruangan, dan di atasnya, Diego terbaring tak sadarkan diri.Kepalanya dibalut perban, wajahnya tampak pucat dengan beberapa memar yang masih terlihat jelas di pipi dan sudut bibirnya.Ariana langsung berdiri, tanpa sadar menutup mulutnya dengan tangan. Matanya kembali menggenang, dadanya terasa sesak melihat pria yang dicintainya dalam kondisi seperti itu.Langkahnya maju dengan sendirinya, mendekat ke sisi tempat tidur Diego. Andrew menyusul dari belakang, meskipun ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada kekhawatiran di sorot matanya.Air mata Ariana akhirnya jatuh ketika dia melihat wajah Diego dari dekat. Tangannya bergetar saat menyentuh jemari Diego yang terasa dingin.Beberapa saat kemudian, dokter yang tadi menangani