Langit tampak sendu sore itu. Awan kelabu menggantung rendah di atas kediaman Sergio Ortiz, seakan ikut berduka. Kemegahan rumah megah yang biasanya memancarkan kehidupan kini dibungkus hening dan berat.
Udara terasa dingin. Bukan karena cuaca, tapi karena kehilangan yang tak terucapkan.
Setiap sudut rumah, dari halaman depan hingga kolam renang yang biasanya ramai tawa, kini dibalut senyap. Para pekerja berdiri dalam diam.
Mata mereka sembab, beberapa menunduk, beberapa menggenggam tangan mereka sendiri seperti menahan agar kesedihan tidak tumpah terlalu dalam.
Namun di antara semua yang berduka, dua sosok tampak paling terpukul.
Diego duduk di salah satu bangku taman. Tubuhnya nyaris tak bergerak, matanya kosong menatap tanah, seakan tak mampu sepenuhnya memahami bahwa pria yang semalam menertawakan leluconnya kini telah tiada.
Ariana berdiri tak jauh dari pintu utama. Gaun hitam panjang membalut tubuh rampingnya, dan wajahnya… nyaris tak bisa dikenali.
Matanya bengkak. Napasnya pendek. Andrew berdiri di sampingnya, setia mendampingi, tanpa berkata apa pun. Ia tahu, tak ada kata yang bisa benar-benar menghapus luka sebesar ini.
Lalu, suara sirene terdengar. Ambulans tiba di pelataran rumah, memecah kesunyian dengan ketukan takdir.
Jenazah Sergio dibawa keluar. Tubuhnya terbungkus rapi, dikelilingi para staf yang berdiri berjajar.
Ariana menaiki mobil sedan hitam yang sudah menunggu, dikawal ketat oleh Andrew. Tujuannya, kediaman Miguel Ortiz, adik kandung Sergio, tempat para pelayat akan berkumpul.
Diego berdiri diam di halaman. Ia tidak ikut. Hanya menatap dari kejauhan saat mobil Ariana perlahan menjauh.
Sergio. Sosok yang baru beberapa hari dikenal, tapi sudah seperti keluarganya sendiri, pergi meninggalkan semua orang selamanya.
**
Satu jam berlalu. Diego duduk di ruang staf, matanya terpaku pada televisi yang menayangkan siaran langsung dari rumah Miguel Ortiz. Di bawah layar terpampang jelas tulisan,
TRAGEDI KELUARGA ORTIZ: SERGIO ORTIZ (61) MENINGGAL AKIBAT SERANGAN JANTUNG. DUNIA BISNIS DAN SOSIALITA BERDUKA.
Di sekeliling Diego, para karyawan lainnya juga duduk membisu, semua terpaku. Kamera televisi menyorot kerumunan pelayat, politisi, pengusaha, selebriti.
Wajah-wajah tenar berlalu satu per satu di layar, memberi hormat terakhir pada sosok yang dihormati banyak kalangan.
Ketika peti mati diturunkan ke dalam tanah, ruangan tempat Diego dan rekan-rekannya menonton terasa semakin sunyi. Semua mata berkaca-kaca. Beberapa menyeka air mata dengan tangan. Yang lain hanya menggigit bibir, menahan sesak.
Diego tak lagi bisa menahan air matanya. Tangannya mengepal di pangkuan, bahunya sedikit bergetar.
“Terima kasih... dan selamat jalan, Tuan Sergio,” bisiknya lirih.
**
Dua minggu berlalu. Aktivitas di rumah Sergio Ortiz perlahan kembali normal. Halaman kembali dirapikan, kolam dibersihkan, dan ruang-ruang kembali dibuka. Tapi sebagian atmosfer tetap terasa kosong. Ada ruang yang tidak bisa digantikan, dan mereka semua tahu itu.
Andrew belum kembali ke rutinitasnya. Begitu juga Ariana. Keduanya absen dari kegiatan harian, seolah masih tenggelam dalam ruang waktu yang berhenti sejak Sergio tiada.
Namun media tidak pernah menunggu.
Di layar ponsel Diego, berita demi berita bermunculan. Banyak yang hanya membahas warisan bisnis Grup Ortiz. Tapi satu headline membuatnya gemetar.
“Ariana Ortiz: Dari Istri Muda ke Pewaris Kerajaan Bisnis. Cinta atau Ambisi?”
Diego membanting ponselnya ke meja taman. Rahangnya mengeras.
“Media tolol… mereka tak tahu apa-apa tentang Nyonya Ariana.”
Pukul sepuluh pagi. Ketika Diego baru selesai merapikan taman depan, ia terlihat duduk sebentar di bangku yang biasa diduduki Sergio dulu, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya.
Dalam benaknya, ia bisa membayangkan senyum Sergio, tawa renyahnya, dan percakapan ringan mereka yang tiba-tiba berhenti selamanya.
Hingga, suara mesin dari kejauhan membuyarkan lamunannya.
Diego menoleh cepat. Sebuah sedan hitam melintasi gerbang utama. Mobil itu...mobil yang sama yang membawa Ariana pergi dua minggu lalu.
Ia langsung berdiri, mempercepat langkahnya ke sisi jalan masuk. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena rindu dengan wajah sang nyonya majikan.
Mobil berhenti. Andrew keluar lebih dulu. Lalu ia membuka pintu belakang.
Ariana turun.
DEG!
Wajah Diego berubah. Ia ingin menyambut, menyapa, mengatakan sesuatu. Tapi langkahnya terhenti.
Ariana berjalan perlahan menuju pintu masuk rumah. Wajahnya pucat. Matanya sembab, seperti belum tidur selama berhari-hari.
Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan. Bahkan sekilas pandang pun tidak.
Diego hanya bisa berdiri di tempat, membiarkan Ariana melintas tanpa kata. Rasanya seperti berhadapan dengan orang lain, bukan lagi sang majikan yang ia kenal.
Setelah Ariana masuk ke dalam rumah, Diego baru menoleh pada Andrew, yang menyusul dari belakang.
“Tuan Andrew… Nyonya Ariana…”
Andrew menatapnya sejenak. Tatapannya tenang, tapi sorot matanya menyimpan beban.
“Beliau masih sangat terpukul, Diego.” Andrew menghela napas. “Dan kamu, nanti temui aku di ruanganku. Ada yang perlu aku sampaikan.”
Tanpa menjelaskan lebih jauh, Andrew melangkah masuk, meninggalkan Diego dengan tanda tanya yang belum sempat terucap.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan apa yang akan berubah… setelah ini?
Bersambung...
Jangan lupa follow Ig @Vilnocte ya.
Dua hari kemudian...Mobil hitam Andrew meluncur mulus ke depan hotel bintang lima. Ban berhenti tepat di bawah kanopi besar yang menahan cahaya matahari pagi.Dua petugas valet yang sigap segera bergegas, salah satunya membukakan pintu untuk Ariana, sementara yang lain menyambut Andrew dan Diego.Begitu kaki mereka menjejak lantai marmer yang licin, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapu kulit. Lobi hotel itu berkilau, marmer mengkilap di bawah lampu gantung kristal besar, musik piano lembut mengalun dari sudut lounge, dan aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu.Diego mengangkat kepalanya, matanya menyapu sekeliling. Ada beberapa wajah asing yang ia tangkap, sebagian mengangguk tipis, sebagian lagi hanya memandangi dari jauh sambil berbisik.Ariana berjalan di sampingnya, bahunya tegak, blazer putih membingkai tubuhnya, dress biru tua jatuh rapi hingga lutut. Perpaduan keanggunan dan ketegasan seorang CEO.
Ban mobil berdecit ringan saat Diego memutar kemudi, memasuki area parkir basement kantor pusat Grup Ortiz.Aroma khas beton lembap dan suara gema mesin pendingin mengisi ruang. Mereka bertiga keluar dari mobil tanpa banyak bicara, langkah kaki berpacu menuju lift pribadi di sudut ruangan.Begitu pintu lift tertutup, ruangan kecil itu hanya diisi suara dengung mesin dan napas yang berjarak. Diego berdiri di sisi kanan, sesekali melirik Ariana lewat pantulan kaca pintu lift.Perempuan itu memandang lurus ke depan, seperti sedang menimbang langkah berikutnya. Andrew berdiri di belakang mereka, matanya terpejam sebentar.Pintu terbuka di lantai eksekutif. Lorong di sini terasa berbeda, hening, bersih, dan berlapis karpet tebal yang meredam suara langkah. Lampu sorot memantulkan kilau di gagang pintu kaca besar bertuliskan nama Ariana.Begitu pintu ruang kerja dibuka, aroma kopi hitam pekat langsung menyambut. Andrew berjalan masuk duluan, meletakkan map hitam di meja tamu sebelum menjatuh
Matahari pagi mulai menembus celah tirai, menarik garis tipis di permukaan ranjang. Udara kamar terasa hangat, bercampur aroma lembut yang tertinggal dari malam sebelumnya.Selimut sedikit tergeser, memperlihatkan kulit Ariana yang masih menyimpan sisa hangat sentuhan.Ia membuka mata perlahan. Kelopak matanya berat, senyum samar muncul begitu sadar sepasang mata kini tengah menatap dirinya. Diego sudah terjaga lebih dulu, bersandar di sisi ranjang, menatapnya tanpa berkedip.Ariana menghela napas pelan, menarik selimut hingga menutupi bahu sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia lalu meraih gaun yang semalam tergeletak di kursi, lalu mengenakannya kembali dengan gerakan ringan.Diego menunduk sedikit, tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh sang kekasih.“Tidurmu nyenyak?” tanyanya pelan.Ariana menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Cukup. Meskipun ranjang ini... sempit,” balasnya.Diego tertawa pendek. “Kalau tidak hati-hati, aku bisa jatuh tadi malam.”Ariana tertawa pelan, menun
Diego masih berada di atas tubuh Ariana. Napas mereka beradu, lambat dan hangat. Kamar sunyi, tapi atmosfernya pekat oleh rasa yang tak lagi bisa disembunyikan.Jari Diego menyentuh garis rahang Ariana, lembut, lalu turun menyusuri leher dan bahu yang kini terbuka penuh di hadapannya.Ia menunduk, mengecup bibir Ariana sekali lagi. Tangannya meluncur perlahan ke bawah. Menyusuri sisi perut Ariana, lalu ke paha bagian dalam, menyapu dengan gerakan ringan yang membuat tubuh Ariana sedikit gemetar.Diego menggeser tubuhnya sedikit, lalu membimbing bagian paling pribadi dari dirinya ke tempat paling pribadi Ariana.Tubuh Ariana menegang sesaat. Nafasnya tertahan. Matanya terbuka, tapi tak fokus.“Diego…” bisiknya, antara gugup dan yakin.Diego menatap langsung ke dalam matanya. “Aku di sini,” jawabnya, tenang.Dengan hati-hati, Diego mendorong dirinya masuk. Perlahan, sangat perlahan, seolah memastikan tubuh Ariana menerima sepenuhnya.Ariana menggigit bibirnya. Suara erangan kecil lolos d
Suara napas masih memenuhi kamar itu. Lembut, beradu. Hangat.Ariana belum membuka mata. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam detik-detik setelah ciuman panjang mereka berhenti.“Diego…” bisiknya. Pelan.Diego diam. Tapi matanya tetap pada Ariana. Ia menyentuh pipi Ariana, lalu dengan satu gerakan lembut, ia menyelipkan helaian rambut Ariana ke belakang telinga. Pandangan mereka bertemu sejenak, lalu terlepas lagi.“Maaf,” gumam Ariana tiba-tiba.Diego mengernyit pelan. “Untuk apa?”Ariana menunduk. “Aku… tidak tahu harus merespon bagaimana.”Diego mengangguk sekali. Tidak memaksa. Tidak mendekat. Ia hanya membiarkan Ariana punya ruangnya sendiri.Lalu, Ariana bergerak. Pelan. Ia mendekat, dahi mereka bersentuhan. Satu tangan Ariana menyentuh dada Diego, merasakan denyut jantung pria itu.“Bolehkah aku… hanya menikmati ini dulu? Tanpa berpikir?”Diego mengusap tengkuk Ariana. “Apa pun yang kamu mau.”Detik berikutnya, bibir Diego menyentuh kening Ariana. Lalu turun ke pelipis. Arian
Ariana masih menunduk. Tangannya di pangkuan, saling menggenggam, dan pipinya merah nyaris sepenuhnya. Tapi perlahan, ia mengangkat wajah. Tatapannya bertemu dengan Diego… lalu berpaling lagi secepat itu.Namun ada yang berubah. Di balik rasa malu, ada keberanian kecil yang muncul.Pelan-pelan, tangannya terangkat. Ia menunjuk pipi kanannya sendiri. Gerakannya ragu, tapi jelas. Tidak berkata apa-apa. Hanya menunjuk, lalu menatap Diego dengan pandangan yang nyaris seperti... permintaan.Diego mengerjap pelan. Mengerti.Senyum tipis muncul di wajahnya. Ia maju sedikit, lalu mengecup pipi kanan Ariana dengan lembut. Hanya satu sentuhan ringan. Tapi cukup untuk membuat Ariana memejam sekejap, dan napasnya tertahan setengah detik.Belum sempat Diego menarik diri jauh, Ariana menunjuk pipi satunya lagi, lebih cepat kali ini. Bahkan ada senyum kecil yang muncul di ujung bibirnya, malu-malu, seperti anak kecil yang bermain diam-diam.Diego tertawa p