Share

Bab. 2

Penulis: AuthorS
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-03 11:09:38

Entah apa yang di ucapkan Pak Devan di dalam hatinya. Dia menghela nafas, terdiam sejenak sambil melirik ke arahku. Aku bisa membaca sorotan matanya yang mengartikan sesuatu, namun sulit untuk di ungkapkan karena hanya kita yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. 

                          ******

Tiga puluh menit sudah berlalu, sekarang tinggal aku dan Pak Devan yang berada di dalam mobil. Dia sengaja ingin mengantarku pulang dengan alasan sudah terlalu malam. Dia tidak mengizinkan Riko yang mengantarku pulang berdalih tak ingin sampai kami kembali pergi ke klub malam. 

"Ternyata kamu juga pindah ke kota ini Ar," ucapnya sambil mengemudikan mobil dengan pandangannya yang lurus ke depan. 

"Iya," jawabku singkat saja, tanpa menoleh ke arahnya. 

"Kalian sudah lama pacaran?" tanya dia lagi entah apa motif sebenarnya dia bertanya tentang hubunganku dan Riko. 

Tak ingin menjawab ucapannya. Aku hanya diam saja. Itu bukanlah hal yang penting bagiku. 

"Kenapa diam?" tanya dia lagi. Kali ini Pak Devan melirik ke arahku, lalu menghentikan mobilnya di pinggir jalan. 

"Loh, kok berhenti?" aku balik bertanya. 

"Kamu belum menjawab pertanyaan dari saya, sudah berapa lama kalian pacaran dan apa saja yang sudah kalian lakukan selama pacaran?" pertanyaan itu begitu menyinggung, aku memandang tajam ke arahnya dengan air mata yang hampir saja jatuh. 

"Anda tidak perlu tahu apa saja yang saya lakukan bersama Riko, dan anda tidak berhak tahu tentang hubungan kami, karena anda bukan siapa-siapa saya!" ujarku sambil membuka pintu mobil lalu keluar darisana. 

"Ardila!" panggilnya, dia mengikutiku yang berjalan sambil menghapus air mata. 

Aku tetap berjalan, mengabaikan panggilannya. Tapi dengan secepat kilat dia menangkap tanganku, lalu memeluk tubuhku dengan eurat. 

"Jangan pergi!" ucapnya. 

Meski aku berontak tak lantas membuatnya melepas pelukan. "Lepaskan saya!" ujarku kesal. 

"Saya gak akan melepaskan kamu sebelum kamu berjanji pada saya," ucap Pak Devan yang begitu mencurigakan. 

"Janji apa sih Pak, jangan begini, lepaskan saya!" aku tidak tahan lagi, tapi tenaganya lebih kuat dariku. 

"Janji kalau kamu tidak akan pernah meninggalkan saya lagi," ucapnya tiba-tiba yang membuatku seketika berhenti berontak. 

Kami saling berpandangan satu sama lain di tengah dinginnya malam, di tengah riuhnya kendaraan yang berlalu lalang lewat di jalanan. 

"Lepaskan!" kataku lagi memberontak, kali ini aku tidak bisa melihat matanya. 

"Lihat mata saya Ardila, saya yakin, kamu masih sangat mencintai saya, benarkan?" tanya dia lagi mempereurat pelukkannya. 

"Jangan sok kepedean, lebih baik Bapak lepaskan saya, malu di lihat orang!" ujarku berusaha menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya.

Pelukkan Pak Devan melonggar. Dia melepaskan pekukannya. Matanya yang berwarna kecoklatan itu memandang lekat ke arahku. Dia terdiam sejenak. 

"Saya antar kamu pulang, dan jangan ngebantah!" ujarnya kemudian sambil menarik tanganku berjalan menuju mobilnya. 

                     *******

Saat berada di kampus, aku tidak fokus belajar. Kejadian semalam sungguh mengganngu pikiranku. Bertemu dengan Pak Devan kembali membuat hatiku merasa gelisah. 

"Ardila! kalau mau melamun mending di luar saja, ini waktunya belajar!" tegur Pak Radit yang membuat semua teman sekelas menyoraki aku. 

"Maaf, Pak!" jawabku. 

Setelah jam kuliahku selesai, aku berjalan menuju lorong kampus yang begitu sepi. Entah kenapa seketika pikiranku kembali pada kejadian waktu lalu yang pernah aku alami bersama Pak Devan. 

Waktu itu kami sering sekali ketemuan di lorong kampus yang sepi untuk menghindari gosip tentang kedekatan kami. Tidak ada satupun orang yang mengetahui tentang hubungan kami kecuali ibuku.

"Hallo, sayang," ucap Pak Devan saat melihatku berjalan ke arahnya. 

Sambil tersenyum aku berjalan. Menengok kesana kemari takut ketahuan orang. "Hallo juga sayang," balasku sambil tersenyum simpul padanya. 

Dalam lamunanku aku tersenyum sendiri mengingat kenangan indah bersamanya. Tapi seketika senyuman itu memudar saat aku tersadar seharusnya aku tidak mengingatnya kembali. 

"Ar..." panggilan seseorang membuat aku menoleh ke arahnya.

"Pak Devan!" ujarku terkejut, lalu menepuk kedua pipiku membuat pria itu mengernyitkan dahinya. "Ini bukan mimpi, kan?" ucap batinku. 

"Kenapa Ar? kok kamu malah tepuk pipi segala?" tanya dia heran. 

"Eu... Enggak, saya gak apa-apa," jawabku sambil menunduk. 

"For your information, mulai hari ini saya akan mengajar di kampus ini." Jelasnya padaku. 

Aku mengangkat wajahku, "Saya gak nanya!" ucapku sambil pergi meninggalkannya.

"Tunggu Ardila!" lagi Pak Devan menangkap tanganku sampai tubuhku menghadap padanya. 

Lagi-lagi kami saling bertatapan. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan. Aku berusaha melepaskan tangannya. Tapi Pak Devan berusaha menggenggam tanganku dengan kuat. 

"Lepaskan tangan saya!" ujarku kesal. 

Riko datang lalu menarik tanganku dari genggaman Kakaknya. 

"Lepaskan tangan dia!" kata Riko. 

"Apa urusannya sama kamu?" tanya Pak Devan.

"Dia pacarku, jadi siapapun yang mengganggu dia akan berurusan sama aku!" jawab Riko tegas sekali. 

Pak Devan menoleh ke arahnya. Lalu melepaskan tanganku. Kali ini dia mengalah. Dia pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan kami. Sedangkan Riko terlihat khawatir padaku. 

Aku jadi merasa tidak enak. Merasa terjebak diantara dua saudara yang meresahkan. 

"Kamu gak di apa-apain kan sama dia?" tanya Riko padaku. 

"Enggak Kok," jawabku singkat, kemudian kita pergi berjalan kaki menuju rumahku karena jam kuliahku sudah selesai. 

Drt... Drt... Drt... 

Bunyi panggilan yang bergetar dari handphone Riko dia abaikan begitu saja. Aku menoleh ke arah Riko sambil berjalan. Merasa heran dengan tingkahnya yang gelagapan. Entah apa yang sedang dia sembunyikan dariku. 

"Kenapa gak diangkat?" tanyaku penasaran. 

"Eu... gak apa-apa, paling juga telpon gak penting. O, iya Ar, malam ini kamu sibuk gak?" tanya Riko mengalihkan pembicaraan. 

"Iya, aku sibuk, aku mau cari kerjaan nanti malam." Jawabku singkat. 

"Gimana kalau sekarang aja kita cari kerjaannya." Usulnya sambil tersenyum. 

"Sekarang? emang kamu mau ajak aku cari kerja kemana jam segini?" tanyaku balik. 

"Ikut aku!" Riko menarik tanganku berjalan mengimbangi langkahnya. 

Kami masuk ke dalam mobilnya. Meski  tak tahu akan di bawa kemana, aku menurut saja. Siapa tahu dia memang akan memberikan pekerjaan untukku. 

Setelah beberapa menit dia menghentikan mobilnya di sebuah restaurant. Riko keluar dari mobil terlebih dahulu, lalu membukakan pintu mobil untukku.

Kami berjalan menuju restauran yang begitu asing bagiku. Di sana ada beberapa karyawan yang menyapa Riko seakan mereka sudah tak asing lagi padanya. 

"Hallo Selamat siang Pak Riko," ucap mereka. 

"Hallo," dengan ramah Riko melambai membalas mereka. 

Dia mengajakku memasuki sebuah ruangan. Lalu kami duduk di atas sofa. 

"Arin! tolong ambilkan dua gelas kopi buat aku sama ayangku!" teriak Riko pada salah satu karyawan. 

Aku mengernyitkan dahi saat mendengar kata terakhir yang dia ucapkan. Aku tidak merasa kita memiliki hubungan lebih dari sekedar teman. Tapi kenapa dia menyebutku dengan panggilan itu yang membuat kupingku geli mendengarnya. 

"Kenapa?" tanya dia yang wajahnya terlalu dekat denganku. 

Dengan cepat aku menahan bahunya agar dia menjaga jarak. "Maksud kamu apa? kita tidak lebih dari sekedar teman Riko, jadi jangan biarkan mereka semua beranggapan berbeda tentang kita," ucapku. 

"Kenapa kamu selalu lebih suka pacaran backstreet dari pada terbuka?" tanya Riko tiba-tiba. 

Saat mendengar pertanyaan itu membuat aku teringat kembali dengan kejadian di masalalu bersama Pak Devan. Ya, kami memang pernah menjalin kedekatan. Bahkan Pak Devan dan aku menjalani hubungan backtreet tanpa seorangpun yang tahu. 

"Aku tahu, kamu pernah menjalin hubungan sama Bang Devan kan?" tanya Riko lagi. Pertanyaan itu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Rasanya jantungku mau copot di buatnya. 

Bagaimana bisa dia tiba-tiba saja mengetahui hal itu. Padahal selama ini aku selalu mewanti-wanti Pak Devan agar tidak ada seorangpun yang tahu tentang hubungan kita. 

"Eu...itu tidak benar, aku tidak pernah menjalin hubungan apapun sama Pak Devan, kami hanya sebatas Dosen dan mahasiswa pada umumnya, tidak lebih dari itu. Aku dekat sama Pak Devan karena aku menjadi asisten dia sewaktu di kampus lama." Jelasku, dengan terpaksa aku berbohong pada Riko. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab. 23

    "Apa maksud kamu bawa aku ke tempat ini?" tanyaku sinis pada Riko. Dia tertawa. "Loh, memangnya kenapa Ar? Villa ini tempat yang menenangkan. Bagi aku Villa ini adalah tempat yang bisa membuat suasana hati aku menjadi lebih tenang, rileks, pokoknya nanti kamu akan tahu sendiri apa tujuan aku sebenarnya bawa kamu ke tempat ini. Yuk, kita masuk!" kata Riko, dia menarik tanganku tanpa ragu. "Tunggu dulu Riko!" cegahku lagi yang membuatnya berhenti melangkah. "Apalagi sayang? Jangan grogi gitu dong, aku gak bermaksud apa-apa kok, aku cuma mau minta bantuan sama kamu." Bujuk Riko. Akhirnya hatiku luluh juga. Aku menurut, mulai memasuki villa itu mengikuti Riko yang tak lepas memegang tanganku. Tiba-tiba saja Riko mendorong tubuhku memasuki sebuah kamar. Dia menutup pintu dan menguncinya. "Riko! Apa-apaan ini?! Kenapa kamu tutup pintunya?!" teriakku dengan ketakutan. Laki-laki itu hanya terdiam dalam emosi yang menggebu. Tatapannya seperti singa yang siap melahap mangsa. "Apa selama

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab. 22

    Aku menatap ke arah ibu yang masih memandangku dengan wajah pucatnya. Lalu dia melirik ke arah Pak Devan yang duduk di belakangku. "Ar... Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini? Menikah secara siri itu tidak adil untuk seorang wanita. Dan ibu ingin memperingatkanmu, wanita akan sangat rugi jika menikah secara siri." Ucapnya lembut. Aku termenung mencoba mempertimbangkan setiap ucapan ibu. Aku rasa semua ucapan itu memang benar. Wanita hanya akan merugi jika menikah secara siri atau menikah secara agama. Tapi, disisi lain aku tidak ingin hubunganku dengan Pak Devan terombang ambing begitu saja. Dan lagi, kami sudah melakukan sebuah kesalahan besar. "Ar... Kamu dengar ucapan ibu 'kan?" tanya ibu menyadarkan lamunanku. "Eu... iya bu, Ardilla mendengar semuanya. Kalau boleh Ardilla tanya sama ibu, apa ibu merestui hubungan kita, kalau kita berniat ingin menikah?" tanyaku ragu tapi aku ucapkan begitu saja. Terlihat ibu masih begitu gelisah. Dari raut wajahnya dia masih belum ikhlas mel

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab. 21

    Dia terkekeh melihat sikapku yang gelagapan juga kesal mendapat perlakuan barusan. Riko memang jahil. Sengaja dia mengerjaiku. Setelah selesai mengganti baju dia menghadangku kembali. "Mau kemana lagi?" Riko kembali menahanku yang hendak pergi. "Aku harus kerja, aku bukan bos yang enak-enak bersantai ria!" jawabku kesal. "Malam ini anggap saja kamu itu seorang bos, aku udah pesan ramen pedas plus cake kesukaan kamu juga kopi hangat dan jus mangga. So, duduk lagi, dan tunggu dulu, sebentar lagi makanannya akan segera diantar." Katanya lagi, dia menggiring tubuhku kembali. "Tapi..." "Ardian itu sepupu aku, dan aku udah izin sama dia kalau kamu gak usah kerja lagi malam ini, lagipula jam kerja kamu cuma tinggal beberapa menit lagi 'kan?" sangkalnya memotong ucapanku. Karena tak ingin lelah berdebat dengannya. Aku memutuskan untuk pasrah saja. Menuruti apa yang dia katakan. Setelah salah satu temanku selesai menaruh semua pesanan di atas meja. Kami mulai menyantapnya. Aku jadi teri

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab 20

    "Nyaman juga tempatnya, enak, adem ya!" katanya sambil duduk di atas ranjangku. "Sekarang kita tetanggaan loh, aku ngekost disini juga," jelasnya yang membuat mataku terbelalak. "Ngekost disini juga?! Bukannya selama ini dia tinggal di apartemen?" ucap batinku. "Kenapa terkejut? Emangnya salah ya, kalau aku ngekost dekat kamu?" tanyanya. Aku tetap diam, menahan emosiku yang seakan ingin meledak. Ku rogoh ponselku dari dalam tas kecil. Lalu mengirimkan sebuah pesan singkat pada Pak Devan. "Aku boleh numpang tiduran disini ya?" tanya Clara. "Gak boleh!" jawabku tegas menatapnya sinis sambil melipat tangan. "Sombong banget sih, baru ngekost di tempat kayak gini aja udah sombong!" celetuknya sambil bangkit."Kostan kita sama, jadi bukan masalah sombong. Tapi, harus tahu adab ketika masuk ke dalam rumah orang lain. Seengaknya jika belum di izinkan masuk, jangan langsung masuk!" balasku lagi. Clara menatapku tajam. Dia seakan sedang mengibarkan bendera peperangan denganku. "Akan aku

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab 19

    Singkat cerita kami tidak pernah bertemu kembali. Aku memutuskan untuk pergi pindah kostan juga agar Pak Devan dan Riko tidak bisa menemuiku lagi. Aku juga sudah bekerja di salah satu restaurant memutuskan untuk berhenti kuliah yang aku anggap itu hanya akan menyusahkan ibu. "Ar, tolong kamu antar pesanan ini ke meja nomer 12!" Kata salah satu teman kerjaku. "Oke, Bang!" segera aku mengantar dua gelas kopi late pesanan itu ke arah yang di tuju. "Ini Mbak pesanannya, selamat menikmati," ucapku ramah padanya. Tapi baru saja aku hendak pergi, wanita berkacamata hitam itu menahan tanganku. "Kamu... Ardilla 'kan?" tanyanya. Aku mengernyitkan dahi, sambil mengangguk mencoba mengingat siapa wanita itu sebenarnya. Saat dia membuka kacamatanya barulah aku bisa mengenalinya. "Iya, saya Ardilla." Jawabku. "Siapa juga yang gak tahu sama kamu, jejak digital itu emang gak akan bisa terhapus. O, ya. Aku cuma mau kasih tahu aja sama kamu kalau semalam Riko ada di apartemen aku." Katanya seolah

  • Terjerat Cinta Pak Dosen   Bab. 18

    Ternyata Pak Devan tidak langsung pulang. Dia tetap menunggu restaurant tutup agar bisa mengantarku pulang seperti yang dia katakan. Menunggu selama berjamjam tak lantas membuatnya bosan. Dia justru membantu aku dan karyawan lain melayani pelanggan dari meja satu ke meja lain. "Pak, bira saya saja, bapak sebaiknya istirahat." Ucapku sambil mengambil nampan di tangannya. "Gak apa-apa, saya sudah terbiasa bekerja seperti ini. Tolong kamu ambilkan handphone saya di dalam tas ya!" katanya sambil menyunggingkan senyuman. Aku menurut. Segera pergi menuju ruangan. Dengan ragu aku membuka tas kerja milik Pak Devan karena tidak terbiasa membuka tas orang sembarangan. Ku lihat dalam sebuah buku terdapat lukisan yang belum selesai. Saat aku mengambilnya. Ternyata itu adalah lukisan wajahku. Buku itu seperti buku diary. Terdapat banyak kata-kata yang di tulis beberapa tahun yang lalu. "Wanita ini akan menjadi milikku, namanya Ardilla Maharani, seorang perempuan yang sudah berhasil membuatku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status