"Kau sudah bangun?"
Sheila mengerjap-ngerjapkan matanya. Gadis itu buru-buru menarik jas putih di tubuhnya, berusaha untuk menutupi kulit yang terbuka. Pandangannya berkeliling, mencari tahu di mana dan siapa saja yang berada di sekitarnya saat ini.Sebuah helaan napas penuh kelegaan terdengar, setelah ia sadar bahwa tak ada Reno di sana. Pria di balik kemudi yang kini menatapnya khawatir adalah Arnes, Paman Dokternya. Dan kini, ia sudah berada di dalam mobil yang membawa mereka kembali ke rumah sang dokter."Paman ada di sana?" tanyanya penasaran."Petugas keamanan bilang kau pergi dari rumah dan aku tahu kau pasti kembali ke rumah itu," jawab Arnes.Sheila membuang muka karena malu sudah melakukan kesalahan. Tangannya merogoh kantong, di mana kunci duplikat berada. Senyumnya merekah begitu tahu benda penting itu masih ada di sana."Mengapa Paman pergi ke sana?" tanya gadis itu begitu polosnya.Entah apa yang ada dalam kepala Arnes hingga meninggalkan kehidupannya dan mengejar Sheila yang notabene bukan siapa-siapa. Mata elangnya menangkap bayangan gadis yang kini memandang ke arahnya penuh tanya. Wajah pucat itu nampak menyedihkan."Hanya ingin memastikan bahwa kau aman," jawabnya asal."Lalu Paman Reno?" tanya Sheila berusaha mengingat kejadian menegangkan yang baru saja ia lalui."Entahlah!" jawab pria itu menahan kemarahan yang masih tersisa.Jika saja tak ingat bahwa ada Sheila yang harus dilindunginya, mungkin Reno sudah mati di tangan Arnes. Pria tak berhati nurani itu pantas mendapatkan ganjaran karena sudah menyakiti keponakannya sendiri. Usia tua tak membuat pengangguran itu sadar bahwa yatim piatu seperti Sheila harusnya dilindungi."Lain kali, aku tak akan membiarkanmu kembali lagi ke rumah itu!" tegasnya."Tapi Paman, rumah itu...""Apa pentingnya rumah itu jika keselamatanmu terancam, hah?" teriak Arnes yang tak bisa lagi menahan semua gemuruh di hatinya.Jantungnya nyaris copot begitu tahu Sheila pergi dari rumah. Sebuah operasi bedah harus digantikan oleh dokter lain karena ia ingin segera pergi mencari. Tapi gadis itu malah terus memikirkan rumah dibanding nyawanya sendiri."Itu rumah peninggalan ayahku! Itu hakku dan aku ingin semua itu kembali!" jawab Sheila yang turut emosi."Kau memang tak bisa dikasihani!" seru Arnes kesal.Pria itu menghentikan mobil tepat di depan rumah. Dengan kesal Arnes membanting pintunya, hingga Sheila sendiri terkejut. Gadis itu baru saja akan menyusul keluar dari mobil, tapi tubuh Arnes malah memutari mobil dan membukakannya pintu."Aku bisa sendiri," kata Sheila begitu wajah Arnes muncul di ambang pintu mobil.Pria itu mengangguk setuju dan pergi tanpa mempedulikan Sheila lagi. Ia kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan menyiapkan makan malam. Entah mengapa ia tak ingin Sheila kelaparan, apalagi setelah kejadian sore tadi. Namun sudah hampir satu jam ia menunggu, gadis itu tak jua turun. Merasa khawatir, Arnes memutuskan untuk memanggil langsung ke atas. "Sheila!" panggilnya sambil mengetuk pintu. "Sheila!" panggilnya lagi.Tak ada jawaban dari sang pemilik kamar, membuat pria itu semakin khawatir saja. Dengan hati-hati, dibukanya pintu kamar Sheila. Matanya langsung mencari remaja putri itu ke segala penjuru kamar, tapi tak ditemukannya. Arnes masuk ke dalam kamar dengan perlahan. Walau tak ada sosok Sheila di sana, ia menemukan sebuah gundukan di atas ranjang yang tertutup selimut rapat."Sheila, kau tidur?" tanyanya mendekati kasur.Masih juga tak ada jawaban walau suaranya sudah begitu jelas terdengar. Maka dari itu Arnes memutuskan untuk menyentuh selimut yang sepertinya tepat di atas tubuh Sheila. "Sheila, kau tak apa?" tanyanya lagi.Mulai khawatir, Arnes menyibak selimut itu cepat. Dan begitu terkejutnya ia mendapati gadis itu meringkuk dengan keringat bercucuran. Bibirnya pucat, dan badannya bergetar seperti kedinginan. "Badanmu panas!" katanya setelah menyentuh kening gadis itu.Sheila masih juga tak bersuara. Matanya terpejam, tapi tubuhnya menunjukkan kondisi yang tak baik-baik saja. Sebagai seorang dokter yang sudah terlatih menghadapi orang sakit, Arnes bergerak cepat mengambil kotak P3K di kamarnya. Ia mengukur suhu tubuh Sheila dan mengompres keningnya dengan sebuah plester pendingin. Setelah itu, ia juga memeriksa kondisi tubuh sang gadis dengan stetoskop."Ayah..." bisiknya mengigau.Arnes menarik napas dalam, merasa bersalah karena tak bisa menjaga gadis itu baik-baik. Kejadian sore tadi sepertinya memberikan sebuah trauma di alam bawah sadar Sheila, hingga mengakibatkan respon tubuh yang tak biasa, seperti demam dan mengigau."Hei, kau tak apa sekarang!" kata Arnes di dekat telinga gadis itu."Sheila sakit..." rengeknya bak anak kecil yang tengah merajuk pada orang tuanya.Sebagai seorang pria yang tak memiliki pengalaman mengurus anak, Arnes hanya bisa diam melihat sikap manja Sheila. Tapi sebagai dokter, ia harus segera mengobati gadis itu, salah satunya dengan menyuntikkan obat, karena kondisi pasiennya tengah tidur."Kau akan baik-baik saja," kata Arnes mengelus lembut puncak kepala Sheila.Pria itu berada di sisi Sheila, tanpa beranjak sedikitpun. Beberapa kali ia mengecek suhu tubuh Sheila yang nampak masih tinggi. Dan kebingungan mulai melanda.Walaupun seorang dokter, Arnes tak berpengalaman mengurusi pasien anak. Ia hanya bertugas mengoperasi, tanpa membangun hubungan pada pasien seperti dokter umum atau perawat yang menjadi asistennya. Bahkan bisa dikatakan, ia terlampau cuek jika berhubungan dengan pasien. Namun kali ini, kemampuannya seperti diuji dengan merawat Sheila yang tengah sakit. "Sheila, bangunlah! Kita harus ke rumah sakit!" kata Arnes menggoyangkan tubuh mungil itu.Manik cokelat itu terbuka perlahan, menangkap banyangan Arnes yang begitu khawatir. "Aku tak mau!" tolaknya tegas."Tapi kau harus dirawat!" timpalnya tak mau kalah."Pergi! Aku tak mau dikasihani!" seru Sheila yang langsung membalikkan tubuh ke arah sebaliknya.Arnes mendengus kesal, karena niat baiknya dibalas dengan sikap kurang ajar. Ingin sekali ia pergi meninggalkan gadis itu, tapi melihat wajah pucat Sheila, rasanya tak tega."Aku tak sedang mengasihanimu!" balasnya."Lalu mengapa Paman begitu baik padaku? Paman bukan keluargaku, bukan juga orang yang harus bertanggung jawab akan hidupku, kau bukan siapa-siapa!" balas gadis itu penuh emosi. Bak disambar petir, tubuh Arnes menegang. Tangannya terkepal, mengingat satu kesalahan besar yang membuatnya harus menanggung ini semua. Tapi tak seperti dirinya, pria itu malah hanyut dalam kehidupan Sheila hingga rela meninggalkan hal-hal penting, termasuk pasiennya.Matanya menatap wajah cantik Sheila yang terlihat sedih. Arnes mulai sadar bahwa kata-katanya melukai hati remaja putri itu, apalagi saat di mobil tadi. Perasaan bertanggung jawab yang menjadi tamengnya perlahan memudar, begitu tangannya menyentuh puncak kepala gadis itu."Aku tak ingin ayahku bersedih karena melihat rumahnya jatuh ke tangan orang seperti paman dan bibiku. Aku ingin menjadi anak yang berguna untuk ayahku!" isak Sheila sesenggukan.Kepedihan itu terasa menusuk hati Arnes yang menjadi saksi hidup. Tangannya bergerak menarik Sheila ke dalam pelukannya. "Maafkan aku," bisiknya memeluk erat Sheila.***"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan