Share

Bersikap Semestinya

Arnes bangun dengan penuh keterkejutan, karena ia sama sekali tak menemukan gadis kecil yang dipeluknya semalam. Kakinya berputar ke seluruh ruangan, tapi tak nampak ada sosok itu di sana. 

"Sheila!" teriaknya keluar dari kamar.

Merasa tak ada jawaban, Arnes turun ke bawah dan berlari keluar rumah. Namun halaman rumahnya masih sama. Mobil hitam masih terparkir di teras, dan suasana sunyi senyap. 

"Bau ini..." bisiknya pada diri sendiri begitu menyadari hidungnya mencium sesuatu.

Arnes berlari ke dapur untuk memastikan bahwa gadis itu ada di sana. Dan benar saja, langkahnya terhenti begitu melihat senyum ceria Sheila yang sudah memegangi semangkuk sup ayam.

"Pagi!" sapanya penuh kebahagiaan.

"K-kamu..."

"Tadi aku bangun jam lima. Tapi karena Paman kelihatan lelap, jadinya aku turun lebih dulu," katanya seolah tahu pertanyaan yang akan diajukan Arnes.

Gadis itu menarik tangan Paman Dokternya untuk duduk bersama di meja makan. Sudah ada nasi hangat, sup dan telur dadar buatan Sheila. Semua itu adalah makanan yang biasa ia siapkan setiap pagi jika bersama sang ayah.

"Biar aku yang ambilkan!" kata gadis itu bersemangat.

Tangannya bergerak seolah hal itu biasa dilakukan. Mulai dari menuangkan nasi, sayur dan lauk, beralih pada mengisi gelas air mineral untuk Arnes. Sheila yang manja menjelma bak ibu rumah tangga yang tengah melayani suaminya.

Arnes yang masih setengah sadar bergerak mengikuti semua kata-kata gadis itu. Masakan sederhana itu terasa nikmat dilidahnya. Dan harus diakui, Sheila lebih jago memasak jika dibandingkan dengannya yang hanya bisa memasak omelet di pagi hari.

"Kau sudah sehat?" tanya pria itu sambil menilik wajah segar Sheila.

Anggukan kepala diberikan sang gadis dengan penuh semangat. Tak ada lagi tangis getir seperti semalam. Bahkan senyumnya sumringah, bak baru saja memenangkan lotre.

"Aku minta maaf karena semalam..."

"Aku sudah menyiapkan pakaian untuk Paman di kamar," katanya tiba-tiba. "Maaf, aku masuk ke kamar tanpa ijin. Tadinya aku hanya ingin memasukkan pakaian dari laundry yang ada di ruang tamu, tapi..."

"Tak apa, terima kasih!" jawab Arnes yang mengerti bahwa gadis itu tak ingin lagi mengingat kejadian kemarin. Ia pun mengikuti keinginan Sheila dengan diam dan tak lagi mengungkit-ungkit hal tersebut.

Pakaiannya memang selalu dicuci oleh laundry langganan. Biasanya akan diambil oleh bagian kebersihan dan diantarkan kembali sore hari. Rumahnya yang kosong sebenarnya tak mudah dimasuki orang karena memiliki dua orang satpam dan penuh dengan CCTV. Hanya orang-orang berkepentingan yang bisa keluar-masuk dengan bebas.

"Aku siap-siap dulu," pamit Arnes yang bergerak naik ke kamarnya.

Sementara Sheila bergerak merapikan meja makan hingga bersih. Gadis itu juga melakukan beberapa pekerjaan rumah seperti menyapu dan menyiram tanaman di kebun belakang. Nampaknya ia tengah berperan layaknya istri dari Arnes.

"Aku harus berangkat, jika kau butuh sesuatu bisa hubungi aku atau..."

Bibir Arnes menjadi kelu begitu melihat perubahan sikap Sheila yang kini menyentuhnya dengan mudah. Tangan kecil gadis itu bergerak merapikan pakaiannya. Lalu tak lupa ia membawakan sebuah botol berisi jus buah yang entah disiapkan sejak kapan. 

"Sheila, apa yang kau lakukan?" tanya Arnes curiga.

Pria itu menemukan sebuah sikap yang tak pernah ia dapati sejak membawa Sheila masuk ke dalam rumah. Perubahan yang begitu drastis membuatnya penasaran, sekaligus takut.

"Aku hanya ingin berterima kasih karena Paman sudah merawatku semalam. Apa tak boleh?" tanyanya dengan tampang polos.

"Baiklah!" jawab Arnes seraya pergi meninggalkan gadis itu.

Dengan menghilangkan semua rasa curiganya, Arnes pergi ke klinik seperti biasa. Jam praktiknya mulai sejak pukul sembilan pagi dan akan selesai di jam makan siang. Tapi biasanya akan ada beberap kunjungan pasien paska operasi setelah itu. Dilanjutkan dengan operasi di beberapa rumah sakit tempatnya berpraktik. Atau kadang rapat dengan manajemen klinik terkait pengembangan dan peningkatan layanan.

"Masih ada berapa pasien lagi?" tanya Arnes pada perawat yang menjadi asistennya.

"Sudah habis, Dok. Tapi ada tamu yang mau ketemu," jawab wanita berseragam serba putih itu ragu-ragu.

Sebagai orang yang sudah bekerja cukup lama dengan dokternya itu, ia hapal betul jika Arnes tak suka diganggu pada jam praktiknya. Ia baru bisa ditemui sore hari, ketika urusan dengan pasien sudah selesai.

"Siapa?" tanyanya tak suka.

"Katanya dari rumah, tapi sepertinya saya belum pernah lihat," jawab perawat itu terus terang.

Tanpa perlu berpikir panjang, Arnes langsung tahu bahwa orang yang dimaksud adalah Sheila. Karena belum pernah ada yang datang ke kliniknya selama ini. Apalagi ia dikenal sebagai dokter yang cukup tertutup untuk urusan pribadi, termasuk keluarga.

"Jadi bagaimana, Dok?" tanya perawat itu takut-takut.

Arnes mendengus kesal. Ia langsunga mengangguk, tanda tamunya diperbolehkan untuk masuk. Dan tak butuh waktu lama hingga sosok gadis mungil itu muncul di hadapannya.

"Hai, aku bawa makan siang untuk Paman. Kebetulan aku juga belum makan, jadi kita bisa..."

"Siapa yang memintamu datang ke sini?" tanya Arnes langsung.

Senyum ceria itu luntur seketika, melihat bagaimana tanggapan Arnes pada kedatangannya. Namun ia berusaha untuk berpikir positif dan berusaha tetap tersenyum pada Paman Dokternya itu.

"Aku kesepian di rumah, makanya..."

"Aku tanya, siapa yang memintamu datang, hah?" teriak Arnes mengisi seluruh ruang praktiknya.

Merah padam wajah Sheila menahan malu. Ia sangat yakin suara pria itu terdengar sampai keluar. Untuk pertama kalinya ada laki-laki yang meneriakinya seperti ini.

"Sudah aku bilang, kamu bisa istirahat di rumah! Apa itu kurang jelas, hah?" tanya pria itu ketus.

Sheila menggeleng dengan cepat, memahami betul pesan Arnes pagi tadi. Hanya saja ia begitu kesepian dan ingin berjalan-jalan sejenak. Apalagi hanya pria itu yang dimilikinya saat ini.

"Sekarang pulang, dan jangan pernah kemari tanpa ijinku!" pinta Arnes setengah merendah.

Gadis itu terkejut mendengar pria itu mengusirnya setelah perjuangan memasak dan megemas makan siang agar mereka bisa menikmatinya bersama. Semua bayangan indahnya di jalan tadi buyar begitu saja.

"Ta-tapi ini..."

"Bawa kembali!" perintahnya cepat. "Aku sudah kenyang!" tambahnya seraya bergerak keluar dari ruangan.

Namun baru saja hendak membuka pintu, langkah Arnes terhenti. Pria itu seolah mengakumulasi semua perubahan sikap Sheila sejak pagi tadi hingga kemunculannya siang ini.

"Kau tidak sedang menyukaiku, kan?" tanyanya telak.

Jantung Sheila mau copot rasanya mendengar pertanyaan itu. Arnes yang lebih berpengalaman darinya tentu menebak dengan alasan yang jelas. Ia memiliki mata dan pikiran logis nan matang diusianya yang ke-45. Dan lagi-lagi, hal ini membuat Sheila tak bisa lagi berkata-kata.

"Jika memang itu alasan semua sikapmu hari, lupakan! Kau sama sekali bukan tipeku! Lagi pula kau harus ingat bahwa aku ini teman ayahmu, usia kita begitu jauh dan aku, tidak akan pernah menaruh rasa padamu!" jelasnya penuh penekanan di akhir kalimat.

"A-aku..."

"Kalau kau tak mau ku anggap begitu, bersikaplah semestinya!" tegas Arnes dengan tatapan tajam seolah mengancam.

"Seperti apa?" Sheila balik bertanya.

"Seperti gadis 17 tahun yang lebih pantas menjadi anakku!" jawab Arnes yang terang-terangan menyebut usia gadis di hadapannya. "Karena begitulah kau di mataku!" tambahnya seraya pergi meninggalkan Sheila yang diam tanpa kata.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status