"Kau akan kembali ke rumah?" tanya Arnes setengah berteriak.
Entah apa yang dipikirkan Sheila hingga membuat sebuah keputusan bodoh seperti itu. Sudah hampir seminggu ia tinggal di rumah Arnes, tapi bayangan sang ayah selalu muncul dalam mimpi, seolah menolak anak gadisnya keluar dari harta peninggalan satu-satunya itu."Aku tidak mengijinkan!" tegas Arnes yang langsung menolak tanpa perlu banyak tanya lagi."Tapi, Paman....""Apapun alasanmu, aku tidak setuju kau kembali ke sana!" tolaknya lagi.Gadis itu menunduk sedih mendengar jawaban Arnes yang tak bisa lagi diganggu gugat. Bibirnya baru saja akan mengucapkan argumen-argumen baru, tapi ekspresi Arnes membuatnya tetap diam sembari memainkan makanan yang terhidang di piring."Aku hanya ingin rumah itu kembali," bisiknya nyaris tak terdengar karena denting sendok dan garpu.Namun Arnes dengan jelas mendengar pernyataan gadis itu. Napasnya terdengar kesal, tapi ia berusaha untuk menyembunyikan emosinya. Baru dua hari menghadapi remaja itu, pikirannya sudah diperas habis-habisan hingga sakit kepala yang dirasa."Aku tahu, dan aku sudah berjanji padamu akan membantu untuk mendapatkan hakmu kembali. Tapi kau tak bisa bergerak sembarangan seperti ini!" tegas pria itu penuh penekanan.Ia tak lagi bisa sabar menghadapi sifat khas remaja yang agresif, kritis tapi keras kepala seperti Sheila. Ditambah lagi keduanya belum sepenuhnya kenal satu sama lain."Sabarlah sebentar," tambahnya setengah berharap bahwa gadis itu akan mendengarkan.Sayangnya hal itu tak sepenuhnya disetujui oleh Sheila. Ia malah merajuk dengan naik ke kamar tanpa pamit terlebih dahulu. Ditinggalkannya sisa makanan yang nyaris tak tersentuh.Namun Arnes tak melakukan apapun. Ia membiarkan gadis itu pergi tanpa kata. Pikirannya sudah harus kembali fokus pada pekerjaan sebagai dokter bedah utama di klinik miliknya itu.Tak mau berlama-lama larut, pria itu bergegas untuk siap-siap bekerja. Ditinggalkannya Sheila di rumah. Arnes bahkan tak berpamitan pada gadis itu.Sementara Sheila yang mengurung diri di kamar mengamati mobil sedan milik paman dokternya pergi. Senyum sumringahnya muncul, bersama ide yang dianggapnya begitu brilian.Tangan kecilnya mengemasi barang-barang penting dan memasukkannya pada ransel hitam yang biasa dikenakan ke sekolah. Dengan uang seadanya, Sheila pergi dari istana nyaman milik Arnes, tanpa pamit. Gadis itu bahkan tak menghiraukan panggilan seorang keamanan yang berjaga di pos.Dengan ojek online pesanannya, Sheila pergi kembali ke rumah. Kepalanya menyusun rencana untuk mendapatkan sertifikat rumah itu kembali. Apalagi mengingat bibi dan pamannya yang harusnya pergi bekerja."Ayah," bisik Sheila begitu bayangan rumahnya hadir semakin dekat.Setela menyelesaikan transaksi pembayaran, gadis itu masuk sembari mengendap-endap, memastikan bahwa benar tak ada orang di rumah. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum memutar kunci duplikat rumah yang sengaja dibawa sebelum pergi."Bibi! Paman!" serunya memanggil penghuni rumah.Melihat tak ada seorangpun yang muncul, Sheila bergegas masuk ke dalam kamar mendiang ayahnya dan mencari di beberapa sudut lemari hingga kolong tempat tidur yang kosong melompong. Otaknya terus berpikir, lokasi mana yang mungkin digunakan paman dan bibinya untuk menyimpan benda penting itu.Ia pun beralih pada kamarnya sendiri yang kini sudah berantakan. Sheila sangat yakin bahwa dua orang dewasa itu memilih ruangan itu sebagai tempat tidurnya. Dengan bergidik jijik, ia melemparkan baju-baju kotor nan bau sembarangan. Dibukanya tas milik bibinya yang nampak begitu penuh. Tapi sayangnya, masih nihil.Sheila hampir menyerah, sampai senyum kembali tersungging di bibirnya begitu matanya menangkap sebuah map tergeletak di atas meja belajar. Tanpa banyak basa-basi ia bergerak mengambil dan memastikan bahwa isinya sesuai dengan apa yang dicari."Akhirnya!" seru Sheila senang.Dengan cepat ia keluar dari kamar dan kembali ke rumah Arnes. Namun baru saja sampai di ruang tamu yang gelap tanpa pencahayaan, sosok Reno muncul menghadang. Tubuh besar dengan bau alkohol menyengat tercium dari jarak yang cukup jauh. Sepertinya pria itu baru saja datang entah dari mana, dan mendapati rumah terbuka."Apa yang kau bawa, Gadis Kecil?" tunjuknya pada map di tangan Sheila. "Kau mencuri sesuatu, hah?" tanyanya menuduh."A-aku hanya membawa surat-surat sekolah!" dustanya.Namun jawaban itu langsung disesali oleh sang gadis. Tentu saja orang dewasa seperti Reno tak akan percaya pada jawaban bodohnya. Apalagi dapat terlihat jelas bahwa mapnya bertuliskan 'Sertifikat Tanah dan Bangunan'."Jangan bohong!" seru Reno yang langsung maju melompat ke arah Sheila.Gadis itu berlari menghindar, hingga terjadilah adegan kejar-mengejar yang cukup lama. Sayangnya kaki kecil Sheila yang begerak ke ruang tamu sudah diantisipasi dengan baik oleh Reno. Pria itu maju lebih dulu dan menangkap tubuh keponakannya.Tangan besar itu langsung tertuju pada map di tangan Sheila. Adegan tarik-menarik terjadi hingga akhirnya gadis itu kalah dan jatuh ke lantai. Dengan kasar Reno membuka map untuk memastikan isinya masih baik-baik saja. Lalu melemparkannya ke atas lemari agar aman."Katakan padaku, bagaimana kau bisa masuk ke rumah ini!" perintahnya yang dengan kasar mengangkat tas hitam milik Sheila dan membuat tubuh mungil itu ikut melayang.Gadis itu diam tak menjawab. Jika kejujuran diberikan, ia sangat yakin sang paman akan mengambil kunci yang kini tersimpan rapi di kantong celananya."Rumahnya tak dikunci!" jawabnya yang lagi-lagi berdusta."Bohong!" seru Reno sambil membanting tubuh gadis itu ke sofa. "Kau pasti punya duplikatnya!" serunya sembari memukul bagian kepala gadis itu dengan kencang.Sheila mengaduh kesakitan, tapi sepertinya Reno sama sekali tak tercipta untuk mengasihani. Pria itu bahkan memandangi keponakannya dengan tatapan siap memangsa. Belum sempat gadis itu beranjak, sang paman sudah maju dan menarik kembali jaket Sheila yang kini dipaksanya agar terbuka."Paman, apa yang kau lakukan? Jangan sentuh aku!" seru Sheila dengan sisa tenaga menahan tangan besar pamannya."Kau pasti menyembunyikannya di balik jaket ini, kan?" tebaknya."Tidak! Aku sama sekali tidak menyembunyikan apa-apa, Paman!" jawabnya dengan tangis yang sudah pecah.Reno sudah berhasil melucuti jaket Sheila, tas hitam miliknya pun sudah tergeletak di lantai dengan barang berserakan. Tapi pria itu belum juga menemukan apa yang dicari. Hingga mata iblisnya memandangi celana sang keponakan dan bersiap maju untuk kembali menggeledah.Sheila menggeleng dengan cepat. Ia tak mau ketahuan, tapi tak juga bisa melakukan apa-apa. Seluruh tubuhnya sakit bukan main, terutama bagian kepala. Tatapannya nanar, memandang ke arah Reno yang sudah dekat dengan tubuhnya.BUGH!Gadis itu tercekat begitu melihat tubuh Reno jatuh hanya dengan sebuah tendangan. Lampu di ruang tengah yang belum menyala membuatnya hanya bisa melihat sekelebat bayangan pria besar menghampiri."Jangan sentuh aku!" seru gadis itu memohon untuk dibiarkan tetap hidup.Air matanya tumpah, tangannya bergetar memegangi kaos yang menjadi satu-satunya pelindung kulitnya. Namun sosok pria itu malah bergerak mendekati, membuat Sheila mundur penuh ketakutan."Aku di sini, Sheila!" bisik pria itu sambil meletakkan jas putihnya di tubuh Sheila."Kau tahu namaku?" tanya gadis itu sebelum akhirnya jatuh pingsan.***"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan