"Ayah... Jangan tinggalin Sheila! Ayah sudah janji mau temenin Sheila! Ayah...!"
Raungan keras gadis 19 tahun itu terdengar menyayat hati. Semua mata memandang penuh haru, bahkan sebagian ibu-ibu turut menangis merasakan pedihnya kehilangan orang tua. Apalagi jika harus mengingat bahwa remaja putri itu akan hidup sebatang kara untuk selamanya."Ayah...!" jeritnya tak tertahan.Peti mati sudah masuk sepenuhnya, dan kini giliran tanah-tanah gembur memenuhi liang lahat yang menutup pintu pertemuan Sheila dan ayahnya. Tubuh mungil dengan rambut ekor kuda itu jatuh terduduk, di antara para pelayat dan petugas pemakaman yang tengah bertugas. Air matanya mengalir tiada henti, mengingat bagaimana senyum ayahnya menghilang di balik pintu operasi."Sabar ya, Nak. Ayahmu sudah tenang di sana. Dia sudah sembuh dan bahagia, karena bertemu ibumu kembali."Sebuah kalimat dari entah siapa terdengar indah, namun semakin menyadarkan Sheila bahwa ia kini sendirian. Ibunya yang meninggal seminggu setelah melahirkan dirinya, lalu kini sang cinta pertama ikut pergi, sebelum sempat melihatnya tumbuh menjadi wanita dewasa."Pulanglah, kau harus beristirahat!" perintah salah satu pelayat yang masih tetangga samping rumahnya.Manik cokelat itu masih memandangi tanah basah yang menjadi tempat peristirahatan ayahnya yang terakhir. Kemeja putih yang kotor tak dihiraukan. Sheila Darmawan terisak keras, meluapkan semua kepedihan sebelum akhirnya kaki kecil itu melangkah kembali pulang.Rasa lelah yang tak berkesudahan semakin terasa begitu ia menyaksikan rumahnya yang kosong tanpa senyum cinta pertamanya. Semua pelayat sudah pulang, selepas dari pemakaman. Tak ada sanak keluarga yang datang, karena ia hanya tinggal seorang diri di Ibu Kota. Keluarga besarnya tinggal jauh di Luar Jawa. Biaya yang besar, menjadi alasan tak hadirnya mereka."Sheila! Sheila!"Gadis itu melonjak kaget mendengar suara yang rasanya ia kenal. Dengan tergesa-gesa, Sheila lari menuju pagar rumah yang tadi dikuncinya rapat-rapat."Bibi!" serunya bahagia.Akhirnya, Sheila bisa tersenyum melihat Nina, adik dari ayahnya yang tinggal di Daerah Kepulauan Seribu. Lokasinya tak jauh dari Jakarta, tapi untuk bisa menyeberangi perairan Seribu, membutuhkan waktu yang cukup lama karena jarang kapal untuk penumpang."Bukain pintunya!" perintah Nina yang sibuk dengan barang-barang bawaan.Tangan wanita 40 tahunan itu melambai-lambai, memanggil seorang pria berbadan besar dengan tato yang memenuhi lengan kanannya. Reno, seorang pengangguran yang sudah mendampingi bibinya selama 5 tahun lamanya."Sayang, bantuin!" seru Nina menunjuk semua barang untuk dibawa sang suami.Sheila tak tinggal diam. Tangan kecilnya turut membawa tas-tas besar yang dibawa sang bibi. Tapi langkahnya terhenti begitu pasangan suami istri itu masuk ke dalam kamar ayahnya."Kalian mau ngapain?" tanya Sheila setengah berteriak. "Bibi!" serunya berusaha mengejar dua orang dewasa yang sudah mengacak-acak lemari baju dengan kasar."Apa, sih!" seru Nina menampik tangan keponakannya."Bibi mau ngapain?" tanya Sheila bingung."Bibi mau cari surat rumah!" jawabnya ketus.Sheila mendelik terkejut mendengar jawaban Nina. Namun manik cokelatnya semakin membulat begitu Reno menarik sebuah map berwarna hijau, harta milik Sheila, satu-satunya."Paman!" serunya berusaha merebut sertifkat rumah.Sayangnya tubuh Reno yang tinggi menjulang dengan tangan yang terangkat tinggi-tinggi membuat Sheila kesulitan merebut benda itu. Bahkan tubuh mungilnya langsung didorong hingga jatuh tersungkur."Mulai sekarang, rumah ini menjadi milik kita!" kata Nina dengan penuh penekanan. Shelia melongo, kebingungan. "Ayah kamu itu punya utang sama kita, 500 juta!" katanya lagi.Mata gadis yatim piatu itu terbelalak tak percaya, karena selama ini ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang utang piutang yang dimaksud. Padahal selama ini, ialah yang menjadi manajer keuangan di rumah, apalagi semenjak sang ayah jatuh sakit."Mana buktinya?" tanyanya kritis. Gadis cerdas itu tak mau begitu saja dibodohi dua orang dewasa licik yang memanfaatkan peluang kematian ayahnya.Bola mata Reno dan Nina saling berpandangan, mencari jawaban. Namun tak lama wanita 40 tahun itu mendorong tubuh Sheila dan pergi keluar bersama sang suami yang menjadi pengikut setia. Tak mau kalah, gadis itu membuntuti di belakang."Pokoknya, rumah ini menjadi milik kami! Kalau kamu masih mau tinggal di sini, turuti semua keinginan kami dan jangan banyak membantah!" tegasnya tanpa menjawab pertanyaan dari Sheila. "Kalau kamu enggak mau, silakan pergi dari sini!" tambahnya sebelum sempat keponakannya itu memberikan penolakan.Bibir kecil itu terkunci rapat, tak tahu lagi harus berkata apa. Masih hancur hati mengingat kepergian sang ayah. Kini Sheila harus kehilangan satu-satunya peninggalan kedua orang tuanya yang tentu saja menyimpan banyak memori."Enggak bisa! Ini rumah ayah! Bibi dan Paman enggak bisa ambil rumah ini!" seru Sheila membalas dengan gagah berani."Kenapa enggak bisa? Ini kan untuk membayar semua utang ayah kamu! Memang kamu mau dia masuk neraka karena utangnya di dunia?" balas Reno, membela istrinya.Sheila mendorong tubuh pria besar itu dan berusaha menarik sertifikat rumahnya sekali lagi. Tapi dengan sigap, Nina membantu suaminya dengan cara menarik tubuh gadis itu dan menyeretnya keluar.BRUGH!Tubuh kecil itu membentur lantai teras dengan kencang. Namun tak nampak rasa kasihan di wajah dua orang dewasa itu. Reno bahkan menunjukkan map di tangannya dengan tampang meledek."Kamu itu mau dikasih hati malah ngelunjak! Kalau kamu enggak mau, kamu bisa keluar dari rumah ini, sekarang juga!" Tangan Nina menunjuk ke arah jalan raya yang sepi orang. "Pergi dari sini, anak enggak tahu diuntung!" serunya lagi tanpa mau melihat tangis Sheila."Apa yang kalian lakukan?"Sebuah suara bariton terdengar bersama kedatangan sosok pria tinggi besar yang langsung membantu Sheila untuk berdiri. Dengan cepat ia membantu sang gadis membersihkan pakaian dan menopang tubuh lemah itu.Sementara manik cokelat Sheila tertuju pada sosok berkemeja hitam dengan kacamata bertengger manis di hidungnya yang mancung. Ia terpaku sejenak, menikmati ketampanan pria itu dalam hati."Kamu enggak papa?" tanyanya dengan mimik khawatir. Namun gelengan kepala Sheila menenangkannya."Lo siapa?" tanya Reno kasar. "Mau apa ke sini?" cecarnya lagi."Kalian yang siapa? Saya Arnes, teman Robby!" jawabnya dengan jelas."Saya adiknya Robby!" jawab Nina yang memiliki hubungan langsung dengan ayah Sheila."Terus kenapa kalian menyakiti anak ini?" tanyanya telak.Nina dan Reno saling berhadapan, coba mencari jawaban satu sama lain. "Kita ke sini mau mengambil hak kita! Keluarga ini punya utang, dan dia malah ngelak dan mau lari dari tanggung jawab!" tunjuk Nina pada keponakannya sendiri. "Jadi, daripada ngerepotin, mending dia keluar dari sini!" tambahnya berapi-api.Pria bernama Arnes itu melirik Sheila yang masih menggeleng tanda tak tahu. Namun matanya bisa membaca kondisi yang terjadi saat ini dengan cepat. Tangannya merengkuh lengan Sheila dan tersenyum ke arah sang gadis penuh sikap optimis, bahwa semuanya akan baik-baik saja."Baik kalau memang kalian tidak mau merawat anak ini, biar saya saja yang melakukan!" katanya penuh penekanan. "Kemasi barang-barangmu, kita pergi dari sini!" perintahnya pada gadis di sisinya.Gadis lugu itu masih menatap bingung. Namun sentuhan dan tatapan hangat Arnes di tangannya membuat sebuah kepercayaan muncul."Mulai hari ini, Paman yang akan menggantikan posisi ayahmu!" janjinya dengan tatapan tajam meyakinkan Sheila.***"Dan kau merahasiakan ini semua dariku?" Arnes bertanya dengan tatapan tajam ke arah manik cokelat kekasihnya. Sesekali diliriknya perut Sheila yang mulai membesar. Tanda-tanda kehamilan tak keduanya rasakan saat bersama terakhir kali. Sehingga pria itu masih tak percaya jika wanita di hadapannya benar tengah mengandung."Aku hanya tak ingin merepotkan Paman!" jawab Sheila dengan penuh penekanan.Semua yang ia lakukan tiada lain karena ingin membantu kekasihnya itu. Semakin Arnes fokus, semakin masalah mereka akan selesai, dan pada akhirnya akan bertemu tanpa ada masa lalu yang perlu diurus. Dengan begitu keduanya akan hidup damai sejahtera, seperti mimpi yang pernah dirajut bersama."Kau boleh menyimpan semuanya, tapi tidak dengan informasi sepenting ini! Apa kau pikir aku tega meninggalkanmu berdua saja menjalani hari dengan kondisi begini? Laki-laki macam apa yang tega membiarkan wanita yang dicintainya menderita, Sheila?" cecar Arnes yang diakhiri dengan adegan menjambak rambutn
"Aku akan kirimkan uang untuk kebutuhanmu sebulan ini. Kau tak perlu khawatir tak ada pasien."Sheila mendengarkan celoteh dan juga nasihat-nasihat Arnes yang tak bisa ia rasakan kehadirannya. Sudah berbulan-bulan lamanya dan ia mulai merasa jengah. Ucapan yang sama selalu ia dengar, mulai dari jaga diri, jangan telat makan dan bergembira.Kata terakhir sungguh menyiksanya. Ia harus hidup tanpa pria yang sudah menghamilinya. Dan yang paling menyebalkan adalah, Arnes belum tahu jika Sheila mengandung. Semua disembunyikan sedemikian rupa hanya untuk membuat fokus sang dokter tertuju pada rumah sakit. Harapannya tentu saja penyelesaian masalah menjadi cepat dan keduanya segera bertemu."Tapi sampai kapan aku harus menunggu di sini?" tanya Sheila dengan nada yang begitu rendah, nyaris tak terdengar.Wanita yang tengah mengelus-elus perutnya yang mulai membesar itu hanya bisa meratapi nasib ditinggal berdua dengan sang bibi, tanpa kejelasan dari sang kekasih. Jangankan mengajak ke pernikah
"Hari ini enggak ada pasien?" tanya Sheila sembari keluar dari ruang praktinya dengan wajah penasaran.Wanita paruh baya yang duduk manis di meja pendaftaran menggelengkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Nina menoleh ke arah teras klinik kecil yang biasanya ramai. Tapi entah mengapa sudah beberapa hari terakhir nampak sepi pengunjung.Sudah beberapa bulan terakhir masyarakat Desa Waduk menghampiri klinik sekaligus tempat tinggal Sheila dan Nina untuk berobat. Hal ini dikarenakan Puskesmas yang letaknya cukup jauh. Jika menggunakan motor saja bisa satu jam lamanya. Itupun belum tentu mendapatkan antrean, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan membludaknya pasien yang meliputi beberapa Desa."Tumben ya, Bi?" tanya Sheila sembari mengelus perutnya yang mulai membesar.Nina tersenyum kecut. Wanita berbedan besar itu sebenarnya tahu betul apa yang membuat masyarakat enggan pergi ke tempat mereka. Tapi bibirnya kelu, tak sanggup menjelaskan alasan itu pada Sheila. Ia t
Sheila menatap bayangannya di cermin. Pakaian dan tangannya masih penuh darah, bersama air mata yang mengalir penuh sesal. Tangisnya pecah, menunduk dalam. Tubuhnya bergetar hebat setelah mengalami sekaligus menjadi saksi sebuah kejadian yang tak akan pernah ia lupakan seummur hidup."Sheila!"Suara bariton yang cukup ia kenal memanggil dari balik pintu kamar mandi. Tubuhnya begitu berat untuk bergerak. Tapi ia tetap melakukannya, sembari memutar kenop pintu pelan."Polisi bilang kita sudha boleh pulang," katanya sembari melepaskan jas putih dokter miliknya dan meletakkannya di bahu Sheila. "Aku akan mengantarmu pulang, setelah itu...""Aku ingin ke rumah sakit!" katanya setengah merengek. "Aku ingin tahu kondisi Paman Reno dan Andrew," tambahnya melemah.Entah apakah Sheila masih pantas menyebut dua nama itu ketika semua masalahnya malah membawa kedua orang itu ke dalam derita. Tapi ia hanya ingin melihat dua orang yang kini menjadi korban dari tembakan brutal Mia."Kau tak perlu ke
"Kenapa Paman baru angkat teleponku?" tanya Sheila dengan kesal.Sudah sejak 30 menit yang lalu ia menghubungi pria paruh baya itu. Namun baru kali ini teleponnya dijawab. Rasa khawatir dan panik muncul setelah muncul beberapa video Arnes yang muncul di beranda sosial medianya."Apa yang kau lakukan? Kau ingin hancur sendirian, hah? Apa begini caramu memulai hidup denganku?" cecarnya berapi-api.Sheila belum melihat secara utuh hasil konferensi pers yang baru saja dilakukan paman dokternya itu. Tapi dari potongan-potongan yang beredar saja, ia sudah bisa memastikan bahwa Arnes berniat mengarahkan semua amarah padanya. Padahal kenyataannya tak demikian."Temui aku sekarang atau kau tak akan pernah bertemu denganku lagi!" ancamnya seraya menutup telepon.Emosinya meletup-letup, tak terima dengan semua pernyataan yang tentu akan menghancurkan nama baik Arnes. Padahal selama puluhan tahun ia memupuk rasa percaya pada pasiennya, memberikan pelayanan terbaik, berusaha untuk mengembangkan il
"Jadi kau akan memilih perempuan itu, hah?" Mia memandang ke luar jendela, di mana langit biru dengan terik sinar mentari yang mulai tinggi. Panasnya menjalar ke hati yang kini membara setelah mendengar keputusan sang suami. Sementara jari-jarinuya sudah sejak tadi mencengkeram tas tangan yang sejak tadi ia bawa."Kau benar-benar akan membuang semua yang kau miliki saat ini? Demi dia?" cecarnya memaksa Arnes untuk menjawab pertanyaan itu di depan wajahnya langsung.Pria paruh baya itu memandang wanita cantik yang sampai saat ini tak pernah berubah sejak pertama kali ia temui. Tanda-tanda penuaan mungkin nampak, tapi tak terlalu jelas bagi seorang Mia yang memiliki banyak waktu dan uang untuk mengalokasikan kecantikannya sebagai tujuan utama. Kakinya melangkah maju, mendekati istri yang sudah lebih dari dua puluh tahun menemaninya."Aku tak bisa menjadi Arnes yang terus berada di belakangmu untuk mendapat apa yang dia inginkan. Aku harus berusaha dan sedikit berkorban untuk tahu rasan