Share

Terjerat Cinta Paman Dokter
Terjerat Cinta Paman Dokter
Author: She Sheila

Kehidupan yang Direnggut

"Ayah... Jangan tinggalin Sheila! Ayah sudah janji mau temenin Sheila! Ayah...!"

Raungan keras gadis 19 tahun itu terdengar menyayat hati. Semua mata memandang penuh haru, bahkan sebagian ibu-ibu turut menangis merasakan pedihnya kehilangan orang tua. Apalagi jika harus mengingat bahwa remaja putri itu akan hidup sebatang kara untuk selamanya.

"Ayah...!" jeritnya tak tertahan.

Peti mati sudah masuk sepenuhnya, dan kini giliran tanah-tanah gembur memenuhi liang lahat yang menutup pintu pertemuan Sheila dan ayahnya. Tubuh mungil dengan rambut ekor kuda itu jatuh terduduk, di antara para pelayat dan petugas pemakaman yang tengah bertugas. Air matanya mengalir tiada henti, mengingat bagaimana senyum ayahnya menghilang di balik pintu operasi.

"Sabar ya, Nak. Ayahmu sudah tenang di sana. Dia sudah sembuh dan bahagia, karena bertemu ibumu kembali."

Sebuah kalimat dari entah siapa terdengar indah, namun semakin menyadarkan Sheila bahwa ia kini sendirian. Ibunya yang meninggal seminggu setelah melahirkan dirinya, lalu kini sang cinta pertama ikut pergi, sebelum sempat melihatnya tumbuh menjadi wanita dewasa.

"Pulanglah, kau harus beristirahat!" perintah salah satu pelayat yang masih tetangga samping rumahnya.

Manik cokelat itu masih memandangi tanah basah yang menjadi tempat peristirahatan ayahnya yang terakhir. Kemeja putih yang kotor tak dihiraukan. Sheila Darmawan terisak keras, meluapkan semua kepedihan sebelum akhirnya kaki kecil itu melangkah kembali pulang.

Rasa lelah yang tak berkesudahan semakin terasa begitu ia menyaksikan rumahnya yang kosong tanpa senyum cinta pertamanya. Semua pelayat sudah pulang, selepas dari pemakaman. Tak ada sanak keluarga yang datang, karena ia hanya tinggal seorang diri di Ibu Kota. Keluarga besarnya tinggal jauh di Luar Jawa. Biaya yang besar, menjadi alasan tak hadirnya mereka.

"Sheila! Sheila!"

Gadis itu melonjak kaget mendengar suara yang rasanya ia kenal. Dengan tergesa-gesa, Sheila lari menuju pagar rumah yang tadi dikuncinya rapat-rapat.

"Bibi!" serunya bahagia.

Akhirnya, Sheila bisa tersenyum melihat Nina, adik dari ayahnya yang tinggal di Daerah Kepulauan Seribu. Lokasinya tak jauh dari Jakarta, tapi untuk bisa menyeberangi perairan Seribu, membutuhkan waktu yang cukup lama karena jarang kapal untuk penumpang.

"Bukain pintunya!" perintah Nina yang sibuk dengan barang-barang bawaan.

Tangan wanita 40 tahunan itu melambai-lambai, memanggil seorang pria berbadan besar dengan tato yang memenuhi lengan kanannya. Reno, seorang pengangguran yang sudah mendampingi bibinya selama 5 tahun lamanya.

"Sayang, bantuin!" seru Nina menunjuk semua barang untuk dibawa sang suami.

Sheila tak tinggal diam. Tangan kecilnya turut membawa tas-tas besar yang dibawa sang bibi. Tapi langkahnya terhenti begitu pasangan suami istri itu masuk ke dalam kamar ayahnya.

"Kalian mau ngapain?" tanya Sheila setengah berteriak. "Bibi!" serunya berusaha mengejar dua orang dewasa yang sudah mengacak-acak lemari baju dengan kasar.

"Apa, sih!" seru Nina menampik tangan keponakannya.

"Bibi mau ngapain?" tanya Sheila bingung.

"Bibi mau cari surat rumah!" jawabnya ketus.

Sheila mendelik terkejut mendengar jawaban Nina. Namun manik cokelatnya semakin membulat begitu Reno menarik sebuah map berwarna hijau, harta milik Sheila, satu-satunya.

"Paman!" serunya berusaha merebut sertifkat rumah.

Sayangnya tubuh Reno yang tinggi menjulang dengan tangan yang terangkat tinggi-tinggi membuat Sheila kesulitan merebut benda itu. Bahkan tubuh mungilnya langsung didorong hingga jatuh tersungkur.

"Mulai sekarang, rumah ini menjadi milik kita!" kata Nina dengan penuh penekanan. Shelia melongo, kebingungan. "Ayah kamu itu punya utang sama kita, 500 juta!" katanya lagi.

Mata gadis yatim piatu itu terbelalak tak percaya, karena selama ini ia sama sekali tak tahu apa-apa tentang utang piutang yang dimaksud. Padahal selama ini, ialah yang menjadi manajer keuangan di rumah, apalagi semenjak sang ayah jatuh sakit.

"Mana buktinya?" tanyanya kritis. Gadis cerdas itu tak mau begitu saja dibodohi dua orang dewasa licik yang memanfaatkan peluang kematian ayahnya.

Bola mata Reno dan Nina saling berpandangan, mencari jawaban. Namun tak lama wanita 40 tahun itu mendorong tubuh Sheila dan pergi keluar bersama sang suami yang menjadi pengikut setia. Tak mau kalah, gadis itu membuntuti di belakang.

"Pokoknya, rumah ini menjadi milik kami! Kalau kamu masih mau tinggal di sini, turuti semua keinginan kami dan jangan banyak membantah!" tegasnya tanpa menjawab pertanyaan dari Sheila. "Kalau kamu enggak mau, silakan pergi dari sini!" tambahnya sebelum sempat keponakannya itu memberikan penolakan.

Bibir kecil itu terkunci rapat, tak tahu lagi harus berkata apa. Masih hancur hati mengingat kepergian sang ayah. Kini Sheila harus kehilangan satu-satunya peninggalan kedua orang tuanya yang tentu saja menyimpan banyak memori.

"Enggak bisa! Ini rumah ayah! Bibi dan Paman enggak bisa ambil rumah ini!" seru Sheila membalas dengan gagah berani.

"Kenapa enggak bisa? Ini kan untuk membayar semua utang ayah kamu! Memang kamu mau dia masuk neraka karena utangnya di dunia?" balas Reno, membela istrinya.

Sheila mendorong tubuh pria besar itu dan berusaha menarik sertifikat rumahnya sekali lagi. Tapi dengan sigap, Nina membantu suaminya dengan cara menarik tubuh gadis itu dan menyeretnya keluar.

BRUGH!

Tubuh kecil itu membentur lantai teras dengan kencang. Namun tak nampak rasa kasihan di wajah dua orang dewasa itu. Reno bahkan menunjukkan map di tangannya dengan tampang meledek.

"Kamu itu mau dikasih hati malah ngelunjak! Kalau kamu enggak mau, kamu bisa keluar dari rumah ini, sekarang juga!" Tangan Nina menunjuk ke arah jalan raya yang sepi orang. "Pergi dari sini, anak enggak tahu diuntung!" serunya lagi tanpa mau melihat tangis Sheila.

"Apa yang kalian lakukan?"

Sebuah suara bariton terdengar bersama kedatangan sosok pria tinggi besar yang langsung membantu Sheila untuk berdiri. Dengan cepat ia membantu sang gadis membersihkan pakaian dan menopang tubuh lemah itu.

Sementara manik cokelat Sheila tertuju pada sosok berkemeja hitam dengan kacamata bertengger manis di hidungnya yang mancung. Ia terpaku sejenak, menikmati ketampanan pria itu dalam hati.

"Kamu enggak papa?" tanyanya dengan mimik khawatir. Namun gelengan kepala Sheila menenangkannya.

"Lo siapa?" tanya Reno kasar. "Mau apa ke sini?" cecarnya lagi.

"Kalian yang siapa? Saya Arnes, teman Robby!" jawabnya dengan jelas.

"Saya adiknya Robby!" jawab Nina yang memiliki hubungan langsung dengan ayah Sheila.

"Terus kenapa kalian menyakiti anak ini?" tanyanya telak.

Nina dan Reno saling berhadapan, coba mencari jawaban satu sama lain. "Kita ke sini mau mengambil hak kita! Keluarga ini punya utang, dan dia malah ngelak dan mau lari dari tanggung jawab!" tunjuk Nina pada keponakannya sendiri. "Jadi, daripada ngerepotin, mending dia keluar dari sini!" tambahnya berapi-api.

Pria bernama Arnes itu melirik Sheila yang masih menggeleng tanda tak tahu. Namun matanya bisa membaca kondisi yang terjadi saat ini dengan cepat. Tangannya merengkuh lengan Sheila dan tersenyum ke arah sang gadis penuh sikap optimis, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Baik kalau memang kalian tidak mau merawat anak ini, biar saya saja yang melakukan!" katanya penuh penekanan. "Kemasi barang-barangmu, kita pergi dari sini!" perintahnya pada gadis di sisinya.

Gadis lugu itu masih menatap bingung. Namun sentuhan dan tatapan hangat Arnes di tangannya membuat sebuah kepercayaan muncul.

"Mulai hari ini, Paman yang akan menggantikan posisi ayahmu!" janjinya dengan tatapan tajam meyakinkan Sheila.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status