Share

Paman Dokter

"Minumlah!" Arnes menyodorkan secangkir teh hangat untuk gadis yang sejak tadi masih menangis.

Dengan berhati-hati, Sheila menyesap minuman itu. Ditariknya napas dalam-dalam, berusaha menghilangkan kepedihan hati yang belum sembuh karena kehilangan sang ayah dan harus ditambah penderitaan diusir dari rumah. Semua bak mimpi buruk yang menjadi nyata baginya.

"Aku tak tahu harus ke mana lagi," bisiknya parau.

"Kau tak perlu ke mana-mana!" balas Arnes cepat. Sheila terperangah mendengar pernyataan itu. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku!" katanya lagi.

Gadis itu masih memandang tak percaya bahwa ucapan yang dikatakan Arnes di rumahnya tadi adalah sebuah kenyataan. Ia pikir itu hanyalah bualan untuk menyelamatkannya dari amukan paman dan bibi.

"M-maksud Paman, a-aku..."

"Tinggallah sampai kau bisa hidup mandiri." Arnes memotong ucapan Sheila yang masih belum sepenuhnya percaya.

Manik cokelatnya memandangi kediaman Arnes yang bak istana. Gedung dua lantai yang memiliki halaman luas itu memiliki interior mewah, namun minim perabot, menunjukkan tak banyak orang yang tinggal di sana.

Terbukti dari gambar-gambar di dinding yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Dan di anatar semua itu, hanya satu yang menggelitik hati Sheila, yaitu foto Arnes yang mengenakan jas putih, bak dokter.

"P-paman tinggal sendiri?" tebaknya.

Pria itu berdehem sebentar, lalu menganggukkan kepalanya tanda tepatnya tebakan Sheila. "Tapi akan ada seseorang yang datang setiap hari untuk membersihkan rumah dan juga mengambil cucian kotor. Sementara untuk masak, aku biasa melakukannya seorang diri."

Sheila baru saja akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain, mengintrogasi pria yang akan tinggal bersamanya. Namun Arnes malah menyodorkan sepiring donat dengan berbagai macam toping sebagai suguhan yang berhasil mengalihkan topik pembicaraan.

Tangan kecil Sheila meraup satu donat cokelat dengan banyak krim di atasnya. Makanan manis, adalah salah satu jajanan favoritnya. Dan dengan perut yang tak terisi sejak pagi, rasanya ia sanggup menghabiskan seluruhnya.

"Habiskan!" perintah Arnes begitu melihat Sheila yang malu-malu saat akan mengambil donat ketiganya.

Dengan senyum sumringah, gadis itu kembali meraup donat dengan krim vanila di atasnya. Mulutnya sibuk mengunyah, tanpa tahu bahwa Arnes memperhatikan diam-diam. Mata elang pria itu terus memandangi sudut bibir kecil Sheila yang kini dipenuhi oleh krim.

"Pelan-pelan, kau bisa tersedak!" katanya sembari mengusap lembut bibir manis Sheila.

Sontak hal itu membuat tubuh sang gadis membeku, diikuti rona merah di pipinya. Kegiatan makan yang tadi begitu penuh semangat, berhenti seketika. Sheila memandang Arnes yang bersikap biasa saja, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan.

Sementara berbeda dengan Sheila. Gadis itu merasakan sebuah getaran yang tak biasa. Selama ini, hanya sang ayah, laki-laki yang menyayangi dan juga mencurahkan segala perhatian padanya. Apalagi remaja putri itu belajar di sekolah khusus perempuan, yang artinya tak ada satupun teman laki-laki dimiliki olehnya.

"Aku akan membantumu mendapatkan rumah itu kembali."

Pernyataan dari bibir Arnes membuat Sheila semakin tercengang. Bibirnya menganga tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh pria itu. Tapi anggukan kepala itu seolah meyakinkannya bahwa bantuan itu nyata.

"Tapi Paman, di sana ada..."

"Tugasmu saat ini adalah fokus belajar dan lanjutkan kehidupanmu. Aku akan menyelesaikan semuanya!" janjinya. "Kau masih sekolah?" tanya pria itu langsung mengintrogasi.

Sheila mengangguk cepat. Saat ini, Sheila masih duduk di kelas 3 SMA. Tentu saja masa sekolah tak sesuai usianya, karena beberapa kali ia harus dirawat selama berminggu-minggu karena kesehatannya yang kurang baik. Tak tanggung-tanggung, gadis itu harus mengulang dua kali ketika berada di tingkat lima sekolah dasar.

"Tak perlu khawatir akan biayanya, semua aku yang tanggung!" janji Arnes lagi.

Kehidupan penuh neraka yang baru saja terjadi seolah lenyap seketika, digantikan oleh pria tampan yang kini menjadi penolongnya. Usia matang dan juga sikap tanggung jawab yang dimiliki pria itu menggelitik hati Sheila untuk kesekian kalinya. Kharisma Arnes semakin membuat gadis itu terpesona hingga tak berkedip memandang.

"Ada apa?" tanya Arnes yang memandang heran ke arah gadis itu.

Sheila tersentak, kepalanya menggeleng sebagai gerak reflek menutupi degup jantungnya yang tak beraturan. Maniknya berputar, mencari celah agar bisa mengalihkan pembicaraan.

"Apakah Paman seorang dokter?" tanyanya menunjuk gambar Arnes di dinding dengan maniknya.

Pria itu ikut menilik fotonya yang diambil belasan tahun lalu, tepatnya setelah gelar dokter spesialis diraih. Usia muda, hidup bebas dan tanpa beban nampak jelas pada ekspresinya kala itu.

"Paman?"

Arnes tersadar begitu panggilan lembut Sheila terdengar. Sudut bibirnya tersenyum getir, mengingat hidupnya yang kini begitu sunyi, penuh tekanan. Anggukan kepalanya lemah, menjawab pertanyaan gadis yatim piatu yang kini membulatkan bibir mungilnya.

"Dokter apa? Kenapa ayah tak pernah cerita kalau temannya adalah..."

"Hei, kamarmu ada di atas, kau mau melihatnya?" tawar Arnes yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan. "Ayo, aku antar kau ke sana!" ajaknya bergerak membawa barang-barang Sheila.

Gadis itu mengernyit, bingung. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan, tapi entah apa. Sheila sendiri belum bisa menebak pria yang jelas seusia sang ayah dan lebih pintar bermain kata, dibandingkan dirinya. Ia mengikuti ke mana langkah kaki Arnes bergerak. Menaiki anak-anak tangga menuju lantai dua dan memutar kenop pintu di ujung lantai. Terbukalah sebuah ruangan yang sudah lengkap dan siap ditempati.

Mata dan mulut Sheila rasanya tak bisa tertutup begitu tahu akan tinggal di kamar yang begitu besar. Arnes bahkan menunjukkan kamar mandi pribadi yang tak dimilikinya di rumah. Kejutan demi kejutan membanjiri harinya, menjadi obat akan luka hatinya.

"Itu kamarku!" tunjuknya pada kamar yang tepat bersebelahan dengan kamar Sheila. "Kalau kau butuh bantuan, hubungi aku atau..."

BRUGH!

Belum selesai Arnes menjelaskan, Sheila yang penuh semangat tanpa sadar menubruk meja kecil yang terletak di depan ranjang. Gadis itu terjatuh dan membuat sebuah luka gores muncul di bagian lututnya.

"Aw!" serunya meringis kesakitan.

Sebagai seorang dokter, tubuh Arnes langsung bergerak tanpa perlu diperintah. Maniknya meneliti luka itu dengan seksama. Perlahan diangkatnya tubuh kecil Sheila ke atas kasur, lalu diambilnya kotak P3K di kamar.

Tangannya bergerak sempurna, menunjukkan bagaimana profesionalnya ia sebagai seorang dokter. Luka kecil itu langsung terlihat membaik hanya dengan sentuhan tangannya. Sheila sendiri nyaris tak merasakan sakit lagi.

"Paman Dokter!" seru gadis itu tersenyum simpul.

"Namaku Arnes. Kau bisa memanggilku Paman Arnes," katanya menegaskan kembali perkenalan mereka sebelumnya.

"Tidak, aku akan memanggilmu Paman Dokter!" tegas Sheila penuh penekanan.

Namun ekspresi Arnes menunjukkan ketidak sukaan. Ia merasa panggilan itu terlalu berlebihan, walau kenyataanya ia berprofesi sebagai dokter. Keningnya mengernyit tak suka, tapi Sheila semakin terkekeh senang mengetahui pria itu terganggu.

"Aku tak suka panggilan itu!" tolak Arnes ketus.

"Aku menyukainya!" balas Sheila tak mau kalah, senyum jahilnya khas remajanya mulai muncul, membuat sang dokter semakin kesal.

Arnes mendengus dan bergerak keluar dari kamar. Sementara Sheila masih memandangi tubuh besar itu hingga lenyap di balik pintu kamar.

"Mungkin aku juga menyukaimu, Paman Dokter!" bisik Sheila tersipu dengan ucapannya sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status