Langit sedang mengenakan kembali kemeja yang sempat teronggok di lantai. Ingin hati tidak pulang, tapi juga tidak tega membiarkan sang ibu sendirian di apartemen dan mungkin kini sedang mencemaskannya.
Wanita yang baru saja bercinta dengan Langit duduk di atas ranjang masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Dia tampak memperhatikan punggung lebar pria yang baru saja membuatnya terbang mencapai kenikmatan duniawi.
“El, kenapa kamu menato punggungmu dengan bentuk bintang?” tanya wanita itu saat melihat tato di bahu belakang Langit.
Langit melirik ke bahunya, meski tidak melihat, tapi tahu persis posisi tato itu.
“Karena aku suka bintang,” jawab Langit.
“Kenapa?” tanya wanita itu penasaran.
Langit tersenyum masam, tapi memilih tidak menjawab pertanyaan wanita itu.
“Aku harus pergi,” ucap Langit saat sudah selesai berpakaian lengkap.
“Sayang sekali, padahal aku masih ingin bersamamu. Mungkin tidur bersama dan melakukan ronde kedua atau bahkan ketiga,” balas wanita itu dengan sedikit nada godaan.
Langit menoleh dan tersenyum simpul, hingga kemudian berkata, “Aku memang suka seks, tapi bukan berarti aku akan melakukannya sampai berkali-kali dalam satu malam.”
Ucapan Langit begitu menohok rekan kerjanya. Dia bukan penggila seks yang akan berhubungan intim berulang kali dalam sekali waktu. Dia hanya melakukan seks untuk melepas penat yang membebani pikirannya. Melepas keinginan mencintai wanita yang tidak bisa diraihnya.
Langit mengemudikan mobil menuju apartemennya. Banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Joya tapi Langit tidak menghubungi balik wanita itu, memilih langsung pulang agar sang mimi tidak cemas.
Langit meletakkan tato bintang di bahu belakangnya, sebagai sebuah tanda jika dia tidak bisa melihat bintang itu sendiri. Sama halnya dengan cintanya, meski dia menaruhnya dalam hati, tapi kenyataannya tidak bisa melihat cinta itu karena tertutup rasa kesal dan benci akibat masa lalu.
Dia mencoba melupakan, tapi dia juga selalu membawa dalam dirinya. Membuat hati dan pikirannya bertolak belakang, bahkan sampai saat ini tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan.
‘Aku mencoba untuk melupakanmu, bahkan menyembunyikanmu jauh di lubuk hatiku. Namun, kenapa kamu enggan pergi, apa kamu memang berniat terus menyiksaku dengan cinta semu yang pernah kamu ucapkan.’
**
Joya sangat kebingungan karena sampai jam sebelas malam Langit masih belum pulang. Wanita itu begitu cemas dan tidak tahu lagi harus mencari putranya ke mana.
“El, kamu di mana? Kenapa biki mimi stres.” Joya menatap deretan daftar panggilan keluar untuk menghubungi sang putra, tapi tidak ada satu pun yang dijawab.
Hingga terdengar suara pintu terbuka. Joya buru-buru berjalan ke pintu untuk melihat apakah benar putranya yang datang. Benar saja, Langit masuk dan menutup pintu. Pria itu tersenyum melihat sang ibu yang sudah menatapnya dengan ekspresi wajah cemas.
“Kamu dari mana? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Joya begitu cemas.
“Keluar sama temen, Mi,” jawab Langit santai.
Langit mendekati sang mimi, kemudian mencium pipi Joya dengan senyum manisnya.
“El, kamu mabuk?” tanya Joya saat mencium aroma alkohol dari napas sang putra.
“Aku hanya minum sedikit, Mi. Kalau mabuk, mana mungkin aku bisa sampai rumah,” jawab Langit santai.
Pria itu melepas jas dan dasi, kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa percintaan panasnya dengan rekan kerjanya.
Joya benar-benar sudah kehabisan kata-kata karena sikap dan ucapan Langit yang selalu mengabaikan dirinya.
“Kamu tidak suka mimi di sini ‘kan, El?” Joya bicara sambil menatap sang putra yang siap masuk kamar mandi.
Langit menghentikan langkah, lantas menoleh dan melihat wajah sendu sang mimi. Dia pun akhirnya berjalan mendekat ke Joya, tidak tega kalau melihat miminya memasang wajah sedih.
“Mimi kenapa bilang begitu?” tanya Langit begitu berdiri di hadapan Joya. Dia menatap Joya yang memandangnya dengan bola mata berkaca.
“Tentu mimi bilang begini. Kamu pulang malam, mabuk, main wanita. Mimi ajak pulang tidak mau. Mimi merasa kamu mengabaikan, El. Mimi hanya mencemaskanmu, ini karena sayang kepadamu. Tapi kamu malah tidak peduli dengan mimi. Jika suatu saat kamu di sini, lalu mimi pergi. Jangan menyalahkan diri sendiri.”
Joya sudah frustasi menghadapi Langit. Suaminya juga dulu mantan playboy, tapi tidak seperti putranya yang suka main wanita. Joya sampai tidak mengerti, kenapa patah hati bisa membuat putranya berubah menjadi pria yang buruk.
“Kadang mimi tidak paham. Kamu sangat mencintai, tapi tidak berusaha mengejar dan malah merusak dirimu sendiri. Bukankah itu membuktikan kalau kamu juga sama dengan dia. Kamu bilang cinta, tapi kalah begitu saja. Kamu itu cemen, ga kayak papimu. Dia rela nunggu mami selama lima tahun, tapi papimu ga sampai kek gini. Dia malah memperbaiki diri dan membuktikan ke mimi kalau dia layak mendapatkan mimi.”
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar