Share

Chapter 6

Tubuh Arabelle seketika menggigil dengan getaran hebat. Dimana nafasnya mulai memburu tidak teratur dan menimbulkan rasa sesak yang sangat menyakitkan.

"Aaaaa!"

Teriak penuh ketakutan Arabelle diiringi tubuh yang langsung ambruk ke lantai membuat Elliot dan Camelia membulatkan mata. Kejadian yang terjadi begitu cepat, hingga membuat mereka terpaku.

"Ara!" pekik Elliot dan Camelia bersamaan. Elliot segera meraih tubuh Arabelle. Meletakkan kepala gadis itu yang sedikit memar karena terbentur lantai.

"Ra, buka mata kamu!" seru Elliot panik dengan kecemasan yang meledak. Rasa takut akan kehilangan terpancar begitu jelas dimatanya. Dimana nafas Elliot semakin memburu.

"Ra, bangun. Keponakan Uncle yang paling cantik. Ayo bangun." Elliot mengguncang lembut tubuh Arabelle serta menepuk pelan kedua pipi chuby gadis itu.

"Ara, baru juga ketemu. Lo kok pingsan?" celetuk Camelia asal karena cemas. Ia menutup mulutnya panik.

"Kakak bawa Ara ke kamar dulu. Kamu pergi keluar lihat darimana ledakan itu."

"Ara bakal baik-baik aja, kan, Kak?" Camelia menatap Arabelle dengan mata berkaca-kaca.

"Sepertinya traumanya kambuh. Kakak akan panggil dokter." Elliot menarik tubuh Arabelle dalam satu hentakan dalam gendongannya. Lalu, berjalan cepat menaiki anak tangga denga perasaan campur aduk. Sementara itu, Camelia berlari ke luar apartement. Siapapun yang membuat ledakan itu akan ia beri tamparan keras karena sudah membuat Arabelle drop.

Elliot mendorong daun pintu, berjalan cepat ke ranjang. Lalu, meletakkan tubuh sang keponakan dengan hati-hati. Seolah tubuh itu sangat rapuh dan akan hancur jika terkena tekanan.

"Maaf, Ra. Uncle gagal jagain Ara. Ara jadi pingsan kayak gini," lirih Elliot syarat akan perasaan bersalah. Dengan tangan gemetar, ia membelai pipi Arabelle yang masih setia terpejam. Wajah gadis itu terlihat pucat, mendengar ledakan itu membuat dia sangat syok. Elliot merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi dokter.

Di sisi lain, Camelia mengeram kesal melihat sumber suara ledakan tersebut. Dimana, disana ada dua orang pria dan seorang perempuan.

"Lihat saja, akan gue tampar mereka satu-satu karena sudah membuat Arabelle pingsan," marah Camelia berlari cepat ke arah ketiga orang tersebut. Dengan tarikan kasar yang cukup kuat ia membalikkan tubuh perempuan itu. Lalu, tanpa ampun melayangkan sebuah tamparan keras yang membuat wajah perempuan itu berpaling seketika.

"Dasar lo, ya. Berani buat suara petasan di sini. Lo pikir, di sini tempat main-main!" teriak Camelia marah membabi-buta. Namun, detik berikutnya ekspresi wajah Camelia melongo melihat siapa yang sudah ia tampar. Ternyata perempuan itu adalah Queenza, calon kakak iparnya sendiri. Camelia menggigit ujung kuku tangannya gugup saat melihat wajah meringgis Queenza yang kesakitan. Perasaan tadi, perempuan itu memakai baju dengan warna lain. Kenapa dia berganti pakaian sekarang?

"Aduh, sakit banget. Cam, kamu kok tampar Kakak, sih?" kesal Queenza berusaha mengontrol emosinya. Kalau bukan adik Elliot yang sudah melakukan itu. Sudah pasti akan ia tampar balik orang tersebut.

"Sorry, Kak. Gue kira bukan lo tadi," decit Camelia dengan cengiran kuda.

"Padahal kita udah kenal lama, masak kamu ngak kenal bentukan tubuh Kakak."

"Bentukan tubuh Kakak, kan pasaran, lagian juga ngak penting buat diingat. Lagian, ngapain pake ganti baju segala. Kalau ngak ganti baju ngak bakal kena tamparan gue." Cameli mencari pembenaran sendiri.

"Nona, kayaknya kita ngak bisa bantu deh kalau ngak ada ban serep," sela salah satu pria membuat Camelia dan Queenza menoleh ke arahnya.

"Yah," desah Queenza sedih. Kedua pria itu segera pergi. Camelia mencebikkan bibirnya, ternyata ledakan itu di akibatkan ban mobil yang meletus. Pantas suaranya sangat besar. Ia pikir, tadi suara petasan.

"Ternyata ban meletus, buset. Ini kenapa bisa meletus, Kak? Lo ngak pernah ganti ban ya setengah abad?" tanya Camelia.

"Mana Kakak tahu, tadi kamu marah-marah kenapa? Terus mau kemana?" balas Queenza dengan pertanyaan penasaran melihat calon adik iparnya itu bisa ada di basemant.

"Ngak ada, mending Kakak pulang aja. Naik taksi, besok gue suruh Kak El buat panggil montir deh."

"Bener nih ngak ada apa-apa?" ulang Queenza sedikit tidak yakin.

"Ngak ada Kak, tadi katanya mau ngurus urusan penting."

"Oh, iya. Ya udah deh, Kakak pulang dulu. By, Cam." Queenza segera bergegas. Melambaikan tangan pada Camelia yang disambut lambaian tangan dari gadis itu juga.

"Ya kali, gue kasih tahu dia karena ban meletus mobilnya. Ara jadi pingsan, yang ada dia mau nginep. Terus gue tidur dimana? Ya kali di sofa," dumel Camelia memutar kedua bola mata malas. Ia menghela nafas panjang, kemudian hendak melangkah untuk kembali apartemen. Namun, hati Camelia seketika mencelos saat melihat sosok pria tampan dengan kemeja putih melewati dirinya begitu saja. Aroma parfum dengan wangi mint itu membuat ia terlena.

"What the hell, tadi pangeran berkijang apa malaikat terbang yang lewat? Kok ganteng banget, astaga hati gue dibawa kabur," cicit Camelia histeris pada diri sendiri. Ia segera berlari meninggalkan basemant.

Elliot membuka pintu apartement dengan cepat saat mendengar suara bel berbunyi. Di depannya kini berdiri pria memakai kemeja putih, dengan tangan menenteng sebuah tas. Peluh keringat menetes di dahi pria itu melewati alis tebal miliknya. Yah, dia Dathan Groge, senior Elliot di kampus yang kini menjadi seorang dokter. Dokter yang menangani Arabelle setelah kejadian ledakan hotel tersebut.

Elliot mempersilahkan Dathan masuk. Menggiring pria dengan sorot mata tajam itu ke kamar Arabelle. Dhatan sudah tahu apa yang menyebabkan Arabelle pingsan. Hal itu dipicu karena ledakan yang dia dengar. Ledakan yang akan membuat memori kelam itu kembali terbayang dan mengguncang mental Arabelle.

Dathan memberikan suntikan penenag untuk gadis itu, untuk merilekskan saraf otak.

"Gimana, Dat?" tanya Elliot pada Dathan yang telah selesai dengan tugasnya. Ia berharap keponakan kecilnya itu baik-baik saja.

"Gue udah bilang, dia trauma karena ledakan itu. Apalagi dia jadi saksi mata. Mentalnya masih rapuh, laporan kesehatan Arabelle yang gue terima dari Dokter Kevin benar-benar buruk. Dia ngalamin trauma pasca kecelakaan, yang artinya setiap hal yang terjadi pada malam itu bakal memicu trauma Arabelle. Kepala pusing dengan nafas yang sesak. Ini ngak mudah untuk membuat mental Arabelle sehat. Dia harus keluar dari memori kejadian itu," jelas Dathan. Dokter Kevin adalah bawahan Dathan. Dia juga yang mengurus Arabelle saat di rumah sakit karena perintahnya.

"Gue ngak tahu harus gimana? Gadis remaja kayak dia ngalamin hal yang mengerikan. Gue aja belum tentu bisa sekuat dia." Wajah Elliot tampak sedih. Ada sejuta kekecewaan dalam matanya.

"Arabelle cuma punya lo sekarang. Jadi, lo harus buat dia keluar dari traumanya. Gue yakin, lo bisa. Lo harus hindarin dia dari hal-hal seperti suara ledakan, sirene, hal-hal yang berdarah, dan semua hal yang ada hubungannya sama ledakan malam itu."

"Gue bakal inget semua yang lo bilang. Makasih udah dateng, Dat. Sumpah, gue ngak bisa nafas tadi liat dia pingsan."

"It's oke. Kalau gitu, gue pulang."

"Hm."

Elliot mengantar Dathan keluar dari kamar. Akan tetapi, saat hendak melangkah keluar dari ambang pintu. Kehadiran Camelia dengan wajah melongo di depan mereka menghentikan langkah keduanya.

"Cam, ka---"

"Ya Tuhan, pangeran berkijang gue ada di sini!" pekik Camelia histeris.

----------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status