Share

Teman

5

"Ayo!" ajak Camelia yang diangguki oleh Arabelle. Keduanya berjalan meninggalkan Queenza dan Elliot menuju kamar. Camelia membantu Arabelle untuk menaiki tangga yang menghubungkan mereka ke tempat tujuan. Tepat di depan pintu berwarna sama dengan pintu depan. Camelia memutar knok dan mendorong daun pintu. Arabelle masuk perlahan ke dalam kamar, dimana netranya disambut dengan dinding berwarna biru cerah seterang langit.

"Kamar ini baru di cat kemarin, baunya masih sangat menyengat," celetuk Camelia mengibaskan tangan di depan wajah.

"Memangnya kamar ini milik siapa?"

"Ini kamarku, sebelumnya kamarku berwarna merah muda, tapi karena kamu sekarang juga menjadi pemilik kamar ini, jadi kakak merubah cat kamar ini sesuai dengan warna kesukaanmu." Camelia membantu Arabelle duduk di pinggir ranjang.

"Kau menyebut Uncle El kakak? tapi setahuku dia tidak punya adik."

Camelia tersenyum lebar, ia sangat senang dengan kehadiran Arabelle di rumah ini. Pasti akan sangat seru dan ramai.

"Oke, aku bakal cerita, tapi aku sangat tidak nyaman memakai aku kamu. Gimana kalau lo gue? Bibir gue berasa belepotan." Camelia meringgis sembari menepuk pelan mulut sendiri.

"Oke, tidak buruk," setuju Arabelle yang mulai nyaman bersama Camelia. Sifat terus terang Camelia membuat suasana menjadi lebih mencair dan hangat.

"Sebelumnnya kenalin, gue Camelia Geofrey. Lo bisa panggil gue Cam karena gue paling suka sebutan itu. Gue suka warna merah muda dan gue ngak suka warna hitam. Terlalu gelap dan mengerikan." Camelia mengulurkan jabatan tangan yang disambut oleh Arabelle.

"Cam, gue Arabelle. Lo bisa panggil gue Ara atau Bel. Gue suka warna biru dan semua warna terang."

"Termasuk merah muda?"

"Iya." Arabelle terkekeh.

"Gue dan Kak El emang kepisah sejak kecil. Gue baru ketemu dia empat tahun yang lalu. Orang tua kami cuma bisa melahirkan kami, kemudian membuang kami di panti asuhan. Kak El beruntung karena dia di adopsi sama keluarga Kak Xera. Sementara gue ...." Camelia menjeda kalimatnya. Wajah ceria yang ditunjukkan sedikit berubah muram.

"Gue di adopsi sama orang buat dijadiin pelacur. Berbalik banget sama Kak El. Awalnya Kak El ngak tahu kalau dia punya adik. Tuhan kayaknya baik sama gue sampai dia ngirim gue ketemu dia dengan cara yang ngak keduga. Bisa-bisanya kakak gue nabrak gue sampe pendarahan, tapi dia sendiri yang nyelamatin gue karena golongan dan DNA kita sama. Setelah Kak El tahu, dia merjuangin hak gue sebagai adik dia di pengadilan. Setelah itu, gue sama dia pindah dari sini ke luar negri dan baru balik setelah denger kabar Kak Xera."

"Pantesan Uncle pergi lama banget, ternyata dia ketemu sama adiknya. Unlce emang orang baik, kamu beruntung bisa punya dia."

"Bukan cuma gue. Lo yang paling beruntung, Ra. Kak El sayang banget sama lo. Gue ikut sedih atas semua yang terjadi sama lo, tapi lo jangan takut ada gue, ada Kak El yang bakal jagain lo. Eh, tapi jangan coba-coba panggil gue bibi lo ya?"

Tawa Arabelle seketika pecah mendengar hal itu. Perutnya terasa digelitik cacing, sangat menggelikan. Ia tidak sempat berpikir akan memanggil Camelia dengan sebutan bibi, tapi gadis itu sudah mengantisipasi hal itu.

"Jangan bilang lo?" Camelia menyelidik.

"Gue janji ngak bakal panggil lo bibi, tapi mungkin Aunty," ledek Arabelle.

"Sialan lo." Camelia memberengut kesal dengan wajah ditekuk.

"Sorry, gue cuma bercanda kok." Arabelle menghentikan tawanya.

"Oke, gue maafin. Mulai sekarang kita temenan?"

"Yah, kita temenan. Sini, peluk gue." Arabelle melebarkan tangan kanannya. Camelia tanpa sungkan langsung memeluk Arabelle.

----------------

Waktu berputar dengan sangat cepat. Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Meninggalkan bumi bersama kegelapan. Bulan kecil tampil dengan sinar redupnya, menembus celah tipis tanpa permisi.

Elliot tengah bergelut dengan perkakas dapur untuk membuat makan malam. Raut wajahnya begitu terlihat bahagia, seolah-olah ia memasak untuk mendapatkan hadiah besar. Queenza juga tidak membiarkan sang kekasih mengerjakan semua hal itu sendiri. Ia membantu dengan sepenuh hati.

"El, aku sedih melihat gadis belia seperti Arabelle harus mengalami semua itu." Celetukan Queenza meleburkan suasana hening, dimana hanya terdengar suara spatula dan wajan beradu.

"Jangan mengasihi Ara, dia tipe orang yang tidak suka dikasihani. Kali ini kamu mengatakannya padaku, tapi lain kali. Jangan katakan itu padanya," balas Elliot tanpa mengalihkan tatapan pada Queenza.

"Kamu sangat menyanginya."

"Sangat, Queen. Kapan kau akan kembali ke Sinha?"

"Apa maksudmu? Kita datang kemari bersama, El. Jadi, kita harus pulang bersama juga."

Elliot menyajikan makanan di atas piring. Lalu, membawa makanan yang ia buat ke meja makan.

"Kali ini kita tidak akan pulang bersama Queen. Pulang? Rumahku di sini, bukan Sinha lagi."

"El, jangan bercanda."

Elliot menatap Queenza lekat dan serius. Meraih kedua bahu sang kekasih dengan lembut.

"Kamu tahu kondisi Arabelle. Aku tidak bisa membiarkan dia sendiri di sini. Dia tidak punya siapapun selain aku. Jadi, kau harus pulang sendiri Queen. Kamu tidak bisa tetap di sini."

Queenza menelan pahitnya kekecewaan mendengar perkataan Elliot. Wajah cantiknya seketika berubah muram dengan segudang kesedihan.

"Aku mohon mengertilah," ucap Elliot sekali lagi. Queenza lansung memeluk tubuh Elliot erat. Ia sangat mencintai kekasihnya, berpisah di antara jarak yang jauh bukanlah sesuatu yang mudah.

"Aku tinggal di Sinha dan kamu tinggal di Sunmi. Aku pasti akan merindukanmu, El. Bagaimana kalau aku ingin bertemu? Kamu tahu, aku sangat mencintaimu." Queenza mengatakan kecemasan yang tengah ia rasakan. Mengeratkan pelukannya pada tubuh pria yang sudah memenuhi seluruh ruang hatinya.

"Jarak bukanlah penghalang bagi cinta, Queen. Kalau kamu rindu kamu bisa menelpon atau melakukan panggilan video." Elliot mengurai pelukan Queenza.

"Ekhmm, kalau ngelakuin adegan 21+ jangan di depan bocil donk," sindir Camela yang menuruni anak tangga bersama Arabella. Kaki Arabelle yang terayun sempat terhenti saat melihat sang paman berpelukan dengan gadis dewasa bernama Queenza.

"Astaga, Cam. Ajak Ara turun. Kita makan malam. Lain kali, jangan katakan hal seperti itu lagi," tegur Elliot agar Camelia menyaring mulutnya. Ia merasa begitu kaku dan tidak nyaman saat mengetahui kalau Arabelle melihat ia dan Queenza berpelukan.

"Arabelle, ayo kemarilah!" seru Queenza mengalihkan permbicaraan. Jujur, ia pun merasa malu saat kedua gadis remaja itu memergoki dirinya.

Arabelle dan Camela mengambil posisi. Begitupula dengan Elliot dan Queenza. Arabelle melempar pandangan ke arah Elliot. Membuat tatapan mereka beradu sebentar.

"Ra, Uncle masak makanan kesukaan kamu," ujar Elliot sambil menghidangkan makanan yang ia masak untuk Arabelle.

"Lo beruntung, Ra. Dimanjaain sama Kak El. Giliran adiknya dikacangin." Camelia mengambil makanan sendiri.

"Lo, kan udah gede, Cam. Punya tangan juga," timpal Arabelle membela diri.

"Terus lo?"

"Gue lagi sakit, wajar dimanjain."

"Cih, pinter banget lo dah."

Semuanya tergelak mendengar perdebatan Camelia dan Arabelle. Terutama Elliot yang paling bahagia karena ia bisa melihat Arabelle tertawa lagi. Mungkin gadis itu masih terluka, tapi dia berusaha melupakan luka yang tengah diderita.

Suara deringan ponsel Queenza menghentikan tawa mereka. Dimana fokus mereka kini tertuju pada sumber suara. Queenza menggoyangkan ponselnya, memberi isyarat kalau panggilan telpon tersebut penting. Elliot mengangguk, dimana Queenza segera menjauh.

"Gimana, Ra? Kamu suka makanan masakan Uncle?" tanya Elliot memperhatikan Arabelle yang sedang melahap makan malamnya.

"Yah, ini sangat enak. Ara suka banget," jawab Arabelle antusias.

"Ara boleh makan semuanya, mulai sekarang Uncle bakal masakin semua makanan kesukaan Ara."

"Beneran?"

"Tentu saja."

"Ara sayang Uncle."

"Uncle juga."

"Maaf banget semuanya. Kayaknya aku harus balik ke hotel sekarang. Ada pekerjaan yang harus aku kerjain malam ini," seru Queenza memotong obrolan Elliot dan Arabelle.

"Baiklah, hati-hati, Queen." Pesan Elliot.

"Aku pergi, bye El." Queenza segera pergi.

"Kalian kenapa berhenti, ayo habiskan makan malam kalian dan segera pergi tidur. Untuk Ara, minum obat setelah makan malam."

Belum sempat Camelia menimpali Elliot. Tiba-tiba terdengar suara ledakan besar yang membuat ketiganya kaget. Elliot dan Camelia menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari luar.

Arabelle meremas jahitan pakaian yang ia kenakan dengan erat hingga buku-buku tangannya memutih sempurna. Peluh dingin mulai terbentuk dipelipisnya diiringi dengan rasa khawatir dan cemas berlebihan. Kilasan ingatan malam itu kembali terbayang dengan begitu jelas di matanya. Ledakan yang baru saja ia dengar, seperti ledakan malam itu.

Tubuh Arabelle seketika menggigil dengan getaran hebat. Dimana nafasnya mulai memburu tidak teratur dan menimbulkan rasa sesak yang sangat menyakitkan.

"Aaaaa!"

----------------

****************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status