Share

Trauma pasca kecelakaan

3

Elliot segera masuk saat mendengar kegaduhan dari dalam. Dadanya semakin terasa sesak kala melihat Arabelle yang menangis histeris sambil terus memanggil kedua orang tuanya. Dimana sesekali gadis itu melempar benda-benda yang ada di dekatnya.

"Ara, hentikan!" pekik Elliot. Ia berjalan dengan cepat menarik tangan kiri Arabelle untuk berhenti memukul diri sendiri.

"Ara, hentikan. Jangan menyakiti diri sendiri!" sentak Elliot berusaha menghentikan Arabelle.

"Mamy dan Dady pergi ninggalin Ara. Ara sama siapa sekarang? Ara cuma sendiri. Ara mau mati, Ara mau ketemu sama Mamy, Dady. Ara ngak mau hidup tanpa mereka," jerit Arabelle dengan menepis tangan Elliot.

"Ara, masih punya Uncle. Ara ngak sendiri."

"Mamy bilang ngak bakal ninggalin Ara karena Ara anak baik-baik. Dady juga bilang, kalau nanti Ara udah besar dan menikah. Dady bakal hadir di samping Ara, tapi kenapa mereka ninggalin Ara? Kenapa Ara ngak mati aja? Ara mana bisa hidup kalau ngak ada Mamy sama Dady."

Elliot menarik kasar tubuh Arabelle masuk ke dalam pelukannya. Biarpun mendapat sedikit penolakan dari gadis itu. Elliot tetap mengeratkan pelukannya. Mendengar ucapan Arabelle membuat hatinya terluka. Seolah apa yang dirasakan oleh gadis itu bisa ia rasakan.

"Ara, tenang dulu." Elliot mengusap lembut surai panjang Arabelle. Berusaha menenangkan gadis belia itu yang tengah berduka.

"Ara cuma mau Dady sama Mamy," lirih Arabelle sambil memukul kecil dada bidang Elliot.

"Ara dengerin Uncle dulu. Jangan kayak gini, Dady sama Mamy pasti sedih lihat Ara kayak gini. Ara masih punya Uncle El. Uncle bakal ada buat Ara, Uncel bakal jadi Dady sama Mamy Ara. Ara ngak sendirian di dunia ini. Masih ada Uncle."

Tangisan Arabelle masih belum reda. Rasa sakit yang ia rasakan masih terasa. Membuat dadanya terasa begitu sesak. Kata-kata Elliot mungkin membuat ia sedikit tenang, tapi tetap saja ia tidak mampu membendung kesedihan besar ini.

----------------

Elliot memijat pangkal hidungnya sambil menghembuskan nafas frustasi. Kepalanya terasa begitu pengang karena kondisi Arabelle. Setelah diberikan suntik penenang, barulah gadis bermata gelap itu bisa dikendalikan. Kecelakaan malam itu benar-benar mengubah Arabelle si gadis manis dan manja, menjadi menyedihkan.

Belum lagi, pernyataan dokter yang mengatakan kalau Arabelle mengalami trauma pasca kecelakaan. Memori gadis itu menyimpan dengan sangat baik, setiap kejadian malam itu sehingga tubuhnya bereaksi melampiaskan rasa kehilangan yang dia derita dengan menyakiti diri sendiri atau menghancurkan benda-benda yang ada di sekitarnya.

Belum kering tanah pemakaman saudari angkat serta suaminya. Ia malah dipukul dengan kenyataan kalau mental sang keponakan tidak baik-baik saja.

Drrrt.

Suara getaran ponsel membuyarkan lamunan Elliot di tengah sepinya taman rumah sakit. Ia merogoh saku celana, kemudian menatap datar layar ponsel yang menyala. Dalam satu kali gerakan, suara lembut menyapa telinganya.

"Kamu dimana? Masih dirumah sakit?"

"Hmm," jawab Elliot dengan deheman tanpa minat.

"Bagaimana kondisi Arabelle?"

"Dia tidak baik-baik saja. Aku merasa putus asa melihat kondisinya. Dia mengalami trauma pasca kecelakaan, hal itu membuat mentalnya tidak sehat." Elliot menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit yang menyentil hatinya.

"Jangan khawatir, gadis itu butuh perhatian dan kasih sayang. Kamu bawa saja dia pulang bersamamu. Aku yakin, dia akan segera sembuh jika selalu bersama denganmu. Apalagi di apartemen juga ada Camel. Mereka bisa menjadi teman dan semuanya akan baik-baik saja."

"Baiklah, aku memang akan membawa dia pulang bersamaku. Bagaimana pun dia adalah keponakanku. Aku tidak akan pernah meninggalkan gadisku sendiri. Terimakasih untuk dukungannya, Queen."

"Sama-sama, aku akan menyambut Arabelle di apartemen. Cepat bawa dia pulang. Aku dan Camel menunggu kalian."

"Hmm, baiklah."

"Aku mencintaimu, El."

"Ya."

Elliot menutup sambungan telpon tersebut. Lalu, memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Gadis yang baru saja menelponnya adalah Queenza. Kekasih sekaligus model dalam agensi miliknya. Ia sudah menjalin hubungan dengan Queenza cukup lama, sekitar dua tahun lamanya. Ia melakukan hal itu, tentu karena sebuah alasan. Alasan yang tidak akan pernah ia ungkapkan dan akan ia tutup rapat-rapat selamanya.

"Aku tidak bisa sedih dan lemah. Ara membutuhkanku. Uncle janji, kamu bakal sembuh, Ra," gumam Elliot penuh tekad. Ia segera bangkit dan melenggang pergi.

Di sisi lain, dalam ruangan serba putih dengan banyak alat-alat medis. Arabelle duduk menghadap pada jendela kaca yang berada di samping kanan brangkar miliknya. Tatapan lurus ke depan nan kosong. Tidak ada gairah kehidupan pada dua bola mata gelap miliknya. Rambut hitam panjang di balik punggung mungilnya terurai begitu saja.

Arabelle merasa begitu hampa dan kesepiaan, yang bisa ia rasakan hanya penderitaan. Di dunia yang luas ini, ia tak memiliki siapapun lagi. Semuanya menghilang bersama dengan hancurnya bangunan hotel megah itu. Begitu larut dalam diam dan hening, ia bahkan tidak menyadari kalau Elliot masuk dan kini duduk di sampingnya.

"Ra, hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Elliot dengan nada senang. Berusaha menarik Arabelle masuk ke dalam dunia kecil yang ia buat.

"Pulang?" ulang Arabelle datar.

"Iya, pulang. Emang kamu mau tetap di rumah sakit yang bau ini? Ara, kan tidak suka bau obat."

"Emang, Ara masih punya rumah? Ara mau pulang kemana? Rumah Ara udah ngak ada."

Elliot bungkam mendengar jawaban menusuk Arabelle. Seperti ribuan anak panah yang ditancapkan di seluruh tubuh. Sangat sakit dan memilukan.

"Ra, Kamu ngak sayang sama Uncle?"

"Ara sayang, tapi Uncle waktu itu pergi ninggalin Ara. Uncle bilang, bakal ketemu Ara lagi, tapi itu bohong. Setelah Uncle pergi, Uncle ngak balik-balik lagi."

Elliot lagi-lagi bungkam. Memang benar, selama tiga tahun ia tidak pernah menghubungi atau menemui Arabelle lagi. Saat meninggalkan rumah keluarga Xera karena sebuah alasan. Ia tidak pernah lagi hadir dalam kehidupan Arabelle.

"Unlce," panggil Arabelle membalikkan tubuhnya menghadap Elliot, membuat pria tampan itu tersentak saat jari mungil Arabelle menyentuh tangan besar miliknya.

"Kalau Ara mau ikut pulang sama Uncle. Uncle janji, ngak bakal ninggalin Ara lagi?" Satu pertanyaan polos Arabelle membuat setetes buliran air mata mengalir di pipi Elliot.

Elliot mengangguk cepat, menarik tubuh mungil Arabelle masuk ke dalam pelukannya. Menyalurkan perasaan senang, sekaligus menarik duka yang tengah dirasakan gadis manis itu.

"Uncle janji, Uncle bakal selalu disamping Ara. Uncle janji, ngak akan ninggalin Ara lagi. Makasih, kamu mau pulang sama Uncle." Elliot mengusap lembut surai panjang milik Arabelle, membuat gadis itu semakin erat memeluk tubuhnya.

Elliot mengurai pelukannya. Ia beranjak dari brangkar dan mulai mengemas pakaian Arabelle. Semua tanggung jawab gadis itu kini ia yang tanggung. Senyum lebar merekah di bibir seksi Elliot.

"Sekarang, kamu ganti baju. Uncle bakal beresin pakaian kamu. Lalu, kita pulang!" seru Elliot bersemangat.

"Baiklah." Arabelle tersenyum hambar. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan Elliot. Akhirnya, ia bisa melihat kembali wajah pria yang selalu menemani ia bermain. Sosok yang cukup ia rindukan, tapi ia malah bertemu kembali setelah bangun dari koma dan kehilangan segalanya.

----------------

****************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status