Share

Bangun dari tidur panjang

2

Sebuah kilatan seolah membawa jiwa Arabelle melesat dengan cepat. Bahkan, lebih cepat dari kilatan petir yang menyambar. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh seolah langit sedang menindih tubuh mungil miliknya. Nafas Arabelle tiba-tiba tercekat, saat kilasan balik peristiwa mengerikan kembali dipertontonkan dengan sangat jelas. Dimana, wajah kedua orang tuanya yang melambai memanggil dirinya tiba-tiba lenyap ditimpa reruntuhan.

"Tidak! Mam, Dad," teriak Arabelle keras bersamaan dengan tubuhnya yang tersentak duduk. Peluh dingin mengalir dengan deras di pilipis putih miliknya. Kedua mata gelap Arabelle melebar dengan sempurna. Serta dada yang memburu naik turun karena nafas yang sesak. Ia bahkan harus bernafas menggunakan mulut untuk membuat paru-parunya tetap bekerja.

"Bagaimana? Sampai kapan dia akan tidur?"

"Saya juga tidak tahu, Tuan. Ini sudah dua hari berlalu dan Nona Arabelle masih koma."

"Lakukan sesuatu, atau aku akan membawa dia pergi ke rumah sakit yang lebih baik."

"Nona mengalami benturan karena tertimpa puing-puing bangunan dan juga tangan kanannya patah karena ditimpa reruntuhan. Saya rasa, dengan kondisi Nona. Anda tidak bisa memindahkannya ke rumah sakit lain. Itu hanya akan membuat kondisi Nona Arabelle memburuk."

Sayup-sayup suara obrolan dua orang pria yang berada di luar pintu dengan kaca buram itu membuat fokus Arabelle teralihkan. Ia menatap kosong pintu itu. Lalu, mengedarkan pandanganya. Ia baru menyadari kalau ia tengah berada disebuah ruangan. Ruangan yang tidak tampak asing. Ia sangat tahu, kalau ini adalah rumah sakit.

Arabelle mengangkat kedua tangannya. Namun, ia meringgis saat tangan kanannya terasa begitu sakit. Kedua sudut matanya meneteskan air mata, saat melihat tangan kanannya dibalut perban dan disangga dengan gif.

Akan tetapi, tangisan Arabelle pecah semakin keras. Hati dan pikirannya gelisah dengan kumpulan pertanyaan. Ia selamat, bagaimana dengan kedua orang tuanya?

"Dad, Mam, kalian dimana?" Tangis Arabelle sesegukan.

"Kau sudah bangun?" Suara bass terkesan lembut membuat Arabelle menoleh. Di depannya tengah berjalan pria berusia 25 tahun dengan bola mata coklat meneduhkan berjalan mendekat ke arahnya. Tangis, Arabelle semakin tidak terkendalikan melihat wajah familiar di kedua netranya.

"Uncle El!"

Pria yang dipanggil El tersebut tersenyum. Dengan penuh kasih sayang, ia merengkuh tubuh Arabelle dalam pelukannya. Rasa khawatir yang ia rasakan selama dua hari ini akhirnya enyah.

Elliot Geofrey, adik angkat dari Nyonya Xera, ibu Arabelle. Setelah mendengar kecelakaan yang menimpa keluarga kakak angkatnya itu. Ia segera terbang dari negeri Sinha malam itu. Saat sampai di kota Aster, hatinya seketika hancur melihat apa yang menimpa saudarinya. Ia diambil dari sebuah panti asuhan dan dibesarkan oleh kakek dan nenek Arabelle. Keluarga kaya yang begitu menginginkan seorang putra. Ia diterima dengan penuh cinta. Hidup yang awalnya ia jalani sebatang kara, detik itu juga ia miliki semuanya. Kedua orang tua yang penuh kasih sayang, saudari yang manis, serta harta yang tak pernah habis.

Arabelle mengeratkan pelukannya, menyenderkan kepala di dada bidang Elliot. Menumpahkan semua rasa sakit dan sesak yang tengah ia rasakan.

"Sssttt, jangan menangis Ara. Ara, gadis manis Elliot," ucap Elliot berusaha mencairkan suasana dan menghibur Arabelle walaupun dalam hati ia ingin meraung dan menangis.

Keduanya mengurai pelukan. Tatapan berkaca-kaca milik Arabelle bersitatap dengan mata coklat teduh milik Elliot. Untuk beberapa waktu, keduanya tak ingin melepas kontak mata. Seolah-olah sedang mengalirkan kesedihan serta kekuatan secara bersamaan.

Elliot menggangkat tangannya menyentuh pipi chuby putih milik Arabelle yang memerah karena menangis. Sejak dulu, ia tidak pernah bisa melihat keponakannya menangis. Hati dan pikirannya terasa terluka. Seolah ada benda yang sangat tajam mengiris-ngiris dirinya.

"Ara, kau membuatku hampir gila. Kenapa tidur selama itu?" seloroh Elliot dengan berpura-pura memasang wajah kesal.

"Uncle, Dady dan Mamy mana?"

Elliot menelan salivanya paksa mendengar pertanyaan memilukan yang keluar dari bibir mungil Arabelle. Melihat kondisi gadis itu yang hampir gila, membuat dirinya dilema antara harus mengatakan kebenaran atau menyembunyikan semua itu. Gadis kecil yang dulu selalu bermain di punggungnya dengan tawa ceria, kini dibalut dengan kesedihan dan duka. Hatinya, terasa sangat pilu melihat kondisi Arabelle.

Suara pintu terbuka membuat keheningan Elliot sirna. Dari balik pintu, dokter pria yang menangani Arabelle masuk dengan senyum puas. Arabelle mencengkram kuat tangan Elliot saat melihat sosok dokter itu mendekat.

"Akhirnya, Nona bangun juga. Selama dua hari ini, aku benar-benar kehabisan akal untuk membuat Anda sadar. Syukurlah, tuhan mendengar doa saya dan paman Anda. Tuan Elliot, bisakah saya memeriksa Nona Arabelle?" ujar dokter tersebut menunjukkan gigi putih miliknya yang berderet rapi. Elliot mengangguk pelan. Lalu, menoleh pada Arabelle yang memasang wajah ketakutan.

"Uncle, keluar dulu. Dokter akan memeriksa Ara. Ara tidak usah takut sama dokter. Dia dokter yang baik." Elliot tersenyum manis. Berusaha meredakan rasa takut Arabelle.

"Hmm, Uncle bakal balik lagi, kan temenin Ara?"

"Iya, Uncle bakal temenin Ara terus." Elliot mengusap lembut puncak kepala Arabelle. Lalu, beranjak keluar dengan senyum paling manis yang ia miliki. Elliot menghela nafas lega bersamaan dengan buliran bening yang menetes di pipi. Melihat kedua mata gelap Arabelle yang mengandung luka dan duka membuat hatinya terasa dicabik-cabik.

Sementara itu, di dalam ruangan. Dokter dengan senyum ramah memeriksa Arabelle yang terlihat sedikit ketakutan.

"Setelah sadar dari koma, keadaanmu semakin membaik Nona. Apa ada bagian tubuhmu yang merasa sakit?" tanya dokter.

"Tangan saya masih sakit dok," jawab Arabelle sedikit takut.

"Yah, Tangan Anda mengalami patah tulang. Butuh waktu untuk sembuh, tapi jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja."

"Aku dibawa ke sini setelah kejadian hotel runtuh ...." Arabelle menjeda kalimatnya. Ia meremas jahitan baju rumah sakit yang sedang ia kenakan. Meredam gejolak rasa takut, panik, dan cemas yang mencekik.

"Pasti korban lain juga dibawa ke rumah sakit ini. Sa--ya hanya ingin tahu. Ba--gaimana dengan orang tua saya?" lanjut Arabelle dengan suara yang semakin hilang. Mengingat kejadian malam itu membuat seluruh tubuhnya bergetar kuat.

"Nona, sebagai dokter saya tidak bisa menyembunyikan apapun dari keluarga pasien. Ledakan yang terjadi di hotel itu membuat banyak orang tewas. Hanya sedikit yang berhasil selamat, dan Anda adalah orang yang beruntung. Dengan keprihatinan dan kesedihan. Saya turut berduka untuk ke dua orang tua Nona."

Remasan tangan Arabelle menguat mendengar pernyataan dokter yang lansung menghancurkan dirinya. Ia menggigit bibir bawahnya keras meredam isakan tangis yang pada akhirnya lepas tak terkendali.

"Tidak!" teriak Arabelle diiringi air mata yang tumpah di pipi. Dunianya hancur, ia ingin mati sekarang juga dan menemui kedua orang tuanya. Dalam hitungan detik, orang-orang yang ia sayangi lenyap meninggalkan ia sendiri.

"Aaaa, tidak. Aku tidak mau sendiri!" Arabelle kembali meraung. Memukul dada dan dirinya sendiri. Bahkan, ia sampai menjatuhkan beberapa benda yang berada dalam jangkauannya. Melempar dan membanting benda tersebut untuk melampiaskan rasa sesak dan sakit yang ia rasakan.

Sang dokter yang melihat kegilaan Arabelle berusaha menghentikan gadis belia itu. Namun, bukannya tenang, Arabelle semakin menggila dan terus berteriak histeris. Elliot yang mendengar kegaduhan tersebut, segera masuk.

----------------

****************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status