"Alien, bobo menelepon aku katanya kamu belum sampai di rumah. Emangnya kamu mampir kemana sih? Lihat sekarang pukul berapa! Kamu tidak sedang tersesat kan?" ketus Lay Ka dengan memberondong pertanyaan.
"Aku sekarang berada di Chai Wan, Koko! Aku ... aku salah jalur naik kereta," ujarku terbata-bata menahan malu dan sedih.
"Kok bisa? Dasar bodoh ... bebal!" umpatnya spontan.
"Ya maki terus! Aku bodoh, emang kenapa? Merugikan kamu ya?" jawabku ketus kerena kesal.
"Ya iyalah merugikan aku, kalau ada apa-apa dengan kamu polisi pasti mencari aku dan bobo," ketusnya. "Tunggu saja di situ, carilah tempat yang ramai!" pesan Lay Ka. "Aku akan segera datang! Jangan matikan teleponnya, kamu dengar?" lanjutnya berpesan.
"Ada apalagi?" tanya suara lelaki dewasa, sepertinya itu suara papanya Diana.
Lay Ka melarang menutup teleponnya sehingga aku dengan jelas bisa mendengar apa yang terjadi di sana.
"Berulah apalagi dia, dasar licik!"
Aku pasrah saat Lay Ka menarik tanganku dan mengajak berlari dan terus berlari. Aku menengok belakang masih ada beberapa wartawan yang nekat mengejar kami. "Koko, aku tidak kuat," ujarku disela-sela napasku yang ngos-ngosan. "Kita ke toilet," ujarnya dengan kuat menarik tanganku masuk ke toilet. Dia menarik ke dalam bilik dengan napas yang tersengal-sengal dan menatap wajahku. Aku salah tingkah menatap tanganku yang masih digenggamnya. Dengan menundukkan kepala karena canggung sambil perlahan menarik tanganku. Sontak Lay Ka melepas genggamannya, dia mengambil sapu tangan dari sakunya untuk menutupi wajahku. Dia melipat menjadi segitiga dan membantu menutupi mukaku dengan mengikatkan di bekalang kepalaku. Matanya tajam menatap bola mataku, sesaat kami bertatapan mata begitu dalam. Dia melepas topinya untuk kupakai. Rambutku yang tergerai digelung dan dimasukkan ke dalam topi. Selain itu Lay Ka juga melepas mantelnya dan dipakaikan di tubuhku. Kebetulan a
Kenapa aku menanggapi kata-kata Lay Ka dengan serius? Ada rasa sakit dan dongkol serasa tak henti-hentinya dia selalu merendahkan aku. "Kamu tahu kenapa lelaki muslim harus dikhitan? Selain untuk kesehatan juga untuk kenikmatan sex," kataku asal nyeplos. "Alah itu karangan kamu saja. Aku tersinggung kalau kamu bilang orang kulit putih tidak sekuat orang berkulit hitam, itu diskriminasi ras tahu? Hati-hati kamu bicara!" hardik Lay Ka. "Di kampungku banyak yang sudah membuktikan sih," sahutku ngeyel. "Itu kata-kata orang tidak berpendidikan, primitif. Kuat tidaknya seseorang tergantung makanan dan fisik tubuhnya! Dasar bodoh, banyak bicara! Tong kosong bunyinya nyaring," ketus Lay Ka mengolok. "Ih kasar sekali sih kamu! Lagian bukankah itu peribahasa Indonesia?" sahutku. "Benarkah? Bahkan itu cocok buat kamu," oloknya. "Aku tersinggung sekali, aku bisa bermain bukan dua kali kayak suamimu bahkan aku bisa tiga empat kali dalam sehari, tah
Napasku sontak sesak, dadaku naik turun menahan emosi. "Kendalikan dirimu, Alien!" hibur Devis sambil menggenggam tanganku. "Siapa kamu berani-beraninya menyentuh Alien!" tanya Rendy geram. "Aku kekasihnya, aku akan menikahinya setelah cerai dari kamu. Aku akan membawa Berlian ke Hong Kong!" ancam Devis. "Coba saja kalau berani? Kupenggal kepalamu, kamu belum mengenal aku kan? Tanyakan sama Alien!" tantang Rendy. "Devis, apa katanya?" sela Lay Ka. "Mas Rendy, kamu ... kamu kejam!" kataku terbata-bata sambil menahan dadaku yang benar-benar sakit. "Mana!" Lay Ka merebut ponselku. "Dasar laki-laki brengsek!" hardik Lay Ka sambil mematikan teleponnya. "Devis, dimana aku harus mencari mamaku?" tanyaku di sela-sela tangisku. "Bagaimana kalau Ika memperlakukan Berlian dengan kasar dan kejam?" monologku. "Alien, besuk pagi kamu cari tahu lewat teman-teman maupun tetangga kamu. Sekarang masih terlalu pagi di Indonesia pu
"Ada kabar apalagi, Alien?" tanya Lay Ka."Mamaku sekarang berada di rumah temanku sekolah," jawabku."Ya berita baik, berarti kamu tidak perlu khawatir lagi. Carikan rumah yang nyaman buat mamamu!" pesan Lay Ka."Apa yang terjadi, Zhee?" sahut bobo."Mama diusir Mas Rendy dari rumahnya, Bobo," jawabku pelan."Brengsek lelaki itu, tahu kalau itu adalah rumah orang tuamu kan? Bagaimana dia berani mengusir pemilik rumah dari rumahnya sendiri," runtuk bobo."Bobo setuju kata Lay Ka, carikan rumah buat mamamu, tidak perlu besar yang penting bersih dan nyaman untuk ditempati," usul bobo."Kalau kamu masih butuh uang lagi jangan khawatir, aku bersedia meminjami kamu lagi, Alien," tawar Lay Ka."Terima kasih, Koko!" ucapku sedih.Aku membereskan meja makan sambil melirik Lay Ka yang sedang bermain ponsel."Kamu sudah melihat media sosial? Berita hari ini heboh lagi tentang kita. Usahakan bobo tidak menonton televisi, aku
Aku tidak menyangka Devis mengajak aku ke butik dan salon hanya untuk acara makan malam. Dia membelikan gaun indah untukku, selain itu dia membawa aku ke salon untuk mendapatkan riasan yang sempurna. Devis menggandeng tanganku dengan erat dan mesra. Kami memasuki restoran terkenal di Mong Kok. Ternyata Devis juga memanggil beberapa awak media yang di kenalnya saat mengorek berita tentang Lay Ka. Beberapa kilatan lampu kamera serta sorot lampu shooting mengintari kami. "Kita melakukan ini demi nama baik majikan kita, Alien. Ini cara untuk membantah dan mengklarifikasi isu itu, kita harus membantu mereka, kamu mengerti kan?" bisik Devis lirih. "Iya aku mengerti, Devis. Tapi jangan sampai aku yang berbicara, aku tidak percaya diri di depan kamera," jawabku. "Iya, tidak apa-apa, Alien," jawab Devis. Kami duduk di ruang VVIP, Devis mengenakan setelan jas warna hitam sangat tampan. "Alien, maukah kau menjadi istriku?" kata Devi
Berita aku dan Devis sontak meledak hebat di seluruh media massa. Beberapa telepon dari Indonesia aku abaikan termasuk dari Rendy. "Alien, lihat berita di televisi, apa yang kamu lakukan?" teriak bobo dari ruang santai. "Bobo, aku hanya ingin membantu koko agar Nona Hanna tidak cemburu. Selain itu agar fans koko tidak kecewa. Ketua agensi marah besar pada koko, aku tidak sampai hati, Bobo," ujarku pelan. "Tapi yang kamu lakukan berlebihan, Alien. Resiko dunia artis ya seperti itu. Ada yang suka ada juga yang membenci. Harusnya kamu tidak melakukan itu, Lay Ka bisa menyelesaikannya sendiri," ujar bobo sedih. "Kamu hari ini pergi ke rumah Lay Ka kan?" tanya bobo. "Iya, Bobo. Semua keperluan bobo sudah saya siapkan. Semua ada di meja makan bobo," kataku masih gelisah. "Masalahmu sendiri sudah banyak, Alien. Jangan buat dirimu lelah berpikir," pesan bobo. "Iya, Bobo. Terima kasih bobo sudah perhatian kepadaku," ucapku. Akhi
Sejak insiden ciuman itu aku malu sekali untuk menampakkan batang hidungnya di depan Lay Ka. Tapi apa boleh buat Lay Ka sedang sakit bahkan bobo meminta aku menemani Lay Ka selama dia belum sehat. Sedang bobo ditemani adiknya yang kebetulan tepat tinggalnya tidak jauh. Aku datang dengan makanan dan susu di nampan. Lay Ka tampak bermain ponsel dan cuek dengan kehadiranku. ""Koko, aku buatkan bubur ayam, makanlah dulu," ujarku menahan kikuk karena malu. "Tadi bobo telepon, sementara kamu disuruh merawat aku dulu sampai sembuh, dia sudah ditemani adiknya," ujar Lay Ka datar. "Iya, bobo juga sudah bicara kepadaku," sahutku. "Makanlah, Koko, keburu dingin!" perintahku lagi. "Nanti saja belum selera," jawabnya. Kalau udah dingin aku yang repot lagi. Saat aku istirahat dia malah ngrepoti dengan permintaan ini itu. Akhirnya aku duduk di bibir ranjang dan menyuapinya. "Koko, aku suapi, aku tidak mau kamu ngerepoti aku saat kerja n
Lay Ka mulai kewalahan mengendalikan gejolak nafsunya sendiri. Kini dia bisa mengalihkan konsentrasinya untuk lebih fokus menikmati gelora birahinya. Aku pun menikmatinya sekalipun terkadang sadar bahwa apa yang aku lakukan ini tidak benar dan harus segera dihentikan. Hujan berhentilah, aku mohon! "Aku mulai merasakan ada benda yang mengeras diantara pahaku. Aku terbelalak takut, bukan ini yang aku harapkan. Perlahan hujan mulai berhenti, tidak ada lagi kilat maupun petir. Sontak aku mendorong tubuh Lay Ka sehingga Lay Ka tersentak. "Alien!" pekiknya. Dia semakin ganas, dengan matanya yang menyala penuh nafsu dia kembali menubruk tubuhku dan menindihnya. Kembali ciumannya mendarat di bibirku lebih ganas, kemudian lidahnya yang basah dan hangat turun ke leherku yang jenjang. "Jangan, Lay Ka!" bisikku sambil kembali mendorong tubuhnya lebih kuat. Begitu aku bisa terlepas dari pelukan Lay Ka, bergegas aku lari keluar kamar.