Keputusan menjadi TKW dengan meninggalkan seorang anak yang masih balita adalah keputusan yang sangat berat. Semenjak suamiku di PHK dari perusahaan tempat dia bekerja, kehidupanku serasa dijungkirbalikkan. Apalagi dengan gaya hidup suamiku yang terbiasa berfoya-foya dengan para wanita malam. Karena keadaan membuat aku terpaksa bekerja di Hongkong sebagai asisten rumah tangga. Aku bekerja menjaga seorang nenek yang kesepian karena anak-anaknya tinggal di luar negeri. Di Hongkong aku bertemu dengan pemuda yang bernama Lay Ka Sing di suatu stasiun dengan percekcokan yang tidak menyenangkan. Tidak menyangka ternyata dia adalah cucu majikanku seorang artis muda yang sedang naik daun. Karena ditimpa isu dia seorang gay untuk menyangkalnya terpaksa dia berpura-pura menikahiku. Kebersamaan yang terpaksa itu lambat laun berubah menjadi cinta. Bagaimanakah hubunganku dengan Lay Ka terjalin? Bagaimana pula dengan suamiku dan anakku di Indonesia?
View MoreAku keluar dari masjid terbesar di Hong Kong yang terletak di Central bersama dua temanku, Yuni dan Yuli. Untuk naik MTR aku harus berjalan menelusuri lorong yang lumayan jauh. Kami bertiga berlarian mengejar waktu agar cepat sampai di rumah majikan.
Terutama aku karena harus memasak untuk makan malam. Majikanku seorang nenek yang hidup sebatang kara karena kedua anaknya tinggal di luar negeri, yaitu Canada dan Amerika. Satu tahun kebersamaan kami menumbuhkan rasa saling menyayangi. Sebelum tidur aku memijit badannya dengan penuh kasih sayang sambil kita saling curhat. Kebetulan dari kecil aku tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang kakek dan nenek.
Kami bertiga berjalan semakin cepat, kami terbawa kebiasaan orang Hong Kong, serba cepat.
"Alien, wah ini artis tampan yang sering tampil di televisi, selfi dong!" ajak Yuni.
"Ayo ... ayo!" sahutku dan Yuli setuju.
Sepanjang lorong yang terang benderang itu terpampang banyak poster artis Hong Kong. Akhirnya aku berselfi dengan poster artis muda yang sangat terkenal dan tampan. Aku berpose dengan bibir monyong seolah mau menciumnya. Tiba-tiba seorang pemuda Hong Kong mengenakan hoodie dengan kacamata dan masker menabrakku dengan keras.
Pyar! Ponsel pemuda itu jatuh dan hancur.
"Maaf, Koko!" spontan ucapku dengan memanggil dia kakak.
"Enak saja bilang maaf, lihat ponselku, hancur! Dasar pembantu kampungan, apa yang kamu lakukan di jalan umum seperti ini? Jangan jadi sampah di negara orang dong!" bentaknya emosi.
"Sebenarnya bukan aku yang salah, aku sudah berusaha minta maaf karena budaya negara kami mengutamakan kesopanan," jawabku kesal.
"Kamu tahu ini jalan umum, terus apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya menggertak.
"Tidak ada, aku cuma ... cuma," jawabku terbata-bata.
"O aku tahu, pasti kamu sedang memimpikan berfoto dengan artis terkenal Lay Ka," ujarnya sambil menunjuk poster Lay Ka. "Tahu dirilah! Mimpi di siang bolong, bagai langit dan bumi, tahu!" oloknya.
"Dasar ya, pasti orang tuamu menyesal melahirkan kamu. Tidak bisa menghargai wanita," sergapku.
Aku berjongkok memunguti ponselnya yang sudah hancur tak berbentuk. Karena bukan saja jatuh tapi tidak sengaja aku juga menginjaknya. Ponsel produk terbaru yang harganya pasti selangit, bisa-bisa gajiku enam bulan untuk ganti rugi.
"Ini kecelakaan, Kak. Aku tidak sengaja, kakak sendiri yang menabrakku, bukan aku yang salah," kataku membela diri.
"Kalau ingin tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, kita ke kantor polisi saja. Mana ada jalan umum di pakai selfi mengganggu orang jalan saja," tantangnya.
Waduh kalau urusannya sama polisi jadi rumit, kasihan bobo di rumah tidak ada yang melayani. Dia akan terkejut bila mendengar aku berurusan dengan polisi.
"Jangan, Kak, kita damai saja! Aku ganti ponselmu dengan yang baru, tapi aku minta waktu!" kataku berjanji.
"Kamu yakin? Kamu punya uang? Terus apa jaminannya kalau kamu mau ganti ponselku?" umpatnya mengejek.
"Bawa saja ponselku!" jawabku asal.
"Hah! Yang bener saja, ponsel jadul ini? Punya otak nggak sih kamu?" tanyanya kasar. "Mana ID card kamu!" lanjutnya sambil tangannya menengadah.
"Apa? Jangan dong bahaya saya tanpa ID card di negara orang, kalau ada apa-apa gimana?" kataku sedih.
"Udah berikan saja, kita nanti bisa urus surat kehilangan minta lagi masih bisa," bisik Yuli bersiasat.
"Jangan pernah berkonspirasi kejahatan di negara saya!" tukasnya.
Aku melihat jam tanganku, aku teringat majikanku sendiri di rumah dan waktunya makan dan minum obat. Kalau aku masih terjebak lama di sini bagaimana dia di sana? Tanpa berpikir panjang aku memberikan ID cardku kepadanya.
"Ini, aku tidak punya banyak waktu," ujarku sambil menyerahkan ponselku dan ID.
"Ih sombong! Emang siapa kamu tidak punya waktu? Pembantu saja belagu!" hinanya. "Sekarang aku tidak punya nomer telepon kamu, aku menunggu etikat baikmu menghubungi aku ke ponselmu sendiri. Kalau kamu mau main-main denganku, aku tinggal lapor polisi dengan petunjuk ID kamu, polisi mudah menemukanmu. Ini Hong Kong bukan Indonesia!" ancamnya, kemudian berlalu pergi.
"Ih kurang ajar!" teriakku. "Dasar mata sipit!" lanjutku mengumpat.
"Emang kamu tahu dia bermata sipit? Mana matanya pakai kacamata, pakai masker, pakai kudung kepala, mana kita tahu siapa dia? Jangan-jangan mafia kayak di film-film itu," ujar Yuni orang Indonesia dari Tulungagung.
"Ih termakan drama kamu!" olok Yuli sambil menggetok lengan Yuni. Yuli adalah sahabatku dari Ngawi, Jawa Timur.
Akhirnya kita berlarian menuju perlintasan MTR, untung jarak antara Central dengan Kennedy Town tidak jauh hanya melewati empat stasiun. Kalau Yuni dan Yuli masih harus transit, karena jaraknya sangat jauh.
Tak lama kemudian aku sampai di rumah majikan, sekalian tadi berbelanja untuk makan malam kami berdua.
"Selamat malam, Bobo!" sapaku, begitu aku memanggil nenek di Hong Kong.
"Kamu sudah pulang?" tanyanya dingin.
Sekalipun orangnya dingin dan kaku tapi dia baik hati.
"Kalau kamu capek, bagaimana kalau kita makan malam di luar saja, Alien?" tawar Bobo.
"Tidak, Bobo, aku hanya kesal hari ini aku apes. Ada orang menabrak aku, malah dia minta aku yang tanggung jawab, lucu kan? Aku harus mengganti ponselnya lagi!" gerutuku kesal.
"Kamu melakukan kesalahan apa? Kalau kamu tidak salah, tidak mungkin dia ada alasan minta ganti rugi?" tanya Bobo bijaksana.
"Iya sih, aku selfi di lorong stasiun, Bobo," jawabku menyesal.
Bobo tertawa ngekeh, sambil berjalan sedikit tertatih menghampiriku.
"Ini Hong Kong bukan Indonesia, Alien," katanya sambil menekan pundakku.
Kok kata-katanya sama dengan pemuda tadi? Ini Hong Kong bukan Indonesia.
Bagaimana cara aku mengganti ponselnya?
Bersambung ...
Aku harus bisa menepis keinginanku yang melambung tinggi. Jangankan untuk memiliki, mendekati saja resikonya seperti ini. Aku berani bersu'udzon ini pasti ulah dari keluarga besar Hanna tunangan Lay Ka Shing. Tidak habis pikir bagaimana hanya demi menghancurkan aku yang hanya seorang babu dari Indonesia mereka melakukan pengorbanan yang begitu besar. Narkoba sebagai barang bukti itu bernilai milyaran harus hilang di sita pemerintah Hong Kong hanya untuk menjebakku. "Alien, aku berjanji akan membantumu, ini hanya jebakan belaka untuk menjauhkan kamu dari Bos Lay Ka," janji Devis. "Terima kasih, Devis, kamu melakukan banyak pengorbanan buat aku juga mama dan anakku. Bagaimana cara aku membalasmu, Devis?" gumamku pelan. "Jangan bilang kamu menerima cintaku karena ingin membalas budi, Zhee? Andai memang demikian tak apalah, aku akan membuatmu benar-benar mencintaiku tanpa syarat," kata Devis yakin. "Beri aku kesempatan untuk jatuh cinta lagi, aku butuh waktu, Devis. Apalagi mengingat a
Sudah dua hari wanita penyebab aku mendekam di terali besi itu bungkam tanpa mengungkap pernyataan apapun. Ini membuat aku masih terkatung-katung di tahanan. Geram rasanya, ingin menghampiri nya dan menjambak rambutnya. "Kenapa sih sulit mengakuinya, takut hukuman mati menantimu ya? Tapi kenapa harus aku, coba? Apa salahku padamu?" monologku dengan geram. "Ada apa?" tanya polisi penjaga kepadaku. Aku mengoceh sendiri dalam bahasa Indonesia kayak orang gila. Sehingga membuat polisi Hong Kong merasa terganggu. "Pengacaramu ingin bertemu," kata seorang polisi yang lain yang tiba-tiba muncul. Apakah dia bersama Lay Ka? Kenapa aku merindukannya? Harusnya Devis yang kuharapkan, karena selain Lay Ka dia banyak membantuku juga. Bahkan dia dengan terus terang sudah menyampaikan perasaannya kepadaku. Polisi membuka gembok terali dan mengikutiku saat aku melangkah ke suatu ruangan. Telah duduk pengacara ku Andy Cheong sambil membuka-buka berlembar-lembar kertas fail. "Selamat siang, Tua
Aku berusaha menghubungi Lay Ka. Sepertinya dia masih di lokasi syuting karena saat dia mengangkat teleponnya suaranya sangat ramai. Lay Ka kesulitan mendengarkan suaraku. "Lay Ka, tolong aku ... sekarang aku di kantor polisi Central, aku tidak bersalah!" itu yang aku katakan. Tapi kiranya Lay Ka tidak mendengarnya. Dia berusaha untuk bertanya berkali-kali memperjelas, tapi tetap saja tidak bisa mendengar. "Alien ...halo?" Tidak jelas, Alien!" kata Lay Ka berteriak. "Kirimlah pesan!" lanjut Lay Ka meminta. Padahal aku bisa mendengar dengan jelas suara Lay Ka meskipun berisik. Akhirnya aku menulis pesan dalam bahasa Inggris. Karena aku tidak bisa menulis bahasa kantonis. Padahal aku juga tidak pandai berbahasa Inggris. "Help me, please!, I"m in trouble! Now, I am in police office in Central," itu yang aku tulis entah itu benar atau salah, aku yakin ini cukup dimengerti Lay Ka. Polisi Hongkong mempersilahkan aku duduk di suatu ruangan dan ponselku disita untuk diperiksa juga. Mer
Setelah mendengar ungkapan Lay Ka aku tidak tahu harus senang ataukah bersedih. Sejenak aku tersanjung mendengar pengakuan Lay Ka tentang perasaannya. Apalagi di depan publik, juga di depan Hanna yang selama ini selalu merendahkanku. Tapi juga sedih karena aku terjebak dengan sandiwaraku sendiri. Lay Ka dan publik menganggap aku dan Devis benar-benar pacaran. Tapi Devis benar-benar mencintaiku, haruskah aku menyakitinya? Dia orang yang selama ini tulus mencintai dan begitu baik kepadaku dan mamaku. "Sejak kapan perasaan itu datang, Lay Ka?" tanya salah satu fansnya. "Saya tidak sadar kapan datangnya, yang jelas kebersamaan kami selama ini menumbuhkan perasaan itu yang aku sendiri tidak menyadarinya," ungkap Lay Ka. Aku melambankan langkahku demi mendengar lagi pengakuan Lay Ka. "Terus bagaimana dengan Nona Hanna? Kapan dia hadir dalam hidup anda, Lay Ka?" tanya yang lain. "Mereka hadir di waktu yang berbeda, juga di tempat yang berbeda di hatiku," jawab Lay Ka mengambang. "Alien
Rendy mengirim pesan yang intinya dia minta ganti rugi uang untuk biaya pengobatan Berlian. Seluruh biaya selama dia di rumah sakit dan biaya ini itu aku harus menggantinya. "Aku sudah mentransfernya sesuai dengan permintaanmu," kataku lewat telepon pagi harinya. "Benarkah? Oke nanti aku cek!" jawab Rendy singkat. "Ya sudah aku tutup dulu, satu pesanku, "jangan sia-siakan anakku Berlian!" "Ya tidak mungkinlah, dia adalah kartu As ku. Oh ya, kamu nggak jadi pulang ke Indonesia? Tidak ingin nih ketemu Berlian? Kayaknya dia sedang menahan rindu padamu, Alien," ujarnya sedikit merendah. "Kamu akan sangat menyesal bila pulang nanti dia tidak mengenali kamu sebagai ibunya," bisiknya mengancam dan mengolok. Aku jadi berpikir, aku sendiri juga sedang menahan rindu. Benar apa kata Rendy bagaimana kalau Berlian lebih mengenal Ika daripada aku? Betapa hancurnya hatiku. Apalagi Rendy tidak pernah memberi kesempatan kepadaku untuk video call.
Lay Ka tiba-tiba merasa canggung, dia belum siap dengan jawaban tanpa konsep. "Bukan begitu Om, ini terlalu tergesa-gesa. Saya masih ingin menikmati kebersamaan ini, toh usia kita juga masih muda," jawab Lay Ka sekenanya. "Jawab saya dengan jujur, Lay Ka! Apakah kamu mencintai anakku?" tanya papanya Hanna tegas. "Sebenarnya yang kita lakukan selama ini adalah tuntutan peran, Om. Kalau ada chemistry diantara kita itu karena profesional kita berdua. Untuk ke jenjang yang lebih serius saya belum kepikiran kesana sama sekali." "Oke, om mengerti apa maksud jawaban kamu. Maksudmu kamu menolak Hanna kan? Apa itu karena ada wanita lain?" tanya papanya Hanna dengan tegas karena kecewa. "Usia kita masih sama-sama muda, Om. Masih banyak yang bisa kita lakukan. Kemungkinan Hanna bisa menemukan pria yang jauh lebih baik dari saya" kata Lay Ka pelan. "Kamu sedang menolak saya, Lay Ka? Jangan bilang kamu sedang jatuh cinta pada pembantumu itu,"
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments