Share

4. Lelaki di Lorong itu Lay Ka

"Duduklah, Bobo!" pintanya setelah mereka berpelukan sebentar.

"Kamu sendirian, Lay Ka?" tanya Bobo.

"Iya, Bobo. Pacarku lagi sibuk," jawabnya.

"Siapa pacarmu sekarang? Masih Hanna kan?" tanya bobo memastikan.

"Ya iyalah, emang Lay Ka playboy gonta-ganti pacar?" sahut Lay Ka.

Akhirnya mereka tertawa bersama, aku memandang bobo tampak bahagia, demikian juga dengan Lay Ka.

"Duduklah, Alien!" pinta Bobo kepadaku. "Dia yang merawat aku selama ini, Lay Ka," lanjutnya.

"O, syukurlah, sekarang bobo ada yang merawat. Maaf saat bobo sakit aku tidak pulang karena persiapan wisuda, Bobo," kata Lay Ka menyesal.

"Tidak apa-apa yang penting sekarang kamu sudah kembali," kata bobo bahagia.

"Jaga boboku baik-baik, Alien!" pesan Lay Ka Sing.

Hah? Bersamaan aku dan bobo terperanjat, Lay Ka Sing dengan jelas memanggil namaku. Kok dia tahu sih?

"Kamu tahu nama dia darimana?" tanya bobo terkejut.

"Tadi kan bobo memanggil dia, bobo kan tahu aku tuh orangnya cerdas dan mudah menghafal," katanya membela diri.

Tak lama kemudian dua orang lelaki pelayan restoran menyiapkan pesanan Lay Ka. Aku  makan semeja dengan majikanku, ini jarang terjadi dimanapun. Tapi untuk TKW di Hong Kong bukan hal aneh makan semeja dengan majikan.

Dulu saat pertama kali aku datang dan belum pandai berbahasa Cantonis, dia belum bisa menerimaku. Rasanya serba salah, bobo sering marah-marah dan membenciku. Sebentar-sebentar mengancamku akan memulangkan ke Indonesia.

Tapi kini semua berubah manis, dengan bermodal ketulusan dan kejujuran serta bahasa itu penting. Dengan lancar berkomunikasi semua masalah mudah diselesaikan dengan baik. Bahkan kita bisa saling berbagi, majikan juga manusia banyak problem hidup sama dengan kita. Kini seutuhnya aku bisa diterima bahkan seperti cucu sendiri.

"Iya bobo tahu, kamu cucu bobo yang cerdas," gumamnya sambil berkaca-kaca, aku tahu bobo sudah lama memendam rindu kepada anak dan cucunya.

"Hei sudah, jangan terbawa perasaan bobo, ayo kita makan!" Lay Ka menenangkan sambil merangkul pundaknya.

Kini Lay Ka mulai melepas kacamata dan maskernya, kemudian menatap orang di sekelilingnya.

Hah! Wajahnya ternyata lebih tampan daripada di televisi maupun media sosial. Tanpa make-up dia jauh lebih tampan, semua mata menatapnya. Ada beberapa orang meringsek mendekat ingin minta foto. Tapi dua bodyguard yang tiba-tiba datang mengatakan dengan sopan,

"Biar Tuan kami selesai makan dulu, nanti ada waktu buat kalian berfoto!" ujarnya.

"Yey, terima kasih ...!" serentak mereka menjawab.

Suasana sudah kondusif, aku melayani nenek makan dengan mengambilkan tim ikan yang merupakan makanan kesukaannya. Tak sengaja saat aku memandang Lay Ka, ternyata dia sedang menatapku sambil tersenyum tipis. Aku jadi salah tingkah sambil mengangguk aku tersenyum ke arahnya. Biasa sifat ramah alamiku muncul begitu saja.

"Kamu mengenal boboku jauh lebih baik daripada aku yang cucunya," ucapnya pelan dan lembut kepadaku.

"Karena kami berdua saling berbicara, Lay Ka Koko," sahutku. "Banyak masalah bisa diselesaikan dengan saling bicara dan terbuka. Dengan membuka hati semua masalah bisa kita atasi," kataku sok menggurui. "Yah terkadang kita gengsi mendahului, kita hanya menunggu, padahal dengan sedikit menyingkirkan ego semua masalah selesai," lanjutku masih sok menasehati.

"Masih juga belagu, dasar bacot!" gerutunya lirih. "Ditanya apa, jawabnya apa?" gumamnya.

Aku terperanjat dia mengataiku dan mengolok dengan nada seperti itu. Aku jadi ingat, bukankah dia lelaki yang ponselnya kuinjak itu? Tapi ini kan Lay Ka, masak iya lelaki itu adalah dia? Pikiranku terus berkecambuk.

"Sudah, ayo makan!" pinta bobo.

Akupun menikmati aneka masakan yang belum pernah kucicipi dan kini ada di depan mataku. Bobo mengambilkan makanan dengan sumpitnya dengan penuh sayang. Aku melihat Lay Ka yang tertegun menatapku seolah cemburu.

"Bahkan aku tidak pernah diperlakukan seperti itu," gumam Lay Ka sedih.

"Hei, waktu kecil bobo yang menyuapi kamu makan," sahut bobo sambil tersenyum.

"Ini coba rasakan, di Indonesia pasti tidak ada. Ini kulit bebek panggang, cuma diambil kulitnya lo," kata bobo sambil mengambilkan dan  meletakkannya di atas nasiku di mangkok kecil.

Berbeda dengan Indonesia, di Hong Kong wadah nasinya bukan piring tapi mangkok kecil. Bukan menggunakan sendok, melainkan sumpit. Pertama TKW datang ke sini pasti dia akan tersiksa lapar. Apalagi yang terbiasa makan pakai tangan dengan piring isinya nasi segunung.

Kami menikmati makan dengan tenang dan santai sambil mendengarkan bobo bercerita kesana kemari. Tanpa sengaja aku dan Lay Ka sering beradu pandang. Saat mata indah itu menyorotku seakan menembus jantungku. Matanya indah, tidak sipit seperti pada umumnya orang Hongkong.

Rab Ne Bana Di Jodi lagu Bollywood, berkumandang keras karena ada telepon masuk. Aku terparanjat dan seketika mengedarkan pandanganku ke sekitarku.

"Ih berisik!" geramnya.

Lay Ka mematikan ponsel yang diambil dari saku jasnya, kemudian di masukkanya kembali.

Aku menatap tajam ke arahnya dan dia menghindar dengan menundukkan kepala. Aku semakin yakin bahwa itu ponselku. Apa ini  artinya lelaki di lorong stasiun itu adalah Lay Ka? Aduh mati aku, padahal saat itu aku berselfi mencium foto Lay Ka. Dengan hati-hati aku menggeser dudukku dan,

"Itu ponselku kan?" tanyaku menohok.

"Kamu ngomong apa sih?" jawabnya mengelak.

"Coba tunjukkan padaku, Koko!" kataku mendesak.

"Apaan?" Lay Ka masih mengelak.

"Bobo, itu ponselku, jangan-jangan lelaki di lorong itu ...," kataku ragu.

"Apa?" hardiknya menyergap.

"Mana ponselku!" pintaku dengan tangan menengadah. "Ternyata kamu lelaki di lorong itu kan?" lanjutku menebak.

"Bukan, asal saja!" ketusnya.

Bagaimana bobo melerai percekcokan kami? 

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Galuh Arum
ceritanya oke teruskan kak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status