"Duduklah, Bobo!" pintanya setelah mereka berpelukan sebentar.
"Kamu sendirian, Lay Ka?" tanya Bobo.
"Iya, Bobo. Pacarku lagi sibuk," jawabnya.
"Siapa pacarmu sekarang? Masih Hanna kan?" tanya bobo memastikan.
"Ya iyalah, emang Lay Ka playboy gonta-ganti pacar?" sahut Lay Ka.
Akhirnya mereka tertawa bersama, aku memandang bobo tampak bahagia, demikian juga dengan Lay Ka.
"Duduklah, Alien!" pinta Bobo kepadaku. "Dia yang merawat aku selama ini, Lay Ka," lanjutnya.
"O, syukurlah, sekarang bobo ada yang merawat. Maaf saat bobo sakit aku tidak pulang karena persiapan wisuda, Bobo," kata Lay Ka menyesal.
"Tidak apa-apa yang penting sekarang kamu sudah kembali," kata bobo bahagia.
"Jaga boboku baik-baik, Alien!" pesan Lay Ka Sing.
Hah? Bersamaan aku dan bobo terperanjat, Lay Ka Sing dengan jelas memanggil namaku. Kok dia tahu sih?
"Kamu tahu nama dia darimana?" tanya bobo terkejut.
"Tadi kan bobo memanggil dia, bobo kan tahu aku tuh orangnya cerdas dan mudah menghafal," katanya membela diri.
Tak lama kemudian dua orang lelaki pelayan restoran menyiapkan pesanan Lay Ka. Aku makan semeja dengan majikanku, ini jarang terjadi dimanapun. Tapi untuk TKW di Hong Kong bukan hal aneh makan semeja dengan majikan.
Dulu saat pertama kali aku datang dan belum pandai berbahasa Cantonis, dia belum bisa menerimaku. Rasanya serba salah, bobo sering marah-marah dan membenciku. Sebentar-sebentar mengancamku akan memulangkan ke Indonesia.
Tapi kini semua berubah manis, dengan bermodal ketulusan dan kejujuran serta bahasa itu penting. Dengan lancar berkomunikasi semua masalah mudah diselesaikan dengan baik. Bahkan kita bisa saling berbagi, majikan juga manusia banyak problem hidup sama dengan kita. Kini seutuhnya aku bisa diterima bahkan seperti cucu sendiri.
"Iya bobo tahu, kamu cucu bobo yang cerdas," gumamnya sambil berkaca-kaca, aku tahu bobo sudah lama memendam rindu kepada anak dan cucunya.
"Hei sudah, jangan terbawa perasaan bobo, ayo kita makan!" Lay Ka menenangkan sambil merangkul pundaknya.
Kini Lay Ka mulai melepas kacamata dan maskernya, kemudian menatap orang di sekelilingnya.
Hah! Wajahnya ternyata lebih tampan daripada di televisi maupun media sosial. Tanpa make-up dia jauh lebih tampan, semua mata menatapnya. Ada beberapa orang meringsek mendekat ingin minta foto. Tapi dua bodyguard yang tiba-tiba datang mengatakan dengan sopan,
"Biar Tuan kami selesai makan dulu, nanti ada waktu buat kalian berfoto!" ujarnya.
"Yey, terima kasih ...!" serentak mereka menjawab.
Suasana sudah kondusif, aku melayani nenek makan dengan mengambilkan tim ikan yang merupakan makanan kesukaannya. Tak sengaja saat aku memandang Lay Ka, ternyata dia sedang menatapku sambil tersenyum tipis. Aku jadi salah tingkah sambil mengangguk aku tersenyum ke arahnya. Biasa sifat ramah alamiku muncul begitu saja.
"Kamu mengenal boboku jauh lebih baik daripada aku yang cucunya," ucapnya pelan dan lembut kepadaku.
"Karena kami berdua saling berbicara, Lay Ka Koko," sahutku. "Banyak masalah bisa diselesaikan dengan saling bicara dan terbuka. Dengan membuka hati semua masalah bisa kita atasi," kataku sok menggurui. "Yah terkadang kita gengsi mendahului, kita hanya menunggu, padahal dengan sedikit menyingkirkan ego semua masalah selesai," lanjutku masih sok menasehati.
"Masih juga belagu, dasar bacot!" gerutunya lirih. "Ditanya apa, jawabnya apa?" gumamnya.
Aku terperanjat dia mengataiku dan mengolok dengan nada seperti itu. Aku jadi ingat, bukankah dia lelaki yang ponselnya kuinjak itu? Tapi ini kan Lay Ka, masak iya lelaki itu adalah dia? Pikiranku terus berkecambuk.
"Sudah, ayo makan!" pinta bobo.
Akupun menikmati aneka masakan yang belum pernah kucicipi dan kini ada di depan mataku. Bobo mengambilkan makanan dengan sumpitnya dengan penuh sayang. Aku melihat Lay Ka yang tertegun menatapku seolah cemburu.
"Bahkan aku tidak pernah diperlakukan seperti itu," gumam Lay Ka sedih.
"Hei, waktu kecil bobo yang menyuapi kamu makan," sahut bobo sambil tersenyum.
"Ini coba rasakan, di Indonesia pasti tidak ada. Ini kulit bebek panggang, cuma diambil kulitnya lo," kata bobo sambil mengambilkan dan meletakkannya di atas nasiku di mangkok kecil.
Berbeda dengan Indonesia, di Hong Kong wadah nasinya bukan piring tapi mangkok kecil. Bukan menggunakan sendok, melainkan sumpit. Pertama TKW datang ke sini pasti dia akan tersiksa lapar. Apalagi yang terbiasa makan pakai tangan dengan piring isinya nasi segunung.
Kami menikmati makan dengan tenang dan santai sambil mendengarkan bobo bercerita kesana kemari. Tanpa sengaja aku dan Lay Ka sering beradu pandang. Saat mata indah itu menyorotku seakan menembus jantungku. Matanya indah, tidak sipit seperti pada umumnya orang Hongkong.
Rab Ne Bana Di Jodi lagu Bollywood, berkumandang keras karena ada telepon masuk. Aku terparanjat dan seketika mengedarkan pandanganku ke sekitarku.
"Ih berisik!" geramnya.
Lay Ka mematikan ponsel yang diambil dari saku jasnya, kemudian di masukkanya kembali.
Aku menatap tajam ke arahnya dan dia menghindar dengan menundukkan kepala. Aku semakin yakin bahwa itu ponselku. Apa ini artinya lelaki di lorong stasiun itu adalah Lay Ka? Aduh mati aku, padahal saat itu aku berselfi mencium foto Lay Ka. Dengan hati-hati aku menggeser dudukku dan,
"Itu ponselku kan?" tanyaku menohok.
"Kamu ngomong apa sih?" jawabnya mengelak.
"Coba tunjukkan padaku, Koko!" kataku mendesak.
"Apaan?" Lay Ka masih mengelak.
"Bobo, itu ponselku, jangan-jangan lelaki di lorong itu ...," kataku ragu.
"Apa?" hardiknya menyergap.
"Mana ponselku!" pintaku dengan tangan menengadah. "Ternyata kamu lelaki di lorong itu kan?" lanjutku menebak.
"Bukan, asal saja!" ketusnya.
Bagaimana bobo melerai percekcokan kami?
Bersambung ...
"Pasti kamu lelaki di lorong itu, kembalikan ponselku!" teriakku geram. "Bobo tahu nggak, dia mencium fotoku untuk selfi, nih coba lihat! Nggak punya malu banget, narsis!" kata Lay Ka sambil menyekrol layar ponselku. Kemudian menunjukkannya kepada bobo. Foto-fotoku saat aku dengan tidak punya malu mencium foto Lay Ka bahkan di depan matanya. Aku terkejut bagaimana dia bisa membuka sandinya. Banyak rahasia di ponsel itu apakah dia juga melihatnya. "Lay Ka Koko, berikan ponselku!" pintaku geram sambil menggapai-gapai ponsel dari tangannya. Tapi Lay Ka terlalu gesit mainkankan tangannya. Karena posturrnya sangat tinggi sekalipun dia sambil duduk dan aku yang berdiri pun masih kewalahan. Tanpa sengaja aku tersandung sepatu Lay Ka. Akhirnya terjatuh menindih tubuh Lay Ka. Sesaat kami berpandangan, matanya tajam menatap mataku sontak jantungku berdebar kencang. Oh ada apa dengan diriku? "Kamu mau memperkosa aku ya? Mereka semua jadi saksinya lo," bisik Lay Ka lirih. Aku segera beranjak
Aku memasak untuk makan malam hanya dengan memanfaatkan bahan yang tersisa di kulkas. Bobo dan Lay Ka bercengkerama dengan akrab, mereka lama tak berjumpa."Kamu memasak apa, Alien?" tanyanya tiba-tiba muncul di belakangku."Cah kailan sama daging sapi, tim ikan sama soupnya ayam hitam lobak wortel," jawabku asal nyeplos."Lain kali daging sapinya di marinasi dulu dengan kecap asin dan maizena!" saran Lay Ka sok pintar."Baik, Lay Ka Koko," jawabku dingin."Kamu masih marah sama aku?" tanyanya setelah mendengar jawabanku yang dingin."Nggak kok, yang dikatakan koko semua benar, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku harus tahu diri," jawabku datar."Aku terlalu kasar ya? Maaf ya, benar apa katamu aku tidak pernah mengerti wanita. Aku tidak pernah di besarkan oleh mamaku," jawabnya sedih.Aku terperanjat mendengar jawaban Lay Ka, pasti sulit juga hidupnya tanpa seorang mama."Biarkan aku yang memasak, kamu b
Hatiku terasa perih, leher terasa tercekik. Selama ini aku bertahan dengan segala tingkahnya dengan gonta-ganti wanita malam. Aku juga tidak berdaya saat dia memoroti uangku dengan alasan ini itu. Bahkan dia membohongiku katanya membangun rumah di lahan orang tuanya.Aku mengirim semua gajiku setiap bulan bahkan aku tidak memikirkan untuk kebutuhanku sendiri di sini. Ternyata yang dia video dan foto itu bukan rumah kita melainkan rumah tetangganya. Dan aku masih memaafkan untuk kesalahannya itu. Tapi untuk kesalahan ini tertutup sudah pintu maafku."Aku harus kerja paruh waktu, agar bisa menebus kembali rumah papaku," gumamku sedih."Kamu bisa part time di rumahku setiap Sabtu dan Minggu, biar sopirku menjemputmu," tawar Lay Ka."Bobo setuju, daripada kerja di luaran sana," sahut bobo.Dret ...dret ... dret! Ponsel Lay berdering."Iya ketua?" sapanya begitu telepon diangkat.( ... )"Saya sedang di Kennedy Town, di rumah
Bukannya terima kasih Lay Ka malah marah-marah saat bangun tidur."Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Lay Ka heran."Aku takut terjadi hujan deras lagi dan koko kembali trauma," jawabku asal."Alasan saja, mencuri kesempatan ya?" sahutnya menggoda."Menyebalkan, bicara ngelantur, mengigau kali ya?" bantahku mengolok."Jadi cewek nggak perlu ganjen- ganjen, mahalan dikit dong!" jawabnya mengolok balik."Koko!" bentakku. "Bikin sakit hati saja!" geramku."Nggak perlu panggil aku koko, usiaku jauh lebih muda dari kamu, Tante Alien," ejeknya menohok."Brengsek!" teriakku kesal, kemudian pergi meninggalkannya sendiri."Ada apa sih ribut melulu, masih pagi nih?'" sahut bobo yang baru keluar dari kamar."Sudah ditolong bukannya terima kasih malah mengejek, menghina, sebel!" gerutuku."Masak dia ikutan tidur di sini, ngapain coba?" olok Lay Ka lagi, membuat aku begitu malu. "Curi-curi kesempatan!" lanjut
Setelah acara jumpa pers berita bersliweran semakin ramai. Bahkan ada pro kontra seolah terpecah menjadi dua kubu. Para TKW Indonesia banyak yang mendukung menjodohkan aku dengan Lay Ka karena latar belakang perjumpaan kami bagai di cerita-cerita drama cinta.Di kubu yang lain seolah mengecam aku yang hanya seorang pembantu hanya mencuri kesempatan memanfaatkan kebaikan keluarga Lay Ka. Sejak itu aku ikut terbawa-bawa dalam kemelut kehidupan Lay Ka.Kini ponselku sudah kembali ke tanganku. Sopir pribadinya yang mengembalikannya kepadaku saat sekalian menjemput aku untuk kerja paruh waktu di rumah Lay Ka. Devis berasal dari Indonesia yang sudah lama bekerja di Hong Kong.Dalam perjalanan ke rumah Lay Ka, dia banyak bercerita tentang dia, lelaki muda yang penuh rahasia dalam hidupnya. Hidup yang selalu kesepian meskipun di kelilingi orang-orang yang mengaguminya."Kalau dia sendirian di rumah dan terjadi hujan petir, apa yang dia lakukan? Siapa orang yang d
Aku jadi merasa bersalah dengan kejadian ini. Kalau saja aku tidak seceroboh itu, ini tidak akan terjadi. Harusnya aku tahu diri meskipun mereka orang baik tidak seharusnya aku memperlakukan mereka seperti itu di depan umum, apalagi dia publik figur. Tapi apa hendak dikata semua sudah terjadi. "Alien, kita pergi belanja sekarang!" tawar Devis. "Sebentar lagi, biar kubereskan dulu pekerjaanku ya?" jawabku. "Tidak lama kan?" tanya lagi. "Tenang saja, tidak lama kok satu jam cukup," jawabku memastikan. Aku sudah mengelap semua perabotan, dilanjutkan menyedot debu dengan vacum cleaner. Tanpa sengaja aku terus mundur dan menabrak asisten Chengyi. Aku terjatuh dan menindih asisten Chengyi. Tak sengaja aku posisi terkapar pantatku menindih pistol gobyok Chengyi hingga dia menjerit kesakitan. "Auh!" Aku yang terpaku seperti tak terpercaya hanya diam dan tidak berkutik. "Kok kamu jadi keenakan sih, bangun dong, Tante Alien!" teriak Lay Ka dari atas tangga. "Eh maaf!" jawabku spontan.
Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa sakit melihat mereka bercumbu di depanku. Apakah aku cemburu? Ah nggak tahu diri amat sih aku. Aku menunduk malu dan kesal. "Lay Ka, kenapa kamu membiarkan dia mendekati kamu lagi. Gara-gara dia kita bermasalah sampai sekarang belum selesai," runtuk Hanna. "Kenapa kalian baru pulang, memangnya swalayannya pindah jauh sehingga butuh waktu berjam-jam?" ketus Lay Ka. "Maaf, Bos, kita makan siang dulu di luar," jawab Devis. "O begitu, jadi kamu memikirkan perutmu sendiri dibanding perut bosmu?" hardik Lay Ka. "Bukan begitu Bos, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku," sahut Devis. "Maksudmu?" sahut Lay Ka. "Baru saja aku menyatakan cintaku pada Alien, Bos. Dan dia menerimaku, yey!" kata Devis berteriak kegirangan. "Benarkah itu?" sahut asisten Chengyi. Sontak dia menunduk kecewa. Lay Ka melotot tak percaya. Suasana sesaat hening, aku bisa melihat perubahan mimik muka mereka satu-persatu. "Lelucon apa ini?" sahut Lay
Setelah selesai pekerjaanku, Devis mengantarkan aku pulang ke tempat bobo. "Saya datang!" teriakku setelah membuka pintu. "Kamu sudah pulang, Alien? Siapa yang mengantarmu?" tanya bobo. "Diantar Devis, Bobo." "Aku sudah makan malam, Alien. Kalau kamu belum makan kamu bisa makan mi instan atau bihun instan," ujar bobo. "Sudah makan?" sela aku. "QIya tadi adikku ke sini dia mengajak aku makan di luar," jawab bobo. "Bobo, yakin sudah kenyang?" tanyaku meyakinkan. "Sudah kenyang, Alien. Berikan aku obat untuk malam, yang siang tadi sudah kuminum," ujarnya. "Baik, Bobo." Aku membantu bobo minum obat kemudian menyalakan mesin penghangat ruangan. Saat tanganku hendak memijit bobo menolaknya. Baru sekali ini dia menolak aku pijit. "Sudah lekaslah tidur, besuk pagi kamu ke rumah Lay Ka lagi kan? Kamu pasti capek, Lay Ka orangnya super bersih, dia dingin dan kasar. Aku takut kamu kena semprot sakit hati,"