"Pasti kamu lelaki di lorong itu, kembalikan ponselku!" teriakku geram.
"Bobo tahu nggak, dia mencium fotoku untuk selfi, nih coba lihat! Nggak punya malu banget, narsis!" kata Lay Ka sambil menyekrol layar ponselku.
Kemudian menunjukkannya kepada bobo. Foto-fotoku saat aku dengan tidak punya malu mencium foto Lay Ka bahkan di depan matanya. Aku terkejut bagaimana dia bisa membuka sandinya. Banyak rahasia di ponsel itu apakah dia juga melihatnya.
"Lay Ka Koko, berikan ponselku!" pintaku geram sambil menggapai-gapai ponsel dari tangannya. Tapi Lay Ka terlalu gesit mainkankan tangannya. Karena posturrnya sangat tinggi sekalipun dia sambil duduk dan aku yang berdiri pun masih kewalahan. Tanpa sengaja aku tersandung sepatu Lay Ka. Akhirnya terjatuh menindih tubuh Lay Ka. Sesaat kami berpandangan, matanya tajam menatap mataku sontak jantungku berdebar kencang. Oh ada apa dengan diriku?
"Kamu mau memperkosa aku ya? Mereka semua jadi saksinya lo," bisik Lay Ka lirih.
Aku segera beranjak bangun, dan Lay Ka merapikan baju dan posisi duduknya. Semua mata memandang terpana. Aku dan Lay Ka segera menunduk malu.
Bobo memandang kami berdua dengan tersenyum heran. Perlahan dia mengangguk-angguk sambil tersenyum lega.
"Kamu licik!" hujatku.
"Enak saja bilang licik, ganti dulu ponselku baru kukembalikan ponsel kamu," hardiknya.
Aku tidak kuat menahan perasaanku air mataku menetes jatuh. Karena perasaan malu dan kesal yang tidak terbendung.
"Bobo, tolong aku!" pintaku kepada bobo.
"Tidak bisa. Jangan memanfaatkan kebaikan boboku untuk menghapus tanggung jawabmu," kata Lay Ka tegas.
"Lay Ka!" bentak bobo. "Sudah jangan memojokkan dia terus!" lanjutnya.
"Bobo harus sportif, jangan gara-gara sesama wanita kong kali kong!" pesan Lay Ka.
"Dasar, pencitraan! Ternyata yang mereka omongin tentang kamu itu salah. Mereka bilang romantis, baik hati, ramah dan bla ... bla ... bla ... mana coba?" sahutku mengumpat.
"Kamu Roesaline kan? Kamu tidak muda lagi sudah punya suami dan anak, bisa-bisanya mencium anak muda dengan bangganya. Emang kamu mau memamerkannya ke siapa sih? Kamu nggak kasihan sama anak dan suamimu?" Lay Ka masih menyerangku.
"Cukup, Lay Ka Koko!" bentakku kesal.
"Umurku baru 25 tahun, terus berapa umur kamu? Kamu sedang terobsesi dengan anak ingusan, Tante Alien!" hujatnya menohok dengan senyum mengolok.
Bukan saja malu, aku merasa dihakimi sedemikian kerasnya, juga terasa dikuliti habis-habisan. Wajahku terasa terbakar hebat, aku muak lelaki yang bertahun-tahun kukagumi ternyata kini membuatku antipati.
"Kamu benar-benar sakit jiwa! Tidak bisa menghargai wanita!" teriakku kembali mengumpat.
Kemudian aku berlari pergi meninggalkan mereka. Aku pasrah seandainya bobo akan memarahiku karena masalah ini bahkan kalau dia memecatku.
"Alien!" teriak bobo.
Aku tetap berlari pergi, untung aku membawa tas tangan. Sehingga aku bisa pulang dengan naik MTR. Tanpa berpikir panjang aku masuk ke stasiun Mongkok dan turun di Central untuk oper MTR. Tiba-tiba aku berubah pikiran dan memilih ke luar dari stasiun dan pergi ka Masjid Jamia. Di sini hatiku jauh lebih tenang karena suasana masjid tua ini sangat berbeda. Aku duduk bertafakur merenungi kehidupanku. Aku sadar apa yang dikatakan Lay Ka ada benarnya. Sebagai seorang ibu juga seorang istri aku tidak pantas melakukan ini. Harusnya aku malu mengingat umurku tidak muda lagi sudah bukan waktunya untuk bertingkah seperti itu.
Kini sekalian aku menunggu sholat Ashar sambil membaca Alquran. Banyak ketenangan kudapatkan dengan datang ke sini. Setelah jamaah sholat Ashar, dengan hati yang mulai tenang aku bermaksud kembali pulang. Aku kembali masuk ke stasiun Central turun stasiun Kennedy Town. Untung apartemen bobo tidak jauh dari stasiun sehingga hanya dengan jalan kaki butuh waktu sepuluh menit.
"Aku datang!" teriakku setelah membuka pintu.
Bobo dan Lay Ka berdiri menyambutku, mereka tertegun tak percaya.
"Syukurlah, aku khawatir, Alien!" ujar bobo sedih.
Aku menatap Lay Ka yang menatapku dengan senyum tipis. Entah kenapa aku tidak marah lagi padanya, aku seperti terlahir kembali dengan kepribadianku sendiri tanpa terbawa Yuni dan Yuli.
"Kamu darimana saja, Alien?" tanya bobo.
"Aku dari Central, Bobo," jawabku sopan.
"Dari masjid untuk sembahyang ya?" tanya bobo lagi.
"Benar," jawabku.
"Maafkan Lay Ka, Alien! Dia memang jutek dan dingin, tapi percayalah dia baik kok!" kata bobo pelan.
"Tidak apa-apa, Bobo. Apa yang dikatakan Lay Ka Koko semua benar, aku tidak pantas berbuat seperti itu," jawabku sopan sambil menatap Lay Ka menahan kesal.
Kenapa harus bobo yang minta maaf sih, pasti kamu gengsi, dasar keras kepala!
Apa yang dilakukan Lay Ka untuk meminta maaf padaku?
Bersambung ...
Aku memasak untuk makan malam hanya dengan memanfaatkan bahan yang tersisa di kulkas. Bobo dan Lay Ka bercengkerama dengan akrab, mereka lama tak berjumpa."Kamu memasak apa, Alien?" tanyanya tiba-tiba muncul di belakangku."Cah kailan sama daging sapi, tim ikan sama soupnya ayam hitam lobak wortel," jawabku asal nyeplos."Lain kali daging sapinya di marinasi dulu dengan kecap asin dan maizena!" saran Lay Ka sok pintar."Baik, Lay Ka Koko," jawabku dingin."Kamu masih marah sama aku?" tanyanya setelah mendengar jawabanku yang dingin."Nggak kok, yang dikatakan koko semua benar, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku harus tahu diri," jawabku datar."Aku terlalu kasar ya? Maaf ya, benar apa katamu aku tidak pernah mengerti wanita. Aku tidak pernah di besarkan oleh mamaku," jawabnya sedih.Aku terperanjat mendengar jawaban Lay Ka, pasti sulit juga hidupnya tanpa seorang mama."Biarkan aku yang memasak, kamu b
Hatiku terasa perih, leher terasa tercekik. Selama ini aku bertahan dengan segala tingkahnya dengan gonta-ganti wanita malam. Aku juga tidak berdaya saat dia memoroti uangku dengan alasan ini itu. Bahkan dia membohongiku katanya membangun rumah di lahan orang tuanya.Aku mengirim semua gajiku setiap bulan bahkan aku tidak memikirkan untuk kebutuhanku sendiri di sini. Ternyata yang dia video dan foto itu bukan rumah kita melainkan rumah tetangganya. Dan aku masih memaafkan untuk kesalahannya itu. Tapi untuk kesalahan ini tertutup sudah pintu maafku."Aku harus kerja paruh waktu, agar bisa menebus kembali rumah papaku," gumamku sedih."Kamu bisa part time di rumahku setiap Sabtu dan Minggu, biar sopirku menjemputmu," tawar Lay Ka."Bobo setuju, daripada kerja di luaran sana," sahut bobo.Dret ...dret ... dret! Ponsel Lay berdering."Iya ketua?" sapanya begitu telepon diangkat.( ... )"Saya sedang di Kennedy Town, di rumah
Bukannya terima kasih Lay Ka malah marah-marah saat bangun tidur."Kenapa kamu tidur di sini?" tanya Lay Ka heran."Aku takut terjadi hujan deras lagi dan koko kembali trauma," jawabku asal."Alasan saja, mencuri kesempatan ya?" sahutnya menggoda."Menyebalkan, bicara ngelantur, mengigau kali ya?" bantahku mengolok."Jadi cewek nggak perlu ganjen- ganjen, mahalan dikit dong!" jawabnya mengolok balik."Koko!" bentakku. "Bikin sakit hati saja!" geramku."Nggak perlu panggil aku koko, usiaku jauh lebih muda dari kamu, Tante Alien," ejeknya menohok."Brengsek!" teriakku kesal, kemudian pergi meninggalkannya sendiri."Ada apa sih ribut melulu, masih pagi nih?'" sahut bobo yang baru keluar dari kamar."Sudah ditolong bukannya terima kasih malah mengejek, menghina, sebel!" gerutuku."Masak dia ikutan tidur di sini, ngapain coba?" olok Lay Ka lagi, membuat aku begitu malu. "Curi-curi kesempatan!" lanjut
Setelah acara jumpa pers berita bersliweran semakin ramai. Bahkan ada pro kontra seolah terpecah menjadi dua kubu. Para TKW Indonesia banyak yang mendukung menjodohkan aku dengan Lay Ka karena latar belakang perjumpaan kami bagai di cerita-cerita drama cinta.Di kubu yang lain seolah mengecam aku yang hanya seorang pembantu hanya mencuri kesempatan memanfaatkan kebaikan keluarga Lay Ka. Sejak itu aku ikut terbawa-bawa dalam kemelut kehidupan Lay Ka.Kini ponselku sudah kembali ke tanganku. Sopir pribadinya yang mengembalikannya kepadaku saat sekalian menjemput aku untuk kerja paruh waktu di rumah Lay Ka. Devis berasal dari Indonesia yang sudah lama bekerja di Hong Kong.Dalam perjalanan ke rumah Lay Ka, dia banyak bercerita tentang dia, lelaki muda yang penuh rahasia dalam hidupnya. Hidup yang selalu kesepian meskipun di kelilingi orang-orang yang mengaguminya."Kalau dia sendirian di rumah dan terjadi hujan petir, apa yang dia lakukan? Siapa orang yang d
Aku jadi merasa bersalah dengan kejadian ini. Kalau saja aku tidak seceroboh itu, ini tidak akan terjadi. Harusnya aku tahu diri meskipun mereka orang baik tidak seharusnya aku memperlakukan mereka seperti itu di depan umum, apalagi dia publik figur. Tapi apa hendak dikata semua sudah terjadi. "Alien, kita pergi belanja sekarang!" tawar Devis. "Sebentar lagi, biar kubereskan dulu pekerjaanku ya?" jawabku. "Tidak lama kan?" tanya lagi. "Tenang saja, tidak lama kok satu jam cukup," jawabku memastikan. Aku sudah mengelap semua perabotan, dilanjutkan menyedot debu dengan vacum cleaner. Tanpa sengaja aku terus mundur dan menabrak asisten Chengyi. Aku terjatuh dan menindih asisten Chengyi. Tak sengaja aku posisi terkapar pantatku menindih pistol gobyok Chengyi hingga dia menjerit kesakitan. "Auh!" Aku yang terpaku seperti tak terpercaya hanya diam dan tidak berkutik. "Kok kamu jadi keenakan sih, bangun dong, Tante Alien!" teriak Lay Ka dari atas tangga. "Eh maaf!" jawabku spontan.
Entah kenapa tiba-tiba hatiku terasa sakit melihat mereka bercumbu di depanku. Apakah aku cemburu? Ah nggak tahu diri amat sih aku. Aku menunduk malu dan kesal. "Lay Ka, kenapa kamu membiarkan dia mendekati kamu lagi. Gara-gara dia kita bermasalah sampai sekarang belum selesai," runtuk Hanna. "Kenapa kalian baru pulang, memangnya swalayannya pindah jauh sehingga butuh waktu berjam-jam?" ketus Lay Ka. "Maaf, Bos, kita makan siang dulu di luar," jawab Devis. "O begitu, jadi kamu memikirkan perutmu sendiri dibanding perut bosmu?" hardik Lay Ka. "Bukan begitu Bos, aku sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku," sahut Devis. "Maksudmu?" sahut Lay Ka. "Baru saja aku menyatakan cintaku pada Alien, Bos. Dan dia menerimaku, yey!" kata Devis berteriak kegirangan. "Benarkah itu?" sahut asisten Chengyi. Sontak dia menunduk kecewa. Lay Ka melotot tak percaya. Suasana sesaat hening, aku bisa melihat perubahan mimik muka mereka satu-persatu. "Lelucon apa ini?" sahut Lay
Setelah selesai pekerjaanku, Devis mengantarkan aku pulang ke tempat bobo. "Saya datang!" teriakku setelah membuka pintu. "Kamu sudah pulang, Alien? Siapa yang mengantarmu?" tanya bobo. "Diantar Devis, Bobo." "Aku sudah makan malam, Alien. Kalau kamu belum makan kamu bisa makan mi instan atau bihun instan," ujar bobo. "Sudah makan?" sela aku. "QIya tadi adikku ke sini dia mengajak aku makan di luar," jawab bobo. "Bobo, yakin sudah kenyang?" tanyaku meyakinkan. "Sudah kenyang, Alien. Berikan aku obat untuk malam, yang siang tadi sudah kuminum," ujarnya. "Baik, Bobo." Aku membantu bobo minum obat kemudian menyalakan mesin penghangat ruangan. Saat tanganku hendak memijit bobo menolaknya. Baru sekali ini dia menolak aku pijit. "Sudah lekaslah tidur, besuk pagi kamu ke rumah Lay Ka lagi kan? Kamu pasti capek, Lay Ka orangnya super bersih, dia dingin dan kasar. Aku takut kamu kena semprot sakit hati,"
"Jaga dirimu baik-baik, Sayang! By .. by!" ucap Lay Ka kemudian menutup ponselnya. "Pagi, Lay Ka Koko?" sapaku setelah melihat Lay Ka menutup dan menaruh ponselnya di meja. "Pagi, bagaimana keadaan bobo?" tanyanya singkat. "Baik, sudah sarapan dan jongging sebentar tadi, kemudian minum obat terus rebahan," jawabku. "Baiklah!" jawabnya. "Usahakan jangan sampai menonton televisi. Berita televisi yang memojokkan aku dan kamu hanya akan membuatnya bersedih dan berpikir berat!" pesan Lay Ka. "Baik, Koko!" jawabku. Dia mengenakan celana trening dan kaos oblong putih. Baru kali ini aku melihat penampilan apa adanya dari sang artis pujaanku. Tanpa kusadari aku menatapnya dengan tanpa berkedip. "Ngapain kamu masih berdiri di situ? Pingin ikut duduk di sini?" ketusnya. "Ih Alien, bodoh amat sih kamu, orang kasar dan dingin kayak dia masih juga kamu idolakan!" monologku lirih sambil pergi dan tersenyum menahan malu. "Eh go