Share

Serangan Balik

"Benarkah itu?"

Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi.

"Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya.

"Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan.

"Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.

Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat.

"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.

Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi yang berkaitan dengan Hazel. Dia cukup puas dengan hasil kerja asistennya. Informasi yang dia peroleh tidak ada yang terlewatkan sedikit pun.

"Aku harus memastikan kau tidak akan mengacaukan semua yang telah aku bangun dengan susah payah." Dean menambahkan.

"Berani betul kau," tukas Hazel

Hazel melangkah cepat, lalu berhenti tepat di depan Dean. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang menggelegak. Dia merasa mual. Rasanya dia ingin mengeluarkan semua yang ada di dalam perutnya.

"Tidak ... aku tidak akan terpancing olehmu," ucap Hazel sambil menggelengkan kepalanya, lalu mundur pelan-pelan.

"Sudah jelas bukan. Kau tinggal menyambar kesempatan yang aku berikan. Setelah itu kau bisa pergi sejauh mungkin. Jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku lagi!" ucap Dean ketus.

Mendengar kata-kata Dean membuat Hazel tertawa histeris. Gaung suara tawanya memenuhi seisi ruangan ini. Tapi, dia tidak peduli. Isi kepalanya seolah mendesak ingin keluar.

"Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak ingin bertemu atau berurusan denganmu . Sampai kapan pun. Ingat itu," balas Hazel tidak kalah sengit.

Tidak menunggu waktu lebih lama, Hazel langsung berjalan menghampiri pintu. Dia melirik Dean sekilas. Setelah itu dia mengayun langkah cepat meninggalkan ruangan itu. Dia bertekad tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana kembali.

****

Dua minggu berlalu dengan cepat.

Dean baru saja menghadiri rapat penting dengan dewan direksi perusahaannya. Mereka membahas rencana Dean yang ingin mengakuisisi perusahaan properti milik seorang janda tua yang tidak memiliki anak.

Rapat itu berjalan sangat alot karena sebagian besar anggota dewan direksi tidak menyetujui rencana Dean. Rapat itu pun menemui jalan buntu.

"Apa-apaan ini?"

Matanya melebar saat membaca sebuah judul berita yang dicetak tebal di koran terbitan hari ini. Koran itu tergeletak di atas meja kerjanya, dan dia belum sempat menyentuhnya. Dean mengucek kelopak matanya, lalu membaca deretan kata yang tidak ingin dia percaya.

"Seorang pengusaha muda menyebabkan kekasihnya, juga anaknya, meninggal di saat dia menyelenggarakan upacara pernikahan dengan wanita lain," ucap Dean membaca judul berita tersebut.

Dean langsung meremas koran itu hingga tidak berbentuk utuh. Hatinya seolah tersulut oleh api amarah. Kepalanya kini berdenyut-denyut. Hari ini sungguh terasa berat, ditambah lagi dengan berita di koran tersebut.

"Hazel!"

Nama itu muncul begitu saja di benaknya.

Dean menggeram marah. Tanpa berpikir dua kali, dia bisa menebak siapa pelaku utama dibalik berita tersebut. Siapa lagi kalau bukan gadis itu.

Gadis itu benar-benar di luar dugaan dan melewati batas. Inikah balasan yang diberikan oleh Hazel atas perbuatannya dua minggu yang lalu? Pembalasan ini tidak sepadan dengan kerugian yang akan dia terima setelah ini.

Saat itu Hazel berpura-pura menolak pemberiannya. Ternyata Hazel telah memiliki rencana lain. Dia menjual cerita tentang adiknya ke redaksi koran itu, lalu mendapatkan uang yang lebih banyak dari uang yang dia tawarkan.

Sungguh licik, batin Dean. Gadis itu terlihat lugu, tapi berani bermain api di belakangnya.

***

"Apa kau sudah melakukan perintahku?" Dean bertanya pada asisten pribadinya melalui panggilan telepon.

"Saya sudah menyuruh redaksi koran itu untuk menarik semua koran yang terbit hari ini," jawab asistennya.

"Satu lagi. Apa kau juga sudah membereskannya?"

"Ya, Tuan. Tuan tinggal menunggu kabar baik selanjutnya."

Dean menyeringai, tersenyum puas atas hasil kerja asisten pribadinya. Dia sangat memahami asistennya itu tidak akan pernah mengecewakannya. Dia mengetahui dia bisa mengandalkan asisten yang sudah dia anggap seperti sahabatnya sendiri.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu lagi bila membutuhkan sesuatu," pungkas Dean sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.

Hazel pasti tidak menyangka ada sebuah kejutan tengah menunggunya. Sebuah kejutan yang mampu menjungkirbalikkan hidupnya. Kita tunggu saja sebentar lagi, batin Dean dalam hati.

***

Beberapa hari kemudian.

Beralih ke tempat lain, lebih tepatnya di sebuah kedai makanan yang terletak di pinggir kota. Kedai itu terlihat ramai oleh pengunjung yang ingin menikmati makan malam. Tidak henti-hentinya tamu-tamu saling datang dan pergi secara bergantian.

Hazel mengusap peluhnya yang membasahi dahi. Sejak dua jam lalu dia belum sempat beristirahat karena harus melayani para pembeli sendirian. Hari ini teman kerjanya tidak masuk.

"Hazel... antarkan makanan ini ke meja nomor delapan," panggil si koki. Wanita paruh baya itu menyerahkan nampan berisi dua piring nasi goreng pada Hazel.

Hazel menurut. Dengan cekatan dia menghampiri meja itu lalu meletakkan piring di atas meja.

Setengah jam kemudian Hazel baru bisa beristirahat, dia duduk sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Kedua tangannya secara bergantian memijit kakinya yang terasa pegal.

"Kau disuruh menghadap ke ruangan bos," ucap koki tadi yang berdiri tidak jauh darinya.

Ekspresi wajah Hazel seketika berubah. Sedikit muram dan lesu. Kenapa tiba-tiba pemilik kedai mencarinya? Hazel bertanya di dalam hati.

"Apakah kau tahu alasan Bos memanggilku?"

Koki itu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Bos hanya menyuruhku memanggilmu untuk segera datang ke ruangannya."

Jantung Hazel berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia bergegas menuju ruangan bosnya, lalu berhenti tepat di depan pintu. Dia mengetuk pintu ruangan berukuran tiga kali tiga meter milik bosnya.

"Masuk ...." sahut si Bos dari dalam.

Hazel mendorong pintu di depannya, lalu segera menutupnya kembali. Dia berdiri tepat di depan bosnya seraya menunduk dalam. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan.

"Ambillah ini." Si bos mendorong sebuah amplop coklat ke arah Hazel.

Hazel mengangkat kepalanya. Dia menatap ke arah bosnya dengan sorot mata bingung. Hari ini bukan waktunya dia menerima gaji. Masih ada satu minggu tersisa sebelum itu terjadi.

"Apa itu, Bos?" tanya Hazel. Dia menelan ludahnya yang terasa pahit.

Hazel seolah mendapat firasat buruk. Melihat dari sikap bosnya yang aneh, dia merasa pantas untuk curiga. Dia berharap perkiraannya ini meleset, dan dia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun

"Ini adalah uang pesangon serta gajimu untuk bulan ini. Hari ini hari terakhir kau kerja di sini," ucap laki-laki itu, menghindari tatapan Hazel.

Hazel seolah didorong menuju bibir tebing yang curam. Lalu, dia perlahan jatuh ke bawah. Dia menatap tidak percaya pada si bos yang selama ini sudah dia anggap seperti keluarganya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba? Setidaknya Anda memberi tahuku alasan sebenarnya," desak Hazel.

"Tidak ada alasan. Aku hanya ingin kau berhenti kerja mulai sekarang," jawab si bos datar.

Mulut Hazel terbuka. Dia hendak melayangkan protes, tapi segera membatalkannya. Sepertinya percuma saja. Si bos tidak berani menatapnya.

"Terima kasih telah memberikan pekerjaan padaku selama ini. Selamat tinggal, Bos," ucap Hazel lalu meraih amplop coklat itu.

Melihat kondisinya yang setengah sadar, Hazel mengucap syukur karena telah berhasil sampai di depan tempat kosnya. Dia berjalan seperti orang linglung saat menaiki tangga menuju kamar kosnya yang berada di lantai dua gedung ini. Pikirannya berkecamuk, dia harus segera mencari pekerjaan kalau masih ingin bertahan hidup.

"Hazel ...." Panggil seseorang tepat sebelum dia membuka pintu kamarnya.

Hazel melongok ke bawah, mendapati induk semangnya menengadahkan kepalanya dan menatap dia lurus. Tidak seperti biasanya induk semangnya menemui dia selarut ini. Dia lalu buru-buru membuang jauh-jauh pikiran buruk yang sempat melintas di benaknya.

"Ya, Bu."

"Malam ini kau harus mengemasi semua barangmu. Besok ada orang lain yang akan menempati kamarmu," ucap wanita itu.

Wanita paruh baya itu tidak menunggu balasan Hazel. Dia langsung berbalik dan menghilang di tengah kegelapan. Dia seperti sedang terburu-buru atau dikejar setan.

Hazel masuk ke kamarnya. Tubuhnya merosot ke lantai. Air mata yang telah dia tahan sejak tadi akhirnya jebol juga. Dalam waktu berdekatan dia menerima pukulan bertubi-tubi. Dia merasa tidak mampu bertahan lagi.

Hazel menangis sesenggukan selama kurang lebih satu jam. Setelah merasa puas dan lega, dia memutuskan mengemas pakaian serta barang-barang miliknya. Dia tidak ingin terpuruk karena masalah yang tengah dia hadapi.

Terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang. Hazel melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Hazel mengerutkan keningnya. Siapa gerangan yang ingin mengunjungi dia selarut ini?

Hazel segera membuka pintu karena tidak ingin orang itu menunggu dia terlalu lama. Dia tercengang sejenak saat mendapati Dean tengah berdiri di depan pintunya dengan malas-malasan.

"Ada perlu apa kau datang ke sini?" tanya Hazel tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Ternyata kau sudah berkemas," ucap Dean tidak menjawab pertanyaan Hazel.

Dean melihat ke sekeliling kamar itu dengan tersenyum mengejek. Dia memandang Hazel dari atas ke bawah, lalu berhenti tepat di wajah gadis itu. Raut wajah Hazel menggambarkan kebingungan yang kentara.

"Kenapa kau datang ke mari?" desak Hazel. Dia tidak pernah menyangka Dean datang ke sini.

"Aku hanya ingin melihat apakah kau masih di sini atau sudah pergi. Rupanya kau belum meninggalkan tempat ini," jawab Dean ringan.

Hazel seolah mendapat petunjuk atas semua kejadian yang menimpa dia hari ini usai mendengar kata-kata Dean. Mulutnya menganga lebar. Matanya menatap tidak percaya ke arah Dean.

"Tunggu sebentar. " Hazel memicingkan matanya, memasang ekspresi curiga. "Apakah kau yang melakukan semua ini padaku?"

Dean tersenyum lebar. Dia mengangguk pelan. "Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan aku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status