02
Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu.
Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri.
Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK.
Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam.
Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK.
"Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya.
"Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari. "Abang lagi sibuk nggak?" tanyanya sembari duduk di kursi dekat meja besar.
"Lumayan. Kamu tunggu bentar. Aku beresin laporan dulu. Dikit lagi."
Jauhari mengangguk. Dia mengambil ponsel dari saku kemeja putihnya, lalu mengecek puluhan pesan masuk. Satu nama mengusik rasa penasaran dan Jauhari segera membukanya.
Avreen : Om, lagi ngapain?
Avreen : Om, aku ada ngirim pesan 15 menit yang lalu. Kok, belum dibalas?
Avreen : Om, beneran lagi sibuk, atau memang sengaja nyuekin aku?
Avreen : Om, ini sudah lewat dari setengah jam. Ngapain, sih?
Avreen : Astagfirullah. Ini orang, sibuk atau nggak punya paket data? Pesan sudah hampir 1 jam, masih belum dibalas juga!
Avreen : Hello, Om lesung pipi. Masih hidup, kan?
Avreen : Ish! Dahlah. Capek aku. Dari tadi dicuekin. Kayak ngomong sama tembok!
Jauhari tergelak hingga Wirya terkejut. Alih-alih menjelaskan penyebabnya tertawa, pria bercelana biru tua, justru mengencangkan tawanya, karena merasa lucu dengan pesan-pesan yang dikirimkan Avreen.
"Ri, cuci muka sana. Lalu, salat Duha. Biar setan yang nempel ke kamu itu hilang," seloroh Wirya.
"Sorry, Bang. Aku nggak bisa nahan ketawa. Avreen, lucu banget," terang Jauhari, sesaat setelah tawanya lenyap.
"Ponakan Pak Sultan?"
"Iya."
"Ehm, untung kamu nyebut namanya." Wirya mengambil ponselnya dari meja untuk mencari pesan yang dikirimkan Alvaro.
"Ada apa, Bang?"
"Komisaris bule, tadi nge-chat aku. Dia minta ada pengawal senior yang ngawal Avreen ke Australia, dua minggu lagi. Kamu aja yang berangkat, Ri."
"Duh! Yang lain aja, Bang."
"Sekalian kamu kontrol unit kita di sana."
"Banim sudah oke buat dilepas ngawal ke luar negeri."
"Dia dan teman-temannya masih junior. Mereka juga belum paham area. Ada apa-apa, yang repot kita juga. Kamu, kan, sudah cukup hafal wilayah sana. Aku bisa tenang, karena yakin Avreen akan aman bersamamu."
"Tapi, aku harus dinas ke Guangzhou."
"Biar Yusuf sama Harun yang berangkat ke sana. Kamu, fokus jaga Avreen."
"Bang, aku ...."
"Berani membantah, SP 1 keluar!"
Jauhari mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Siap," balasnya.
"Yang semangat, dong!"
"Siap, Komandan!"
"Mantap!"
"Abang tambah sadis. Apa-apa pasti ancamannya langsung SP."
"Daripada kita diomelin Pak Sultan, lebih baik aku bersikap tegas."
"Hmm, ya."
"Tadi, kamu mau ngomong apa?"
Jauhari tertegun sesaat. "Gara-gara SP, aku jadi lupa mau cerita apa."
"Lah!"
"Aku ingat-ingat dulu, Bang." Jauhari berdiri. "Nanti aku balik lagi kalau sudah ingat," tuturnya, sebelum memutar badan dan menjauh, dengan diiringi tatapan penuh tanya sang komandan.
***
Matahari pagi bergerak cepat menuju siang. Avreen tiba di rumah ibunya, sembari memegangi kipas angin elektrik yang menghadap ke leher.
Gadis berkulit putih tersebut bergegas menuju dapur untuk membuka kulkas dua pintu. Avreen mengamati deretan botol plastik dan minuman kaleng yang berderet rapi di pintu kiri. Kemudian dia mengambil dua botol teh, sebelum menutup pintu lemari pendingin.
"Jangan minum air dingin terus, Reen," tukas Winarti yang baru keluar dari kamar utama di dekat ruang tengah.
"Haus dan panas, Bu," kilah Avreen sembari membuka tutup botol. Semenjak kecil, Avreen dan kedua saudaranya sudah terbiasa memanggil Winarti dengan sebutan Ibu.
"Minum air biasa dulu. Baru yang dingin."
Avreen tidak menyahut karena sedang sibuk meneguk minumannya. Kala melihat Nuriel memasuki ruang tengah, Avreen mengangkat botol kedua sebagai tanda bila dirinya telah menyiapkan minuman buat sang ajudan.
"Aku mau bikin teh anget aja, Non," ungkap Nuriel, sebelum merunduk untuk menyalami Winarti dengan takzim.
"Tumben?" tanya Avreen sambil meletakkan botol ke meja pantry.
"Tiga hari kemarin aku minum yang dingin-dingin terus. Leherku sakit," papar Nuriel sembari berpindah ke sisi kanan pantry.
"Tuh, kan. Apa Ibu bilang," sela Winarti sambil menyambangi Nuriel. "Ada lemon tea di laci. Itu pas buat sakit tenggorokan," bebernya.
Nuriel mengangguk patuh. Dia mengambil benda yang dimaksud dan segera membuat minuman hangat.
"Bang, aku mau juga," pinta Avreen yang telah berpindah duduk ke kursi tinggi.
"Bikin sendiri. Nggak boleh nyuruh orang yang lebih tua!" tegas Winarti yang menjadikan Avreen meringis, sedangkan Nuriel mengulum senyuman.
Sultan dan Winarti melatih orang seisi rumah untuk mandiri. Keduanya juga mewajibkan sopan santun diterapkan pada orang yang lebih tua. Meskipun status mereka adalah pegawai.
Bukan hanya pada Avreen, Pakde dan budenya itu juga menerapkan hal yang sama pada anak-anak serta keponakan mereka. Terutama pada semua cucu, yang diharapkan menjadi penerus kesantunan keluarga Pramudya.
"Reen, berangkat ke Australia, jadinya tanggal berapa?" tanya Winarti sembari mengecek stok minuman di kulkas.
"Berangkatnya tanggal 1 Juli. Sore, Bu," terang Avreen.
"Pengawal senior yang ikut, siapa?"
Avreen beralih memandangi Nuriel. "Bang, siapa?" tanyanya.
"Bang Ari," sahut Nuriel sambil berpindah duduk ke kursi ujung kanan.
"Ihh! Aku nggak mau dikawal Om itu," rajuk Avreen.
"Beliau pengawas pasukan Pramudya, Non. Jelas Bang Ari yang harus berangkat," jelas Nuriel.
"Masa kamu manggil Ari dengan Om?" desak Winarti yang telah berdiri dan berganti mengecek buku catatannya.
"Memang sudah om-om, kan, Bu," sanggah Avreen.
"Ari itu masih muda. Cuma beda dua tahun di bawah Marley dan Prabu. Lebih tua setahun dari Panglima sama Mahapatih."
"Dia masang tampang serius terus. Jadi kayak tua."
"Ya, memang harus begitu, toh. Moso', dia cengengesan terus? Namanya juga lagi kerja." Winarti mengamati sang keponakan yang wajahnya mirip paras adik bungsunya waktu masih muda dulu. "Ari itu cakep. Lesung pipinya itu. Gemas Ibu," lanjutnya yang menyebabkan Nuriel dan Avreen tersenyum.
"Dia memang cakep, tapi aku lebih suka yang model Bang Hisyam. Manis, tinggi dan gagah. Atau, kayak Bang Zulfi dan Bang Yoga. Lumayan tinggi dan mature. Om Ari, pendek."
Gelakak Nuriel mengejutkan kedua perempuan tersebut. Sebelum akhirnya Winarti turut terkekeh, sedangkan Avreen mengulum senyuman.
107Ruang tunggu khusus penumpang pesawat pribadi atau carteran, sore itu tampak ramai orang dengan berbagai tampilan. Sebab rombongan yang akan berangkat sangat banyak, membuat para ketua rombongan membedakan warna baju setiap kelompok.Tim Eropa yang dipimpin Carlos, mengenakan kemeja putih dan celana biru. Tim Kanada yang dipimpin Harun, memakai kemeja biru muda dan celana hitam. Sedangkan tim Australia yang dipimpin Nadhif, menggunakan kemeja hijau dan celana krem. Keluarga puluhan pengawal muda, terlihat lebih sedih dibandingkan pengantar lainnya. Sebab anak-anak mereka yang berangkat itu semuanya berusia di bawah 24 tahun, dan baru pertama kali bertugas ke luar negeri. Hal berbeda dilakukan keluarga pengawal lama, yang sudah lebih kuat hatinya ditinggal anak untuk berdinas. Para orang tua tersebut tampak ceria dan saling bercengkerama, karena sudah cukup akrab. Menjelang keberangkatan, para manajer dan staf masing-masing kelompok, dipanggil Wirya untuk berkumpul di sudut kan
106Pagi menjelang siang, Ishwar dan keluarganya tiba di kediaman Jauhari. Tidak berselang lama, Mediawan dan Lituhayu beserta keluarga Pramudya, juga turut hadir. Jalan blok depan rumah Jauhari seketika dipenuhi banyak mobil mewah. Beberapa ajudan muda akhirnya memindahkan mobil-mobil ke blok belakang yang masih kosong. Jauhari meringis ketika mendengar percakapan Tio, Mediawan, Sultan, dan Marley, yang tengah membahas rencana renovasi rumah. Jauhari bingung, bagaimana caranya untuk menyampaikan keberatannya pada keluarga Avreen. Selain karena sungkan, Jauhari juga tidak mau menyinggung perasaan mereka yang berniat membantu. Kala Alvaro datang bersama keenam sahabatnya, Jauhari menarik tangan Alvaro dan Wirya, untuk memasuki kamar utama. Jauhari bahkan sampai mengunci pintu, supaya tidak ada yang menerobos. Jauhari duduk di kursi dekat meja rias. Dia menyampaikan kegundagannya tentang percakapan Sultan dan yang lainnya. Alih-alih langsung menjawab, Alvaro dan Wirya justru tersen
105*Grup PBK New Original*Alvaro : Tes. Tes. Zulfi : Naha' bikin grup PBK New deui? Alvaro : Yang ini khusus kita bertujuh belas. Wirya : Aku baru mau ngusulin bikin grup khusus begini. Biar lebih enak ngobrolnya, dan nggak terlalu rame. Yoga : Yoih. Supaya lebih terkontrol. Yanuar : Mataku siwer. Huruf R, nggak kelihatan. Jadi terk-on-tol.Andri : Kumat! Haryono : Sipitih, Mesum! Jauhari : Bang Yan! Yusuf : Baru juga buka grup, sudah ngakak aku. Hisyam : Aku sampai baca ulang. Takut salah. Qadry : Maafkan Abang iparku, Teman-teman. Chairil : Nasibmu, @Qadry. Jeffrey : Aku lagi minum, sampai nyembur lihat komenan Bang Yan. Aditya : Bang Yan menodai mataku. Nanang : Merampas kesucianku. Fawwaz : Merenggut masa mudaku. Ibrahim : Menggelapkan duniaku. Yanuar : Kalian lebay! Alvaro : Elu duluan yang mulai, @Yanuar. Zulfi : Ho oh. Kita lagi mau mulai obrolan serius, jadi buyar pikiranku. Wirya : Stop dulu rapat kerjaan, capek otakku. Andri ; Iya, ihh. Aku lagi pengen
104Hari berganti. Senin pagi, Jauhari telah berada di ruang rapat lantai lima kantor PBK. Dia dan teman-temannya memfokuskan pandangan ke depan, di mana Wirya tengah mengumumkan nama para pengawal muda, yang harus bersiap-siap dikirim ke luar negeri. Semua orang bersuit kala nama Riaz disebut Wirya, dalam tim yang akan diberangkatkan ke London, awal tahun depan. Jauhari dan teman-temannya sudah menduga, jika Riaz-lah yang akan dipersiapkan untuk menggantikan Lazuardi, untuk menangani area Eropa.Jauhari dan rekan-rekannya tidak mempermasalahkan jika karier Riaz lebih melesat dibandingkan angkatan lama. Sebab mereka tahu, Riaz telah digembleng keras oleh Alvaro, Wirya dan Zulfi. Selain itu, para pengawal lapis tiga hingga sepuluh, mengakui kemampuan Adik Zulfi tersebut, dalam memimpin pasukan besar. Setelah Riaz dan rekan-rekan satu tim-nya kembali duduk di tempat semula, Wirya beralih mengumumkan kelompok pengawal muda yang akan dikirim ke Kanada, awal Januari tahun depan. "Untuk
103Jamuan makan malam di restoran milik Hadrian di kawasan Lebak Bulus, berlangsung meriah. Selain tim PBK, kelompok Rupert, tim Spanyol, Australia, Kanada, Eropa, dan Taiwan juga berada di sana. Seusai bersantap, Jauhari mengajak Avreen ke panggung kecil yang telah disiapkan panitia. Keduanya berbisik-bisik, kemudian mereka mengarahkan pandangan ke depan. "Silakan dilanjutkan makannya. Kami hanya ingin mendongeng sedikit," tutur Jauhari memulai pidatonya. "Aku dan Avreen, ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, yang telah membantu menyukseskan acara pernikahan kami," ungkap Jauhari. "Dimulai dari acara lamaran yang tidak bisa kuhadiri karena masih terkurung di dalam jeruji. Acara pengajian, siraman, akad, pesta pertama hingga pesta kedua," cakap Jauhari. "Aku tahu, miliaran ucapan terima kasih dari kami, tidak akan cukup untuk membalas kerja keras kalian," tukas Avreen. "Sebab itu, aku dan Abang, hanya bisa berdoa supaya kalian selalu sehat, berl
102 Jumat pagi, Jauhari dan Avreen berpamitan pada kedua orang tua dan keluarga lainnya. Kemudian pasangan tersebut menaiki mobil MPV hitam, yang segera melaju menjauhi kediaman Ishwar. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Avreen sibuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya di grup pesan alumni kampus. Setelahnya, Avreen beralih untuk berbincang dengan karyawan ZAMRUD kantor Jakarta, tempat yang tengah dituju perempuan tersebut. Puluhan menit berlalu, Jauhari menghentikan kendaraan di depan gedung belasan lantai. Dia dan Avreen turun, lalu mereka jalan menuju lobi utama. Sapaan para pegawai dibalas keduanya dengan ramah. Kemudian mereka menaiki lift untuk mencapai lantai 3, di mana kantor PBK berada. Teriakan rekan-rekan Jauhari menyambut kedatangan pasangan pengantin baru tersebut, yang membalas dengan senyuman. Mereka menyalami tim lapis empat hingga tujuh, yang menempati deretan kubikel di sisi kanan bangunan. Jauhari dan Avreen meneruskan langkah menuju ruangan luas di sisi ki