01
"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka.
"Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om.
"Udah, deh. Sampai sini aja."
"Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."
Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya.
"Enggak."
Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!"
"Diledekin gimana?"
"Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby."
Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area.
"Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?" tanya Jauhari Devanka, pengawal lapis tiga PBK.
"Badut?" Avreen balas bertanya dengan lugu.
Jauhari menunduk untuk menyembunyikan senyumannya. "Ya, semacam itulah," jawabnya sambil menengadah, seusai menenangkan diri.
Avreen mengalihkan pandangan pada teman-temannya yang tampak sangat tertarik mengamati mereka. "Pokoknya Om tunggu di sini. Kalau nggak, aku nangis."
Jauhari berdecih pelan. Dia tahu itu senjata pamungkas putri kedua Mediawan Gahyaka, pengusaha senior yang merupakan Adik ipar Winarti Pramudya.
Jauhari akhirnya membiarkan Avreen melenggang menjauh. Dia mengamati sekitar sebelum berbalik untuk bergabung dengan Nuriel, ajudan pribadi Avreen.
"Om," ledek Nuriel seraya mengulaskan senyuman.
"Hmm. Apa aku kelihatan tua banget?" tanya Jauhari sambil memindai sekeliling.
"Abang sering pakai baju formal kayak gini. Jadi kalau dibandingkan dengan Non Avreen, memang kayak jauh lebih tua."
"Apa aku kerja pakai kaus ketat aja, ya?"
Nuriel kembali tersenyum. "Paling dipelototin Pak Sultan, atau dipandangi tajam sama Komandan Varo."
"Aku kontrol ke tempat Pak Sultan cuma dua kali seminggu. Mungkin bisa pakai kaus. Sekali-sekali aku tampil non formal."
"Aku juga ikut, ahh."
"Kamu wakil ketua regu, harus ngasih contoh yang benar."
"Ya, ampun, Bang! Capek aku berbaju formal terus.'
"Jangan banyak ngeluh. Entar posisimu kuganti."
Nuriel meringis, kemudian memandangi saat pria yang lebih tua tersebut mengayunkan tungkai menjauh. Nuriel mengagumi sosok Jauhari. Selain bertugas sebagai pengawas pasukan pengawal keluarga Pramudya, Jauhari juga memegang posisi yang sama di beberapa perusahaan besar lainnya.
Bagi Nuriel dan rekan-rekannya di angkatan ke-15, Jauhari merupakan salah satu panutan. Usianya baru 30 tahun, tetapi dia sanggup menangani banyak pekerjaan sekaligus.
Selain menjadi pengawas, Jauhari juga menjabat sebagai asisten direktur utama PBK, yakni perusahaan jasa keamanan milik keluarga Pramudya, Baltissen dan Kaisar. Selain itu, Jauhari juga menjabat sebagai direktur EMERALD, perusahaan baru bentukan Alvaro dan Wirya.
Jauhari mengitari area sambil sekali-sekali melirik Avreen yang sedang mengerumuni rekannya, Tamara yang tengah berulang tahun ke-20.
Jauhari terkadang bingung dengan gaya hidup teman-teman Avreen, yang seolah-olah memaksakan terlihat mewah, padahal kekayaan orang tuanya tidak seberapa.
Pria berkulit kuning langsat, teringat sosok Mayuree Fitriachara dan Malanaya Batari Pramudya, Kakak sepupu Avreen. Keduanya tetap bergaya sederhana, padahal keluarga mereka merupakan salah satu konglomerat di Indonesia.
Jauhari mengerjap-ngerjapkan mata ketika teriakan terdengar dari area depan, karena Tamara tengah menyuapi seorang pria berparas manis, yang membalas dengan mengecup kedua pipi sang gadis.
Jauhari menggeleng. Dia masih tidak paham doktrin seperti apa yang diterapkan para orang tua kelompok itu, sehingga mereka dengan santainya berani menunjukkan kemesraan di depan umum.
Belasan menit berlalu, Jauhari tengah menikmati makanan ketika mendengar perdebatan antara Avreen, dengan seorang pria muda yang dikenalinya sebagai Ernest Rashaun, mantan kekasih sang nona.
Jauhari memberi kode pada Nuriel, dan juniornya segera mendatangi Avreen serta Ernest, untuk melerai keduanya. Namun,
pertengkaran itu tetap tidak berhenti dan justru kian sengit.
Jauhari mendengkus kuat sebelum meletakkan piring ke meja khusus, lalu menghabiskan minumannya. Jauhari bergegas mendatangi dan berdiri di antara keduanya. Dia beradu pandang dengan sepasang mata sipit milik Ernest yang menatapnya tajam.
"Minggir!" desis lelaki berkemeja cokelat pas badan.
"Masih belum selesai berdebatnya?" tanya Jauhari.
"Ini bukan urusanmu!" bentak Ernest.
"Sopan sedikit kalau bicara. Saya lebih tua darimu. Setidaknya pakai basa-basi Abang atau Mas."
Ernest berdecih. "Panggilan sopan hanya untuk orang yang sepantar. Nggak cocok buatmu yang pegawai!"
"Lebih baik pekerja, daripada kayak kamu, yang tahunya nadah ke orang tua. Apa yang kamu hasilkan setelah lulus kuliah hampir 2 tahun? Nothing!"
Ernest membeliakkan mata. Dia kesal karena pengawal Avreen tersebut menjadi satu-satunya orang yang berani menghinanya di depan umum.
Ernest mengangkat dagu tinggi-tinggi agar bisa memandangi pria bersetelan jas biru lebih jelas. Perbedaan tinggi badan dan bentuk tubuh keduanya, membuat Ernest kian geram karena Jauhari lebih tinggi dibandingkan dirinya.
"Mari, Non, kita pulang," ajak Jauhari tanpa menoleh ke belakang.
"Urusan kita belum selesai, Reen!" seru Ernest sambil mengalihkan pandangan pada Avreen.
"Bagiku sudah!" ketus Avreen sembari menyelipkan tangan kiri ke lengan Jauhari "Yuk, Bang," rengeknya sambil menarik lelaki yang masih terkejut dipanggil Abang.
Avreen jalan tergesa-gesa untuk menyejajarkan langkahnya dengan Jauhari. Sedangkan Nuriel mengekori keduanya sambil memerhatikan sekeliling.
Ernest yang tersinggung karena ditinggal, segera mengejar dengan diikuti kedua sahabatnya. Sesampainya di tempat parkir, Ernest berhasil mendahului dan merentangkan kedua tangannya, hingga Jauhari serta Avreen terpaksa berhenti melangkah.
Nuriel berbalik dan beradu punggung dengan seniornya, sembari memandangi kedua lelaki muda yang sama sombongnya dengan Ernest.
"Non, silakan langsung memasuki mobil. Saya menyusul," ujar Jauhari sembari mendorong pelan Avreen hingga bergeser menjauh. "Non, masuklah," pintanya saat gadis berhidung bangir tersebut justru bergeming. "Non!" tegasnya yang menyebabkan Avreen terkesiap dan segera mengerjakan perintahnya.
Ernest melirik sang mantan kekasih, kemudian hendak menghampiri Avreen. Namun, Jauhari lebih dahulu menghalangi jalannya sembari memasang ekspresi serius.
"Kamu harus bisa memahami bahasa Indonesia. Dia bilang, urusan kalian sudah selesai. Jangan memaksa!" desis Jauhari. Dia memutuskan menggunakan kekuatan mengintimidasi, karena lawannya sangat keras kepala.
"Kamu jangan sok ngatur-ngatur. Ingat, kamu itu pegawai!" geram Ernest.
"Ya, pegawai Pak Sultan, bukan pegawai bapakmu!"
"Papaku bisa mengerahkan orang buat menyingkirkanmu!"
"Lakukan saja. Saya pengen lihat kemampuan seorang pensiunan polisi yang nggak bisa mendidik anaknya untuk lebih sopan!" Jauhari tersenyum miring untuk meledek lawannya.
"Atau mungkin waktu bikin kamu itu nggak pakai doa. Jadi anaknya ndableg gini. Nggak punya kuasa, masih numpang ke orang tua, sok dan sombong lagi. Ingat, ayahmu sudah pensiun. Kekuasaannya terbatas, beda sama pejabat aktif!" cibir Jauhari.
Ernest memelototi Jauhari yang tetap mempertahankan senyuman mengejek. Dia ingin menyanggah, tetapi kehabisan kata-kata. Pria berambut belah tengah, memandangi saat Jauhari menepuk pundak Nuriel, kemudian mereka memasuki bagian depan mobil MPV hitam.
Ernest menyingkir ke pinggir ketika mobil itu mundur dan memutar, kemudian menjauh. Dia menendang angin karena kesal, sambil berpikir mencari cara membalas hinaan Jauhari.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Sultan Pramudya, ketiga orang di mobil itu kompak diam. Avreen melipat tangan di depan dada sambil menyandar ke belakang. Tatapannya diarahkan ke deretan gedung tinggi di kiri jalan.
Ingatan gadis berbibir penuh, mengembara ke masa-masa dirinya terpesona pada Ernest, sebelum akhirnya menyadari bila dia hanya menjadi korban hasil taruhan para pria muda pengangguran.
Jauhari yang duduk di kursi samping sopir, memfokuskan pandangan ke depan. Dia memikirkan ancaman Ernest dan berencana membicarakan hal itu pada Wirya Arudji Kartawinata, direktur utama PBK. Jauhari tahu, bisa saja itu cuma gertakan kosong, tetapi dia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Jauhari memejamkan mata dan mengurut area tengah dahi. Dia kelelahan setelah bersiaga hampir dua puluh empat jam. Pria berhidung bangir memutuskan untuk libur selama tiga hari ke depan, dan pulang ke rumah orang tuanya.
"Riel, aku mau cuti dari semua unit. Kalau ada apa-apa, kamu hubungi Qadry atau Jeffrey," cetus Jauhari sambil membuka mata.
"Ya, Bang," sahut Nuriel. "Berapa hari off-nya?" tanyanya.
"Tiga hari."
"Pulang nanti, langsung ke unitku?"
"Kayaknya nggak. Nanti jadwalku ke unit lain."
Setibanya di tempat tujuan, Avreen turun seusai dibukakan pintu oleh Jauhari. Mereka jalan berdampingan menuju ruang tamu. Pria berambut tebal tersebut melaporkan pada Sultan bahwa pekerjaannya telah usai, sekaligus menerangkan jika dirinya akan off selama beberapa hari ke depan.
Sekian menit berikutnya, Avreen memandangi pria berlesung pipi, yang sedang berbincang dengan kelima pengawal keluarga Pramudya, di dekat pagar. Dia terus mengawasi, hingga Jauhari memasuki mobil MPV hitam, yang segera menjauh.
Avreen membatin, bila dirinya harus mengucapkan terima kasih pada Jauhari, karena pria tersebut telah membelanya di depan Ernest. Avreen mengingat-ingat untuk menghubungi Jauhari esok hari. Kemudian dia berbalik dan melenggang menuju ruang tengah.
102 Jumat pagi, Jauhari dan Avreen berpamitan pada kedua orang tua dan keluarga lainnya. Kemudian pasangan tersebut menaiki mobil MPV hitam, yang segera melaju menjauhi kediaman Ishwar. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Avreen sibuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya di grup pesan alumni kampus. Setelahnya, Avreen beralih untuk berbincang dengan karyawan ZAMRUD kantor Jakarta, tempat yang tengah dituju perempuan tersebut. Puluhan menit berlalu, Jauhari menghentikan kendaraan di depan gedung belasan lantai. Dia dan Avreen turun, lalu mereka jalan menuju lobi utama. Sapaan para pegawai dibalas keduanya dengan ramah. Kemudian mereka menaiki lift untuk mencapai lantai 3, di mana kantor PBK berada. Teriakan rekan-rekan Jauhari menyambut kedatangan pasangan pengantin baru tersebut, yang membalas dengan senyuman. Mereka menyalami tim lapis empat hingga tujuh, yang menempati deretan kubikel di sisi kanan bangunan. Jauhari dan Avreen meneruskan langkah menuju ruangan luas di sisi ki
101Jalinan waktu terus bergulir. Rombongan pengantin baru telah sampai ke Jakarta, Rabu sore. Mereka berpencar untuk menaiki bus dan belasan mobil MPV, yang telah datang untuk menjemput. Avreen menaiki mobil Jauhari, bersama keluarga barunya. Jariz yang menggantikan posisi sopir kantor yang tadi menjemput, menunggu mobil terdepan bergerak terlebih dahulu, kemudian Jariz menyusul.Satu per satu kendaraan itu melaju meninggalkan area bandara. Para sopir tetap mempertahankan posisi masing-masing, agar konvoi tetap tertib. Puluhan menit terlewati, Jariz menekan klakson sebagai tanda berpamitan. Sebab mobil itu dan ketiga mobil di belakang hendak memisahkan diri menuju Bekasi. Pujiyanti menelepon asisten rumah dan memintanya menyiapkan minuman dingin untuk puluhan orang. Kemudian Pujiyanti beralih menghubungi sahabatnya, yang telah menunggu di rumah. Semburat jingga telah menggelap, ketika keempat mobil MPV tiba di depan halaman rumah dua lantai ber-cat gading. Semua penumpang turun.
100Ballroom hotel BPAGK di pusat Kota Malang, Minggu siang itu terlihat ramai. Dekorasi indah bernuansa ungu dan sliver, menjadikan banyak orang terpukau. Fikri dan Rinjani kembali berduet menjadi MC. Keduanya menyebutkan banyak pejabat dan pengusaha di seputar Kota Malang, yang diundang dalam acara tersebut. Petugas khusus berseragam jas abu-abu, mengitari area dan membagikan buku kecil, yang berisikan nama-nama perusahaan bentukan bos PG dan PC. Sekaligus dengan nama semua komisarisnya. Pada acara kuis nanti, pertanyaannya adalah seputar itu. Sebab tidak semua tamu mengetahui nama perusahaan dan para komisaris, tim panitia sengaja membuat kamus kecil tersebut. Hampir 30 menit berselang, perhatian seluruh hadirin mengarah ke pintu utama. Lima bocah laki-laki yang mengenakan tuksedo hitam, dan lima gadis kecil bergaun ungu muda, muncul sambil memegangi keranjang kecil. Arjuna yang menjadi ketua kelonpok bocah, menunggu kode dari Urfan yang menjadi ketua ring tiga. Kemudian Arjuna
99Pesawat carteran yang disewa Tio, tiba di bandara Kota Malang, sore waktu setempat. Aswin yang menjadi ketua rombongan, menjadi orang pertama yang turun dari pesawat. Kedua puluh pengawal muda mengikuti langkah Aswjn menuruni tangga hingga tiba di jalan. Mereka membantu petugas yang tengah mengeluarkan bagasi, dan menyusunnya di mobil khusus. Jaka, Fajar, Salman dan Satrio, mengatur anggota rombongan yang hendak keluar. Sedangkan Hisyam dan rekan-rekannya memastikan tidak ada barang yang tertinggal di semua bagasi kabin. Setelah semua penumpang turun, barulah tim Hisyam keluar dari pesawat. Mereka jalan cepat mengikuti langkah orang-orang yang tengah bergerak ke ruang tunggu. Puluhan menit terlewati, rombongan itu telah berada di beberapa bus dari hotel BPAGK, yang akan menjadi tempat resepsi ngunduh mantu, sekaligus tempat menginap para tamu. Akan tetapi, khusus keluarga Gahyaka dan Pramudya, tidak ikut menginap di hotel. Mereka akan menempati kediaman masing-masing, hingga w
98Pasangan pengantin baru, memasuki restoran yang tengah ramai orang. Wajah keduanya yang semringah, menimbulkan senyuman dari orang-orang yang memahami arti senyuman itu. Jauhari mengajak Avreen ke meja besar yang ditempati keluarga mereka. Jauhari membantu Avreen duduk di kursi antara Mayuree dan Liana. Kemudian dia memutari meja dan duduk di dekat Alvaro serta Yanuar. Pria berparas blasteran menyenggol lengan kiri Jauhari yang tengah mengaduk kopinya. Mereka berbisik-bisik, kemudian Alvaro terkekeh dan mengejutkan yang lainnya. Yanuar dan Marley menggeser kursi mereka mendekati Alvaro serta Jauhari. Yanuar mendesak sang pengantin baru yang hanya cengengesan. "Kamu bikin aku penasaran, Ri," keluh Yanuar. "Nanti kuceritain, Bang. Sekarang, aku mau makan dulu. Lapar," jelas Jauhari. "Pasti ngomongin malam pertama," ledek Marley dengan suara pelan agar tidak terdengar yang lainnya. "Enggak, Mas," kilah Jauhari. "Pipimu blushing." Marley menepuk pelan lengan kanan iparnya. "Nga
97Malam kian larut. Perhelatan akbar usai beberapa saat setelah jam 10. Semua tamu telah pergi. Sementara tim panitia dan keluarga pengantin sudah beristirahat di kamar masing-masing di hotel Janitra. Jauhari dan Avreen baru selesai salat Isya berjemaah, yang dilanjutkan dengan salat sunnah. Jauhari masih duduk bersila di sajadah, sedangkan Avreen bergegas bangkit dan jalan ke pintu. Perempuan bergaun tidur biru, membuka pintu depan president suite. Avreen mengulaskan senyuman, lalu menarik pintu agar terbuka lebih lebar, supaya petugas bisa masuk sambil mendorong troli penuh makanan. Tidak berselang lama, pasangan tersebut telah berada di sofa depan televisi. Avreen sibuk mengunyah potongan kue pengantin, sementara Jauhari menghabiskan dua porsi puding. Tiba-tiba Jauhari tersedak, seusai membaca pesan di grup petinggi PBK new. Dia cepat-cepat mengambil gelas dari meja, dan meneguk minumannya hingga habis. "Kenapa?" tanya Avreen. "Aku diledekin para Abang di grup," jelas Jauhar
96Anjani meneriakjan slogan PBK yang dibalas teman-temannya dengan semangat. Kemudian Anjani mengibarkan bendera berlogo PBK, sebelum bersiap-siap untuk turun. Satu per satu orang turun dari formasi. Kemudian mereka berpindah ke dekat dinding, sambil menunggu tim lainnya muncul. Musik berubah menjadi lagu khas Jawa. Para penari muncul dengan menggunakan kostum berwarna-warni dan dilengkapi dengan selendang. Zivara dan Cyra memimpin di depan. Sementara Edelweiss, Irshava, Fairish dan Malanaya di belakang. Mereka menampilkan tarian khas Jawa dengan gemulai. Lalu perlahan berubah cepat seiring dengan musik yang temponya bertambah. Kelompok pendekar perempuan bergabung dengan rekan-rekan penari. Hadirin bersorak ketika belasan perempuan tersebut berganti menampilkan gerakan silat Jaipong, sambil berpindah posisi ke belakang. Kedelapan pendekar bergeser ke tengah-tengah panggung. Penonton memekik, kala Delany, Sabrina, Kyle dan Laura melakukan salto menyilang. Disusul oleh Wirya, Zul
95Ruang ballroom hotel Janitra di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, malam itu tampak ramai orang. Namun, nyaris tidak ada yang berbincang. Sebab perhatian mereka tertuju pada video pre wedding yang ditayangkan menggunakan proyektor, dan dipantulkan pada dinding bercat hitam di sisi kanan ruangan. Jauhari mengerjap-ngerjapkan matanya, kala melihat potongan video, ketika dirinya memasuki sel khusus di kantor polisi pusat Kota Sydney, untuk pertama kalinya. Berbagai aktivitas sehari-hari yang dilakukan Jauhari bersama Harzan, Chalid, Irham dan Nuriel, tergambar jelas dalam video itu. Jauhari menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, ketika video berganti menjadi saat pembacaan vonis hukuman buatnya di pengadilan negeri Kota Sydney. Pria bertuksedo silver tersebut, masih mengingat jelas momen itu. Sentuhan di tangannya menyebabkan Jauhari menoleh ke kiri. Senyuman Avreen dibalas Jauhari dengan hal serupa. Kemudian mereka kembali mengarahkan pandangan ke dinding untuk
94*Grup Iring-iringan Pengantin* Yanuar : Gaes, sudah jalan? Zulfi : Yes. Sedang menuju gerbang kompleks utama. Alvaro : @Zulfi, Wirya ke mana? Zulfi : Dia ikut rombongan motor besar. Dibonceng Hisyam. Alvaro : Banyakkah yang pakai motor?Zulfi : Ya, sekitar 30-an motor. Alvaro : Berarti orangnya 60.Zulfi : Enggak. Yang boncengan cuma Wirya, Hisyam, Zein, Rupert, Dedi, Harwill, Rangga, Cayden, Aditya, Geoff, Harper, Harun, Gilbert, Beni, Paul, Nanang, dan tim Spanyol. Bos PG bawa motor sendirian. Yanuar : @Bakti, siapkan area khusus motor. Bakti : Siap, Komandan! Alvaro : Aku nelepon Yusuf, nggak diangkat. Yoga : Yusuf lagi jadi sopir mobil pengantin. Alvaro : Bukannya itu tugas Yono? Andri : Dia lagi sakit perut. Mobilnya jadi penutup konvoi. Haikal : Yono pasti sakit perut gara-gara sambal bakso kemarin malam. Aswin : Yups. Isi mangkuknya, cabe semua. Mardi : Aku lihat kuahnya, merinding. Jaka : Aku sempat nyobain. Sudahlah pedas, asem pula. Hamid : Yono lagi ngid