03
Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan.
Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang.
Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok.
Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang.
Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar.
Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua kamar itu dibongkar dan disatukan menjadi ruangan bermain.
Avreen yang tinggal di rumah itu sejak 3 tahun lalu, menempati kamar bekas Malanaya, yang ukurannya lebih besar dari dua kamar di depan.
Avreen pindah ke Jakarta untuk menempuh kuliah sarjana di universitas yang sama dengan para Kakak sepupunya. Winarti yang meminta Avreen untuk menetap di rumahnya, untuk menemani istri Sultan Pramudya tersebut.
Semenjak keempat anaknya menikah dan menempati rumah masing-masing, hanya Panglima Labdajaya yang menemani Ayah dan ibunya di rumah besar.
Panglima adalah putra satu-satunya dari Maharani, Adik bungsu Sultan, yang menetap di Bengkulu. Sementara Prabu Lintang Jagad dan Mahapatih Jayantaka, merupakan anak dari Adik Sultan, yakni Raja Pramudya, yang menetap di Malang, kota kelahiran Sultan.
Prabu tinggal di seberang kediaman Sultan. Rumahnya berderet dengan rumah Marley, mess pengawal dan rumah Alvaro. Sedangkan Tio tinggal di kompleks yang sama dengan Wirya, hanya berbeda cluster.
Jauhari dan teman-temannya juga memiliki rumah di kompleks terdekat dengan kediaman Wirya. Tio dan rekan-rekannya dari tim PG, telah membangun kompleks kuldesak dengan berbagai tipe, yang diberi nama cluster 7.
Rumah Jauhari merupakan tipe 56 dan berderet dengan rumah Hisyam, Yusuf, Aditya, Dimas dan Syuja. Deretan belakang telah dibeli Alvaro sepenuhnya. Dia sengaja memborong, agar keenam bangunan itu tidak dimiliki orang di luar PBK.
Cluster itu hanya berbatasan tembok dengan cluster 5, di mana Wirya dan rekan-rekannya menetap. Mereka mendapat izin dari pihak pengelola, untuk membuat gerbang penghubung dua cluster, supaya lebih mudah berkumpul dengan para pengawal muda dan teman-teman anggota PG, serta PC dan PCD, yang tinggal di cluster 7.
Avreen menuruni tangga sambil bersenandung. Tiba di lantai bawah, dia berbalik dan spontan menjerit, karena dikageti oleh Marley. Avreen memukuli Kakak sepupunya, yang justru terus memancing agar gadis tersebut mengeluarkan jurus karate secara penuh.
"Yama zuki. Mae geri dan mawashi geri!" seru Marley sembari menangkis serangan Avreen. "Yang kuat, Dek. Masih lemah ini!" pekiknya sambil bergerak mundur.
Winarti yang menyaksikan hal itu, hanya bisa menggeleng pelan. Meskipun sudah terbiasa rumahnya dijadikan tempat latihan bela diri oleh semua anak, menantu dan para pengawal, tetap saja Winarti terkaget-kaget.
Ketika Avreen terjatuh, Winarti nyaris memekik. Dia khawatir gadis itu terluka. Namun, Avreen segera bangkit dan kembali menyerang kakaknya dengan semangat.
"Kalau lagi lowong, berlatih sama Nuriel," cakap Marley, sesaat setelah berhenti berkelahi pura-pura. "Pukulan dan tendanganmu masih lemah. Nanti lawanmu nggak berasa sakit," lanjutnya sembari menarik tangan sang adik, untuk duduk di sofa ruang tengah.
"Bang Nuriel nggak berani ngelatih aku," terang Avreen sambil mengatur napasnya yang memburu.
"Kenapa?" tanya Marley.
"Dia pernah ninju lenganku dan sakit banget. Aku nangis. Dia panik."
Marley melengos. "Namanya lagi berlatih, jangan nangis."
"Sakit, Mas."
"Kalau latihannya pura-pura, pas berantem beneran kamu akan tetap lemah."
Avreen meringis. "Aku memang nggak segahar Kak Liana, Kak May dan Kak Mala, atau Kak Dinda. Hatiku lembut bak sponge cake."
"Kamu nyebut itu, aku jadi pengen." Marley mengambil ponsel dari meja. "Mau pesan, nggak?" tanyanya sambil mengutak-atik layar ponsel.
"Aku mau red velvet."
"Oke." Marley menengadah untuk menatap Winarti. "Ibu mau?" tanyanya.
"Kamu pesan dari toko siapa?" Winarti balik bertanya.
"Falea. Dia buka cabang baru di dekat POMAD," jelas Marley.
"Ada bikang atau ketupat ebi?"
Marley mengecek daftar menu. "Talam ebi, sisa 10. Bikang, ada 8."
"Beli semua. Sama pie, yang besar. Dua pack."
"Ada lagi?"
"Aku juga mau caikue," sela Yunara, anak Malanaya dan Yanuar, yang baru turun dari lantai dua bersama para sepupunya.
"Aku mau roti abon," pinta Arjuna, anak pertama Alvaro dan Mayuree, sambil mengarahkan Fadel, anak Prabu dan Dinda, agar duduk di dekat neneknya.
"Aku mau ... apa tuh, Yah? Yang waktu itu Bunda beli," timpal Krisna sembari duduk di sebelah kanan ayahnya.
"Kayak gimana, Mas?" desak Marley.
"Kotak-kotak. Ada kelapanya," jelas Krisna.
"Klappertart," celetuk Avreen.
"Ya, yang itu," balas Krisna.
Sementara di lantai tiga base camp, Jauhari dan teman-temannya tengah mendengarkan penjelasan Wirya, tentang perubahan jadwal kerja sampai akhir tahun nanti.
Jauhari yang merupakan asisten satu Wirya, mengecek ulang jadwalnya yang ternyata lebih padat dari jadwal sebelumnya.
Jauhari menggaruk-garuk dagunya. Dia tidak bisa memprotes, karena tahu jika Wirya sengaja mengatur seperti itu, supaya bisa melatih Jauhari lebih berat dibandingkan yang lainnya.
Sejak Deaember tahun lalu, telah diumumkan posisi penting kesepuluh anggota pengawal lapis tiga. Hisyam, Jauhari, Aditya, Yusuf dan Jeffrey akan diarahkan untuk menjadi pengganti petinggi PBK. Sementara Qadry, Chairil, Fawwaz, Ibrahim dan Nanang, nantinya akan mengelola PB.
PBK dan PB merupakan dua perusahaan dalam satu panji Pramudya-Baltissen Grup. Bila PB menyediakan tenaga sekuriti, PBK khusus menangani pengawal pribadi.
Yanuar yang menjadi direktur utama PB, hendak lengser awal tahun depan. Sebab itu Qadry dan keempat sahabatnya telah dibebastugaskan dari posisi mereka sebagai pengawal, ataupun pengawas unit kerja. Sebab mereka harus bekerja keras menguasai posisi pekerjaan masing-masing.
Wirya yang tadinya juga hendak melepaskan jabatan, terpaksa menundanya. Hisyam yang masih bertugas di London, baru selesai kontrak kerjanya awal Desember mendatang.
Selain itu, Sultan, Gustavo dan Tio telah meminta Wirya untuk tetap menjadi dirut PBK sampai Hisyam siap menggantikan posisinya, paling cepat 2 tahun lagi.
"Ada yang mau bertanya?" Wirya memerhatikan sekeliling.
Hasbi, anggota tim lapis empat mengangkat tangan kanannya. "Bang, aku dialihkan pegang Eropa mana aja?" tanyanya.
"Semuanya. Karena unit kerja kita nambah. Begitu pula dengan proyek para bos PG, yang menjadi tanggung jawab kita untuk menjadi pengawasnya," jelas Wirya.
"Kami cuma berenam. Aku, Dimas, Syuja, Bang Ari, Bang Yusuf dan Bang Jeffrey. Kayaknya berat pegang wilayah sebesar itu dengan sedikit orang."
"Kamu lupa? Di sana ada Lazuardi, Sanjaya, Azri, Robi, Valdi, Irwin dan Frank. Syafid, Fattah dan Kurniawan juga sudah oke banget jadi asisten Hisyam sama Rangga."
"Oh, Bang Robi dan teman-temannya, masih dinas di sana?"
"Ya, sampai Juli tahun depan."
"Kupikir mereka ikut pulang juga dengan tim Bang Hisyam."
"Enggak. Hanya Hisyam, Utari, Puspa, Fatma, dan Beni yang pulang. Lainnya masih stay. Termasuk Kimora."
"Pacarku masih di sana. Tenang aku." Hasbi tersenyum saat diteriaki teman-temannya.
"Kamu ngomong gitu, sudah nyiapin antaran berapa?" tanya Wirya. "Keluarga Pangestu itu konglomerat. Nggak mungkin cuma ngasih antaran 100 juta," lanjutnya.
"Muka Hasbi langsung pucat," ledek Jauhari.
"Keringat dingin," imbuh Yusuf.
"Baek-baek habis ini Hasbi kejang-kejang," sahut Aditya.
"Pingsan," balas Jeffrey.
"Koma," tambah Fawwaz.
"Habis itu, koit," pungkas Nanang.
107Ruang tunggu khusus penumpang pesawat pribadi atau carteran, sore itu tampak ramai orang dengan berbagai tampilan. Sebab rombongan yang akan berangkat sangat banyak, membuat para ketua rombongan membedakan warna baju setiap kelompok.Tim Eropa yang dipimpin Carlos, mengenakan kemeja putih dan celana biru. Tim Kanada yang dipimpin Harun, memakai kemeja biru muda dan celana hitam. Sedangkan tim Australia yang dipimpin Nadhif, menggunakan kemeja hijau dan celana krem. Keluarga puluhan pengawal muda, terlihat lebih sedih dibandingkan pengantar lainnya. Sebab anak-anak mereka yang berangkat itu semuanya berusia di bawah 24 tahun, dan baru pertama kali bertugas ke luar negeri. Hal berbeda dilakukan keluarga pengawal lama, yang sudah lebih kuat hatinya ditinggal anak untuk berdinas. Para orang tua tersebut tampak ceria dan saling bercengkerama, karena sudah cukup akrab. Menjelang keberangkatan, para manajer dan staf masing-masing kelompok, dipanggil Wirya untuk berkumpul di sudut kan
106Pagi menjelang siang, Ishwar dan keluarganya tiba di kediaman Jauhari. Tidak berselang lama, Mediawan dan Lituhayu beserta keluarga Pramudya, juga turut hadir. Jalan blok depan rumah Jauhari seketika dipenuhi banyak mobil mewah. Beberapa ajudan muda akhirnya memindahkan mobil-mobil ke blok belakang yang masih kosong. Jauhari meringis ketika mendengar percakapan Tio, Mediawan, Sultan, dan Marley, yang tengah membahas rencana renovasi rumah. Jauhari bingung, bagaimana caranya untuk menyampaikan keberatannya pada keluarga Avreen. Selain karena sungkan, Jauhari juga tidak mau menyinggung perasaan mereka yang berniat membantu. Kala Alvaro datang bersama keenam sahabatnya, Jauhari menarik tangan Alvaro dan Wirya, untuk memasuki kamar utama. Jauhari bahkan sampai mengunci pintu, supaya tidak ada yang menerobos. Jauhari duduk di kursi dekat meja rias. Dia menyampaikan kegundagannya tentang percakapan Sultan dan yang lainnya. Alih-alih langsung menjawab, Alvaro dan Wirya justru tersen
105*Grup PBK New Original*Alvaro : Tes. Tes. Zulfi : Naha' bikin grup PBK New deui? Alvaro : Yang ini khusus kita bertujuh belas. Wirya : Aku baru mau ngusulin bikin grup khusus begini. Biar lebih enak ngobrolnya, dan nggak terlalu rame. Yoga : Yoih. Supaya lebih terkontrol. Yanuar : Mataku siwer. Huruf R, nggak kelihatan. Jadi terk-on-tol.Andri : Kumat! Haryono : Sipitih, Mesum! Jauhari : Bang Yan! Yusuf : Baru juga buka grup, sudah ngakak aku. Hisyam : Aku sampai baca ulang. Takut salah. Qadry : Maafkan Abang iparku, Teman-teman. Chairil : Nasibmu, @Qadry. Jeffrey : Aku lagi minum, sampai nyembur lihat komenan Bang Yan. Aditya : Bang Yan menodai mataku. Nanang : Merampas kesucianku. Fawwaz : Merenggut masa mudaku. Ibrahim : Menggelapkan duniaku. Yanuar : Kalian lebay! Alvaro : Elu duluan yang mulai, @Yanuar. Zulfi : Ho oh. Kita lagi mau mulai obrolan serius, jadi buyar pikiranku. Wirya : Stop dulu rapat kerjaan, capek otakku. Andri ; Iya, ihh. Aku lagi pengen
104Hari berganti. Senin pagi, Jauhari telah berada di ruang rapat lantai lima kantor PBK. Dia dan teman-temannya memfokuskan pandangan ke depan, di mana Wirya tengah mengumumkan nama para pengawal muda, yang harus bersiap-siap dikirim ke luar negeri. Semua orang bersuit kala nama Riaz disebut Wirya, dalam tim yang akan diberangkatkan ke London, awal tahun depan. Jauhari dan teman-temannya sudah menduga, jika Riaz-lah yang akan dipersiapkan untuk menggantikan Lazuardi, untuk menangani area Eropa.Jauhari dan rekan-rekannya tidak mempermasalahkan jika karier Riaz lebih melesat dibandingkan angkatan lama. Sebab mereka tahu, Riaz telah digembleng keras oleh Alvaro, Wirya dan Zulfi. Selain itu, para pengawal lapis tiga hingga sepuluh, mengakui kemampuan Adik Zulfi tersebut, dalam memimpin pasukan besar. Setelah Riaz dan rekan-rekan satu tim-nya kembali duduk di tempat semula, Wirya beralih mengumumkan kelompok pengawal muda yang akan dikirim ke Kanada, awal Januari tahun depan. "Untuk
103Jamuan makan malam di restoran milik Hadrian di kawasan Lebak Bulus, berlangsung meriah. Selain tim PBK, kelompok Rupert, tim Spanyol, Australia, Kanada, Eropa, dan Taiwan juga berada di sana. Seusai bersantap, Jauhari mengajak Avreen ke panggung kecil yang telah disiapkan panitia. Keduanya berbisik-bisik, kemudian mereka mengarahkan pandangan ke depan. "Silakan dilanjutkan makannya. Kami hanya ingin mendongeng sedikit," tutur Jauhari memulai pidatonya. "Aku dan Avreen, ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, yang telah membantu menyukseskan acara pernikahan kami," ungkap Jauhari. "Dimulai dari acara lamaran yang tidak bisa kuhadiri karena masih terkurung di dalam jeruji. Acara pengajian, siraman, akad, pesta pertama hingga pesta kedua," cakap Jauhari. "Aku tahu, miliaran ucapan terima kasih dari kami, tidak akan cukup untuk membalas kerja keras kalian," tukas Avreen. "Sebab itu, aku dan Abang, hanya bisa berdoa supaya kalian selalu sehat, berl
102 Jumat pagi, Jauhari dan Avreen berpamitan pada kedua orang tua dan keluarga lainnya. Kemudian pasangan tersebut menaiki mobil MPV hitam, yang segera melaju menjauhi kediaman Ishwar. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Avreen sibuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya di grup pesan alumni kampus. Setelahnya, Avreen beralih untuk berbincang dengan karyawan ZAMRUD kantor Jakarta, tempat yang tengah dituju perempuan tersebut. Puluhan menit berlalu, Jauhari menghentikan kendaraan di depan gedung belasan lantai. Dia dan Avreen turun, lalu mereka jalan menuju lobi utama. Sapaan para pegawai dibalas keduanya dengan ramah. Kemudian mereka menaiki lift untuk mencapai lantai 3, di mana kantor PBK berada. Teriakan rekan-rekan Jauhari menyambut kedatangan pasangan pengantin baru tersebut, yang membalas dengan senyuman. Mereka menyalami tim lapis empat hingga tujuh, yang menempati deretan kubikel di sisi kanan bangunan. Jauhari dan Avreen meneruskan langkah menuju ruangan luas di sisi ki