Drrt drrt …
Morgan tersentak dari lamunan saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia menegakkan tubuhnya sebelum menerima panggilan yang berasal dari anak buahnya itu.
“Halo, ada apa?”
“Saya hanya ingin memberi informasi, Bos. Nona Bianca baru saja pergi menggunakan mobil kantor dengan tergesa-gesa.”
“Pergi? Kalian tidak membuntutinya?” Morgan merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat. Firasat buruk kembali menggelayuti dadanya hingga membuatnya sedikit sesak. Ia tahu ada hal yang disembunyikan Bianca, tapi bodohnya Morgan tidak berusaha mencari tahu. Dan bukan tidak mungkin jika firasat buruk Morgan disebabkan karena ada sesuatu yang akan terjadi pada Bianca.
“Kami sudah membuntuti Nona Bianca, tapi …”
“Tapi?”
“Tapi kami kehilangan jejak. Jalanan terlalu ramai karena telah memasuki waktu makan siang. Kami sekarang sedang berusaha mengejar mobil nona Bian
Tak diduga, tiba-tiba Morgan berdiri, lalu menyambar kunci mobil di atas meja kaca dan membuat Reynald dan Vyan terkejut.“Lo mau kemana?” tanya Reynald. Meski tanpa bertanya-pun, Reynald dan Vyan sudah tahu apa yang akan dilakukan Morgan dengan kunci mobilnya.“Jangan gegabah, Morgan. Lo nggak boleh menyetir dengan keadaan yang-”“LALU APA GUE HARUS DUDUK DIAM di sini SEMENTARA GUE NGGAK TAU APA YANG DILAKUKAN SI KURANG AJAR ITU KE BIANCA?!”Ucapan Vyan langsung terpotong oleh teriakan Morgan yang penuh emosi. Sudah cukup lama Morgan menahan diri untuk tidak tersulut namun berakhir gagal. Ia tidak menemukan cara yang tepat untuk menenangkan hatinya sementara pikiran mengenai keselamatan Bianca terus terbayang di otaknya.“Elo-” Vyan, yang memiliki tingkat temperamen tinggi seperti Morgan, berniat untuk membalas teriakan Morgan dengan emosi yang tercetak jelas di wajahnya yang memerah. Sedetik sebelum
Reynald memelankan laju mobilnya saat mobil di depannya berhenti di tepi laut. Ia tidak berniat keluar dari mobil, meskipun ia melihat dari temaram lampu, Morgan keluar dari mobilnya dengan wajah dan pakaian sama-sama kusut. Ia membiarkan Morgan dengan dunianya sendiri, sibuk dengan ponsel ataupun putus asa yang menguasainya hingga ia berulang kali berteriak.Bukannya Reynald tidak perduli. Lebih tepatnya, Reynald tidak ingin mengganggu Morgan. Mungkin dengan bertindak seperti itu, Morgan mampu menumpahkan emosinya dan bisa lebih tenang.Sudah nyaris satu jam, namun tidak ada petunjuk yang berarti. Tidak untuk anak buah Morgan, ataupun Morgan sendiri yang mengemudikan mobilnya di seluruh penjuru kota. Tapi nihil. Eric dan Candra sangat rapi menyimpan Bianca dan mungkin Maudy di suatu tempat yang tidak terendus. Dan juga, nomor ponselnya yang tidak terdaftar sangat sulit untuk di lacak.Pengamatan Reynald terhadap Morgan harus berakhir tatkala ponselnya berdering
Ketakutan kembali menyergap dada Bianca. Hal yang jauh lebih menakutkan daripada terkurung di ruangan gelap selama beberapa jam adalah ketakutan bahwa Morgan kembali tidak memedulikannya, mengabaikannya, dan mungkin berniat meninggalkannya.Hal yang membuat Bianca mendapat setitik kekuatan untuk berdiri di atas tungkai kakinya yang masih bergetar dan lemah, mencoba berdiri dan menggapai punggung Morgan yang sudah berlalu.“K-kak Morgan ... Morgan ...”Pria itu hilang tertelan pintu, bersamaan dengan suara Bianca yang tercekat di tenggorokannya.Bahkan Morgan tidak berbalik meskipun Bianca yakin suaranya cukup terdengar di telinga Morgan.Detik itu pula, Bianca kembali terjatuh. Rasa sakit di perutnya kembali menyiksa, menjadikan kesakitan Bianca bertambah ribuan kali lipat. Kesakitan yang melibatkan fisik dan hatinya. “Akh ...”“Bianca!”***“Ini gawat, Ayah!”“Apa ya
Saat Bianca sibuk dengan tangisannya di dalam, maka tidak jauh berbeda dengan Morgan yang baru saja menutup pintu. Langkah kaki pria itu terasa berat, ia mengacak rambutnya hingga berantakan dan mengerang tertahan.Morgan terlalu kecewa, namun ia tidak memiliki ide bagaimana caranya agar ia bisa menghilangkan rasa kecewa itu.Padahal di sisi lain, Morgan juga amat khawatir oleh keadaan Bianca.“Apa Kak Bianca masih belum sadar?” –bahkan pertanyaan Adian tidak ia hiraukan. Morgan terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.Adian memang memutuskan untuk tidak menengok Bianca sebelum Kakak-nya itu terbangun. Adian tidak ingin mengganggu ketenangan Bianca, karena ia sudah hafal jika Kakak-nya itu akan terus gelisah jika berada di Rumah Sakit.Dan ia-pun tidak sakit hati oleh sikap Morgan yang mengabaikannya. Sejak awal Adian sudah memaklumi kakak iparnya itu pasti sangat terpukul, jauh lebih banyak daripada yang Adian rasakan.Jik
Vyan pernah merasakannya. Merasakan dirinya tidak dipercayai oleh gadis yang ia cintai. Merasakan dirinya seolah tidak berguna dan tidak tampak di mata gadis itu.Karenina. Tidak perlu dijelaskan betapa tertutupnya Karen atas semua masalahnya, tanpa membiarkan Vyan menengok ataupun mengulurkan tangan untuk membantu sedikitpun. Gadis itu terlampau tegar, meski kenyataannya ia tidak lebih dari gadis lemah yang berpura-pura tegar.Dan apa yang dihadapi Morgan saat ini, sangat mirip dengan apa yang Vyan hadapi beberapa waktu yang lalu.Sama-sama sakit hati, sama-sama emosi, dan sama-sama menutup diri dengan kabut kekecewaan.Tapi Vyan berharap, Morgan tidak menyesal seperti yang ia rasakan tadi pagi. Melihat Karen-nya menderita telah mengubah kekecewaan Vyan menjadi abu. Terbakar habis dan digantikan oleh perasaan sesal yang teramat karena telah membiarkan orang yang ia cintai menderita sendirian.Dan Vyan tidak ingin kekecewaan
Bianca ...Morgan berbalik. Dan detik berikutnya ia merasakan pasokan udaranya menipis dan dadanya sakit bukan main.Bianca berjongkok di sudut ruangan, memeluk dirinya sendiri, dengan pakaian rumah sakit yang dipenuhi bercak darah. Matanya basah, dan Morgan mampu melihat aliran deras cairan bening di mata rusa itu.“Bianca ...” panggil Morgan lirih. Melangkah mendekati istrinya lalu berlutut. Menyamakan tingginya dengan gadis yang kini menatap dirinya. Sejenis tatapan yang membuat dada Morgan diremas dengan kuat.Tatapan sendu bercampur takut. Membuat Morgan tidak berpikir panjang untuk maju, menarik gadis itu ke pelukannya hingga tenggelam di dadanya.Dan tangisan Bianca tumpah tak terkendali. Bahunya terguncang cukup keras, tubuhnya yang gemetar mampu dirasakan oleh lengan Morgan yang melingkari tubuhnya. Bianca meremas ujung kemeja Morgan, sebuah isyarat agar Morgan tidak lagi meninggalkannya seperti beberapa jam yang lalu.
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah