Tak henti-hentinya Oliver mengulas senyum di wajahnya, sekalipun senyuman itu hanyalah senyuman lemah karena dia yang kehilangan tenaga karena tubuhnya yang roboh terserang demam.Dengan langkah kaki yang lambat dan sesekali terhuyung karena rasa pening yang mendera kepalanya, Oliver tetap mengikuti langkah Lena dari belakang dengan begitu senang hati."Ternyata aku tak bisa berlama-lama marah padamu, Lena. Mendengar kau yang begitu perhatian padaku, membuat amarahku tiba-tiba menguap begitu saja," ujar Oliver senang. Walaupun sesekali terbatuk."Kau terlalu percaya diri. Siapa yang kau pikir sedang memberikan perhatian padamu? Aku tak melakukan hal itu. Jangan salah paham, pak tua. Aku memintamu tidur di satu ranjang yang sama denganku bukan berarti aku menaruh perhatian padamu," tegas Lena.Namun, apa pedulinya Oliver. Entah Lena menampik hal itu sampai seribu kali pun Oliver tak akan mengubah anggapannya kalau sikap Lena yang mulai baik padanya ini adalah bentuk perhatian untuknya.
"Kau bisa mewujudkan mimpi besarmu itu dengan perempuan lain yang juga akan mencintaimu. Sebab, sangat tidak mungkin kau punya keluarga bahagia denganku karena aku tak mencintaimu dan tak akan pernah mencintaimu, pak tua," tegas Aleah.Oliver terdiam. Napasnya terdengar menderu karena demam juga rasa linu pada setiap persendian yang membuat tubuhnya menggigil."Apa kau akan benar-benar meninggalkan aku?" gumam Oliver dengan kedua kelopak matanya yang perlahan terpejam. Dia mulai merasa ngantuk, terlebih peluk hangat Lena benar-benar menenangkannya seperti sebuah nyanyian pengantar tidur yang membuat Oliver merasa seperti sedang dalam buaian.Lena mengangguk. "Iya, aku akan meninggalkanmu sesegera mungkin. Jadi lekaslah sembuh, beri aku uang sebanyak-banyak agar aku bisa melunasi uang satu juta dolar yang kau berikan pada Vincent. Ini kali pertama aku bisa berbicara setenang ini padamu karena kau sedang sakit."Oliver diam. Kedua matanya sudzmah terpejam rapat, diiringi dengan napas t
"Bangunlah. Kau harus makan," ujar Lena sembari dengan lembut membangunkan Oliver, walaupun ucapannya justru cukup kasar.Lagi-lagi hati Lena berdesir tak nyaman saat melihat ketidak berdayaan Oliver, terlebih saat ini kedua mata pria itu yang biasanya selalu berbinar indah dan penuh semangat, justru kini menatapnya dengan tatapan sayu. Kedua mata indah pria itu kehilangan binarnya.Apa dia akan meninggal?. Batin Lena sedikit ketakutan."Aku belum punya selera untuk makan. Lidahku masih terasa pahit...." Oliver berucap dengan suara yang terengah-engah. Seolah-olah untuk mengucapkan satu kalimat saja Oliver sudah merasa sangat kelelahan."Tapi kau harus makan. Abaikan rasa pahitnya dan makan saja. Lagipula maid yang kau pekerjakan itu membuat seduhan teh lemon hangat, itu pasti akan sedikit membuatmu segar. Bangunlah...."Oliver butuh beberapa kali mengerjapkan matanya untuk benar-benar bisa berada dalam kesadaran penuh setelah dipaksa bangun dari tidur lelapnya.Tanpa kata, Oliver pun
Oliver menepati janjinya untuk tidur di sayap kiri bangunan mansion ini lebih tepatnya di ruang kerjanya. Pria itu membeli single bed dan menaruhnya di sebuah ruang kosong yang tersedia di ruang kerjanya itu."Apa dia belum juga sembuh?" tanya Lena pada Maid yang baru saja kembali dari memberikan obat juga sarapan untuk Oliver."Iya, nona Blade. Tuan Oliver masih belum bisa beranjak dari tempat tidurnya.""Apa dia makan makanannya dan minum obatnya dengan benar?""Beliau hanya makan 3 suap saja," ujar maid itu seraya menunjukan semangkuk bubur yang benar-benar hanya berkurang sedikit.Lena pun hanya bisa menghela napas berat. Kemudian tanpa kata, Lena pun mengambil langkah lebar menuju sayap kiri dari mantion ini. Dia berniat menemui Oliver dan memarahi pria itu karena terlalu berleha-leha dengan sekitnya."Apa ada orang yang terkena flu sampai terbaring selama ini? Dia terlalu menyebalkan," gerutunya. "Dia benar-benar tak bisa dibiarkan."Dengan kesal Lena mengetuk pintu ruang kerja O
"Apa kau merasa panik terhadap kondisiku, Lena?" tanya Oliver dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit."Kau terlalu banyak bicara, Oliver. Diamlah," tegur Lena tajam."Rupanya kau benar-benar panik pada kondisiku. Ini menyenangkan. Haruskah aku terbaring sakit agar bisa mendapat semua perhatianmu?" Lena tak menjawab. Dia memilih untuk tetap menatap lurus ke depan tanpa bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Sementara dirinya tetap membiarkan Oliver berbaring di pahanya."Jika aku mati datanglah ke pemakamanku dan tolong menangislah untukku, Lena. Agar setidaknya aku tak mati kesepian karena tak punya satu pun keluarga.""Kau tak akan mati hanya karena mimisan, Oliver. Pria sepertimu aku yakin akan berumur panjang.""Begitukah?" Oliver terkekeh lemah. "Tapi untuk apa berumur panjang jika aku hanya merasa kesepian. Rasanya hampa dan tak punya arah. Namun, setelah kau tinggal bersamaku, aku jadi punya tujuan untuk pulang lebih cepat. Ah, andai saja kita berada dalam pernikahan
Hari minggu pagi jadi hari kepulangan Oliver dari rumah sakit. Dengan perasaan lelah Lena menggandeng tangan Oliver dan membantu pria itu masuk ke dalam kamar utama, lalu dengan perlahan membantu Oliver duduk di sofa.Untuk saat ini Lena bahkan mulai bingung mengartikan kebenciannya pada Oliver. Bisa-bisanya situasi mendadak bias. Lena tak bisa mengindentifikasi apakah rasa sesak di dada adalah bentuk kebenciannya pada Oliver atau bukan karena anehnya selama berhari-hari dia begitu tenangnya mengurus Oliver selama di rumah sakit, tanpa rasa marah ataupun jengkel."Jangan pergi," pinta Oliver seraya menahan tangan Lena agar tak meninggalkannya."Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi.""Kemari, duduklah di sampingku." Oliver menepuk sisi kosong di sampingnya.Dengan berat hati Lena pun duduk di samping pria itu dengan posisi yang saling berhadapan."Ada apa?" tanya Lena sedikit ketus.Oliver tak menjawab. Sebaliknya, di detik berikutnya tanpa aba-aba dan dalam waktu sepersekian detik Oli
"Apa kau mau mencoba mencintaiku, Lena?"Lena diam. Dia memilih untuk berpura-pura tak mendengar apapun dan membaringkan tubuhnya jadi posisi terlentang untuk menghidari tatapan Oliver. Sebab, tatapan buas pria itu yang terus menatap intens dirinya dalam keadaan telanjang dibawah selimut seperti ini, benar-benar terasa tak nyaman."Kuharap kau bisa mencoba mengenal dan mencintaiku, Lena."Kedua mata Lena terpejam. Masih enggan menanggapi apapun yang coba Oliver katakan dengan suara rendah dan lembut itu. Sikap Oliver seperti ini membangunkan alarm bahaya di kepala Lena yang berteriak kencang untuk mewanti-wantinya agak tak terjerat cinta pria itu.Cukup menyebalkan dan cukup benci untuk mengakuinya, tapi dengan kesadaran penuh Lena tahu kalau pada tiap menit yang mereka habiskan untuk berhubungan intim, Lena menyukai dan menikmatinya. "Lena," panggil Oliver akhirnya karena tak sekalipun mendapatkan tanggapan dari istrinya itu."Kau sangat berisik Oliver, aku lelah. Aku ingin tidur," g
Lena merasa kalau kartu superman adalah ide terburuk yang pernah dia buat. Sebab, karena kartu itu menbuatnya benar-benar tak bisa berkutik sekalipun Oliver melakukan hal-hal yang dibencinya.Pada akhirnya, dengan pasrah dia membiarkan Oliver masuk ke dalam Jaquzi dan bergabung dengannya."Kenapa kau selalu menggunakan kartunya untuk hal-hal tak senonoh, apa tidak bisa kau menggunakannya untuk hal lain yang lebih berguna?" cibirnya.Alih-alih segera menjawab pertanyaan itu, Oliver justru tanpa aba-aba memeluk tubuh telanjang Lena dari belakang dan membuat Lena terkesiap keras."Oliver," desisnya tajam."Kenapa kau seterkejut itu, Lena? Bukankah dari awal aku sudah berkata kalau aku menggunakan kartu supermannya untuk berendam dan-" Oliver menjeda ucapannya untuk mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Lena dan berbisik. "Bercinta dengannu di sini."Lena dibuat merinding oleh hangat napas pria itu yang menerpa daun telinganya, juga suara berat pria itu. Seolah tersihir, Lena hanya membek