"Dia bahkan sudah menandatangani kontrak penyerahanmu di kertas ini!"
Tak ingin melihat isi kertas, serta tak ingin mendengar bualan dari pria yang telah mengambil kesuciannya itu, Lena pun terdiam. Wanita itu hanya bergegas untuk bisa keluar dari ruangan memuakkan ini secepatnya.
Di saat yang sama, kala dirinya sudah berusaha untuk tidak menitikkan air mata, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Sebuah pesan dari Vincent masuk, memintanya untuk segera bertemu.
Betapa terkejutnya Lena, saat bertemu dengan pria yang sangat dicintainya, dia justru harus mendengar konfirmasi dari apa yang sudah dia dengar dari Oliver.
"Kenapa begitu? Hari ini hari pernikahan kita, Vincent... kau sudah berjanji padaku." Suara Lena tercekat di batang lehernya ketika mengatakan kalimat itu karena dia yang berusaha menahan diri untuk tak menangis.
Seumur hidupnya, yang Lena anggap pusat dunianya adalah Vincent, pria yang ia sukai dari sejak mereka masih sama-sama remaja. Lena tak pernah memikirkan hal apapun selain rasa bahagianya tiap bertemu dengan Vincent yang dicintainya dan kebahagiaan itu kian lengkap karena mereka berencana untuk segera menikah.Hari ini, di hari yang seharusnya jadi paling bahagia karena dia akan menikahi pria pujaannya, pusat dunia Lena justru runtuh dan seketika hancur lebur saat tiba-tiba saja Vincent datang menemuinya untuk sekadar mengatakan kalau pernikahan mereka tak akan pernah terjadi.Sementara Vincent justru menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menatap Lena dengan tatapan datar. "Aku sebenarnya sudah mengajukan pembatalan pernikahan. Kita tak bisa melakukan pemberkatan, tapi sebaliknya, hari ini aku mohon berjalanlah di altar dengan paman Oliver. Kumohon, Lena... demi aku."Sebutir air mata pun meleleh membasahi pipi Lena tanpa bisa dia cegah. "Bagaimana bisa kau melakukan hal ini padaku? Di hari pernikahan kita? Kau sungguh keterlaluan. Kau-""Aku juga tak punya pilihan!" bentak Vincent tiba-tiba. Kali ini dia menatap Lena dengan frustrasi. "Aku butuh uang agar bisa bebas dari penjara dan hanya Oliver yang berani memberiku nominal uang itu. Lagipula dia menginginkanmu, Lena! Jadi aku memberikanmu padanya agar aku bisa dapat uang yang aku inginkan!"***"Tersenyumlah, Lena," perintah Oliver dengan setengah berbisik kala dirinya dan Lena berjalan di Altar untuk melakukan pemberkatan.Dengan bangga Oliver berjalan di Altar, berbanding terbalik dengan Lena yang terlihat tak nyaman ketika merangkul lengan besar milik Oliver. Tak hanya itu, Lena sepertinya akan jadi satu-satunya pengantin yang berwajah masam di hari pernikahannya. Lebih tepatnya Lena tak pernah menginginkan pernikahan ini!Lena mendelik muak. "Kau tak punya hak untuk memerintahku."Tak ingin menyerah begitu saja, Oliver tetap berusaha menghibur wanita yang kini terbalut dress putih dengan serangkai bunga di tangannya. Harus diakui, Oliver benar-benar terkagum dengan kecantikan Lena. Alis tipisnya, bibir kecilnya, serta pinggangnya yang ramping membuat Oliver sadar, bahwa dia seolah baru saja menikah dengan seorang dewi.
"Lena, maaf--"
Tak sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, wanita itu kini menatapnya tajam. "Jangan bicara padaku."
Mendengar itu, Oliver merasakan darahnya seolah berubah dingin. Pria itu sudah berusaha banyak hal, namun wanita di hadapannya tetap tak memberikan kesempatan padanya.
Tak punya pilihan lain, pria itu kini berbisik dan tersenyum menyeringai. "Lalu, kau mau pernikahan ini hancur dan Vincentmu yang tercinta itu tak akan pernah bisa keluar dari penjara? Kau ingin kekasihmu itu membusuk bersama narapidana lainnya, hm?"
Sial!Ancaman itu benar-benar memukul harga diri Lena secara telak. Sehingga pada akhirnya dengan terpaksa Lena pun memasang senyuman tipis di wajahnya."Aku tersenyum bukan berarti aku bahagia di hari pernikahan sialan ini. Kau tak boleh terlalu percaya diri, pria tua," cibirnya yang hanya mendapatkan kekehan kecil."Terima kasih, tapi pria tua ini akan jadi teman hidupmu untuk jangka waktu selama-lamanya," bisik Oliver sengaja menggoda Lena. Dia tak tersinggung sedikitpun dengan ucapan kasar Lena sebelumnya.***Tetes demi tetes air mata membasahi pipi Lena ketika dia mulai mengucap janji pernikahannya. Janji sehidup semati yang ia ingin ucapkan di pernikahannya dengan Vincent, namun nahas, dia malah harus mengucap janji suci itu bersama pria lain yang sangat dibencinya."Saya mengambil engkau Oliver Eduardo menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya-" Lena menjeda ucapannya sejenak karena tak kuasa menahan tangisnya. Sehingga, dengan terisak-isak, dia pun berusaha mengendalikan dirinya. "Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita."Lantas tangis Lena pun benar-benar tumpah. Ia bahkan harus sedikit menundukan kepalanya karena sudah benar-benar kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Lena tak kuasa menahan kesedihannya.Pada detik itu pula, dengan cekatan Oliver meraih pinggang Lena dan merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya untuk menghindari tatapan aneh dari orang-orang karena tangis Lena terlalu deras."Apa kau sebahagia itu menikah denganku?" Oliver berbisik tepat di telinga Lena untuk kembali menggodanya. Sementara tangannya memeluk dan sesekali mengusap lembut punggung Lena, seolah-olah mereka adalah pasangan normal yang terlalu bahagia di hari pernikahan mereka.Lena tahu, pria itu hanya mengejeknya. Dan wanita itu jelas sadar, bahwa sentuhan lembut di punggungnya hanyalah sandiwara semata. Tetap berusaha tenang, wanita itu mengutuk Oliver dalam hatinya. "Kau tak seberharga itu untuk aku tangisi, pria bedebah.""Apa yang ingin kau lakukan!?" pekik Lena mengumpat pada Oliver yang menggendongnya masuk ke dalam kamar lalu kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur."Aku? Suamimu ini ingin memberimu pelajaran, karena kamu terus mengutukku, Lena.” Tatapan intensnya yang dipenuhi api gairah itu benar-benar membuat Lena merasa sangat terintimidasi. Dia merasa seperti kelinci yang terpojok dalam terkaman singa.Dalam kepanikan itu, Lena tak tinggal diam. Dia berjingkat bangun dan segera berlari menuju pintu kamar untuk kabur dari terkaman Oliver yang mengerikan. Namun, secepat kilat pula Oliver meraih pinggang Lena dan dengan ringannya pria itu menggendong Lena di bahunya, sementara dirinya mengunci pintu kamar ini rapat-rapat."Lepaskan aku!" pekik Lena seraya terus menerus memberontak dan berulang kali melayangkan pukulan keras pada punggung Oliver.Tubuh Oliver yang mejulang tinggi dengan otot-otot bisep yang terlatih itu terasa begitu keras ketika Lena memukulnya, dan hal itu pula lah
Setelah pertengkaran mereka di malam pengantin dan berakhir dengan Oliver yang marah dan pergi begitu saja. Sampai hari ini, sudah 1 minggu lamanya, Lena tak pernah melihat batang hidung Oliver lagi."Apa peduliku. Syukurlah dia tak pernah pulang, aku bisa bernapas dengan baik sekarang. Aku harap dia tak pernah kembali," ucap Lena seraya menaikan kedua bahunya ringan lalu kemudian menghembuskan napas lega.Sesekali sering terbersit tanya dalam kepalanya tentang ke mana kiranya Oliver pergi setelah pertengkaran mereka itu, tapi buru-buru Lena menepis pikiran itu."Tidak, kau tak semestinya memikirkan hal tak penting seperti itu, Aralena. Jangan jadi perempuan gila yang ingin tahu ke mana kiranya musuhmu pergi, bukankah hal bagus kalau dia tak pernah pulang lagi? Itu artinya kau bebas," gumam Lena lagi berbicara pada dirinya sendiri.Namun, ternyata sekalipun Lena berusaha menampiknya, tapi tetap saja ada secuil rasa penasaran di hatinya tentang ke mana perginya Oliver sampai selama ini
"Kau membeli wanita seharga 1 juta dollar dan kau menikahinya? Kau pasti sudah gila!" cerca wanita berambut pirang itu. Matanya terbelalak sempurna memandang Oliver yang dengan santainya justru mengangkat bahunya ringan."Ini tak segila seperti yang jau bayangkan, Esme.""Kalau begitu jelaskan seperti apa situasi yang menurutmu tak segila bayanganku itu." Helaan napas berat pun terdengar dari Oliver seiring dengan dia yang menolehkan wajah untuk sekadar melayangkan tatapan lelahnya pada Esme."Perempuan itu adalah istri dari keponakanku, atau lebih tepatnya hampir jadi istri karena bajingan itu tiba-tiba membatalkan pendaftaran penikahan mereka lalu meminta uang satu juta dolar padaku dengan iming-iming perempuan itu. Aku-""Lalu kau membeli istri keponakanmu hanya karena keponakanmu menjualnya? Damn!""Dengarkan dulu ucapanku sampai selesai, Esme... jangan menyela," tegur Oliver pada Esme yang sedari tadi terus saja menggebu-gebu untuk sekadar mengatakan makian 'gila' untuknya."Kal
"Kau akan pergi ke mana? Apa kau merindukanku?" sapa suara bariton itu tiba-tiba.Lena yang baru saja keluar dari unit apartemennya itu seketika terperanjat dan menatap ke arah sumber suara itu dengan panik. Dan rasa paniknya kian menjadi ketika mendapati Oliver di sana. Oliver pulang.Sial. Maki Lena di dalam hatinya.Pria itu tampak santai menyesap sebatang rokoknya sembari bersandar pada dinding disamping unit apartemen mereka. Dia dengan tenangnya menyunggingkan senyuman manis pada Lena."K-Kau... sejak kapan kau di sana?" ujar Lena balik bertanya dengan sedikit tergagap. Ditatapnya Oliver dengan tatapan tak suka.Oliver mendengus geli lalu mematikan rokoknya. "Sejak kau mengendap-endap keluar seperti seorang maling. Kau akan pergi ke mana, tidakkah kau butuh izinku?""Sejak kapan aku butuh hal remeh temeh seperti itu denganmu? Kau orang asing Oliver. Kau tak berhak tahu tentang apapun yang aku lakukan."Sudut bibir Oliver berkedut mendengar ucapan sinis dari istrinya sendiri. Se
Satu hal yang mengejutkan Lena ketika dia tiba di bandara dan menuruni tangga untuk keluar dari pesawat jet yang ternyata super mewah ketika dia melihatnya secara langsung dari luar.Lena memilih bungkam dan menyembunyikan segala ekspresi terkejutnya, walaupun segala tanya di kepala terus saja berkecamuk meminta penjelasan tentang 'dari mana Oliver punya akses untuk menaiki pesawat pribadi dengan harga fantastis ini?'"Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasakan mual?" tanya Oliver penuh perhatian. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Lena, tapi detik itu pula Lena menghalaunya dan melayangkan tatapan sinis padanya."Aku baik-baik saja. Jangan coba-coba menyentuhku," ucapnya sinis. Mendengar itu, Oliver pun menarik kembali tangannya dan menyimpannya kembali di samping tubuhnya. Dia tampak cukup tenang untuk seseorang yang sedang merasakan hatinya berubah getir karena berulang-ulang kali mendapatkan penolakan, kata-kata sinis juga kasar dari perempuan yang dicintai dan yang be
"Tempatku pulang? Rumah ini?" Lena tertawa mencemooh Oliver. "Kau pasti sedang berbohong padaku. Kau pembohong besar."Oliver tersenyum simpul, lalu kemudian meminta sopir yang mengemudikan mobil audi itu untuk membawakan koper miliknya ke dalam terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia pun kembali menoleh menatap Lena."Ayo masuk. Tidakkah kau ingin melihat-lihat seisi rumah dan menikmati pemandangannya?" ujar Oliver tenag.Dia memilih untuk tak mengindahkan ejekan Lena terhadapnya. Kali ini, Oliver tak mengulurkan tangannya pada Lena. Dia langsung melangkah masuk ke dalam mansion tanpa menunggu Lena terlebih dahulu karena dia tahu betul kalau perempuan itu pasti tak akan sudi berjalan beriringan dengannya.Sepeninggalnya Oliver, Lena hanya melihat punggung pria itu yang menjauh dari pandangannya. Sedangkan dirinya masih terus terpaku di tempatnya untuk kembali mengamati setiap sisi dari bangunan rumah bergaya klasik yang dipadukan dengan gaya arsite
Malam itu, Oliver habiskan dengan melamun menatap lampu tidur yang membuat ruangan kamarnya ini jadi temaram. Sesekali dia bergerak tak nyaman karena harus berbaring di sofa yang bahkan tak bisa menampung tubuhnya. Kakinya hanya bisa menggantung ke lantai karena sofa yang sempit, dan hal itu membuatnya tak bisa tidur.Suara dengkuran halus pun kemudian terdengar memecah keheningan di kamar itu, membuat Oliver menoleh dan tersenyum hangat ketika melihat kalau Lena sudah tertidur lelap di atas ranjangnya."Dia bilang sangat membenciku. Aku rasa hanya dia yang tidur di ruangan yang sama dengan orang yang dibencinya. Benar-benar perempuan aneh," gumam Oliver seraya terkekeh kecil.Cukup lama dia memandang ke arah Lena, sampai ketika dirasa Lena sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya, Oliver pun memberanikan dirinya untuk bangun dari pembaringannya dan melangkah menuju ranjangnya. Di sana, dia dengan penuh kehati-hatian, Oliver beringsut naik ke atas ranjang dan berbaring tepat di sampi
"Peluk," pinta Oliver seraya merentangkan tangannya lebar-lebar saat dia masuk ke dalam kamar setelah dia menyelesaikan olahraga paginya.Dengan riang dan gembira, dia berjalan menghampiri Lena yang saat itu sudah tampak segar setelah mandi dan begitu cantik dalam balutan dress vintage berbahan sifon."Tidak sudi. Menyingkir dariku, kau bau keringat!" tolaknya seraya mendorong dada Oliver agar menjauh darinya dengan cara yang cukup kasar."Jika aku selesai mandi dan tak bau keringat, apa aku akan mendapatkan pelukan?" Oliver tak sekalipun merasa jera. Dia tetap riang dan bersikap hangat pada Lena, bahkan tak jarang dia sengaja menggoda perempuan itu sekalipun respon yang selalu didapatkannya adalah hal yang sangat menyakiti hatinya."Hanya dalam mimpimu!" ujar Lena ketus, seraya menedelikan matanya sinis ke arah Oliver, sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan kembali memejamkan matanya ubtuk berpura-pura tidur.Dia terlalu muak mengobrol dengan Oliver, tapi juga en