LOGINGimana, Mas? Bisa, kan? Please….” Tangan Jasmine berada di atas tangan Damian.
Hening. Damian berdeham. Ia masih tidak percaya gadis polos di sampingnya ini akan meminta hal yang tidak masuk akal seperti itu. Apakah kepala adik sahabatnya ini baru saja terbentur dinding? Netra pekat Damian menatap lurus pada Jasmine. “Kamu sadar dengan permintaanmu itu?” Jasmine mengangguk. Wajahnya tampak pias. Apalagi, cara Damian menatapnya membuat Jasmine semakin diliputi rasa tidak nyaman. Ia tahu ini gila. Namun, Jasmine bisa apa? Harga dirinya sudah dihancurkan oleh mantan tunangan dan sahabatnya sendiri. “Saya nggak bisa,” jawab Damian datar. Jasmine melepaskan tangannya dari tangan Damian. Wajahnya langsung merengut kesal sembari ia beranjak dari duduknya. “Kenapa?” Damian mengamati Jasmine. Selang beberapa saat, kedua sudut bibir pria itu terangkat samar. Pria itu tidak langsung menjawab. Fokusnya justru terarah kepada laptop yang beberapa saat sempat ia abaikan. “Saya sibuk. Nggak ada waktu ngurusin begituan.” Jasmine hendak protes kembali. Namun, bersamaan dengan itu derap langkah seseorang terdengar dan tidak lama kemudian disertai dengan terbukanya pintu rumah. “Bro, ini berkasnya!” seru Renan dengan sumringah. Senyum Renan langsung lenyap melihat Jasmine yang berdiri di dekat Damian dengan pakaian cukup terbuka dari biasanya. Damian yang bisa menangkap tatapan Renan, langsung bersuara, “Mana, Ren? Sini aku lihat dulu.” Tangan Damian terulur meminta berkas yang kini di tangan Renan. Fokus Renan pun tertuju pada Damian dan pekerjaan mereka. Jasmine pun urung melanjutkan bujukannya. Bersamaan dengan Damian yang kini sibuk berdiskusi dengan Renan, Jasmine berbalik pergi. Rasa malu yang masih menempel membuatnya mendadak haus. Jasmine membuka kulkas dan mengambil botol minuman dingin, barulah setelah itu ia meraih gelas yang di meja. Kepalanya begitu berisik memikirkan strategi untuk membuat Damian bersedia. Tangannya menuangkan minuman ke gelas, sementara matanya menatap kosong ke depan. “Dapur bisa banjir kalau kamu bengong begitu.” Damian tiba-tiba berada di belakang Jasmine. Tangannya yang berada di atas tangan Jasmine langsung menarik botol yang mereka pegang. Kemudian botol tersebut diletakkan di atas meja, sementara gelas milik Jasmine sudah terisi penuh. “Jangan kebanyakan melamun. Baru air, kalau api gimana? Bisa-bisa dapur yang terbakar!” cibir Damian. Dengan tenang, Damian menuangkan air ke gelasnya dengan tenang. Setelah itu menggeser gelasnya ke hadapan Jasmine. Jasmine menoleh. “Apa?” Sorot mata Damian begitu tenang. Bibirnya lalu menyunggingkan senyum tipis. “Minum dulu. Supaya amarah kamu sedikit reda. Saya akan menganggap kamu nggak pernah mengutarakan permintaan konyol seperti tadi.” Damian bersandar pada meja dapur dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sialan! Jasmine justru terpaku pada lengan pria itu. Tiba-tiba saja, pemandangan urat-urat yang menonjol di sana membuat dadanya mendadak berdebar tak karuan. Mata tenang Damian menyipit sebelum akhirnya ia menyadari bahwa gadis kecil di depannya ini justru menatap ke arah lain. Binar mata Jasmine yang menatap lengannya menimbulkan hasrat lain yang tiba-tiba muncul dari tubuhnya. Damian menelan ludahnya. “Kalau nggak mau minum, ini buat saya.” Damian segera mengambil alih gelas yang tadi ia berikan ke Jasmine lalu meneguknya. Suara Damian membuat Jasmine tersentak kaget. “Hah? I...Iya. Minum aja, Mas!” Mata Jasmine lagi-lagi terarah pada hal yang tidak seharusnya. Naik turun jakun Damian membuat hawa di sekitar gadis itu menjadi panas. Otakmu, Jas! Kenapa jadi ketularan mesum begini! Buru-buru Jasmine mengambil gelas yang baru saja diletakkan Damian di meja. Tanpa berpikir panjang, ia segera meneguk minuman tersebut. Sumpah demi apapun, ini adalah kali pertamanya berpikir mesum seperti ini. “Kamu pernah ciuman?” “Uhuk!” Jasmine terbatuk. Damian bergeser agar lebih dekat. Tangannya dengan cepat mengambil alih gelas Jasmine, sementara tangannya yang lain menepuk punggung Jasmine pelan. “Kamu berani meminta hal konyol itu pada saya, giliran ditanya begitu langsung kaget.” Batuk Jasmine mulai reda, sementara napasnya mulai teratur. “Itu privasi, Mas. Nggak sopan nanya begitu.” Damian terkekeh, lalu menatap Jasmine dengan cukup mengejek. “Melihat dari gelagat kamu sepertinya memang belum.” Jasmine melempar tatapan tajam pada Damian. Alih-alih membuat Damian berhenti tertawa, kemarahan Jasmine membuatnya terlihat menggemaskan. Apalagi bibir merah alami itu mengerucut lucu. Pikiran mesum Damian ingin merasakan benda kenyal itu. “Ciuman aja belum pernah sok-sokan mau menyenangkan hati pria dewasa. Yang kamu minta barusan tidak sesederhana itu, Gadis Kecil. Jadi jangan konyol.” Tangan Damian terulur mengusap rambut Jasmine. Damian harus segera pergi, berdua dengan gadis kecil di depannya ini membuat pikiran mesumnya kambuh. Namun, saat Damian hendak bersiap pergi, Jasmine dengan nekat menarik kerah kemeja Damian. Mata Jasmine terpejam, kakinya berjinjit untuk meraih bibir Damian dan dalam sekian detik ia berhasil menempelkan bibirnya pada bibir Damian. Damian dengan cepat menguasai dirinya. Ia tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Bibir yang sejak tadi menggoda untuk disentuh itu tidak akan ia lepaskan dengan cepat. Saat tubuh Jasmine hendak melepaskan diri, satu tangannya segera menarik pinggang Jasmine. Sedangkan satu tangannya menahan tengkuk Jasmine untuk memperdalam ciuman amatir gadis itu. “Dam!” Suara Renan terdengar dari ruangan lain. Meski tidak sepenuhnya rela, Damian pun melepaskan Jasmine. Satu sudut bibir Damian terangkat. Apalagi melihat wajah polos Jasmine yang memerah disertai napas yang masih memburu. “Loh, kamu di sini?” Renan mendekat dengan santai. Damian berbalik menatap sahabatnya. “Haus, Nan. Mana cuaca panas banget ini, jadi butuh yang segar-segar. Kamu juga ngapain lama banget di toilet?” “Sakit perut, Bro. Bahaya kalau tidak dikeluarkan dengan tuntas,” sahut Renan dengan cengiran. Jasmine masih diam. Ia masih shock dengan yang terjadi barusan. Niat awalnya hanya mencium bibir Damian seperti yang ia lihat di drama. Mana tahu kalau tiba-tiba Damian justru ikut menyesap bibirnya. “Kamu kenapa, Jasmine?” Mata Renan menyipit mengamati Jasmine curiga. Jasmine menggeleng cepat. Kemudian tanpa sengaja matanya menatap Damian yang begitu tenang. Jasmine mendengus tanpa sadar, lalu kembali menatap Renan. “Aku baik-baik aja, Mas.” “Wajah kamu merah. Kamu sakit?” Tangan Renan memeriksa kening Jasmine khawatir. Mata Jasmine membulat. Kedua tangannya spontan menyentuh kedua pipinya. Renan benar, hawa di kedua pipinya begitu panas. “Kayaknya sih iya. Aku ke kamar dulu, ya.” Tanpa menunggu jawaban Renan, Jasmine segera pergi. Damian menatap kepergian Jasmine. Bibir manis yang baru ia rasakan itu hampir saja membuatnya hilang kendali. Renan yang menyadari tatapan Damian, langsung bersuara dengan penuh penekanan. “Jaga mata, Damian. Dia nggak sama kayak pacar-pacar kamu yang centil itu.”“Semalam kamu dari mana, Jasmine?” tanya Renan, tetap fokus pada sosis, telur dan beberapa potong kentang yang sedang ia goreng.Tidak seperti biasanya, pagi ini Jasmine terlambat bangun. Ia bisa bernapas lega karena ayahnya belum pulang sehingga tak perlu mendengarkan omelan ayahnya. Di rumah hanya ada ia dan Renan. Semalam ia memang pulang terlambat. Namun, bukan itu yang membuatnya terlambat bangun. Ini semua karena Jasmine tidak bisa tidur sebab terus terpikirkan ciumannya dan Damian.Tidak heran julukan playboy kelas kakap disematkan ke Damian. Nyatanya memang begitu. Ciumannya saja mampu membuat jantung Jasmine berdebar hingga sekarang.Jasmine melangkah pelan menuju meja dapur. Kemudian, menuangkan minuman ke gelas. Sebelum menjawab, ia butuh sesuatu yang segar untuk membasahi tenggorakannya. Saat ia baru selesai meneguk minumannya, barulah ia sadar bahwa Renan sedang menatapnya penuh curiga. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh, ya?” Jasmine lalu mengamati penampilannya dari bawah.
"Sembunyi di bawah, Jasmine!” perintah Damian tegas. Mata Jasmine langsung melotot. “Kenapa harus di situ? Aku bisa sembunyi di tempat lain. Atau langsung kabur pas Mas Renan masuk. Aku ahli soal itu, Mas.”Damian menyorot gadis di depannya ini dengan datar. Pelajaran mereka belum selesai. Mana bisa ia membiarkan Jasmine langsung pulang. “Lakukan itu tanpa banyak protes, Jasmine. Kecuali kalau kamu memang mau Renan tahu apa yang barusan kita lakukan,” bisik Damian penuh peringatan. Jasmine menghela napas tak rela. Ia memang lupa mempertimbangkan kemungkinan kakaknya masih di tempat ini. Sebenarnya Jasmine ingin protes kembali, tetapi raut Damian yang terlihat menahan kesal itu membuatnya urung melakukan itu.Kemudian, tanpa berkata apapun, ia lekas bergerak menuju kolong meja kerja Damian. Bersamaan dengan itu, suara pintu didorong terdengar. Derap langkah seseorang yang baru masuk ke ruangan juga terdengar.Sudut mata Damian melirik Jasmine yang terdengar menggerutu tanpa suara d
Mas Damian: Di ruangan saya. Jam 7 malam.Sudah berulang kali Jasmine membaca pesan singkat yang Damian kirim tadi siang. Ia juga sudah beberapa kali mengatur ritme napasnya agar lebih tenang. Nyatanya berada di lantai paling atas Amartha’s bar membuatnya semakin gugup. Alih-alih tenang, cuaca dingin malam itu tidak lantas membuat tangannya berhenti berkeringat dingin. Tenang Jasmine! Ini demi harga dirimu!Satu tangan Jasmine mengepal dan terangkat ke arah pintu. Ia menarik napas dalam, masih berusaha menepis rasa gugup dan cemas dirinya. Lalu kepalan tersebut mengetuk pelan pintu.“Masuk!” sahutan dari dalam terdengar samar.Jasmine lalu membuka pintu besar tersebut perlahan, seiring dengan kakinya yang memasuki ruangan Damian. Segala sesuatu yang ada dalam ruangan itu terasa mengintimidasi dirinya. Sama seperti pemiliknya.Jendela besar yang dibiarkan tidak tertutup tirai, beberapa botol minuman yang Jasmine perkirakan adalah wine mahal pun tersusun rapi di rak kayu mewah, penca
Kamu bisa menolak jika ragu.” Damian menegakkan tubuhnya. Kemudian, kembali bersandar pada meja seperti tadi.Jasmine menunduk. Tidak berani beradu tatap dengan Damian. Seketika ruangan besar yang didominasi warna gelap itu terasa mencekam. Aroma musk yang memenuhi rongga hidungnya membuat tubuh Jasmine merinding seketika. Tubuhku? Oh tidak, ini gila!Dalam kekalutan tersebut, tiba-tiba bayangan saat Erick berhubungan intim dengan Clara kembali muncul. Hinaan Erick, tawa culas Clara dan ejekan orang-orang di sekitarnya. Semuanya berkumpul menjadi satu. “Baiklah! Aku mau,” jawab Jasmine tegas. Wajahnya terangkat, menatap lurus pada Damian.Kali ini Damian yang terdiam. Matanya menyorot dingin sosok di depannya. Jasmine berjalan mendekat. Lalu wajahnya mendongak, menatap Damian dari jarak dekat. “Tapi rahasiakan ini dari Mas Renan, ya. Bisa mati aku kalau dia sampai tahu.” Sudut bibir Damian terangkat. Wajah dengan tatapan polos Jasmine begitu menggemaskan. “Sure. Saya setuju.” J
Senyum dong, Jasmine. Kalau kamu cemberut terus begini, orang-orang akan berpikiran kalau kita belum baikan,” ujar Erick menatap Jasmine sekilas, sebelum akhirnya kembali fokus menatap jalan.Jasmine enggan menjawab. Dibandingkan menanggapi perkataan Erick, Jasmine lebih tertarik memandangi pemandangan di luar mobil. Sisa hujan tadi sore masih menyisakan genangan air di jalanan. Lampu-lampu jalanan tampak memantulkan kilauannya di genangan tersebut. “Are you okay, Sweetheart?” Erick bersuara kembali. Seperti biasa, begitu hangat dan penuh perhatian.Baik-baik saja kepalamu! Mana ada yang baik-baik saja setelah diselingkuhi. Bodoh!Kalau bukan karena ayahnya yang memaksa untuk ikut, Jasmine lebih memilih untuk bergelung dalam selimut menikmati dinginnya cuaca malam ini. Jangankan untuk menemani pria di sebelahnya ini ke pesta ulang tahun Giorgino-sahabat Erick, Jasmine bahkan enggan menemui Erick semenjak perselingkuhan itu.“Kenapa harus aku yang kamu ajak? Bukannya biasanya kamu se
Gimana, Mas? Bisa, kan? Please….” Tangan Jasmine berada di atas tangan Damian. Hening.Damian berdeham. Ia masih tidak percaya gadis polos di sampingnya ini akan meminta hal yang tidak masuk akal seperti itu. Apakah kepala adik sahabatnya ini baru saja terbentur dinding? Netra pekat Damian menatap lurus pada Jasmine. “Kamu sadar dengan permintaanmu itu?”Jasmine mengangguk. Wajahnya tampak pias. Apalagi, cara Damian menatapnya membuat Jasmine semakin diliputi rasa tidak nyaman. Ia tahu ini gila. Namun, Jasmine bisa apa? Harga dirinya sudah dihancurkan oleh mantan tunangan dan sahabatnya sendiri. “Saya nggak bisa,” jawab Damian datar. Jasmine melepaskan tangannya dari tangan Damian. Wajahnya langsung merengut kesal sembari ia beranjak dari duduknya.“Kenapa?”Damian mengamati Jasmine. Selang beberapa saat, kedua sudut bibir pria itu terangkat samar. Pria itu tidak langsung menjawab. Fokusnya justru terarah kepada laptop yang beberapa saat sempat ia abaikan.“Saya sibuk. Nggak ad







