LOGINMas Damian: Di ruangan saya. Jam 7 malam.
Sudah berulang kali Jasmine membaca pesan singkat yang Damian kirim tadi siang. Ia juga sudah beberapa kali mengatur ritme napasnya agar lebih tenang. Nyatanya berada di lantai paling atas Amartha’s bar membuatnya semakin gugup. Alih-alih tenang, cuaca dingin malam itu tidak lantas membuat tangannya berhenti berkeringat dingin. Tenang Jasmine! Ini demi harga dirimu! Satu tangan Jasmine mengepal dan terangkat ke arah pintu. Ia menarik napas dalam, masih berusaha menepis rasa gugup dan cemas dirinya. Lalu kepalan tersebut mengetuk pelan pintu. “Masuk!” sahutan dari dalam terdengar samar. Jasmine lalu membuka pintu besar tersebut perlahan, seiring dengan kakinya yang memasuki ruangan Damian. Segala sesuatu yang ada dalam ruangan itu terasa mengintimidasi dirinya. Sama seperti pemiliknya. Jendela besar yang dibiarkan tidak tertutup tirai, beberapa botol minuman yang Jasmine perkirakan adalah wine mahal pun tersusun rapi di rak kayu mewah, pencahayaan ruangan yang terasa hangat. Aroma ruangan yang seharusnya menenangkan pun ikut membuatnya berat untuk melangkah. “Mau sampai kapan kamu diam seperti patung di situ?” Suara berat milik Damian menyadarkan Jasmine. Mata Jasmine menatap lurus Damian. Mulutnya masih terkatup rapat. Jemarinya saling bertaut. Bahkan cardigan panjang yang ia pakai tidak lantas menghalau rasa dingin tubuhnya. Sungguh, berdua dengan Damian dalam satu ruangan seperti ini membuat Jasmine gemetar. “Mendekatlah, Jasmine. Kita tidak akan bisa mulai kalau kamu masih di situ.” Damian masih duduk tenang di kursinya. Malam ini Damian akan mengajarkannya cara berciuman. Itulah alasan terbesar Jasmine merasa gugup. Kaki Jasmine mulai bergerak pelan. Damian mengamati pergerakan Jasmine. Ia juga sengaja memundurkan lalu mengubah sedikit arah kursinya saat Jasmine mulai mendekat. Namun, Jasmine justru berhenti di ujung meja. Cukup jauh dari posisi Damian. Satu alis Damian terangkat. Kemudian ia menepuk pahanya. “Di sini Jasmine. Kecuali kalau kamu memang mau saya menyentuhmu di atas meja.” Mata Jasmine melotot. Ia menelan ludahnya dengan sulit. Berada dalam satu ruangan dengan Damian saja, ia sudah gemetar. Apalagi jika harus duduk di pangkuan pria itu? Jasmine mengigit bibir bawahnya. Jantungnya berdebar dengan kencang. “Harus duduk di situ? Tapi akan terasa tidak nyaman, Mas.” Damian menghela napasnya gusar. “Kamu yang ke sini atau saya yang paksa?” “Mas ….” rengek Jasmine. “Saya baru akan mengajarimu berciuman, Jasmine. Belum benar-benar meniduri kamu. Jadi, tenangkan dirimu.” Damian berusaha sabar. Tangannya sudah gatal ingin menarik Jasmine ke pangkuannya. Jasmine buru-buru mendekat. Namun, gerakannya kalah cepat dengan Damian yang lekas menariknya hingga terduduk di pangkuan pria itu. “Mas, ini terlalu dekat!” pekik Jasmine spontan. Ini adalah kali pertama Jasmine sedekat ini dengan pria asing. Damian mengabaikan peringatan Jasmine. Lengannya mendekap pinggang ramping gadis itu hingga semakin mendekat padanya. Bahkan saat Jasmine menghadapnya, reflek membuat dada mereka saling menempel. “Mas!” rengek Jasmine lagi. Kedua telapak tangannya terus mendorong dada Damian agar tercipta jarak dengan pria itu. “Tenang, Jasmine. Semakin kamu berontak, semakin lama kamu di sini!” tegur Damian datar. Dorongan Jasmine mengendor. Kemudian, tanpa sadar ia meremas kemeja depan Damian. Jasmine yakin, Damian bahkan bisa mendengar degup jantungnya. Tangan Damian mengangkat dagu Jasmine, membuatnya mendongak. Mata Jasmine seakan tersihir dengan sorot mata tajam milik Damian. Ia terpaku sejenak. Kesadarannya baru kembali saat Damian deru napas hangat Damian menerpa telinganya. Menimbulkan gelenyar aneh tubuhnya. “Ikuti saya, Jasmine. Jangan tegang. Tenang, ya,” bisik Damian. Kemudian, kembali mengangkat wajah, mengunci tatapan Jasmine. Jasmine mengangguk. Damian semakin memajukan wajahnya. Bibir Damian menyentuh bibir Jasmine, sekedar melihat kesiapan Jasmine. Lalu kembali menjauhkan wajahnya dari Jasmine. “Biarkan bibirmu relax, Jasmine. Jangan menutupnya terlalu kuat.” Jasmine mengikuti arahan Damian. Matanya lalu terpejam. Bibirnya ia biarkan sedikit terbuka siap menyentuh bibir Damian. Kali ini Damian menekannya lebih lama. Ciuman tersebut dilakukan dengan lembut. Damian benar-benar melakukannya dengan tenang. Bahkan kini tangan Jasmine memeluk erat leher Damian. Perlahan, meski kikuk, Jasmine mulai terbiasa dengan sentuhan bibir Damian. Jarak di antara mereka semakin terkikis. Damian pun membiarkan Jasmine mengikuti instingnya untuk belajar. Sampai akhirnya Damian menarik diri. Satu sudut bibirnya terangkat melihat Jasmine yang mengatur napasnya. “Gimana rasanya?” tanya Damian langsung. Jemarinya terulur merapikan beberapa helai anak rambut Jasmine. Jasmine menunduk malu. Hawa panas kembali menjalar di pipinya. Bagaimana ia menjelaskan kalau ciuman Damian membuatnya hampir hilang akal? Melihat reaksi Jasmine, bibir Damian membentuk lengkungan tipis. “Mau dilanjutkan atau kita cukupkan?” “Hah?” Wajah Jasmine otomatis terangkat. Matanya mengerjap lucu. “Wajah kamu memerah. Itu artinya kamu mau lanjut.” Kemudian, Damian kembali mendekatkan wajahnya pada Jasmine. Bibirnya kembali menyentuh bibir merah Jasmine. Kali ini Damian sengaja menarik pinggang Jasmine agar lebih menempel padanya. Satu tangannya bergerak pelan menahan tengkuk Jasmine. Damian tersenyum samar di sela ciumannya saat ia merasakan Jasmine pun mulai mengikuti ritme ciumannya. Meskipun masih begitu kaku, tetapi cara Jasmine menerimanya menciptakan rasa aneh di hati Damian. “Pelan-pelan, Jasmine,” bisik Damian di sela ciumannya. Jasmine tidak menjawab apapun. Namun, ia menurut. Meskipun gerakan bibirnya terasa menuntut, ia melakukannya dengan lembut. Masih dalam keadaan mata terpejam, ia mencoba berani memainkan lidahnya pada mulut pria itu. Gerakan itu kembali menimbulkan getaran aneh di dada Damian, membuatnya sempat terpaku. Apalagi saat bibir manis itu kembali beraksi. Damian pun ikut terbawa suasana. Jasmine seperti membangkitkan sesuatu yang tidak seharusnya. Damian lalu membalas pagutan Jasmine, kali ini lebih mendesak. “Hmmp … Mas!” Jasmine mulai tercekat. Damian tidak menghiraukan itu. Tangannya bahkan entah sejak kapan mulai menurunkan sisi bahu cardigan Jasmine. Bahu putih mulus itu pun bisa ia sentuh langsung. Jasmine mulai panik. Meskipun ia sudah menyepakati perjanjian dengan Damian, tetapi tetap saja ia belum siap jika pria ini melakukannya sekarang. Sementara itu, tangan Damian dengan lembut menyentuh kulit punggungnya langsung. Jasmine merasakan hal aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Astaga! Kenapa jadi begini? “Ma—Mas!” Jasmine berusaha mendorong Damian. Namun, sia-sia. Sampai akhirnya terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Tak lama kemudian, suara seseorang yang sangat Jasmine kenali pun terdengar. “Bro! Masih lama nggak?” Suara Renan tersebut seakan membangkitkan kekuatan Jasmine. Ia pun bisa melepaskan ciuman Damian yang semakin menuntut. Napas Jasmine memburu. “Dam!” Suara Renan kembali terdengar. “Mas! itu Mas Renan. Gimana ini?!” Jasmine menatap Damian panik. Alih-alih panik, Damian justru menggeram kesal. Renan mengganggu kesenangannya.“Semalam kamu dari mana, Jasmine?” tanya Renan, tetap fokus pada sosis, telur dan beberapa potong kentang yang sedang ia goreng.Tidak seperti biasanya, pagi ini Jasmine terlambat bangun. Ia bisa bernapas lega karena ayahnya belum pulang sehingga tak perlu mendengarkan omelan ayahnya. Di rumah hanya ada ia dan Renan. Semalam ia memang pulang terlambat. Namun, bukan itu yang membuatnya terlambat bangun. Ini semua karena Jasmine tidak bisa tidur sebab terus terpikirkan ciumannya dan Damian.Tidak heran julukan playboy kelas kakap disematkan ke Damian. Nyatanya memang begitu. Ciumannya saja mampu membuat jantung Jasmine berdebar hingga sekarang.Jasmine melangkah pelan menuju meja dapur. Kemudian, menuangkan minuman ke gelas. Sebelum menjawab, ia butuh sesuatu yang segar untuk membasahi tenggorakannya. Saat ia baru selesai meneguk minumannya, barulah ia sadar bahwa Renan sedang menatapnya penuh curiga. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh, ya?” Jasmine lalu mengamati penampilannya dari bawah.
"Sembunyi di bawah, Jasmine!” perintah Damian tegas. Mata Jasmine langsung melotot. “Kenapa harus di situ? Aku bisa sembunyi di tempat lain. Atau langsung kabur pas Mas Renan masuk. Aku ahli soal itu, Mas.”Damian menyorot gadis di depannya ini dengan datar. Pelajaran mereka belum selesai. Mana bisa ia membiarkan Jasmine langsung pulang. “Lakukan itu tanpa banyak protes, Jasmine. Kecuali kalau kamu memang mau Renan tahu apa yang barusan kita lakukan,” bisik Damian penuh peringatan. Jasmine menghela napas tak rela. Ia memang lupa mempertimbangkan kemungkinan kakaknya masih di tempat ini. Sebenarnya Jasmine ingin protes kembali, tetapi raut Damian yang terlihat menahan kesal itu membuatnya urung melakukan itu.Kemudian, tanpa berkata apapun, ia lekas bergerak menuju kolong meja kerja Damian. Bersamaan dengan itu, suara pintu didorong terdengar. Derap langkah seseorang yang baru masuk ke ruangan juga terdengar.Sudut mata Damian melirik Jasmine yang terdengar menggerutu tanpa suara d
Mas Damian: Di ruangan saya. Jam 7 malam.Sudah berulang kali Jasmine membaca pesan singkat yang Damian kirim tadi siang. Ia juga sudah beberapa kali mengatur ritme napasnya agar lebih tenang. Nyatanya berada di lantai paling atas Amartha’s bar membuatnya semakin gugup. Alih-alih tenang, cuaca dingin malam itu tidak lantas membuat tangannya berhenti berkeringat dingin. Tenang Jasmine! Ini demi harga dirimu!Satu tangan Jasmine mengepal dan terangkat ke arah pintu. Ia menarik napas dalam, masih berusaha menepis rasa gugup dan cemas dirinya. Lalu kepalan tersebut mengetuk pelan pintu.“Masuk!” sahutan dari dalam terdengar samar.Jasmine lalu membuka pintu besar tersebut perlahan, seiring dengan kakinya yang memasuki ruangan Damian. Segala sesuatu yang ada dalam ruangan itu terasa mengintimidasi dirinya. Sama seperti pemiliknya.Jendela besar yang dibiarkan tidak tertutup tirai, beberapa botol minuman yang Jasmine perkirakan adalah wine mahal pun tersusun rapi di rak kayu mewah, penca
Kamu bisa menolak jika ragu.” Damian menegakkan tubuhnya. Kemudian, kembali bersandar pada meja seperti tadi.Jasmine menunduk. Tidak berani beradu tatap dengan Damian. Seketika ruangan besar yang didominasi warna gelap itu terasa mencekam. Aroma musk yang memenuhi rongga hidungnya membuat tubuh Jasmine merinding seketika. Tubuhku? Oh tidak, ini gila!Dalam kekalutan tersebut, tiba-tiba bayangan saat Erick berhubungan intim dengan Clara kembali muncul. Hinaan Erick, tawa culas Clara dan ejekan orang-orang di sekitarnya. Semuanya berkumpul menjadi satu. “Baiklah! Aku mau,” jawab Jasmine tegas. Wajahnya terangkat, menatap lurus pada Damian.Kali ini Damian yang terdiam. Matanya menyorot dingin sosok di depannya. Jasmine berjalan mendekat. Lalu wajahnya mendongak, menatap Damian dari jarak dekat. “Tapi rahasiakan ini dari Mas Renan, ya. Bisa mati aku kalau dia sampai tahu.” Sudut bibir Damian terangkat. Wajah dengan tatapan polos Jasmine begitu menggemaskan. “Sure. Saya setuju.” J
Senyum dong, Jasmine. Kalau kamu cemberut terus begini, orang-orang akan berpikiran kalau kita belum baikan,” ujar Erick menatap Jasmine sekilas, sebelum akhirnya kembali fokus menatap jalan.Jasmine enggan menjawab. Dibandingkan menanggapi perkataan Erick, Jasmine lebih tertarik memandangi pemandangan di luar mobil. Sisa hujan tadi sore masih menyisakan genangan air di jalanan. Lampu-lampu jalanan tampak memantulkan kilauannya di genangan tersebut. “Are you okay, Sweetheart?” Erick bersuara kembali. Seperti biasa, begitu hangat dan penuh perhatian.Baik-baik saja kepalamu! Mana ada yang baik-baik saja setelah diselingkuhi. Bodoh!Kalau bukan karena ayahnya yang memaksa untuk ikut, Jasmine lebih memilih untuk bergelung dalam selimut menikmati dinginnya cuaca malam ini. Jangankan untuk menemani pria di sebelahnya ini ke pesta ulang tahun Giorgino-sahabat Erick, Jasmine bahkan enggan menemui Erick semenjak perselingkuhan itu.“Kenapa harus aku yang kamu ajak? Bukannya biasanya kamu se
Gimana, Mas? Bisa, kan? Please….” Tangan Jasmine berada di atas tangan Damian. Hening.Damian berdeham. Ia masih tidak percaya gadis polos di sampingnya ini akan meminta hal yang tidak masuk akal seperti itu. Apakah kepala adik sahabatnya ini baru saja terbentur dinding? Netra pekat Damian menatap lurus pada Jasmine. “Kamu sadar dengan permintaanmu itu?”Jasmine mengangguk. Wajahnya tampak pias. Apalagi, cara Damian menatapnya membuat Jasmine semakin diliputi rasa tidak nyaman. Ia tahu ini gila. Namun, Jasmine bisa apa? Harga dirinya sudah dihancurkan oleh mantan tunangan dan sahabatnya sendiri. “Saya nggak bisa,” jawab Damian datar. Jasmine melepaskan tangannya dari tangan Damian. Wajahnya langsung merengut kesal sembari ia beranjak dari duduknya.“Kenapa?”Damian mengamati Jasmine. Selang beberapa saat, kedua sudut bibir pria itu terangkat samar. Pria itu tidak langsung menjawab. Fokusnya justru terarah kepada laptop yang beberapa saat sempat ia abaikan.“Saya sibuk. Nggak ad







