LOGIN"Sembunyi di bawah, Jasmine!” perintah Damian tegas.
Mata Jasmine langsung melotot. “Kenapa harus di situ? Aku bisa sembunyi di tempat lain. Atau langsung kabur pas Mas Renan masuk. Aku ahli soal itu, Mas.” Damian menyorot gadis di depannya ini dengan datar. Pelajaran mereka belum selesai. Mana bisa ia membiarkan Jasmine langsung pulang. “Lakukan itu tanpa banyak protes, Jasmine. Kecuali kalau kamu memang mau Renan tahu apa yang barusan kita lakukan,” bisik Damian penuh peringatan. Jasmine menghela napas tak rela. Ia memang lupa mempertimbangkan kemungkinan kakaknya masih di tempat ini. Sebenarnya Jasmine ingin protes kembali, tetapi raut Damian yang terlihat menahan kesal itu membuatnya urung melakukan itu. Kemudian, tanpa berkata apapun, ia lekas bergerak menuju kolong meja kerja Damian. Bersamaan dengan itu, suara pintu didorong terdengar. Derap langkah seseorang yang baru masuk ke ruangan juga terdengar. Sudut mata Damian melirik Jasmine yang terdengar menggerutu tanpa suara di bawahnya. Lengkungan tipis bibirnya pun muncul. Namun, hanya sesaat sebab setelah itu ia kembali memasang wajah datar. Tepat saat Renan datang lalu duduk di depannya. “Masih banyak pekerjaan? Mau dibantu nggak?” Renan mengamati apa yang ada di meja Damian. Beberapa berkas tersusun rapi. Seperti belum disentuh apapun. Kecuali, laptop yang masih terbuka meskipun terlihat sudah dimatikan. Damian menegakkan tubuhnya, menatap lurus Renan.“Nggak usah. Sebentar lagi selesai. Ini laporan bulanan yang sebenarnya tinggal diperiksa aja.” Renan menyapu isi ruangan sekilas. “Yakin? Tumben banget jam segini udah lanjutin kerja. Bukannya biasanya di sini bawa cewek, ya? Tumben banget sepi.” “Kenapa nanya-nanya begitu? Memangnya kamu yang bisanya cuma kerja, pulang, begitu aja tiap hari. Sekali-kali bawa cewek nggak apa-apalah.” Damian melirik sekilas Jasmine yang menatapnya kesal. Ia berusaha menahan senyum agar Renan tidak curiga. “Eh tunggu-tunggu!” Renan seperti menemukan sesuatu. “Kok kayak ada aroma parfum Jasmine!” Deg! Jasmine kembali panik. Tanpa sadar tangannya meremas paha Damian. Ia tidak menyadari bahwa yang dilakukannya membuat Damian terkejut. “Hanya mirip, Nan. Nggak usah lebay begitu. Kamu kira hanya Jasmine yang punya parfum itu. Aroma buah manis begini banyak yang pakai,” jawab Damian berusaha tenang. Meskipun sebenarnya ia sangat ingin menarik pemilik tangan nakal di bawahnya itu. Renan menggeleng cepat. Wajahnya berubah serius. “Nggak, Bro! Ini aroma Jasmine. Karena dia yang racik sendiri parfumnya.” Jasmine semakin panik di bawah sana. Indera penciuman kakaknya memang tajam. Ia berharap Damian bisa meyakinkan kakaknya untuk segera pergi. Wajahnya terangkat dan hanya bisa menatap Damian yang terlihat tenang itu. ‘Astaga! Mas Damian malah tertawa!’ Jasmine yang geram lalu mencubit paha Damian, membuat pria dengan kemeja hitam itu menghentikan tawanya. Ia lantas berdehem, sembari menatap Renan dengan tenang. “Lebih nggak masuk akal kalau kamu mengira dia di sini. Adikmu mana mau ke tempat seperti ini. Apalagi ke ruanganku.” Sama sekali tidak ada raut tegang di wajah Damian. Satu tangannya bahkan berada di atas tangan Jasmine, sengaja mengusap lembut tangan mungil tersebut. Renan mulai ragu. Damian ada benarnya. Meski aroma vanilla dan peach cream ini begitu menyengat di hidungnya, tidak mungkin juga Jasmine ada di tempat ini. Di ruangan Damian pula. “Ya sudah. Aku pulang dulu, ya. Sepertinya ini karena aku kepikiran Jasmine yang lagi sendiri di rumah.” Renan lantas bangkit. Damian mengangguk, lalu ikut bangkit dari duduknya menghampiri Renan. “Jangan terlalu protektif, Nan. Jasmine sudah cukup umur untuk melakukan hal yang umum dilakukan orang dewasa.” “Kamu akan mengerti kalau kamu punya adik perempuan, Dam,” sahut Renan serius. Kemudian, menepuk pelan bahu Damian. Damian terdiam sejenak. Raut serius Renan membuatnya sedikit merasa bersalah karena telah mengiyakan permintaan Jasmine. Meskipun sebenarnya ia sangat menikmati momen tadi. “Udah pulang sana! Jasmine bisa nangis kalau kamu terlambat pulang.” Renan tertawa pelan. “Sialan! Gitu-gitu dia tetap perempuan tercantik di kota ini.” “Iya-iya. Udah sana pulang. Betah banget di sini!” usir Damian disertai gurauan. Renan akhirnya pergi. Ruangan itu kembali senyap. Kaki Damian terayun mantap menuju tempat Jasmine sembunyi. Tanpa senyum, Damian pun duduk di atas meja lalu satu telunjuknya mengetuk meja. “Keluar, Jasmine! Renan sudah pergi.” Jasmine pun keluar dari persembunyiannya. Meski sebenarnya kesal karena diejek Damian cengeng, ia tetap menahan diri untuk tidak mengeluarkan kalimat protes. Ia juga bersyukur bisa bernapas lega karena kakaknya ternyata tidak lama di ruangan Damian. Jasmine segera menepis kemungkinan debu yang menempel di dressnya. Bibirnya mengerucut lucu. “Nggak lagi deh sembunyi di kolong meja. Capek banget!” Tangan Damian terlipat di depan dada. Ia hanya memperhatikan setiap gerak-gerik Jasmine sambil mengulas senyum samar. Matanya lantas terarah pada bibir mungil Jasmine. Lama ia terdiam menatap benda kenyal yang terasa manis tersebut. Hingga akhirnya, suara Jasmine membuatnya tersentak. “Mas Damian lihat apa?” Jasmine menatapnya dengan polos. Damian berdehem, lalu sengaja mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Pelajarannya bisa kita lanjutkan?” “Hah? Masih belum selesai? Bukannya tadi itu….” Jasmine menatap Damian tak percaya. Kemudian, meraba bibirnya yang tadinya ia rasa sudah membengkak dan masih basah itu. Nada terkejut itu membuat Damian kembali menatap Jasmine. “Itu hanya permulaan, Jasmine. Kamu kira hanya dengan ciuman seperti itu bisa membuat pria dewasa puas?” Permulaan?! Jika permulaannya saja sudah seperti ini, ciuman intinya seperti apa?! “Jangan terlalu dipikirkan, Jasmine. Cukup kamu ikuti saja bagaimana gerakan bibir saya di bibirmu.” Damian kembali meraih bibir Jasmine. Jasmine pasrah. Matanya kembali tertutup, mencoba merasakan dan menggerakan bibirnya mengikuti cara Damian. Malam itu, Jasmine tidak pernah menyangka bahwa ciuman tersebut akan menjadi awal terjadinya hal yang lebih besar dalam hidupnya.“Semalam kamu dari mana, Jasmine?” tanya Renan, tetap fokus pada sosis, telur dan beberapa potong kentang yang sedang ia goreng.Tidak seperti biasanya, pagi ini Jasmine terlambat bangun. Ia bisa bernapas lega karena ayahnya belum pulang sehingga tak perlu mendengarkan omelan ayahnya. Di rumah hanya ada ia dan Renan. Semalam ia memang pulang terlambat. Namun, bukan itu yang membuatnya terlambat bangun. Ini semua karena Jasmine tidak bisa tidur sebab terus terpikirkan ciumannya dan Damian.Tidak heran julukan playboy kelas kakap disematkan ke Damian. Nyatanya memang begitu. Ciumannya saja mampu membuat jantung Jasmine berdebar hingga sekarang.Jasmine melangkah pelan menuju meja dapur. Kemudian, menuangkan minuman ke gelas. Sebelum menjawab, ia butuh sesuatu yang segar untuk membasahi tenggorakannya. Saat ia baru selesai meneguk minumannya, barulah ia sadar bahwa Renan sedang menatapnya penuh curiga. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh, ya?” Jasmine lalu mengamati penampilannya dari bawah.
"Sembunyi di bawah, Jasmine!” perintah Damian tegas. Mata Jasmine langsung melotot. “Kenapa harus di situ? Aku bisa sembunyi di tempat lain. Atau langsung kabur pas Mas Renan masuk. Aku ahli soal itu, Mas.”Damian menyorot gadis di depannya ini dengan datar. Pelajaran mereka belum selesai. Mana bisa ia membiarkan Jasmine langsung pulang. “Lakukan itu tanpa banyak protes, Jasmine. Kecuali kalau kamu memang mau Renan tahu apa yang barusan kita lakukan,” bisik Damian penuh peringatan. Jasmine menghela napas tak rela. Ia memang lupa mempertimbangkan kemungkinan kakaknya masih di tempat ini. Sebenarnya Jasmine ingin protes kembali, tetapi raut Damian yang terlihat menahan kesal itu membuatnya urung melakukan itu.Kemudian, tanpa berkata apapun, ia lekas bergerak menuju kolong meja kerja Damian. Bersamaan dengan itu, suara pintu didorong terdengar. Derap langkah seseorang yang baru masuk ke ruangan juga terdengar.Sudut mata Damian melirik Jasmine yang terdengar menggerutu tanpa suara d
Mas Damian: Di ruangan saya. Jam 7 malam.Sudah berulang kali Jasmine membaca pesan singkat yang Damian kirim tadi siang. Ia juga sudah beberapa kali mengatur ritme napasnya agar lebih tenang. Nyatanya berada di lantai paling atas Amartha’s bar membuatnya semakin gugup. Alih-alih tenang, cuaca dingin malam itu tidak lantas membuat tangannya berhenti berkeringat dingin. Tenang Jasmine! Ini demi harga dirimu!Satu tangan Jasmine mengepal dan terangkat ke arah pintu. Ia menarik napas dalam, masih berusaha menepis rasa gugup dan cemas dirinya. Lalu kepalan tersebut mengetuk pelan pintu.“Masuk!” sahutan dari dalam terdengar samar.Jasmine lalu membuka pintu besar tersebut perlahan, seiring dengan kakinya yang memasuki ruangan Damian. Segala sesuatu yang ada dalam ruangan itu terasa mengintimidasi dirinya. Sama seperti pemiliknya.Jendela besar yang dibiarkan tidak tertutup tirai, beberapa botol minuman yang Jasmine perkirakan adalah wine mahal pun tersusun rapi di rak kayu mewah, penca
Kamu bisa menolak jika ragu.” Damian menegakkan tubuhnya. Kemudian, kembali bersandar pada meja seperti tadi.Jasmine menunduk. Tidak berani beradu tatap dengan Damian. Seketika ruangan besar yang didominasi warna gelap itu terasa mencekam. Aroma musk yang memenuhi rongga hidungnya membuat tubuh Jasmine merinding seketika. Tubuhku? Oh tidak, ini gila!Dalam kekalutan tersebut, tiba-tiba bayangan saat Erick berhubungan intim dengan Clara kembali muncul. Hinaan Erick, tawa culas Clara dan ejekan orang-orang di sekitarnya. Semuanya berkumpul menjadi satu. “Baiklah! Aku mau,” jawab Jasmine tegas. Wajahnya terangkat, menatap lurus pada Damian.Kali ini Damian yang terdiam. Matanya menyorot dingin sosok di depannya. Jasmine berjalan mendekat. Lalu wajahnya mendongak, menatap Damian dari jarak dekat. “Tapi rahasiakan ini dari Mas Renan, ya. Bisa mati aku kalau dia sampai tahu.” Sudut bibir Damian terangkat. Wajah dengan tatapan polos Jasmine begitu menggemaskan. “Sure. Saya setuju.” J
Senyum dong, Jasmine. Kalau kamu cemberut terus begini, orang-orang akan berpikiran kalau kita belum baikan,” ujar Erick menatap Jasmine sekilas, sebelum akhirnya kembali fokus menatap jalan.Jasmine enggan menjawab. Dibandingkan menanggapi perkataan Erick, Jasmine lebih tertarik memandangi pemandangan di luar mobil. Sisa hujan tadi sore masih menyisakan genangan air di jalanan. Lampu-lampu jalanan tampak memantulkan kilauannya di genangan tersebut. “Are you okay, Sweetheart?” Erick bersuara kembali. Seperti biasa, begitu hangat dan penuh perhatian.Baik-baik saja kepalamu! Mana ada yang baik-baik saja setelah diselingkuhi. Bodoh!Kalau bukan karena ayahnya yang memaksa untuk ikut, Jasmine lebih memilih untuk bergelung dalam selimut menikmati dinginnya cuaca malam ini. Jangankan untuk menemani pria di sebelahnya ini ke pesta ulang tahun Giorgino-sahabat Erick, Jasmine bahkan enggan menemui Erick semenjak perselingkuhan itu.“Kenapa harus aku yang kamu ajak? Bukannya biasanya kamu se
Gimana, Mas? Bisa, kan? Please….” Tangan Jasmine berada di atas tangan Damian. Hening.Damian berdeham. Ia masih tidak percaya gadis polos di sampingnya ini akan meminta hal yang tidak masuk akal seperti itu. Apakah kepala adik sahabatnya ini baru saja terbentur dinding? Netra pekat Damian menatap lurus pada Jasmine. “Kamu sadar dengan permintaanmu itu?”Jasmine mengangguk. Wajahnya tampak pias. Apalagi, cara Damian menatapnya membuat Jasmine semakin diliputi rasa tidak nyaman. Ia tahu ini gila. Namun, Jasmine bisa apa? Harga dirinya sudah dihancurkan oleh mantan tunangan dan sahabatnya sendiri. “Saya nggak bisa,” jawab Damian datar. Jasmine melepaskan tangannya dari tangan Damian. Wajahnya langsung merengut kesal sembari ia beranjak dari duduknya.“Kenapa?”Damian mengamati Jasmine. Selang beberapa saat, kedua sudut bibir pria itu terangkat samar. Pria itu tidak langsung menjawab. Fokusnya justru terarah kepada laptop yang beberapa saat sempat ia abaikan.“Saya sibuk. Nggak ad







