Share

Losmen

Wajah Bella panik saat ia tahu Edgar akan membawanya ke hotel, bukan ke kampus. Edgar sudah dibutakan oleh cintanya pada Bella.

"Edgar apa kamu sudah gila? Aku ingin kuliah! Antar aku ke kampus sekarang! Ini sudah terlambat!" Bella menggerakkan lengan Edgar yang tengah fokus menyetir.

"Hanya sebentar Sayang, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sangat tersiksa, dia sudah diujung!"

"Kenapa aku harus berada di posisi seperti ini?" isak Bella lirih.

Bella melepas genggaman tangannya, lalu menyilang kedua tangan ke atas dada. Memilih untuk diam seribu bahasa, karena percuma saja melawan lelaki itu.

"Please, Bell." Edgar menyeringai menatap wanita pujaannya. "Hanya sebentar, kita bisa melanjutkan kuliah di jam kedua pelajaran nanti. Yang kita lakukan tadi sangat tanggung, aku belum mencapai klimaks."

"Memangnya kamu pikir aku bisa menolak? Toh kamu yang menyetir mobil ini!" dengkus Bella kesal.

Edgar mengalihkan pandangan dari jalanan, menatap Bella yang duduk di sampingnya. "Terima kasih, Sayang. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku akan memuaskanmu nanti."

Bella membalas tatapan Edgar lalu mengatakan, "Aku tidak butuh kepuasan! Aku hanya ingin menempuh pendidikan, aku tidak ingin terus hidup seperti ini! Kamu tahu kan? Aku sangat tersiksa hidup miskin dan diinjak-injak oleh orang-orang kaya!"

"Ya, aku tahu. Aku juga ingin melakukan hal yang sama. Aku ingin sukses dan membawamu pergi sejauh-jauhnya dari negara ini! Kita bisa hidup bahagia bersama keluarga kecil kita nanti. Aku, kamu dan anak-anak kita."

Bella menghela nafas panjang, melempar pandang keluar jendela sambil memikirkan nasibnya ke depan.

Semua kerumitan hidupnya terjadi karena hutang kedua orang tuanya pada Barta (Lintah Darat) Andai saja dia memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang besar, dia akan membayar hutang kedua orang tuanya pada Barta.

Edgar menggenggam jemari lentik Bella yang sedari tadi diam membisu.

Bella menatap lelaki di sampingnya sangat lekat.

"Kamu kenapa?" tanya Edgar saat melihat wanita pujaan melamun.

"Tidak apa-apa, aku hanya lelah harus hidup seperti ini terus," gumam Bella melepas genggaman tangan Edgar.

"Aku tahu, aku juga merasakan perasaan yang sama. Tapi, kita pasti bisa melewati ini berdua. Tunggu sampai aku mendapatkan pekerjaan dan uang yang banyak. Aku berjanji aku akan menikahimu dan melunasi semua hutang kedua orang tuamu pada ayahku."

"Edgar! Apa kamu sadar dengan ucapanmu itu? Kamu masih waras 'kan?" Bella semakin kesal.

"Tentu saja aku sadar. Aku sangat-sangat sadar dengan ucapanku!" Edgar tersenyum lebar.

"Maksudku! Kamu … kamu tahu kan kalau hubungan ini terlarang? Aku sudah resmi menjadi Ibu tirimu. Tapi kita justru melewati malam bersama tepat di malam pertamaku dengan ayahmu. Aku sudah resmi menjadi Ibu tirimu, istri dari ayahmu. Kalaupun aku bercerai dengan ayahmu lalu kita menikah. Apa kata orang nanti? Orang pasti akan menjadikan hubungan kita sebagai bahan gunjingan."

"Aku tidak perduli pada orang-orang! Toh, bukan mereka yang memberi kita makan! Bukan mereka yang bisa memberi kita kebahagiaan! Jadi untuk apa kita memikirkan orang lain, Bell? Seharusnya yang kita pikirkan adalah hubungan kita! Aku dan kamu! Bukan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan kita!"

Bella membuang nafas kasar, lelaki di sampingnya memang sudah dibutakan oleh cinta. Hingga membuat akal sehatnya terganggu. Edgar benar-benar tidak tahu resiko yang akan dihadapi nanti, atau dia berpura-pura tidak tahu dan tidak memperdulikan itu?

Kegilaan Edgar sudah benar-benar menghancurkan hidup Bella dan membuatnya semakin merasa serba salah.

"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu," ucap Bella.

"Bel, please. Kita bisa melewati ini, aku dan kamu, Bel. Aku yakin semua akan indah pada waktunya, setelah aku mendapatkan pekerjaan dan uang yang banyak. Setelah aku keluar dari rumah Papaku dan bisa hidup mandiri." Edgar menepikan mobil ke pinggir jalan agar bisa leluasa bicara pada Bella.

"Edgar! Tolong sadarlah. Semua tidak semudah yang kamu pikirkan. Tidak semudah itu. Aku dan kamu benar-benar tidak akan bisa bersatu. Kamu tahu kan bagaimana ayahmu? Dia bisa murka, dia bisa marah besar padamu. Dan kamu bisa menjadi sasaran amukannya."

"Aku tidak perduli! Aku yakin aku bisa keluar dari rumah itu dan membawamu. Setelah aku mendapatkan penghasilan sendiri, yang jauh lebih besar dari uang yang dia berikan setiap bulan!" Edgar bersikeras.

"Bagaimana kamu bisa mewujudkan semua keinginanmu itu kalau kamu saja tidak fokus kuliah? Kamu selalu saja bolos dan lebih mementingkan kesenangan daripada pendidikan! Kamu yakin bisa mendapatkan pekerjaan? Pekerjaan seperti apa? Sedangkan kamu tidak bisa fokus menimba ilmu!" cecar Bella menyadarkan Edgar.

Ucapan Bella seakan menjadi cambuk untuk Edgar. Dia terdiam tidak bisa membalas ucapan wanita pujaannya.

Ia menghela napas panjang lalu mengatakan, "Aku akan membuktikan ucapanku ini! Kamu tenang saja!"

Edgar kembali melajukan mobilnya.

"Kita ke kampus!" pinta Bella.

"Aku sulit berkonsentrasi, aku mohon satu kali saja. Hanya sebentar sampai sesuatu yang sudah berada di ujung ini keluar. Ya." Edgar kembali menggenggam jemari lentik Bella.

"Terserah!" balas Bella kesal.

***

Mobil berhenti tepat di depan Losmen yang tidak terlalu besar, karena Edgar takut jika membawa Bella ke Hotel berbintang resikonya sangat besar, karena di sana banyak yang mengenal Edgar sebagai anak dari Barta, dan Bella adalah istri dari ayahnya.

Sedangkan di Losmen itu, pastinya tidak akan ada yang mengenali mereka.

"Aku akan memesan kamar, kamu tunggu di sini. Okey?" Edgar mengecup kening Bella lembut. "Aku mencintai, Bell."

"Hmm." Bella memalingkan wajah, masih kesal dengan Edgar.

Edgar keluar dari dalam mobil, berjalan mendekati resepsionis di depan Losmen tersebut. Dia memesan satu kamar untuk satu hari, kamar yang paling bagus dengan harga paling mahal, karena saat ini dia masih menerima uang bulanan dari ayahnya.

Tidak berapa lama. Bella turun dari dalam mobil setelah melihat Edgar melambaikan tangan memanggilnya untuk masuk ke dalam Losmen.

Bella berjalan perlahan sambil menyapu pandang keseluruh bangunan Losmen, untuk memastikan tidak ada yang mengenali mereka di sana.

"Aku memesan kamar yang paling mahal, jadi kamu tidak perlu khawatir tempatnya tidak nyaman. Semua sudah dijamin, kenyamanan dan juga kesejukan kamarnya," ucap Edgar merangkul pinggang Bella.

Bella hanya diam membisu, tidak menjawab apapun. Sejujurnya dia sangat takut ada yang melihat dan mengenali mereka.

Keduanya berjalan beriringan melewati beberapa kamar lain di Losmen tersebut, menuju kamar yang dipesan Edgar.

Bella terus menolak dirangkul oleh lelaki tampan di sampingnya, bahkan berjalan beriringan saja dia tidak berani.

"Ini kamar kita," ucap Edgar setelah mereka berdiri di depan pintu kamar.

Edgar membuka pintu tersebut menggunakan kunci yang diberikan petugas resepsionis.

Mendorong pintu kamar hingga terbuka lebar sambil tersenyum. "Silakan masuk, Nona cantik," canda Edgar.

Bella berjalan dengan lesu masuk ke dalam. "Tolong lakukan dengan cepat! Aku ingin kuliah," pinta Bella.

"Iya, Sayang," ucap Edgar membawa Bella semakin mendekati ranjang setelah mengunci pintu. "Aku menginginkanmu setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik."

Edgar mendorong pelan tubuh Bella hingga terjatuh ke atas ranjang empuk. "Langsung saja, ya," katanya lalu naik ke atas tubuh Bella.

"Hmm, cepat lakukan aku ingin berangkat kuliah!" dengkus Bella.

"Okey," balas Edgar lalu mulai meloloskan pakaian Bella satu persatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status