LOGINSemua orang tak akan percaya jika Raja adalah ayah kandung Ilham.
Begitu pun dengan Aina yang baru melihatnya sekarang. Ayah mertuanya itu kembali ke Jakarta setelah menetap dua tahun lebih di Amerika. Raja masih muda. Mungkin usianya masih tiga puluh delapan tahun. Hanya selisih empat belas tahun dari Ilham. Raja juga memiliki perawakan yang tinggi gagah, dengan garis wajah seperti orang blasteran. Semua fisik yang menjadi nilai plus milik ayah mertuanya itu sama sekali tidak menurun pada Ilham. Untuk beberapa saat Aina seolah terbius oleh ketampanan Raja. Tapi, setelah ayah mertuanya balas menatapnya dengan dingin, Aina segera tercekat. "Siapa dia, Tari?" tanya Raja pada istrinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Aina. Entah kenapa Raja merasa familier dengan perempuan belia di depannya. Dia lupa bertemu di mana, tapi dia merasa ada sesuatu dari perempuan itu yang berhasil menarik perhatiannya. Aina mengingatkan Raja pada seseorang. Tari melirik menantunya sinis karena tatapan Raja malah terpaku pada Aina. Dia lalu menjawab tak acuh, "Dia istrinya Ilham, Sayang. Tapi, setelah ini tidak lagi." "Tidak lagi?" ulang Raja tak mengerti. "Iya, Sayang. Ilham akan menceraikannya setelah ini. Dia itu mandul. Ilham sudah punya Della yang bakal dia nikahi. Della lebih cantik, dan tentunya bisa memberikan cucu buat kita." "Mendingan Mas Raja istirahat di kamar daripada di sini," tambah Tari, lalu mengajak Raja pergi meninggalkan Aina dengan melingkarkan tangannya ke lengan kekar Raja. Dia tak mau Raja berlama-lama dengan menantunya itu. Biar bagaimanapun Aina masih muda, cantik, dan tubuhnya bagus. Tidak seperti Tari yang memiliki lemak berlebih di bagian perutnya, dan kerutan di wajahnya yang bulat. Pria normal pasti tertarik pada Aina hanya dengan sekali pandang. Untungnya menantunya itu kini terlihat kumal dengan pakaian lungsuran darinya sehingga Aina tidak lagi menarik. Aina hanya mendesah pelan sambil bergeleng melihat ibu mertuanya yang berusaha memonopoli ayah mertuanya. Seolah Raja hanya milik Tari seorang. Aina tak ambil pusing. Dia kembali ke dapur untuk melanjutkan tugasnya. *** "Jangan duduk di sini! Makan aja di dapur!" sentak Tari saat Aina hendak duduk di meja makan sore harinya. Teman-teman Ilham sudah pulang sejak empat jam yang lalu. Hingga tinggal tersisa Aina, Ilham, Della, Tari, dan Raja di rumah ini. "Hoamm ...." Della yang baru saja keluar dari kamar langsung menempati kursi Aina. Della duduk tanpa menghiraukan Aina yang masih berdiri di sampingnya seakan Aina makhluk transparan. Aina menghela napas berat. Tidak ada tempat lagi untuknya di sini. Di meja makan hanya ada empat kursi. Untuk Tari, Ilham, Della, dan satu yang tersisa untuk ayah mertuanya yang masih belum terlihat karena sibuk di ruang kerjanya. Aina melangkah ke dapur saat Della dan Tari mulai berbincang-bincang seru. Keduanya terlihat sangat cocok. Sudah seperti ibu dan anak saja. Begitu Aina duduk di meja dapur, Aina menatapi wajan bekas memasak yang belum dia cuci. Di meja dapur hanya ada wajan itu, dan nasi sisa yang tinggal satu centong. Aina mengambil nasi di piringnya, dan mulai makan hanya berlauk bumbu sisa yang menempel di wajan. Tidak apa-apa. Yang terpenting perutnya terisi. Lalu pergerakan di sampingnya membuat Aina terkejut bukan main. Saat menoleh ke samping, Aina semakin terkejut mendapati Raja sudah berdiri tegak sambil meletakkan piringnya yang dipenuhi nasi dan lauk ke meja. Sebelah tangan Raja yang tidak sengaja menyentuh lengan Aina, memberikan getaran aneh yang mulai menjalari sekujur tubuh Aina. "Tadi kamu belum menjawab pertanyaan saya. Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Aina? Namamu benar Aina kan?" tanya Raja memutar sedikit tubuhnya hingga menghadap persis ke arah Aina yang masih duduk di kursi. Mata Aina hanya membeliak merespon pertanyaan ayah mertuanya. "Aina, kamu dengar saya?" Aina segera tersadar dan berkedip cepat. "Apa Pak Raja? Maksudku Papa? Papa tadi bertanya apa?" Aina mengutuki dirinya diam-diam. Seharusnya dia tidak terlihat seperti orang bodoh di depan ayah mertuanya yang keren itu. "Saya tadi nanya, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Raja mengulangi pertanyaannya dengan suara tak bernada, dan wajah datar. Meski begitu, Raja tidak terlihat angkuh dan arogan. Justru terlihat berwibawa. Aina terdiam sesaat. Mengalihkan pandangannya pada nasinya yang tinggal setengah. Ingin rasanya dia mengatakan pada ayah mertuanya kalau mereka pernah melewati malam panas bersama di hotel. Tapi, jika Aina menjawab seperti itu secara gamblang. Bisa saja Aina langsung diusir dari rumah ini sekarang. Jadi, menutupi kenyataannya adalah pilihan yang tepat. Aina bergeleng dan memaksakan seuntai senyumnya. "Belum pernah, Pa. Kayaknya aku kelihatan familier karena Mas Ilham pernah mengirimkan fotoku pada Papa." Raja tampak mengerutkan dahinya. Tapi, tak membahasnya lebih lanjut. Sebagai gantinya Raja menujuk ke arah piring yang tadi dia bawa, dan berucap, "Kamu makan itu di meja makan. Saya belum menyentuhnya tadi, jadi kamu tidak perlu khawatir terkena penyakit saya." Aina menatap ayah mertuanya dengan bingung. "Lalu Pak Raja. Maksudnya Papa, makan di mana?" "Saya sudah selesai," balas Raja singkat. Raja lalu berbalik pergi. Meninggalkan Aina sendirian dalam kebingungan. Penyakit apa yang dimaksud oleh ayah mertuanya itu? -BersambungBrakk!!! "Eh, ayam!" Jantung Dodik nyaris meloncat dari tempatnya saat Raja tiba-tiba membanting tabletnya ke meja cukup keras. "Pak Raja, kenapa sih marah-marah? Masih pagi loh, Pak." Dodik tanpa sadar meringis menatap tablet atasannya itu yang malang. Selain suara tadi begitu mengerikan, dia juga merasa sayang pada benda pipih berharga belasan juta itu. Memang sih Pak Raja kaya raya. Tapi ya tidak gini juga. Pikir Dodik murung. Entah kenapa atasannya itu uring-uringan di hari yang masih pagi ini di kantor. Tapi, Raja tak menjawab pertanyaan Dodik sama sekali, Raja justru balik bertanya dengan tatapan tajam pada orang kepercayaannya itu. "Kamu sudah dapat infonya?" tanya Raja dingin tanpa ekspresi. Dodik menelan ludahnya dengan susah payah. Sekarang dia tahu apa yang membuat Raja kesal. Semuanya karena perempuan misterius yang sudah membuat junior atasannya bisa turn on kembali. Bekerja di bawah Raja selama delapan tahun, Dodik jadi mengerti kalau atasannya itu orang yang t
"Sial!" Raja berdecak kesal melihat tonjolan dari balik celananya semakin membesar. Raja sekarang duduk di ruang kerjanya sendirian sehingga dia bisa bebas melepaskan celananya tanpa takut ada yang melihatnya. Ketika celana dalamnya sudah terlepas, kejantanan Raja yang berukuran sangat besar langsung berdiri tegak bagaikan mercusuar. Hanya dengan bersentuhan dengan Aina tadi di dapur, kejantanan Raja bisa mengeras secepat ini. Padahal dengan Tari pun dia kesulitan berdiri. Raja memakai kedua tangannya untuk mengurut pusaka kebanggaannya. "Ahh ...." Raja mendesah sambil membayangkan tubuh perempuan yang dia habisi di hotel miliknya dua hari yang lalu. Raja gagal mencari tahu identitas dari perempuan itu. Membuat Raja merasa frustrasi karena hanya dengannya Raja bisa turn on kembali. Raja merilekskan punggungnya ke sandaran kursi saat dia akan mencapai gelombang kenikmatannya. Cairan miliknya yang kental dan berwarna putih segera menyembur mengenai lantai dan meja kerjanya. Ra
Semua orang tak akan percaya jika Raja adalah ayah kandung Ilham. Begitu pun dengan Aina yang baru melihatnya sekarang.Ayah mertuanya itu kembali ke Jakarta setelah menetap dua tahun lebih di Amerika. Raja masih muda. Mungkin usianya masih tiga puluh delapan tahun. Hanya selisih empat belas tahun dari Ilham. Raja juga memiliki perawakan yang tinggi gagah, dengan garis wajah seperti orang blasteran. Semua fisik yang menjadi nilai plus milik ayah mertuanya itu sama sekali tidak menurun pada Ilham. Untuk beberapa saat Aina seolah terbius oleh ketampanan Raja. Tapi, setelah ayah mertuanya balas menatapnya dengan dingin, Aina segera tercekat. "Siapa dia, Tari?" tanya Raja pada istrinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Aina. Entah kenapa Raja merasa familier dengan perempuan belia di depannya. Dia lupa bertemu di mana, tapi dia merasa ada sesuatu dari perempuan itu yang berhasil menarik perhatiannya. Aina mengingatkan Raja pada seseorang. Tari melirik menantunya sinis karena tat
"Astaga! Maafkan aku. Aku kurang hati-hati." Aina buru-buru mengumpulkan pecahan gelas, dan mengelap lantai yang basah karena kecerobohannya. "Bagaimana ini? Jus lemon dariku sangat mahal loh. Bisa-bisanya terbuang sia-sia karena pembantu sialan ini," celoteh salah satu teman Ilham disertai dengusan kasar. "Pecat saja pembantumu itu, Ilham. Dasar pembantu tak berguna," tambah teman Ilham lainnya dengan mendecakkan lidah. Ilham sama sekali tak membantah teman-temannya yang mengatai Aina sebagai pembantu. Ilham juga tak membantu istrinya itu yang sedang membungkuk-bungkuk di hadapannya demi membersihkan serpihan gelas yang tercecer. "Aww ...." Satu pecahan gelas yang tajam menggores telapak tangan Aina karena dia kurang hati-hati. Darah segar mulai merembes keluar dari bagian tangannya yang terluka. Aina meringis merasakan perihnya. Tapi, hatinya kini terlampau sakit karena perlakuan Ilham, dan ucapan teman-teman suaminya itu. Meski, pakaian Aina sederhana. Dia-lah istri sah Ilh
"Apa? Kalian gagal membawanya ke hotel?" Della nyaris berteriak pada pria gempal yang sudah dia bayar untuk memerkosa Aina, di telepon.Sebenarnya tadi Della berniat menjebak Aina, membuat istri Ilham itu seolah-olah sedang bersenang-senang dengan seorang pria di hotel yang sudah Della pesan sebelumnya.Sehingga Ilham semakin membenci Aina.Dengan begitu Ilham menceraikan Aina lebih cepat, dan Della bisa segera menguasai harta keluarga Ilham yang sangat banyak."Tadi dia menghilang begitu saja saat kami mengejarnya," balas pria gempal dari seberang telepon takut-takut, memicu emosi Della memuncak."Dasar kalian tidak berguna! Cuma mengatasi satu perempuan lemah saja kalian tidak becus! Aku tidak akan memakai jasa kalian lagi!" Della berteriak geram. Dia langsung mematikan sambungan telepon dengan dada bergemuruh.Sialan! Rencananya gagal! Della menendang meja tak bersalah di depannya. Dia akan berusaha mencari cara lain untuk menyingkirkan Aina. Secepatnya!"Della sayang, kenapa waja
Aina tidak tahu berapa lama dia pingsan di dalam kolam renang. Dia membuka matanya saat langit sudah gelap. Mungkin Ilham dan ibu mertuanya sudah pulang. Pikir Aina panik. Dia harus segera membuatkan makan malam untuk mereka."Ughh ...." Aina berusaha bangun dengan susah payah. Dan di saat Aina sudah dalam posisi duduk, dia merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepala dan sekujur tubuhnya.Aina mencoba menyentuh kepalanya, dan tercekat mendapati ada darah kering di bagian pelipisnya.Mengabaikan rasa sakitnya, Aina cepat-cepat keluar dari kolam sebelum Tari melihatnya. Dia tidak mau ibu mertuanya kembali menenggelamkan kepalanya ke wastafel penuh dengan air dingin seperti yang sudah-sudah, saat mendapati Aina ketiduran karena kelelahan.Setelah berhasil keluar dari kolam renang, Aina berderap dengan kaki tertatih-tatih menuju ruang utama. Namun, rumah terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ilham, Tari, ataupun Della.Aina mendesah berat, lalu mendudukkan dirinya







