Mag-log in"Astaga! Maafkan aku. Aku kurang hati-hati." Aina buru-buru mengumpulkan pecahan gelas, dan mengelap lantai yang basah karena kecerobohannya.
"Bagaimana ini? Jus lemon dariku sangat mahal loh. Bisa-bisanya terbuang sia-sia karena pembantu sialan ini," celoteh salah satu teman Ilham disertai dengusan kasar. "Pecat saja pembantumu itu, Ilham. Dasar pembantu tak berguna," tambah teman Ilham lainnya dengan mendecakkan lidah. Ilham sama sekali tak membantah teman-temannya yang mengatai Aina sebagai pembantu. Ilham juga tak membantu istrinya itu yang sedang membungkuk-bungkuk di hadapannya demi membersihkan serpihan gelas yang tercecer. "Aww ...." Satu pecahan gelas yang tajam menggores telapak tangan Aina karena dia kurang hati-hati. Darah segar mulai merembes keluar dari bagian tangannya yang terluka. Aina meringis merasakan perihnya. Tapi, hatinya kini terlampau sakit karena perlakuan Ilham, dan ucapan teman-teman suaminya itu. Meski, pakaian Aina sederhana. Dia-lah istri sah Ilham. Namun, semua teman-teman Ilham justru memandang rendah dirinya. Aina menatap darahnya yang menetes ke lantai dengan pandangan yang mulai dikaburkan air mata. Lalu, tiba-tiba suara ceria Della terdengar memecah keheningan yang ada. "Aku kemarin buat kue enak loh. Mau aku ambilkan?" ucap Della dengan gaya centil yang dibuat-buat. Perhatian teman-teman Ilham segera berpindah pada Della. Mereka yang sebelumnya mengumpati Aina, berubah tertawa ramah saat berbicara dengan Della. "Wah, Ilham tidak rugi punya kekasih seperti Della. Selain cantik, Della juga pintar masak," puji teman Ilham, membuat Della tersenyum malu. "Iya. Kamu harus cepet nikahi Della, Ilham. Jangan sampai Della keburu diambil orang. Yang kayak gitu yang ngincer banyak." Pujian-pujian itu terus berlanjut, tanpa mempedulikan Aina yang masih berjongkok di depan mereka sambil mencengkeram nampan di kedua tangannya, serta matanya yang berkaca-kaca. Della berjalan cepat ke dapur melewati Aina begitu saja, dan kembali dengan membawa kue coklat yang tampak lezat ke hadapan teman-teman Ilham. "Tadaa! Ini dia kue buatanku. Silahkan dicoba!" ujar Della dengan ceria. Aina menatap kue itu dengan dahi berkerut. Kue itu adalah kue buatannya. Kemarin sebelum Tari membuang semua barang-barang Aina keluar dari kamar, ibu mertuanya itu menyuruh Aina membuatkan kue. Aina kira kue itu akan mereka makan sebagai hidangan penutup setelah makan malam. Tapi, ternyata disajikan hari ini. "Kuenya enak sekali. Lebih enak dari yang dijual di bakery-bakery," tukas teman Ilham dengan mata berbinar-binar begitu melahap kue coklat tersebut. "Iya. Enak sekali. Baru kali ini aku makan kue yang seenak ini." "Kalau kalian suka, aku akan buatkan lagi saat kalian main ke sini." Della dengan bangga menerima pujian dari teman-teman Ilham. Padahal bukan dirinya yang membuat kuenya. Tatapan Aina beralih pada Ilham. Suaminya itu tahu persis jika Aina-lah yang membikin kue yang sedang dinikmati teman-temannya. Tapi, lagi-lagi Ilham bergeming. Malahan Ilham tampak tersenyum senang dengan pandangan tak lepas dari Della ketika pria itu mengunyah kue coklat. Tanpa bisa Aina tahan lagi, satu air matanya menetes. Diikuti tetesan yang lain. Aina segera menyelesaikan pekerjaannya membersihkan lantai, lalu berdiri cepat seraya menyembunyikan air matanya. Ketika Aina berbalik, dia tidak sengaja menabrak bahu seorang pria cukup keras. Aina terkejut, dan langsung menunduk lebih dalam. "Maafkan aku." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Suara berat si pria membuat Aina mengangkat kepalanya untuk menatap. Dan ketika matanya bertemu dengan mata hazel si pria, dia seketika membeku di tempatnya berdiri. Pria itu .... Pria yang merenggut hal paling berharga milik Aina semalam. "Mas Raja sayang, kamu kan baru saja sampai di Jakarta. Bagaimana kalau kamu istirahat dulu?" ujar Tari menghampiri Raja. Tari memeluk Raja dengan erat. Ibu mertuanya itu membenamkan kepalanya ke dada Raja penuh rindu. Sementara, tatapan si pria justru terpatri pada Aina. Aina menelan ludahnya dengan susah payah. Aina menatap Raja lagi, berharap semua ini hanyalah mimpi. Tapi, ketika mata hazel si pria balas memandangnya dengan dingin. Aina kembali tertampar oleh kenyataan yang tidak ingin dia percayai. Aina Maharani telah menghabiskan malam bersama Raja Wisnu Baskoro, ayah mertuanya sendiri! -BersambungBrakk!!! "Eh, ayam!" Jantung Dodik nyaris meloncat dari tempatnya saat Raja tiba-tiba membanting tabletnya ke meja cukup keras. "Pak Raja, kenapa sih marah-marah? Masih pagi loh, Pak." Dodik tanpa sadar meringis menatap tablet atasannya itu yang malang. Selain suara tadi begitu mengerikan, dia juga merasa sayang pada benda pipih berharga belasan juta itu. Memang sih Pak Raja kaya raya. Tapi ya tidak gini juga. Pikir Dodik murung. Entah kenapa atasannya itu uring-uringan di hari yang masih pagi ini di kantor. Tapi, Raja tak menjawab pertanyaan Dodik sama sekali, Raja justru balik bertanya dengan tatapan tajam pada orang kepercayaannya itu. "Kamu sudah dapat infonya?" tanya Raja dingin tanpa ekspresi. Dodik menelan ludahnya dengan susah payah. Sekarang dia tahu apa yang membuat Raja kesal. Semuanya karena perempuan misterius yang sudah membuat junior atasannya bisa turn on kembali. Bekerja di bawah Raja selama delapan tahun, Dodik jadi mengerti kalau atasannya itu orang yang t
"Sial!" Raja berdecak kesal melihat tonjolan dari balik celananya semakin membesar. Raja sekarang duduk di ruang kerjanya sendirian sehingga dia bisa bebas melepaskan celananya tanpa takut ada yang melihatnya. Ketika celana dalamnya sudah terlepas, kejantanan Raja yang berukuran sangat besar langsung berdiri tegak bagaikan mercusuar. Hanya dengan bersentuhan dengan Aina tadi di dapur, kejantanan Raja bisa mengeras secepat ini. Padahal dengan Tari pun dia kesulitan berdiri. Raja memakai kedua tangannya untuk mengurut pusaka kebanggaannya. "Ahh ...." Raja mendesah sambil membayangkan tubuh perempuan yang dia habisi di hotel miliknya dua hari yang lalu. Raja gagal mencari tahu identitas dari perempuan itu. Membuat Raja merasa frustrasi karena hanya dengannya Raja bisa turn on kembali. Raja merilekskan punggungnya ke sandaran kursi saat dia akan mencapai gelombang kenikmatannya. Cairan miliknya yang kental dan berwarna putih segera menyembur mengenai lantai dan meja kerjanya. Ra
Semua orang tak akan percaya jika Raja adalah ayah kandung Ilham. Begitu pun dengan Aina yang baru melihatnya sekarang.Ayah mertuanya itu kembali ke Jakarta setelah menetap dua tahun lebih di Amerika. Raja masih muda. Mungkin usianya masih tiga puluh delapan tahun. Hanya selisih empat belas tahun dari Ilham. Raja juga memiliki perawakan yang tinggi gagah, dengan garis wajah seperti orang blasteran. Semua fisik yang menjadi nilai plus milik ayah mertuanya itu sama sekali tidak menurun pada Ilham. Untuk beberapa saat Aina seolah terbius oleh ketampanan Raja. Tapi, setelah ayah mertuanya balas menatapnya dengan dingin, Aina segera tercekat. "Siapa dia, Tari?" tanya Raja pada istrinya tanpa mengalihkan tatapannya dari Aina. Entah kenapa Raja merasa familier dengan perempuan belia di depannya. Dia lupa bertemu di mana, tapi dia merasa ada sesuatu dari perempuan itu yang berhasil menarik perhatiannya. Aina mengingatkan Raja pada seseorang. Tari melirik menantunya sinis karena tat
"Astaga! Maafkan aku. Aku kurang hati-hati." Aina buru-buru mengumpulkan pecahan gelas, dan mengelap lantai yang basah karena kecerobohannya. "Bagaimana ini? Jus lemon dariku sangat mahal loh. Bisa-bisanya terbuang sia-sia karena pembantu sialan ini," celoteh salah satu teman Ilham disertai dengusan kasar. "Pecat saja pembantumu itu, Ilham. Dasar pembantu tak berguna," tambah teman Ilham lainnya dengan mendecakkan lidah. Ilham sama sekali tak membantah teman-temannya yang mengatai Aina sebagai pembantu. Ilham juga tak membantu istrinya itu yang sedang membungkuk-bungkuk di hadapannya demi membersihkan serpihan gelas yang tercecer. "Aww ...." Satu pecahan gelas yang tajam menggores telapak tangan Aina karena dia kurang hati-hati. Darah segar mulai merembes keluar dari bagian tangannya yang terluka. Aina meringis merasakan perihnya. Tapi, hatinya kini terlampau sakit karena perlakuan Ilham, dan ucapan teman-teman suaminya itu. Meski, pakaian Aina sederhana. Dia-lah istri sah Ilh
"Apa? Kalian gagal membawanya ke hotel?" Della nyaris berteriak pada pria gempal yang sudah dia bayar untuk memerkosa Aina, di telepon.Sebenarnya tadi Della berniat menjebak Aina, membuat istri Ilham itu seolah-olah sedang bersenang-senang dengan seorang pria di hotel yang sudah Della pesan sebelumnya.Sehingga Ilham semakin membenci Aina.Dengan begitu Ilham menceraikan Aina lebih cepat, dan Della bisa segera menguasai harta keluarga Ilham yang sangat banyak."Tadi dia menghilang begitu saja saat kami mengejarnya," balas pria gempal dari seberang telepon takut-takut, memicu emosi Della memuncak."Dasar kalian tidak berguna! Cuma mengatasi satu perempuan lemah saja kalian tidak becus! Aku tidak akan memakai jasa kalian lagi!" Della berteriak geram. Dia langsung mematikan sambungan telepon dengan dada bergemuruh.Sialan! Rencananya gagal! Della menendang meja tak bersalah di depannya. Dia akan berusaha mencari cara lain untuk menyingkirkan Aina. Secepatnya!"Della sayang, kenapa waja
Aina tidak tahu berapa lama dia pingsan di dalam kolam renang. Dia membuka matanya saat langit sudah gelap. Mungkin Ilham dan ibu mertuanya sudah pulang. Pikir Aina panik. Dia harus segera membuatkan makan malam untuk mereka."Ughh ...." Aina berusaha bangun dengan susah payah. Dan di saat Aina sudah dalam posisi duduk, dia merasakan rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepala dan sekujur tubuhnya.Aina mencoba menyentuh kepalanya, dan tercekat mendapati ada darah kering di bagian pelipisnya.Mengabaikan rasa sakitnya, Aina cepat-cepat keluar dari kolam sebelum Tari melihatnya. Dia tidak mau ibu mertuanya kembali menenggelamkan kepalanya ke wastafel penuh dengan air dingin seperti yang sudah-sudah, saat mendapati Aina ketiduran karena kelelahan.Setelah berhasil keluar dari kolam renang, Aina berderap dengan kaki tertatih-tatih menuju ruang utama. Namun, rumah terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ilham, Tari, ataupun Della.Aina mendesah berat, lalu mendudukkan dirinya







