Share

Bab 8

Diva teringat perkenalannya dengan Liam. 

"Berdiri di situ!"

Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.

Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih.

"Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu.

"Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele dengan tanggungjawabnya tapi minta hak.

Liam tidak peduli tatapan satu ruangan ini ke arahnya setajam pisau sekalipun. Meeting terganggu gara-gara kedatangan si wanita ini.

"Maaf lain kali gak lagi." Kata Diva sambil menggigiti bolpoint, "Aku janji." Tangannya naik ke atas mengucap janji, awas saja kemakan janji. Liam pun menghela nafas, berasa sedang berhadapan dengan anak SMA.

"Duduk."

Diva duduk dengan senyum lebar. Lalu Liam melanjutkan meeting yang terputus. Sambil menerangkan Liam melihat Diva, nih anak tidak ada serius-seriusnya kerja. Dengan kepala bersandar ke belakang bangku dan bergoyang-goyang mengikuti ritme suara Liam. Mesti dikasih kerjaan lebih nih.

Dan tercucilah otak Liam, Diva mesti dikerasin supaya dia tahu arti disiplin.

"Diva, nanti kamu tolong bantuin Nara handle pekerjaannya sebagian. Dia lagi butuh tenaga." Kata Liam setelah rapat selesai. Dan sebagian staf sudah keluar dari ruang rapat.

"Siap, laksanakan!" Dia langsung menurut. Lalu berjalan riang mengejar Nara yang sudah mendahuluinya. Rasanya wanita itu kelewat polos, harusnya dia basa-basi kan, kenapa kerjaan Nara Liam kasih ke dia?

🌹🌹🌹

Saat jam makan siang, seperti biasa satu departemen makan siang bersama di kafetarian. Liam sebagai penyandang jabatan lebih tinggi tidak pernah pilih-pilih makan dengan siapa saja. Meskipun itu dengan Doni-si penjilat yang selalu ngebaik-baikin dia di depan. Di belakang malah menggosip. Liam tahu lah...

"Kapan proyek yang kemarin selesai, Pak Liam?" suara itu dari Doni, pria sok keren berkacamata min. Dia lupa apa pura-pura lupa proyek yang Liam sodorin kan ditolak atasan si pemilik perusahaan.

Telunjuk Liam menyentuh hidung, kebiasaan dia kalau benci menjawab pertanyaan orang. "Yang itu, saya gak selesain. Entar kalo ada proyek baru saya minta kamu untuk bantuin."

Doni hampir bersorak. "Serius Pak? Ngarep banget aku gabung di proyek Bapak." Liam manggut-manggut tidak terlalu merespon. Setelah itu di meja mereka ricuh, saling bercerita sambil makan. Dan yang paling banyak kena santapan adalah Diva, karena dia anak baru.

Obrolan tidak penting menurut Liam. Lebih penting ayam bakar bumbu pedas ini. Saat mata Liam tidak sengaja melihat Diva-heh... mata Diva lama banget natap Liam. Gila... dia bikin Liam gugup dengan cara Diva menatapnya.

"Dulu sebelum kamu kerja di sini, kerja dimana?" tanya Nara melihat Diva--Nara sudah memotong rambutnya menjadi sebahu.

"Aku kerja di percetakan. Tadinya niat mau jadi penulis, tapi gak ada satu cerita aku yang bagus." Diva menarik nafas, "Jadi aku ngerasa gagal, satu buku pun gak ada yang naik cetak."

Nara terkekeh, mungkin dia juga tidak percaya sama dengan yang lain. Si Diva punya niat jadi penulis? Yang bener saja.

"Akhirnya aku sadar sebenernya aku gak punya bakat." Ucap Diva lagi.

"Kamu udah punya pacar?" kini giliran Rania bertanya. Diva menggeleng, "Kamu itu butuh cowok untuk menggali bakat kamu. Menjalin cinta bisa bikin imajinasi kamu keluar." Katanya sambil mengunyah makanan. Diva menunduk dengan wajah malu-malu tawanya pun tidak terdengar.

"Aku gak punya cowok."

Menurut Liam sih mustahil wanita secantik Diva tidak punya pasangan. Kecuali dia pemilih. Dan mencari ide tidak harus real. Dia bisa menonton atau baca buku untuk memperluas otaknya. Tapi semua itu hanya bisa Liam pendam tanpa diutarakan.

Diva menaburi nasinya dengan kecap. "Hm, enak banget," komentarnya seperti anak kecil. Hanya anak SD rasa Liam yang mau makan nasi diberi kecap. Padahal ayam gede di piring tidak dia bilang enak, "Gue suka makan pakek kecap." Ucapnya berasa bicara pada Liam deh. Mata Liam lalu melihat pintu keluar dengan deheman kecil.

"Lidah aku kesiksa kalo makan kayak kamu. Kalau aku sih bagusan makan pedas daripada manis," komentar Nara yang bergidik. Lidahnya terasa geli membayangkan memakan nasi medok kecap.

Diva kembali melihat ke arah Liam. "Kalau Bapak suka masakan apa?" tanyanya. Liam tidak langsung menjawab, masih terpesona dengan senyumnya Diva. Gila ya wanita ini... Selama ini Liam sudah bicara kasar padanya, tapi masih bisa nanya makanan kesukaannya.

"Saya gak pilih-pilih soal makanan, tapi lebih suka makan steak," jawab Liam.

Liam pikir akan meminta Diva menjadi asistennya kalau ada proyek baru. Orang yang tidak cepat tersinggung seperti ini yang enak jadi patner kerja.

🌹🌹🌹

Malam saat jam kerja sudah habis dua jam lalu, Liam mendapatkan Diva duduk di bangkunya menyusun kertas-kertas dengan sangat serius. Rambut panjangnya dicepol ke atas, bolpoint menjadi hiasanya cepolannya, sesekali Diva menggaruk kepalanya dengan umpatan kecil. Hanya bagian lampu meja Diva yang menyala sedangkan yang lain sudah padam. Liam terus memperhatikan mimik muka Diva lalu tanpa sadar senyum geli terlukis di bibirnya. Hal yang jarang sekali dia lakukan, karena seorang Liam Kavindra terlalu menikmati pekerjaan dengan wajah kaku.

Di usianya ke 27 ini Liam termasuk sukses dalam pekerjaannya. Mobil, rumah mewah, tabungan untuk pensiun sudah ada, dan juga beberapa aset untuk masa depan keluarganya. Dianugerahi wajah tampan dan tubuh yang tinggi terkadang membuat team produksi meminta Liam sebagai icon.

Dengan hidup yang lebih dari berkecukupan tidak membuat Liam senang party ataupun suka shopping. Hidupnya datar saja pulang kerja dia akan pulang ke rumah setelah itu paginya kembali lagi ke kantor. Sangat monoton.

"Kenapa belum pulang? Tinggal kamu sendirian di sini." Ujar Liam yang sudah mendekati meja Diva. Gadis itu mendongak lalu tersenyum, tapi tangannya tetap sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk.

"Kerjaan aku belum selesai, Nara bilang besok pagi berkas ini harus selesai." Sahut Diva. Liam cukup terkesan dengan kegigihan wanita itu.

Liam tidak tega membiarkan Diva sendirian di kantor, mulutnya hendak menyuruh Diva pulang, "Diva." Kalimatnya menggantung, "Saya bantuin. Kamu kesusahan dimananya?" tanya Liam menarik kursi di belakang lalu mendekat pada meja Diva.

Sejenak timbul keheningan, lalu Diva berkata, "Bapak serius?" Liam tidak menjawab, tapi tangan dan matanya menunjukkan siap bekerja. Diva memperhatikan keseluruhan wajah tampan Liam lalu menyembunyikan senyumnya.

Beberapa lama kedua orang itu tampak serius mengerjakan tugas Diva, yang sebenarnya itu semua disebabkan oleh Liam sendiri karena melimpahkan pekerjaan Nara pada Diva, dan itu membuatnya merasa bersalah.

Ternyata sifat Liam lebih menyenangkan dari sebelum-sebelumnya, mereka menghabiskan waktu menyelesaikan tugas sambil bercerita tentang hobi Diva yang menulis dan Liam memberikan masukan-masukan diselingi tawa kecilnya. Saat kulit mereka tidak sengaja bersentuhan Diva merasakan kehangatan dalam diri Liam--dan di situlah perut Diva seperti dipenuhi beribu-ribu kupu-kupu.

Diva mulai membayangkan dia menulis hal romantis yang dilakukan pria pada wanita, hanya mendengar Liam berkata, "Lain kali jangan pulang larut, bahaya. Kamu kan perempuan." Membuat Diva bahagia.

Ketika mereka sedang berjalan di lorong yang sepi ke arah lift, lalu berjalan ke parkiran seakan mereka sedang berjalan-jalan di pantai dengan suara deburan ombak dari debaran jantung Diva.

Liam pun membuka pintu mobil milik Diva untuknya--Diva malah merasa seperti diberikan kejutan kecil oleh Liam. Badan Diva mulai memperkecil jarak mereka, memberikan tanda-tanda kalau dia tertarik. Terkadang pria harus diberikan kode-kode agar tidak terlalu lama mengulur waktu. Karena Diva merasa figur seperti Liam lah yang sering dia jadikan dalam sosok pria dalam cerita tulisannya.

"Pak, makasih ya sudah bantuin. Tadinya aku pikir bakal sampe pagi di kantor," ucap Diva. Pintu mobil sudah terbuka, seakan dia tidak rela waktu memisahkan mereka.

"Santai ajalah." Sahut Liam.

Diva tersenyum, "Next aku traktir ngopi ya. Untuk ucapan terimakasih aja, Pak."

"Gak perlulah, gituan doang kok." Kata Liam dengan wajah santai. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku.

Diva tergelak, "Gituan doang gimana? Kopi doang gitu maksudnya?" Balas Diva, dia masih menunjukkan pesonannya.

"Bukan gitu." Liam merasa tidak enak. "Boleh deh, next time ya." Liam benar-benar tidak bisa menolaknya, dia takut dicap sombong atau es batu yang dingin.

Lalu mereka terdiam agak lama, berdiri berhadapan. Tubuh Diva hanya sebahu Liam, dengan jarak sedekat itu kupu-kupu dalam perut Diva semakin bertambah banyak. Mungkin sudah mencapai milyaran.

"Janji ya. Entar aku tagih lho," ucap Diva. Bukankah dialog itu lebih cocok diucapkan oleh Liam? Melihat mata Diva yang berbinar penuh cahaya bisa dipastikan hatinya telah jatuh untuk Liam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status