Diva teringat perkenalannya dengan Liam.
"Berdiri di situ!"
Perintah Liam pada wanita berambut ikal di bawah itu, "Kamu telat 10 menit. Luar biasa sebagai anak baru. Hasil kerja kamu belum ada tapi yang kamu tunjukan adalah prestasi gak berbobot." Kata Liam dengan pongahnya.
Seluruh karyawan yang berada di situ melihat Diva dengan prihatin, bakal jadi korban kemarahan boss mereka nih.
"Maaf Pak telat, tadi macet," jawab Diva. Ia mengangkat jam tangan tali coklatnya, melihat waktu, "Tapi kan masih 10 menit aja, ben-neran aku gak bermaksud telat, Pak." Wanita itu tergugup karena sekarang dia menjadi sorotan satu ruangan itu.
"Sepuluh menit aja kamu bilang? Niat jadi wanita karier gak sih? Kalau males-malesan mendingan kamu cari pria tajir terus nikah. Tunggu suami pulang di tempat tidur, simple kan." Kata Liam sangking kesalnya. Dia paling tidak suka karyawan baru suka sepele dengan tanggungjawabnya tapi minta hak.
Liam tidak peduli tatapan satu ruangan ini ke arahnya setajam pisau sekalipun. Meeting terganggu gara-gara kedatangan si wanita ini.
"Maaf lain kali gak lagi." Kata Diva sambil menggigiti bolpoint, "Aku janji." Tangannya naik ke atas mengucap janji, awas saja kemakan janji. Liam pun menghela nafas, berasa sedang berhadapan dengan anak SMA.
"Duduk."
Diva duduk dengan senyum lebar. Lalu Liam melanjutkan meeting yang terputus. Sambil menerangkan Liam melihat Diva, nih anak tidak ada serius-seriusnya kerja. Dengan kepala bersandar ke belakang bangku dan bergoyang-goyang mengikuti ritme suara Liam. Mesti dikasih kerjaan lebih nih.
Dan tercucilah otak Liam, Diva mesti dikerasin supaya dia tahu arti disiplin.
"Diva, nanti kamu tolong bantuin Nara handle pekerjaannya sebagian. Dia lagi butuh tenaga." Kata Liam setelah rapat selesai. Dan sebagian staf sudah keluar dari ruang rapat.
"Siap, laksanakan!" Dia langsung menurut. Lalu berjalan riang mengejar Nara yang sudah mendahuluinya. Rasanya wanita itu kelewat polos, harusnya dia basa-basi kan, kenapa kerjaan Nara Liam kasih ke dia?
🌹🌹🌹
Saat jam makan siang, seperti biasa satu departemen makan siang bersama di kafetarian. Liam sebagai penyandang jabatan lebih tinggi tidak pernah pilih-pilih makan dengan siapa saja. Meskipun itu dengan Doni-si penjilat yang selalu ngebaik-baikin dia di depan. Di belakang malah menggosip. Liam tahu lah...
"Kapan proyek yang kemarin selesai, Pak Liam?" suara itu dari Doni, pria sok keren berkacamata min. Dia lupa apa pura-pura lupa proyek yang Liam sodorin kan ditolak atasan si pemilik perusahaan.
Telunjuk Liam menyentuh hidung, kebiasaan dia kalau benci menjawab pertanyaan orang. "Yang itu, saya gak selesain. Entar kalo ada proyek baru saya minta kamu untuk bantuin."
Doni hampir bersorak. "Serius Pak? Ngarep banget aku gabung di proyek Bapak." Liam manggut-manggut tidak terlalu merespon. Setelah itu di meja mereka ricuh, saling bercerita sambil makan. Dan yang paling banyak kena santapan adalah Diva, karena dia anak baru.
Obrolan tidak penting menurut Liam. Lebih penting ayam bakar bumbu pedas ini. Saat mata Liam tidak sengaja melihat Diva-heh... mata Diva lama banget natap Liam. Gila... dia bikin Liam gugup dengan cara Diva menatapnya.
"Dulu sebelum kamu kerja di sini, kerja dimana?" tanya Nara melihat Diva--Nara sudah memotong rambutnya menjadi sebahu.
"Aku kerja di percetakan. Tadinya niat mau jadi penulis, tapi gak ada satu cerita aku yang bagus." Diva menarik nafas, "Jadi aku ngerasa gagal, satu buku pun gak ada yang naik cetak."
Nara terkekeh, mungkin dia juga tidak percaya sama dengan yang lain. Si Diva punya niat jadi penulis? Yang bener saja.
"Akhirnya aku sadar sebenernya aku gak punya bakat." Ucap Diva lagi.
"Kamu udah punya pacar?" kini giliran Rania bertanya. Diva menggeleng, "Kamu itu butuh cowok untuk menggali bakat kamu. Menjalin cinta bisa bikin imajinasi kamu keluar." Katanya sambil mengunyah makanan. Diva menunduk dengan wajah malu-malu tawanya pun tidak terdengar.
"Aku gak punya cowok."
Menurut Liam sih mustahil wanita secantik Diva tidak punya pasangan. Kecuali dia pemilih. Dan mencari ide tidak harus real. Dia bisa menonton atau baca buku untuk memperluas otaknya. Tapi semua itu hanya bisa Liam pendam tanpa diutarakan.
Diva menaburi nasinya dengan kecap. "Hm, enak banget," komentarnya seperti anak kecil. Hanya anak SD rasa Liam yang mau makan nasi diberi kecap. Padahal ayam gede di piring tidak dia bilang enak, "Gue suka makan pakek kecap." Ucapnya berasa bicara pada Liam deh. Mata Liam lalu melihat pintu keluar dengan deheman kecil.
"Lidah aku kesiksa kalo makan kayak kamu. Kalau aku sih bagusan makan pedas daripada manis," komentar Nara yang bergidik. Lidahnya terasa geli membayangkan memakan nasi medok kecap.
Diva kembali melihat ke arah Liam. "Kalau Bapak suka masakan apa?" tanyanya. Liam tidak langsung menjawab, masih terpesona dengan senyumnya Diva. Gila ya wanita ini... Selama ini Liam sudah bicara kasar padanya, tapi masih bisa nanya makanan kesukaannya.
"Saya gak pilih-pilih soal makanan, tapi lebih suka makan steak," jawab Liam.
Liam pikir akan meminta Diva menjadi asistennya kalau ada proyek baru. Orang yang tidak cepat tersinggung seperti ini yang enak jadi patner kerja.
🌹🌹🌹
Malam saat jam kerja sudah habis dua jam lalu, Liam mendapatkan Diva duduk di bangkunya menyusun kertas-kertas dengan sangat serius. Rambut panjangnya dicepol ke atas, bolpoint menjadi hiasanya cepolannya, sesekali Diva menggaruk kepalanya dengan umpatan kecil. Hanya bagian lampu meja Diva yang menyala sedangkan yang lain sudah padam. Liam terus memperhatikan mimik muka Diva lalu tanpa sadar senyum geli terlukis di bibirnya. Hal yang jarang sekali dia lakukan, karena seorang Liam Kavindra terlalu menikmati pekerjaan dengan wajah kaku.
Di usianya ke 27 ini Liam termasuk sukses dalam pekerjaannya. Mobil, rumah mewah, tabungan untuk pensiun sudah ada, dan juga beberapa aset untuk masa depan keluarganya. Dianugerahi wajah tampan dan tubuh yang tinggi terkadang membuat team produksi meminta Liam sebagai icon.
Dengan hidup yang lebih dari berkecukupan tidak membuat Liam senang party ataupun suka shopping. Hidupnya datar saja pulang kerja dia akan pulang ke rumah setelah itu paginya kembali lagi ke kantor. Sangat monoton.
"Kenapa belum pulang? Tinggal kamu sendirian di sini." Ujar Liam yang sudah mendekati meja Diva. Gadis itu mendongak lalu tersenyum, tapi tangannya tetap sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk.
"Kerjaan aku belum selesai, Nara bilang besok pagi berkas ini harus selesai." Sahut Diva. Liam cukup terkesan dengan kegigihan wanita itu.
Liam tidak tega membiarkan Diva sendirian di kantor, mulutnya hendak menyuruh Diva pulang, "Diva." Kalimatnya menggantung, "Saya bantuin. Kamu kesusahan dimananya?" tanya Liam menarik kursi di belakang lalu mendekat pada meja Diva.
Sejenak timbul keheningan, lalu Diva berkata, "Bapak serius?" Liam tidak menjawab, tapi tangan dan matanya menunjukkan siap bekerja. Diva memperhatikan keseluruhan wajah tampan Liam lalu menyembunyikan senyumnya.
Beberapa lama kedua orang itu tampak serius mengerjakan tugas Diva, yang sebenarnya itu semua disebabkan oleh Liam sendiri karena melimpahkan pekerjaan Nara pada Diva, dan itu membuatnya merasa bersalah.
Ternyata sifat Liam lebih menyenangkan dari sebelum-sebelumnya, mereka menghabiskan waktu menyelesaikan tugas sambil bercerita tentang hobi Diva yang menulis dan Liam memberikan masukan-masukan diselingi tawa kecilnya. Saat kulit mereka tidak sengaja bersentuhan Diva merasakan kehangatan dalam diri Liam--dan di situlah perut Diva seperti dipenuhi beribu-ribu kupu-kupu.
Diva mulai membayangkan dia menulis hal romantis yang dilakukan pria pada wanita, hanya mendengar Liam berkata, "Lain kali jangan pulang larut, bahaya. Kamu kan perempuan." Membuat Diva bahagia.
Ketika mereka sedang berjalan di lorong yang sepi ke arah lift, lalu berjalan ke parkiran seakan mereka sedang berjalan-jalan di pantai dengan suara deburan ombak dari debaran jantung Diva.
Liam pun membuka pintu mobil milik Diva untuknya--Diva malah merasa seperti diberikan kejutan kecil oleh Liam. Badan Diva mulai memperkecil jarak mereka, memberikan tanda-tanda kalau dia tertarik. Terkadang pria harus diberikan kode-kode agar tidak terlalu lama mengulur waktu. Karena Diva merasa figur seperti Liam lah yang sering dia jadikan dalam sosok pria dalam cerita tulisannya.
"Pak, makasih ya sudah bantuin. Tadinya aku pikir bakal sampe pagi di kantor," ucap Diva. Pintu mobil sudah terbuka, seakan dia tidak rela waktu memisahkan mereka.
"Santai ajalah." Sahut Liam.
Diva tersenyum, "Next aku traktir ngopi ya. Untuk ucapan terimakasih aja, Pak."
"Gak perlulah, gituan doang kok." Kata Liam dengan wajah santai. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku.
Diva tergelak, "Gituan doang gimana? Kopi doang gitu maksudnya?" Balas Diva, dia masih menunjukkan pesonannya.
"Bukan gitu." Liam merasa tidak enak. "Boleh deh, next time ya." Liam benar-benar tidak bisa menolaknya, dia takut dicap sombong atau es batu yang dingin.
Lalu mereka terdiam agak lama, berdiri berhadapan. Tubuh Diva hanya sebahu Liam, dengan jarak sedekat itu kupu-kupu dalam perut Diva semakin bertambah banyak. Mungkin sudah mencapai milyaran.
"Janji ya. Entar aku tagih lho," ucap Diva. Bukankah dialog itu lebih cocok diucapkan oleh Liam? Melihat mata Diva yang berbinar penuh cahaya bisa dipastikan hatinya telah jatuh untuk Liam.
"Permisi Pak, aku datang karena Rania menyuruhku ke sini. Kalau Bapak ingin menanyakan tentang pekerjaan yang kemarin, maaf belum selesai."Akhirnya Diva memaksakan diri untuk masuk ke ruang Liam."Saya ingin selesai hari ini, jadi, kerjakan sekarang di sini." Ucap Liam, Diva terpaksa menganggukkan kepalanya.Diva sadar pekerjaan ini hanya bisa selesai dengan dimentori Liam. Mereka melakukan pekerjaan dengan profesional, jika Liam berkata sesuatu. "Okeh." Hanya itu jawaban Diva tanpa melihat Liam. Diva tidak ingin terlihat sekali sangat terhina atas peninggalan Liam pada malam itu, dia terlihat biasa saja seakan ciuman itu hal lumrah.Liam menegakkan kepalanya. "Kamu kalau bicara lihat muka saya. Saya bukan pengganggu."Mereka bicara sangat profesional dengan menyembunyikan gejolak mereka masing-masing. Dengan cara saling bersikap ketus jika bicara."Mata aku ke laptop, ak
Pukul sembilan seperti kemarin. Liam dan Diva pulang belakangan, semua staf di kantor itu sudah pulang. Naasnya ban mobil Diva bocor, kakinya menendang kuat pada badan mobilnya--harinya semakin menjengkelkan. Dia tidak tahu harus minta tolong siapa. Hanya ada Liam, pria brengsek itu."Sialan!" geram Diva.Dia menelengkan kepalanya melihat apakah mobil Liam masih ada, dan tiba-tiba mobil Liam berjalan ke arahnya. Diva melambaikan tangannya agar Liam berhenti. Dia bisa melihat wajah Liam yang menahan senyum itu."Bagusin mobil aku! Ban-nya bocor aku gak bisa pulang." Ketus Diva. Liam bersimpatik dengan nada suara Liam."Kamu minta tolong apa nodong orang?" Liam bersuara di mobilnya, sedangkan Diva merengut di depan kaca mobil Liam."Kurasa karena kamu adalah atasan, harus punya tanggung jawab pada bawahannya. Apalagi suasana di sini sangat sunyi. Tapi aku lupa Bapak kan gak punya hati... "
Tumben Samira merasa bosan dengan party-nya. Biasanya dia akan membuat suasana pesta lebih hidup dengan caranya--apa pun akan dia lakukan. Samira itu ratu party. Meskipun teman-temannya sudah menari-nari karena pengaruh alkohol, Samira malah meneguk minumannya dengan tatapan kosong.Tidak ada hal di pesta itu yang membuat mood-nya jelek, namun dia malah terlihat muak dengan sekelilingnya. Dia memilih duduk di sudut sofa berwarna coklat sambil menikmati minuman berwarnanya. Suara music dan lampu yang berkedip-kedip di sertai bau aroma keringat bercampur parfum membaur di tempat itu.Namun, saat Samira ingin sendiri pria berbadan tinggi tegap datang lalu duduk di sampingnya, dia menyentuh lengan Samira sambil berbisik, "Cemberut aja muka-nya." Samira mendesah. Bram, sebenarnya pria baik, tapi rada pelit orangnya. Dia akan baik kalau ada maunya, padahal kantongnya tebal.Samira tidak menanggapi Bram
Liam terburu-buru mendatangi kantor polisi, rasanya sangat geram mendengar Samira bau alkohol di tangkap polisi. Di tambah lagi orang yang dipukul teman Samira bukanlah orang sembarangan. Jadi Liam menghubungi temannya yang berprofesi pengacara untuk meminta bantuan.Sejam kemudian, saat Liam duduk di depan meja bapak polisi. Diva datang, kedua orang itu tampak sama-sama kaget karena berada di kantor polisi. Sedangkan Genk Samira berada di kursi belakang yang menempel pada dinding."Ree, kok bisa gini sih?" Diva menghampiri Renata yang bermake-up tebal. Dia mencium aroma alkohol yang menyengat dari Renata, "Kamu minum?""Dikit." Renata tersenyum seperti orang bodoh. "Please Queen tolongin aku ya...""Giliran kayak gini kamu manggil aku Queen, tapi kalo udah kumat segala nama binatang kamu nobatin padaku." Runtuk Diva, di sebelah Renata seorang wanita menghentakkan kakinya kesal."S
Liam harus bersabar dengan sikap pongah pengacara ini, "Mereka bilang, pria itu duluan yang membuat kekacauan." Liam menjelaskan.Bram mendekat. "Pak Alister, bukannya bapak saya yang menyuruh Anda ke menyelesaikan masalah saya?" katanya karena Alister tidak menegurnya."Kamu siapa?" Alister membuka kacamatanya, lalu berucap. "Oh, kamu anak Bapak Renaldy? Saya akan menangani kasus kalian. Kebetulan Liam ini teman saya." Bram melirik Liam tidak suka. Setelah menunggu beberapa lama, Liam melirik wanita yang dari tadi menatapnya."Siapa perempuan ini?" Tanya Alister melihat wanita berbaju cream ikutan berdiri dengan mereka.Diva nyaris tergagap melihat wajah tampan Alister menatapnya, penuh kharisma dan berwibawa. Tapi juga terkesan sombong, "Aku Diva, sepupu salah satu diantara kriminal itu." Ucap Diva, menurutnya tidak ada yang salah dari ucapannya."Mereka sudah boleh pulang." Kata Alister, setelah sekertarisnya berkata sesuatu padanya.
"Kamu marah? Harusnya aku yang marah! Kamu melihat wanita lain di depanku!" Teriak Samira yang merasa diabaikan oleh Liam sedari tadi."Gila kamu! Masa liatin orang gak boleh, saya punya mata!""Tapi cara liat kamu beda!" Geram Samira, ia merasa cara menatap Liam pasa wanita itu spesial. Atau hanya perasaannya saja."Serah deh mau ngomong apa... harusnya saya yang marah." Tadinya Liam ingin menanyakan hal di kantor polisi tadi. Namun, Samira menunjukkan kecurigaannya pada mereka.Harusnya pada saat ini Liam lah yang patutnya marah kepada Samira, menurutnya. Coba bayangkan gimana marahnya Liam dengan keadaan Samira ini. Bau alkohol menyengat, di tambah lagi dia menjemputnya di kantor polisi, kantor polisi! Mending tadi tidak usah dikeluarin... di penjara saja biar jera.Samira masih saja dengan kehidupan glamornya, Liam sudah tidak tahan mending cerai saja. Di saat malam dia membut
Liam pikir dia tidak kena macet, ternyata tetap kejebak macet parah di jalan. Mood Liam masih kesal sampai sekarang, apalagi di tambang macet begini.Sampai di kantor tidak ada satupun yang dia senyumin untuk membalas sapaan mereka. Lagipun orang tahu Liam bukan orang yang suka menebar keramah- tamahan."Pagi Pak Liam." Itu suara Nara, dia baru saja masuk ke lift, "Itu dasinya berantakan... mau aku bagusin?""Ehm..." deheman Doni saat Nara ingin mendekat."Gak usah... saya sengaja biar gak sesek nafas." tolak Liam dingin, kadang Nara ini kebangetan agresif. Saat lift akan tutup, tiba-tiba perempuan super ceroboh menahan tangannya pada pintu."Ikut ya..."Hidung Liam langsung menerima aroma wangi kedatangan Diva, dia berdiri di depan sedang Liam di belakangnya. Siapa pun bisa menebak Diva tipe wanita suka ke salon, tubuhnya terawat dan wangi. Begitu saja emosi Liam yang tadinya diubun-ubun kembali tenang seperti air.Tiga hari be
POV: Diva.Aku membuatkan kopi untuk Liam, di kantor banyak kopi dengan campuran lain. Aku pernah mencium aroma kopi bercampur coklat saat di ruang Liam. Aku yakin dia suka campuran coklat. Mencampur gula sedikit dan garam secuil biar tidak pekat rasa pahitnya. Aromanya harum setelah kuseduh. Setelah membuang plastik bekas kopi aku berjalan menuju ruang Liam Kavindra."Lumayan rasanya." Dia menyesap kopi yang kuberikan. Yang ku khawatirkan bukan rasa kopi tapi keadaan sunyi di ruang ini. Hanya ada kamu berdua saja.Nampak Liam tersenyum aneh menatap keseluruhanku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan pria ini, tapi lebih baik aku bersikap santai dan berpikir positif."Kamu marah?""Kenapa aku marah, Pak?"Dia malah tersenyum lalu meletakkan cangkirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku yakin tidak ada wanita yang akan tahan ditatap sedalam itu oleh pria tampa