Cahaya strobo berkelip di langit-langit, melempar bayangan tajam ke wajah-wajah yang menari liar. Musik deep house menghentak dada, disusul asap kabut dan aroma pekat parfum, keringat, serta alkohol.
Di sudut kursi bar counter, seorang pria duduk sendirian. Jas hitamnya masih rapi, meski dasi sudah dilonggarkan. Sepasang mata tajamnya menatap kosong ke arah gelas di tangan yang berisi Absinthe murni, tanpa campuran apa pun. Dengan kadar alkohol nyaris menembus batas legal. Rasa terbakar segera menjalari tenggorokan dan dadanya. Tapi ia tetap duduk tenang, tenggelam dalam dunianya sendiri. Di usia 30 tahun, beban bisnis dan tuntutan keluarga terasa lebih berat dari minuman terkeras sekalipun. Drrrt ...! Ponselnya bergetar pelan. Ia menoleh malas. Layar menyala menampilkan nama yang sudah terlalu sering membuat napasnya berat. "Halo, Ayah," katanya. "Apa kau sudah tiba di Melbourne, Alexander?" tanya pria tua dari seberang telepon, Reagan Hoffa. "Baru saja tiba," jawab Alexander. "Selesaikan urusanmu di sana secepat mungkin. Setelah itu, kembali dan segera lakukan pertunangannya." "Ayah sudah mengulanginya berkali-kali." "Ini bukan urusan sepele. Jika kita berhasil menjalin hubungan dengan keluarga Landtsov, keuntungannya akan sangat besar. Lagi pula, putri mereka tampaknya tergila-gila padamu." "Baiklah. Aku akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana." "Jangan kecewakan Ayahmu, Nak. Lakukan sesuai apa yang diriku suruh, dan ... keluarlah dari club! Jangan sampai menghamili wanita lain selain tunanganmu itu!" Panggilan diakhiri oleh Reagan. Alexander memijat pelipisnya. Ambisi ayahnya kali ini terasa menyesakkan. Mengaitkan wanita dalam urusan bisnis bukan hal yang menarik baginya. Tiba-tiba, suara gesekan kaki kursi sebelahnya terdengar. Seorang wanita menarik kursi di sampingnya dan duduk dengan gerakan malas. "Berikan aku apa pun," gumamnya pada bartender, tanpa menatap siapa pun. Alexander menoleh sedikit, menatap wanita itu tanpa ekspresi. Pandangannya turun dari atas ke bawah, mengamati setiap detail. Rambut wanita itu berantakan, sebagian menutupi wajah. Eyeliner luntur membentuk noda di bawah mata, seolah habis menangis. Gaun elegannya sudah kusut. Tangannya gemetar saat menerima gelas dari bartender, tapi dia meneguknya sekali jalan. Mengernyit tanpa suara, lalu memesan botol lagi. Alexander diam, memperhatikannya. Bukan karena cantik, tapi karena kekacauan yang terpancar. "Kau tidak terlihat seperti seseorang yang menikmati alkohol," ucap Alexander. Wanita itu berhenti meminum gelas yang ke-empatnya. Menoleh pelan ke samping. Pandangannya kabur, tapi bisa menangkap siluet seorang pria, bertubuh tinggi tegap, berbaju hitam. "Apa kau ... polisi?" Alexander tertawa kecil. "Ini club bukan kantor polisi. Kau salah masuk?" "Ah begitu. Tadi aku ingin melaporkan seseorang." "Siapa? Aku pintar dalam menghukum orang lain, seperti memukul, menusuk, menembak, bahkan mengancam." "Itu terdengar menyeramkan." "Tapi jika diberikan kepada orang bodoh, akan terasa menyenangkan." "Benar juga," balasnya tertawa. Wanita menyandarkan siku di meja bar dan menopang dagu. "Namaku Ella. Keka- oh tidak, maksudku mantanku. Dia seorang bajingan jadi rasanya aku ingin mematahkan tulangnya." "Ternyata kau sedang patah hati." "Patah hati? Entahlah. Aku hanya marah karena dia tak menghormatiku sebagai wanita." "Memang apa yang dilakukannya?" "Lupakan. Bayangan wajah sialan itu terus menghantui, benar-benar memuakkan." Alexander mengangguk. Tak tertarik menggali lebih dalam. Lalu meneguk Absinthe-nya. Sementara, Ella menatap Alexander lekat. Meski setengah mabuk, ia masih bisa melihat pesona keindahan ciptaan Tuhan dari Alexander. "Kemari bersama kekasih?" "Tidak." "Benarkah? Kukira kau datang bersama seorang wanita." "Aku tidak pernah tertarik pada siapa pun?" "Apa itu artinya ... ah tidak mungkin kau tidak pernah berkencan." "Kenapa tidak mungkin?" "Tentu saja tidak mungkin, kecuali kau gay." "Untungnya, bukan." "Jangan-jangan ... kau impoten." Alexander menyeringai. "Kalau begitu, bagaimana cara agar kau percaya, Nona?" Ella tersenyum samar, menoleh ke arah bangku tinggi yang ia duduki. "Tempat duduk ini sangat tidak nyaman," gumamnya dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat. Alexander mengangkat alis, seolah membaca maksud tersembunyi dari keluhan tersebut. "Ingin di pangkuanku?" tawarnya menepuk paha. Ella menatap paha Alexander. Bibirnya mengerucut seolah berpikir keras, pura-pura bingung. "Tidak usah banyak berpikir. Ini tempat yang paling nyaman." Tanpa ragu, Ella berpindah dan perlahan duduk di pangkuan Alexander. Jarak mereka nyaris lenyap. Napas bersatu, pandangan pun saling menantang. Tangan Alexander kini melingkar erat di pinggangnya, memberi kehangatan yang asing, tapi menenangkan. "Ternyata kau punya mata hazel yang sangat indah," puji Ella. "Terima kasih," jawabnya. "Emm jika tidak pernah berkencan, berarti kau tidak pernah berciuman, bukan?" "Ya." Ella semakin dibuat melongo. "Tapi aku suka sex," lanjut Alexander. Ella mendengus kesal. "Sudah kuduga. Jawabanmu dari awal pasti kebohongan." Ia mendorong tubuh Alexander, berniat akan turun. Namun, Alexander segera mengunci tubuh Ella semakin erat. "Tidak ada kebohongan." "Orang yang melakukan sex pasti pernah berciuman! Kau pikir, aku bodoh?" "Sex dan ciuman adalah hal yang berbeda. Semua manusia bisa hanya melakukan salah satunya." "Alasanmu ... sulit dimengerti." "Ciuman dilakukan saat benar-benar merasakan cinta, sedangkan sex? Bisa dilakukan dengan siapa saja tanpa melibatkan perasaan. Bukankah kau berkencan, mana mungkin tidak mengerti kedua hal itu." "I ... iya, aku mengerti. Hanya emm sedang berpura-pura menjadi gadis polos," gagap Ella. "Jadi apa kau mau berciuman denganku untuk pertama kalinya?" "Apa sekarang kau mengajakku tidur?" "Iya. Tapi aku ingin ... berciuman juga. Aku ingin tahu... rasanya dicium seseorang yang tidak membohongiku." Alexander tersenyum tipis. Ibu jarinya mengelus bibir Ella, kemudian masuk ke dalam mulutnya. Merasakan kekenyalan dan kehangatannya. Ada ketakutan di mata Ella. Tapi ia tak menjerit maupun melawan. Jemari itu terasa asing dan menjijikan membuatnya merasa kotor. Bau tembakau mulai tercium ketika Alexander semakin mendekat. Namun, tiba-tiba Ella merasa napasnya tercekat. Kepalanya mulai berdenyut hebat. Ada yang menjalar dari perutnya ke tenggorokan, naik dengan cepat. "Hmph! Huek!" Muntahan keluar tanpa bisa ia tahan, menodai kemeja Alexander. Ella meremas kepalanya yang terasa berat. Perlahan penglihatannya mulai kabur, kemudian sepenuhnya hitam. Alexander reflek menangkap tubuh Ella sebelum jatuh ke lantai. "Merepotkan saja!" *** Ella terbangun dengan napas memburu, matanya mengejap menatap langit-langit asing. Ini bukan kamarnya, melainkan hotel. Ia panik, meraba tubuhnya. Masih berpakaian lengkap. Syukurlah. Sekilas, bayangan pria bermata hazel muncul di ingatannya. Dialah yang membawanya kemari, mungkin. Tapi, siapa namanya? Pandangannya beralih ke jam dinding yang menunjukkan pukul 08:47 AM. "AAAH, TELAT!" Ella buru-buru meraih ponsel di sofa, lalu menemukan tote bag berisi kemeja hitam bekas muntahannya. Wajahnya memerah. Malu dan merasa bersalah. Ia keluar hotel sambil menenteng tote bag itu, berharap bisa mengembalikannya jika bertemu lagi. Sesampainya di rumah, Ella berganti pakaian, mengabaikan teriakan ibunya, Rachel. Ia langsung mengayuh sepeda menuju Lynwoosh University, tempatnya kuliah jurusan Tari Klasik, Prodi Ballet, semester empat, yang berarti usianya baru 20 tahun. Ella parkir sepeda, mengenakan kostum, dan bergegas masuk ke ruang latihan. Detik-detik runtuh. Suara musik Ballet lenyap. Di tengah panggung latihan yang seharusnya jadi tempat aman, dia malah berdiri. Mata hazel itu. Wajah yang semalam nyaris ia lupakan dan kini muncul sebagai bagian dari kenyataan yang jauh lebih rumit. Dia berdiri diantara dekan fakultas, wakil dekan, kaprodi, pelatih senior. Kenapa bisa di sana?"Apa kau pegawai baru di sini?" tanya seorang pria, matanya mengikuti setiap gerak Ella."Iya," jawab Ella, meletakkan bir di atas meja yang dihuni empat pria. "Selamat menikmati." Ia berniat pergi setelah tugasnya selesai."Hei, tunggu dulu," cegat salah satu dari mereka. Tangannya menggenggam tangan Ella. Jari-jari itu menyentuh lembut namun menyebalkan bagi yang menerima sentuhan. "Duduklah di sini, kita akan memberimu tip banyak.""Tidak perlu, Tuan," jawab Ella dengan suara bergetar, mencoba melepaskan cengkraman itu. Ketakutan mulai merayap, tatapan mereka membuat tubuhnya membeku. "Aku harus kembali bekerja.""Melayani kami juga tugasmu, bukan? Jadi tinggallah di sini.""Tidak! Tolong lepaskan!"Tiba-tiba, pria lain menarik pinggangnya, membuat tubuh Ella mendarat di paha orang asing itu. Tawa kasar mereka mulai bergema, mengejek. "Kau seksi sekali, Nona. Bermainlah sebentar dengan kami.""Tidak!" Ella memberontak, akan tetapi, tangan pria tak sopan itu mengunci tubuhnya. Pani
Casino Royale adalah simbol kemewahan, keserakahan, dan rahasia gelap yang dimiliki keluarga Hoffa. Malam ini, putra kedua Reagan hadir, setelan jas tuxedo melengkapi penampilannya dengan sempurna.Setiap langkah Alexander penuh percaya diri, tak ada ketakutan, tak ada keraguan. Mata panjangnya menelisik setiap sudut, menangkap para pengunjung yang larut dalam kesenangan mereka, serta klien-klien yang berlebihan dalam memamerkan kekayaan. Ia tidak tergoda, meski tindakan beberapa pria menjijikkan itu memaksa alisnya sedikit terangkat.Lift membawanya ke lantai paling atas, ke dunia manusia-manusia yang haus kekuasaan, tempat yang bahkan tidak layak disebut manusia. Di sana, wanita-wanita berpakaian minim menghibur enam pria tua dan gemuk yang tertawa lepas di meja poker."Tuan kecil, akhirnya sampai juga," ledek Bartolomei, seorang pria tua berambut putih, suaranya dipenuhi ejekan, disertai tawa kasar teman-temannya."Tuan kecil? Dia bahkan berani mempermalukan Ayahnya karena melangga
"Argh, apa-apaan kau ini," desis Chloe, menyingkirkan tangan Francesco dari wajahnya.Sejenak, rahang Francesco menegang. Tangannya yang ditolak mengepal, namun ia cepat menguasai diri. Senyuman samar segera muncul di bibirnya. "Aku hanya ingin membantumu.""Mengajakku minum memang membantu. Tapi barusan itu tidak. Kau bukan berniat menolong, kau ... menyukaiku.""Iya," jawabnya tenang. "Apa itu salah?"Chloe terdiam, lalu terkekeh kecil. "Tentu saja salah. Aku ini masih tunangan adikmu. Apa kau benar-benar ingin mengkhianatinya? Kau ingin menyalakan api drama keluarga? Ugh, terlalu merepotkan.""Pertunangan kalian sudah di ujung tanduk. Jadi apa lagi yang perlu dipertahankan?""Ujung tanduk bukan berarti mati!" Chloe menekankan kata-katanya. "Dengar, aku memang cantik. Tapi itu bukan alasanmu untuk menaruh perasaan padaku. Jangan memperumit keadaan. Kita ... hanya main-main."Francesco menyipitkan mata. "Aku punya rencana. Kita bisa mengembalikan keadaan, dan-""Mengembalikan? Lalu a
"Kau serius, Alexander?" tanya Reagan lagi."Ya. Dia hanya seorang wanita. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan besar hanya karena dirinya.""Dan jika suatu hari kau masih menemuinya?""Aku akan menjauhinya. Tidak ada alasan bagiku untuk kembali pada sesuatu yang hanya akan melemahkanku."Reagan mengisap rokoknya dalam-dalam, bara merahnya memercik singkat. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Maka dengar ini, nyawanya akan berada di tanganku saja, karena kau berbuat bodoh untuk kedua kalinya."Alexander menegang. "Apa maksudmu?""Aku akan melenyapkannya," kata Reagan datar, seolah kalimat itu tak lebih dari keputusan bisnis biasa. "Setuju?"Alexander terdiam. Suara detak jantungnya sendiri terasa memekakkan telinga, sementara pikirannya dipenuhi riuh akan kesepakatan mendadak ini."Apa lagi yang harus kau pikirkan?" Reagan menekan suaranya, melihat putranya tampak ragu-ragu untuk pertanyaan mudah. "Nikahi tunanganmu, dan jauhi wanita yang tidak memberi keuntungan. Masalah cinta,
"Tidak. Aku tidak pernah menggunakan perasaan padamu."Ucapan itu sederhana, namun bagi Ella rasanya seperti pisau yang menusuk jantungnya berkali-kali. "Jadi ... kamu sadar perasaanmu ada pada Chloe?""Chloe?" Alexander tersenyum tipis, penuh keremehan. "Aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya."Alis Ella berkerut. "Lalu sebenarnya apa yang kamu inginkan, Alexander?""Aku hanya menginginkan kekuasaan. Bukankah sudah kukatakan itu?"Ella terdiam. Telinganya panas, kepalanya berdenyut. Ternyata orang-orang yang gila akan kekuasaan bukan hanya tokoh dalam drama yang biasa dirinya tonton. Tapi kini, ia berhadapan langsung dengan wujudnya. "Jadi kenapa kau menarik aku dan Chloe ke dalam permainanmu?""Seru. Ini menyenangkan hidupku."Wajah Ella berubah pucat. "Kau ... kau bajingan sampah! Memanfaatkan wanita, apa kau pikir itu membuatmu terlihat hebat?"Alexander mendekat, jemarinya mengelus lembut pipi Ella, kontras dengan kata-katanya yang dingin. "Tidak. Tapi hidup ini ... selalu d
"Kau tidak berhak!""Kenapa tidak?!" balas Chloe dengan mata berkilat marah. "Aku adalah putri keluarga Landtsov. Aku bisa singkirkan jalang itu dengan mudah. Jangan remehkan diriku, Alexander!"Alexander tersenyum tipis. "Baiklah," ucapnya tenang. "Coba lakukan semampumu." Pria itu pun berbalik, melangkah keluar kamar tanpa menoleh sedikitpun."Alexander! Kau mau ke mana?" Chloe menyusul, tumit sepatunya menghantam lantai marmer dengan nada tak sabar.Tak ada jawaban."Alexander! BERHENTI!" Suaranya semakin meninggi, pecah bersama amarah yang menelan habis akalnya. "Katakan padaku apa kekuranganku! Apa yang kulakukan salah?!"Langkah Alexander tetap tak goyah. Tubuhnya kaku, dingin, tegap, seolah Chloe hanyalah bisikan samar yang tertiup angin malam. Hingga akhirnya, pintu lift terbuka. Alexander masuk ke dalamnya, dengan wajah tetap datar serta membisu.Kaki Chloe terhenti tanpa bisa melangkah lagi. Air matanya bergetar di pelupuk, jemarinya mengepal hingga pucat. "Alexander, kembal