Mag-log in"Ella, kemari," panggil pelatih Ballet-Eva.
Panggilan itu membuat kesadaran Ella kembali. Ia diam sebelum akhirnya melangkah dengan kaki yang sedikit bergetar. Sekarang, dirinya bergabung bersama kumpulan orang-orang itu. "Jangan menunduk dan sapa pria di depanmu," bisik Eva. Ella menelan ludahnya susah payah. Dengan penuh keberanian, ia mengangkat kepala. "H ... halo, aku ... Ella Force." "Dan Ella, di depanmu ada Tuan Alexander Hoffa yang akan menjadi sponsor utama pementasan kita. Sapa beliau." Begitu nama pria itu diucapkan oleh Eva, tubuh Ella seolah disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Alexander Hoffa. Nama yang bagai kutukan, nama yang bahkan dalam tidur pun bisa membuatnya terbangun dengan keringat dingin. "Jika tubuhmu merasa tidak enak, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk masuk." Ucapan itu terdengar datar dari Alexander. Nada itu mengguncang relung hatinya. Membuat Ella ingin menghilang di balik tirai ruang latihan. "Apakah kamu sakit, Ella?" tanya Eva cemas. "Ah tidak, aku baik-baik saja." Ella memberanikan diri menatap mata Alexander. Mata dingin yang pernah menatapnya dalam malam yang kelam. "Selamat pagi, Tuan Alexander Hoffa. Namaku Ella Force yang akan berperan sebagai Juliet utama dalam pementasan Ballet 'Romeo & Juliet'," ujarnya menundukkan sedikit kepala sebagai penghormatan. Robert-Wakil Dekan, tersenyum canggung. "Jika berkenan, bagaimana jika melihat pertunjukkan mereka terlebih dahulu?" Mendengar tawaran itu, Alexander memperhatikan tangan wanita itu yang gemetar di depan matanya. Wajah Ella juga tidak dapat dilihat karena tertunduk, seolah sedang menyembunyikan gemuruh yang tak tertata. "Tidak. Aku ada urusan lain." "Baiklah, kami mengerti kesibukan Anda, Tuan." Tanpa ada kalimat perpisahan, Alexander membalikkan tubuh keluar ruang latihan dengan diikuti oleh para petinggi kampus. Ella memaku pandangannya pada lantai kayu. Suara pintu tertutup terdengar nyaring, seperti palu godam yang mengakhiri harapan Ella. Tubuhnya lunglai. Ia meraih lututnya, mencoba menahan diri agar tak jatuh. Napasnya terengah-engah, seolah baru saja lolos dari perang batin yang panjang. Walau sudah tidak ada lagi Alexander, tapi ketakutan Ella terus bertambah. Sekarang bagaimana cara dirinya menghadapi sponsor terbesar itu? Bagaimana jika kejadian semalam memengaruhi posisinya sebagai pemeran utama yang akan dilakukan Senin depan? Seseorang tolong buat Alexander menjadi amnesia mengenai kejadian kemarin. *** Jam menunjukkan pukul 05:00 PM, di mana banyak orang yang sudah meninggalkan kampus. Tapi tidak dengan Ella. Pelatih memang mengizinkan Ella untuk tetap latihan, jadi ia pun menghabiskan waktunya dengan berlatih terus menerus sendirian. Setelah memasukkan barangnya di loker, langkah perempuan itu mulai keluar dari sekolah menuju tempat parkir sepeda seperti biasa. Sepeda pun berhasil dikeluarkan. "Kamu mahasiswi di sini, bukan?" tanya seseorang. Ella membeku. Suara itu menggetarkan setiap sel di tubuhnya. Ia menoleh perlahan. Alexander berdiri di sana. Masih mengenakan jas mahalnya. Masih terlihat seperti pria yang tidak pernah kehilangan kontrol dan mengintimidasinya tanpa harus bersuara. "Halo, Mr. Hoffa," sapanya gugup. "A... aku benar, saya mahasiswa di sini." "Aku mengingatmu." Jantung Ella berdetak kencang saat mendengar perkataan Alexander barusan. Apa maksud pria ini? "Kamu yang akan menjadi bintang utama dalam pementasan Ballet 'kan?" imbuh Alexander. "Kalau bicara soal bintang, kupikir justru Anda yang paling bersinar." Alexander tersenyum kecil. "Jadi sekarang kamu sudah tahu siapa diriku?" "I ... iya. Mengenai kejadian semalam ... aku minta maaf sebesar-besarnya. Perkataanku pasti ada yang terdengar tidak sopan." "Semalam? Memang kita sempat bertemu?" "Ya?" Ella melongo menatap Alexander. Apa Tuhan mengabulkan doanya agar pria ini lupa ingatan mengenai kejadian kemarin? "Sepertinya aku salah mengenali orang. Ya benar, diriku dan Anda belum pernah bertemu. Ini pertama kalinya." Wajahnya sudah tidak lagi tegang. "Lakukan penampilanmu lebih dari kemampuanmu hari ini. Aku menantikannya." "Baik," jawab Ella tersenyum manis. Ada sedikit kelegaan yang tercipta. "Jika sudah tidak ada yang diperlukan, aku izin pulang." "Silakan." Ella membalikan sepedanya, namun, ia merasa ada yang salah dengan sepedanya. Kendaraan kesayangannya tenyata rusak. "Ada apa?" tanya Alexander. "Rantainya rusak," keluhnya. Ella berjongkok untuk membenarkan mesin yang rusak. Angin sore menggeser ujung rok Ella, membuka sedikit kulit pucat di baliknya. Ia tak sadar, masih sibuk bergulat dengan rantai sepeda yang mogok. Tapi Alexander melihatnya. Sejenak, pandangannya menuruni garis wajah hingga lekuk tubuh yang tergambar samar. Ia mengerjapkan mata, seperti menyalahkan angin karena mencuri fokusnya. Ada sesuatu yang terlalu manusiawi dalam dirinya saat itu. Getaran asing mengganggu pikirannya-hangat, halus, dan melanggar batas yang ia tetapkan sendiri. "Ck kenapa tidak bisa-bisa?" omel Ella. "Jika tidak bisa, kamu bisa menumpang di mobilku untuk pulang." "Tidak perlu. Maaf Anda jadi mendengar omelanku, kukira sudah pergi." "Tidak masalah. Langit terlihat mulai mendung, sebaiknya pulang naik mobil." Ella melihat ke atas langit yang memang sudah seperti mau turun hujan. Ia pun berdiri dan mengikuti Alexander menuju mobil. Dalam kabin Mercedes-Benz S-Class itu, hanya ada suara mesin dan keheningan yang menggantung di antara mereka. Ella menatap jendela, pura-pura sibuk mengamati jalan. Tapi pikirannya penuh, bercampur antara gugup, takut, dan heran. Akhirnya mereka hampir tiba di rumah Ella. "Tolong berhenti saja di sini." "Tapi di sini tidak ada rumah," ucap Alexander memberhentikan mobilnya. Di tengah ini hanya ada pohon-pohon yang terlihat menyejukkan. "Iya, tapi rumahku sudah terlihat. Di sebelah sana." Ella menunjuk pada rumah yang berlantai dua agak jauh dari mereka. "Orang tuaku akan banyak bertanya pada Anda. Itu bisa membuat tidak nyaman." "Baiklah." Alexander membantu menurunkan sepeda Ella dari bagasi mobilnya. "Terima kasih, maaf merepotkan." "Sepedanya sudah rusak, bagaimana kamu ke kampus besok?" "Aku bisa naik bus lalu jalan kaki sampai rumah." "Jika kuberi tumpangan, apa kamu mau?" "Ap ... apa?" Ella tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Seakan dunia baru saja membuat lelucon yang kelewat jauh. "Jika kuberi tumpangan, apa kamu akan terima?" "Kenapa Anda menawarkan pada diriku?" "Aku tinggal di hotel Phoenix, kamu pasti tahu tempat itu tidak jauh dari sini. Jadi kita bisa berangkat dan pulang bersama." "Terima kasih atas tawaran Anda tapi kurasa tidak perlu." "Aku bukan tipe pria yang menawarkan bantuan dua kali, Ella." "B ... bukan begitu maksudnya. Aku hanya tidak mau merepotkan Anda. Mengantarkanku sudah cukup." "Aku yang menawarkan jadi diriku sudah siap direpotkan." "Tidak, tidak perlu." Mata Alexander meredup. Penolakan selalu terasa mengganggu, apalagi dari seseorang yang seharusnya berada di bawah kendalinya. Ia menurunkan nada suaranya, setengah menggoda, setengah mengancam, "Jika kukatakan ini balasan untuk kemeja yang kau kotori, apa masih mau menolak?"Mobil melesat dalam gelap, ban menggumam di aspal basah. Sementara kepalanya terus mencaci dirinya sendiri. Kenapa begitu lengah dan tolol terhadap setiap tanda yang terbuang?Ia bersumpah pihak mana pun yang terlibat, semuanya runtuh, dengan tangannya sendiri. Alexander akhirnya tiba di depan gedung apartemen. Tak ada pihak kepolisian. Bagus. Semuanya tenang seperti biasa.Ia langsung menuju lantai atas. Begitu sampai, tanpa mengetuk, jemarinya menekan cepat password-nya.Teresa yang duduk di sofa tersentak mendengar pintu dibuka. Matanya sayu tapi penuh lega. "Oh syukurlah kau datang."Alexander tak menjawab. Pandangannya menyapu setiap sudut ruangan, mulai dari meja, lantai, dapur, balkon. Semua tampak rapi, tak meninggalkan jejak.Ia melangkah ke kamar, membuka setiap pintu, setiap celah, mencari sesuatu yang mungkin bersembunyi di sana. Teresa mengikutinya dari belakang sambil terus menggenggam tangannya yang bergetar. "Sudah kucek semuanya ... dan Ella tidak ada.""Apa kau tid
"Siapa?" "Aku Teresa. Tetangga Ella dan ... dan sekarang aku tidak melihatnya."Alexander tak menjawab. Hening. Hanya suara napasnya yang terdengar lewat sambungan. "Apa maksudnya? Hilang?""Dia tidak ada di tempatnya! Apartemennya kosong! Ponsel tergeletak di lantai begitu saja. Apa kau sangat bodoh, hah?" Suara di sebrang terdengar meninggi, frustasi, sekaligus takut. Lalu berganti menjadi isakan. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Tolong temukan dia."Alexander diam. Satu tangan bertumpu di pagar balkon, sementara jemari lainnya menggenggam ponsel begitu kuat sampai kuku jemarinya memutih. "Kapan terakhir kau melihat Ella?""Sudah lama. Aku baru pulang dari luar kota. Dan ... dan saat tiba, aku ... aku tidak melihatnya. Ini sangat membingungkan.""Jadi sekarang kau berada di dalam apartemennya, begitu?""Iya." "Apakah ada orang lain?""Tidak ada. Hanya ada aku dan anjingku."Alexander memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras. Memikirkan siapa dan langkah apa yang harus dilakukan
Alexander melangkah masuk ke kamar setelah memastikan Chloe di ruang sebelah belum juga siap berangkat. Entah apa yang membuat wanita itu begitu lama, yang jelas waktu terus berjalan dan kesabarannya mulai menipis.Ia berdiri di depan cermin, sekali lagi merapikan dasi kupu-kupu yang sudah terpasang sempurna di leher kemeja hitamnya. Jasnya masih tergantung di sandaran kursi. Alexander menghela napas pelan, menggeleng kecil, berusaha menahan diri untuk tidak mengomel.Drrtt ...!Alexander langsung menoleh kearah ranjang dengan kening yang berkerut. Ponsel? Bukankah tadi ia meninggalkannya di ruang tamu?Pria itu mengambil benda tersebut, menatap layar yang menyala. Sebuah nama muncul di sana, Evan.Namun Alexander langsung tahu siapa sebenarnya di balik nama itu.Ella.Sebelum mengangkat panggilannya, ia menengok ke arah pintu yang tertutup rapat. Aman. Lalu jarinya terangkat hendak menekan tombol hijau di layar. Tapi sebelum sempat menekan ...Toktoktok ...!Suara ketukan lembut di p
Wanita itu terdiam sejenak, mencerna situasi dengan cepat. Lalu segera mengangkat Miu ke pelukannya dan berbalik. Dengan napas tersengal dan langkah tergesa, Ella berlari sekuat tenaga menuju unitnya. Pria itu jelas ikut berlari mengejarnya. Tapi Ella tetap fokus ke tujuannya tanpa berhenti sebentar pun. Dengan jantung berdebar liar, ia hampir tersandung saat berhenti di depan pintu unitnya. Napasnya memburu, tangan gemetar sambil menekan angka-angka di keypad. "Ayo ... ayo ... cepat ..."Bip ...!Bunyi kunci digital terdengar. Lampu kecil di panel berubah hijau. Ia menarik napas lega sepersekian detik sebelum menoleh sekilas ke samping.Pria itu sudah sangat dekat, hampir menjangkaunya. Tatapan matanya liar, penuh amarah.Ella langsung mendorong pintu, masuk ke dalam, dan berusaha menutupnya secepat mungkin. Tapi sebelum benar-benar rapat ...Brak ...!Sebuah kaki menahan celah pintu itu."AAAAA DASAR JALANG! BUKA PINTUNYA!" teriak pria itu dari luar, kesakitan.Ella menggertakkan
Layar televisi di ruang tamu terus menyala, menyorot cahaya redup yang berkedip di dinding apartemen itu. Suaranya lirih, hanya gumaman penyiar berita yang bercampur dengan denting hujan di luar jendela."Pihak berwenang telah mengonfirmasi adanya kerusuhan di dalam Blok C Penjara Santa Malvina, Milan. Belum diketahui jumlah pasti tahanan yang melarikan diri, namun sumber internal menyebutkan sedikitnya dua puluh orang berhasil kabur dalam aksi terkoordinasi yang terjadi sekitar pukul sebelas malam waktu setempat ..."Ella menggeliat pelan di sofa. Udara dingin menusuk kulitnya yang terbuka di balik pakaian tipis. Rambut cokelatnya kusut, sebagian menutupi pipi yang masih lelah. Suara penyiar yang terus bergema di latar membuat matanya perlahan terbuka.Cahaya dari layar TV menyorot wajahnya. Ia menyipit, mencoba fokus pada gambar yang berganti-ganti di layar, ada barisan polisi, lampu sirine, kawat berduri, dan helikopter yang berputar di atas penjara."Dalam insiden tersebut, salah
Pukul 11:00 PM, lampu-lampu di blok penjara sebagian sudah padam. Suasana hening memeluk setiap sel, terdengar hanya napas berat para tahanan yang telah terlelap di tempat masing-masing. Berbeda dengan empat orang di sel khusus itu, yang masih terjaga, merencanakan permainan mereka dengan penuh ketelitian dan antisipasi.Ruggero menoleh kanan-kiri, mengamati setiap kemungkinan langkah kaki yang bisa terdengar kapan saja. "Tidak ada orang," ucapnya membalikkan tubuh menghadap rekan lainnya. "Bagus," sahut Ettore. "Ini jam pergantian shift penjaga. Jika kita gunakan waktu ini dengan tepat, rencana kita bisa berjalan hampir tanpa hambatan."Ettore memegang pensil mekanik itu lebih dekat ke wajahnya. Kemudian menekan ujungnya hingga bagian kecil di dalamnya muncul, sebuah potongan logam tipis, hampir seperti jarum, yang berkilau samar di remang lampu. Lalu ia menyodorkan potongan itu ke arah Tano. "Lakukan tanpa kesalahan. Benda kecil itu hanya ada satu.""Tenang saja, kakak. Kau tahu se







