Beranda / Romansa / Terjerat Hasrat Dunia Gelap / Bab 2. Kenangan Semalam

Share

Bab 2. Kenangan Semalam

Penulis: Shenna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 11:38:18

"Ella, kemari," panggil pelatih Ballet-Eva.

Panggilan itu membuat kesadaran Ella kembali. Ia diam sebelum akhirnya melangkah dengan kaki yang sedikit bergetar. Sekarang, dirinya bergabung bersama kumpulan orang-orang itu.

"Jangan menunduk dan sapa pria di depanmu," bisik Eva.

Ella menelan ludahnya susah payah. Dengan penuh keberanian, ia mengangkat kepala. "H ... halo, aku ... Ella Force."

"Dan Ella, di depanmu ada Tuan Alexander Hoffa yang akan menjadi sponsor utama pementasan kita. Sapa beliau."

Begitu nama pria itu diucapkan oleh Eva, tubuh Ella seolah disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Alexander Hoffa. Nama yang bagai kutukan, nama yang bahkan dalam tidur pun bisa membuatnya terbangun dengan keringat dingin.

"Jika tubuhmu merasa tidak enak, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk masuk." Ucapan itu terdengar datar dari Alexander.

Nada itu mengguncang relung hatinya. Membuat Ella ingin menghilang di balik tirai ruang latihan.

"Apakah kamu sakit, Ella?" tanya Eva cemas.

"Ah tidak, aku baik-baik saja." Ella memberanikan diri menatap mata Alexander. Mata dingin yang pernah menatapnya dalam malam yang kelam. "Selamat pagi, Tuan Alexander Hoffa. Namaku Ella Force yang akan berperan sebagai Juliet utama dalam pementasan Ballet 'Romeo & Juliet'," ujarnya menundukkan sedikit kepala sebagai penghormatan.

Robert-Wakil Dekan, tersenyum canggung. "Jika berkenan, bagaimana jika melihat pertunjukkan mereka terlebih dahulu?"

Mendengar tawaran itu, Alexander memperhatikan tangan wanita itu yang gemetar di depan matanya. Wajah Ella juga tidak dapat dilihat karena tertunduk, seolah sedang menyembunyikan gemuruh yang tak tertata. "Tidak. Aku ada urusan lain."

"Baiklah, kami mengerti kesibukan Anda, Tuan."

Tanpa ada kalimat perpisahan, Alexander membalikkan tubuh keluar ruang latihan dengan diikuti oleh para petinggi kampus.

Ella memaku pandangannya pada lantai kayu. Suara pintu tertutup terdengar nyaring, seperti palu godam yang mengakhiri harapan Ella.

Tubuhnya lunglai. Ia meraih lututnya, mencoba menahan diri agar tak jatuh. Napasnya terengah-engah, seolah baru saja lolos dari perang batin yang panjang.

Walau sudah tidak ada lagi Alexander, tapi ketakutan Ella terus bertambah. Sekarang bagaimana cara dirinya menghadapi sponsor terbesar itu? Bagaimana jika kejadian semalam memengaruhi posisinya sebagai pemeran utama yang akan dilakukan Senin depan? Seseorang tolong buat Alexander menjadi amnesia mengenai kejadian kemarin.

***

Jam menunjukkan pukul 05:00 PM, di mana banyak orang yang sudah meninggalkan kampus. Tapi tidak dengan Ella. Pelatih memang mengizinkan Ella untuk tetap latihan, jadi ia pun menghabiskan waktunya dengan berlatih terus menerus sendirian.

Setelah memasukkan barangnya di loker, langkah perempuan itu mulai keluar dari sekolah menuju tempat parkir sepeda seperti biasa. Sepeda pun berhasil dikeluarkan.

"Kamu mahasiswi di sini, bukan?" tanya seseorang.

Ella membeku. Suara itu menggetarkan setiap sel di tubuhnya.

Ia menoleh perlahan. Alexander berdiri di sana. Masih mengenakan jas mahalnya. Masih terlihat seperti pria yang tidak pernah kehilangan kontrol dan mengintimidasinya tanpa harus bersuara.

"Halo, Mr. Hoffa," sapanya gugup. "A... aku benar, saya mahasiswa di sini."

"Aku mengingatmu."

Jantung Ella berdetak kencang saat mendengar perkataan Alexander barusan. Apa maksud pria ini?

"Kamu yang akan menjadi bintang utama dalam pementasan Ballet 'kan?" imbuh Alexander.

"Kalau bicara soal bintang, kupikir justru Anda yang paling bersinar."

Alexander tersenyum kecil. "Jadi sekarang kamu sudah tahu siapa diriku?"

"I ... iya. Mengenai kejadian semalam ... aku minta maaf sebesar-besarnya. Perkataanku pasti ada yang terdengar tidak sopan."

"Semalam? Memang kita sempat bertemu?"

"Ya?" Ella melongo menatap Alexander. Apa Tuhan mengabulkan doanya agar pria ini lupa ingatan mengenai kejadian kemarin? "Sepertinya aku salah mengenali orang. Ya benar, diriku dan Anda belum pernah bertemu. Ini pertama kalinya." Wajahnya sudah tidak lagi tegang.

"Lakukan penampilanmu lebih dari kemampuanmu hari ini. Aku menantikannya."

"Baik," jawab Ella tersenyum manis. Ada sedikit kelegaan yang tercipta. "Jika sudah tidak ada yang diperlukan, aku izin pulang."

"Silakan."

Ella membalikan sepedanya, namun, ia merasa ada yang salah dengan sepedanya. Kendaraan kesayangannya tenyata rusak.

"Ada apa?" tanya Alexander.

"Rantainya rusak," keluhnya. Ella berjongkok untuk membenarkan mesin yang rusak.

Angin sore menggeser ujung rok Ella, membuka sedikit kulit pucat di baliknya. Ia tak sadar, masih sibuk bergulat dengan rantai sepeda yang mogok.

Tapi Alexander melihatnya.

Sejenak, pandangannya menuruni garis wajah hingga lekuk tubuh yang tergambar samar. Ia mengerjapkan mata, seperti menyalahkan angin karena mencuri fokusnya. Ada sesuatu yang terlalu manusiawi dalam dirinya saat itu. Getaran asing mengganggu pikirannya-hangat, halus, dan melanggar batas yang ia tetapkan sendiri.

"Ck kenapa tidak bisa-bisa?" omel Ella.

"Jika tidak bisa, kamu bisa menumpang di mobilku untuk pulang."

"Tidak perlu. Maaf Anda jadi mendengar omelanku, kukira sudah pergi."

"Tidak masalah. Langit terlihat mulai mendung, sebaiknya pulang naik mobil."

Ella melihat ke atas langit yang memang sudah seperti mau turun hujan. Ia pun berdiri dan mengikuti Alexander menuju mobil.

Dalam kabin Mercedes-Benz S-Class itu, hanya ada suara mesin dan keheningan yang menggantung di antara mereka. Ella menatap jendela, pura-pura sibuk mengamati jalan. Tapi pikirannya penuh, bercampur antara gugup, takut, dan heran.

Akhirnya mereka hampir tiba di rumah Ella. "Tolong berhenti saja di sini."

"Tapi di sini tidak ada rumah," ucap Alexander memberhentikan mobilnya. Di tengah ini hanya ada pohon-pohon yang terlihat menyejukkan.

"Iya, tapi rumahku sudah terlihat. Di sebelah sana." Ella menunjuk pada rumah yang berlantai dua agak jauh dari mereka. "Orang tuaku akan banyak bertanya pada Anda. Itu bisa membuat tidak nyaman."

"Baiklah." Alexander membantu menurunkan sepeda Ella dari bagasi mobilnya.

"Terima kasih, maaf merepotkan."

"Sepedanya sudah rusak, bagaimana kamu ke kampus besok?"

"Aku bisa naik bus lalu jalan kaki sampai rumah."

"Jika kuberi tumpangan, apa kamu mau?"

"Ap ... apa?" Ella tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Seakan dunia baru saja membuat lelucon yang kelewat jauh.

"Jika kuberi tumpangan, apa kamu akan terima?"

"Kenapa Anda menawarkan pada diriku?"

"Aku tinggal di hotel Phoenix, kamu pasti tahu tempat itu tidak jauh dari sini. Jadi kita bisa berangkat dan pulang bersama."

"Terima kasih atas tawaran Anda tapi kurasa tidak perlu."

"Aku bukan tipe pria yang menawarkan bantuan dua kali, Ella."

"B ... bukan begitu maksudnya. Aku hanya tidak mau merepotkan Anda. Mengantarkanku sudah cukup."

"Aku yang menawarkan jadi diriku sudah siap direpotkan."

"Tidak, tidak perlu."

Mata Alexander meredup. Penolakan selalu terasa mengganggu, apalagi dari seseorang yang seharusnya berada di bawah kendalinya. Ia menurunkan nada suaranya, setengah menggoda, setengah mengancam, "Jika kukatakan ini balasan untuk kemeja yang kau kotori, apa masih mau menolak?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 5. Hilang Tanpa Jawaban

    Denting jam dinding menyambut hari baru. Nyawanya sudah kembali, tapi kelopak matanya masih berat untuk terbuka. Perlahan, Ella menggeser kepala, menoleh ke sisi kiri ranjang. Membuka matanya perlahan untuk melihat pemandangan yang berbeda. Kosong. Hanya ada selimut putih berantakan dan paper bag berwarna hitam. Tidak ada sosok pria yang ia harapkan menjadi awal hari.Pandangannya menyapu ke seluruh kamar yang ternyata sangat sunyi. Tidak ada jejak keberadaan manusia. Pintu kamar mandi juga terbuka. "Alexander," panggilnya. Ella menarik selimutnya sampai menutupi dadanya yang tak dibalutkan sehelai benang pun. Ia duduk bersandar sambil mencerna situasi saat ini. Tidak ada suara dari luar kamar, tidak ada gerakan sedikit pun."Alexander?" panggilnya lagi dengan suara lebih kencang.Tetap tidak ada jawaban.Kegelisahan merayap dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih paper bag hitam itu, berharap menemukan petunjuk.Seketika matanya membelalak saat berhasil membukanya. Tumbuka

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 4. Sentuhan Lebih

    Cengkraman Joseph melonggar. Ella segera melepaskan tangannya tanpa pikir panjang."Pria mana yang kau maksud?" tanya Joseph dengan nada tinggi.Ella menunjuk ke arah Alexander. "Dia. Aku mengenalnya, dan kita akan pergi bersama ... seperti kemarin."Mata Joseph menyipit. Amarahnya memuncak melihat Ella begitu berani melawan. "Apa kau tuli? Dia sudah bilang tidak tertarik padamu. Jangan meminta seperti pengemis! Lihat aku! Aku di sini!""Tadi memang iya," sahut Alexander tiba-tiba. Suaranya tenang, tapi tajam. Kedua pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Pria itu menjatuhkan putung rokoknya, menginjaknya dengan sepatu hitam mengilap, lalu berjalan mendekat. Mata tajamnya sedikit ke bawah karena tinggi Joseph berada di bawahnya. "Tapi sekarang tidak. Wanita ini ... terlihat menarik di mataku jadi kuperintah kau untuk melepaskan tangannya.""Siapa kau menyuruhku?""Siapa kau sampai aku harus memperkenalkan diri?""Dia kekasihku jadi jangan ikut campur."Alexander menoleh Ella. "Benark

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 3. Antara Dua Racun

    "Apa?" Mata Ella membelalak. Tubuhnya seolah membatu, jantungnya memukul-mukul rusuk. Baru beberapa menit yang lalu Alexander mengaku tidak mengenalnya, tapi sekarang ucapannya berubah drastis. Ella menggeleng pelan, mencoba menahan gemuruh dalam dada. "A ... aku tidak mengerti. Apa yang Anda bicarakan?"Alexander menyeringai. Senyumannya bukan senyum biasa, seperti ada racun di balik garis bibirnya. "Sepertinya kau memang memiliki kepribadian ganda," ujarnya tenang, menusuk tanpa nada tinggi. "Semalam menjual diri, dan sekarang bertingkah seolah menjadi wanita suci.""Aku tidak menjual diri!" bentak Ella. Jemarinya mencengkeram setang sepeda kuat-kuat, seakan bisa menyalurkan gemetar tubuhnya pada logam dingin itu. "Maksudku, semalam aku memang mabuk. Aku tidak sadar dengan semua yang kulakukan dan katakan. Tapi tidak sekali pun aku berniat melecehkan Anda. Maaf jika perkataanku kasar. Tapi tolong ... jangan bawa masalah pribadi ini ke urusan kampus.""Tenang saja, Ella," ucap Alexan

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 2. Kenangan Semalam

    "Ella, kemari," panggil pelatih Ballet-Eva. Panggilan itu membuat kesadaran Ella kembali. Ia diam sebelum akhirnya melangkah dengan kaki yang sedikit bergetar. Sekarang, dirinya bergabung bersama kumpulan orang-orang itu."Jangan menunduk dan sapa pria di depanmu," bisik Eva.Ella menelan ludahnya susah payah. Dengan penuh keberanian, ia mengangkat kepala. "H ... halo, aku ... Ella Force.""Dan Ella, di depanmu ada Tuan Alexander Hoffa yang akan menjadi sponsor utama pementasan kita. Sapa beliau."Begitu nama pria itu diucapkan oleh Eva, tubuh Ella seolah disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti berdetak. Alexander Hoffa. Nama yang bagai kutukan, nama yang bahkan dalam tidur pun bisa membuatnya terbangun dengan keringat dingin."Jika tubuhmu merasa tidak enak, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk masuk." Ucapan itu terdengar datar dari Alexander.Nada itu mengguncang relung hatinya. Membuat Ella ingin menghilang di balik tirai ruang latihan."Apakah kamu sakit, Ella?" tanya Eva c

  • Terjerat Hasrat Dunia Gelap    Bab 1. Pangkuan dan Alkohol

    Cahaya strobo berkelip di langit-langit, melempar bayangan tajam ke wajah-wajah yang menari liar. Musik deep house menghentak dada, disusul asap kabut dan aroma pekat parfum, keringat, serta alkohol.Di sudut kursi bar counter, seorang pria duduk sendirian. Jas hitamnya masih rapi, meski dasi sudah dilonggarkan. Sepasang mata tajamnya menatap kosong ke arah gelas di tangan yang berisi Absinthe murni, tanpa campuran apa pun. Dengan kadar alkohol nyaris menembus batas legal.Rasa terbakar segera menjalari tenggorokan dan dadanya. Tapi ia tetap duduk tenang, tenggelam dalam dunianya sendiri.Di usia 30 tahun, beban bisnis dan tuntutan keluarga terasa lebih berat dari minuman terkeras sekalipun.Drrrt ...!Ponselnya bergetar pelan. Ia menoleh malas. Layar menyala menampilkan nama yang sudah terlalu sering membuat napasnya berat."Halo, Ayah," katanya."Apa kau sudah tiba di Melbourne, Alexander?" tanya pria tua dari seberang telepon, Reagan Hoffa."Baru saja tiba," jawab Alexander."Seles

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status